BAB IV ANALISIS DUALISME AKAD PEMBIAYAAN MUD{ARABAH MUQAYYADAH DAN AKIBAT HUKUMNYA

dokumen-dokumen yang mirip
BAB III DESKRIPSI DUALISME AKAD DALAM PUTUSAN MAHKAMAH. AGUNG No. 272 K/Ag/2015

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA. A. Pengertian Perjanjian dan Asas Asas dalam Perjanjian

BAB I PENDAHULUAN. serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya. Kegiatan usaha

BAB I PENDAHULUAN. Ekonomi syariah tengah berkembang secara pesat. Perkembangan

BERACARA DI PENGADILAN AGAMA DAN PENYELESAIAN SENGKETA EKONOMI SYARIAH Oleh: Agus S. Primasta, SH 1

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB IV. rumah tangga dengan sebaik-baiknya untuk membentuk suatu kehidupan. tangga kedua belah pihak tidak merasa nyaman, tenteram dan mendapaatkan

BAB I PENDAHULUAN. Pembuktian merupakan salah satu proses yang sangat penting dalam

BAB 1 PENDAHULUAN. yang menimbulkan suatu hubungan hukum yang dikategorikan sebagai suatu

Kompilasi UU No 28 Tahun 2004 dan UU No16 Tahun 2001

EKSEPSI KOMPETENSI RELATIF DALAM PERKARA PERCERAIAN DI PERADILAN AGAMA. Drs. H. Masrum M Noor, M.H EKSEPSI

BAB III AKIBAT HUKUM TERHADAP STATUS ANAK DAN HARTA BENDA PERKAWINAN DALAM PERKAWINAN YANG DIBATALKAN


BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan dunia usaha yang diwarnai dengan semakin. pihak yang terlibat dalam lapangan usaha tersebut, sangat berpotensi

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB IV ANALISIS PUTUSAN SENGKETA WARIS SETELAH BERLAKUNYA PASAL 49 HURUF B UU NO. 3 TAHUN 2006 TENTANG PERADILAN AGAMA

BAB IV. tunduk dan patuh pada putusan yang dijatuhkan. 1

BAB IV. Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), tepatnya pada Pasal 24 ayat (2) dinyatakan bahwa Pengadilan Agama merupakan salah satu lingkungan

BAB I PENDAHULUAN. Islam adalah agama yang sempurna dan komprehensif yang mengatur

PILIHAN HUKUM DALAM KONTRAK BISNIS I.

Putusan di atas merupakan putusan dari perkara cerai talak, yang diajukan. oleh seorang suami sebagai Pemohon yang ingin menjatuhkan talak raj i di

BAB I PENDAHULUAN. dalam pelaksanaanya kedua belah pihak mengacu kepada sebuah perjanjian layaknya

BAB III PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NO. 718 K/AG/2012 TENTANG BIAYA KEHIDUPAN (NAFKAH) BAGI BEKAS ISTRI YANG DIBERIKAN OLEH SUAMI PASCA PERCERAIAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG Y A Y A S A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. Semua akta adalah otentik karena ditetapkan oleh undang-undang dan juga

PROSEDUR PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan dilakukan manusia sudah berabad-abad. Pembangunan adalah usaha untuk

Undang Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2000 Tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu

P U T U S A N Nomor 521/Pdt/2013/PT.Bdg DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA. m e l a w a n

BAB I PENDAHULUAN. Sejalan dengan berdirinya lembaga-lembaga perekonomian yang menerapkan

KONSEKUENSI HUKUM BAGI SEORANG ARBITER DALAM MEMUTUS SUATU PERKARA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NO. 30 TAHUN 1999

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM JAMINAN KREDIT. Istilah hukum jaminan berasal dari terjemahan zakerheidesstelling,

BAB I PENDAHULUAN. dalam jangka waktu pendek atau panjang, perjanjian sudah menjadi bagian

DESAIN TATA LETAK SIRKUIT TERPADU. Perhatikan desain-desain handphone berikut:

BAB V PENUTUP. 1. Kekuatan Mengikat Perjanjian Kerja Waktu Tertentu Yang Dilakukan. Melalui Transaksi Elektronik Ditinjau dari UU Ketenagakerjaan

A. Perlindungan Hukum yang dapat Diperoleh Konsumen Terhadap Cacat. Tersembunyi yang Terdapat Pada Mobil Bergaransi yang Diketahui Pada

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 16 TAHUN 2001 (16/2001) TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. hukum dan perbuatan hukum. Peristiwa hukum pada hekekatnya adalah

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB IV ANALISIS. Setelah mempelajari duduk perkara No 709/Pdt.G/2006/PA.Bgl dan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2000 TENTANG DESAIN INDUSTRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 T a h u n Tentang Desain Industri

BAB I PENDAHULUAN. Pada dasarnya setiap orang yang hidup di dunia dalam memenuhi

A.Latar Belakang Masalah

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. Dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan manusia di dalam. kerjasama yang mengikat antara dua individu atau lebih.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Peranan hukum di dalam pergaulan hidup adalah sebagai sesuatu yang

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG HUKUM ACARA PERDATA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. sebuah keluarga, namun juga berkembang ditengah masyarakat. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 2 Kitab Undang-undang Hukum

BAB III PENYELESAIAN SENGKETA BANK SYARI AH DENGAN NASABAH MELALUI PENGADILAN AGAMA MENURUT UNDANG-UNDANG NO. 21 TAHUN 2008

I. PENDAHULUAN. Kegiatan ekonomi merupakan kegiatan yang dilakukan oleh setiap manusia, ada

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Notaris sebagai pihak yang bersentuhan langsung dengan

BAB III PEMBAHASAN. A. Akibat Hukum terhadap Jabatan Notaris yang Dinyatakan Pailit Menurut UUJN DAN UU Kepailitan.

BAB I KETENTUAN UMUM. Pasal 1

KODE ETIK MEDIATOR Drs. H. HAMDAN, SH., MH. Pendahuluan. Terwujudnya keadilan yang cepat, sedarhana dan biaya ringan merupakan dambaan dari setiap

HUKUM ACARA PERADILAN TATA USAHA NEGARA

BAB I PENDAHULUAN. terbukti secara sederhana bahwa persyaratan permohonan

BAB I PENDAHULUAN. nasabah dan sering juga masyarakat menggunakannya, dengan alasan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2001 TENTANG MEREK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

1 Abdul Manan, Penerapan, h R.Soesilo, RIB/HIR Dengan Penjelasan, (Bogor: Politea, 1995). h. 110.

BAB I PENDAHULUAN. dengan pelaku usaha yang bergerak di keuangan. Usaha keuangan dilaksanakan oleh perusahaan yang bergerak di bidang

BAB I PENDAHULUAN. menyebutkan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria

BAB I PENDAHULUAN. menimbulkan konflik, konflik ini adakalanya dapat di selesaikan secara damai, tetapi

BAB I PENDAHULUAN. KUHPerdata sehingga disebut perjanjian tidak bernama. Dalam Buku III

BAB I PENDAHULUAN. dengan pemerintah. Prinsip negara hukum menjamin kepastian, ketertiban dan

BAB IV PENUTUP. 1A Padang, berjalan dengan baik, tertib dan lancar. Tidak di temukannya. tersebut, hanya saja hambatan-hambatannya dalam kekurangan

Lex Administratum, Vol. III/No.3/Mei/2015

BAB IV. A. Analisis Terhadap Penerapan Asas Ratio Decidendi Hakim Tentang Penolakan Eksepsi dalam Perkara Cerai Talak Talak

PROBLEMATIKA KEWENANGAN PENGADILAN NEGERI MENJATUHKAN PUTUSAN DALAM SENGKETA BISNIS YANG MEMPUNYAI KLAUSULA ARBITRASE

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERJANJIAN. dua istilah yang berasal dari bahasa Belanda, yaitu istilah verbintenis dan

BAB III TINJAUAN PUSTAKA

BAB IV. ANALISIS YURIDIS TERHADAP PUTUSAN MAJELIS HAKIM MENOLAK PERMOHONAN IWA<D} PERKARA KHULU DALAM GUGATAN REKONVENSI (No. 1274/Pdt.G/2010/PA.

KAPAN PUTUSAN NIET ONTVANKELIJKE VERKLAARD DAPAT DIAJUKAN ULANG?

BAB II PERJANJIAN DAN WANPRESTASI SECARA UMUM

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2000 TENTANG DESAIN TATA LETAK SIRKUIT TERPADU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. Jual beli adalah suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu

BAB I PENDAHULUAN. (selanjutnya ditulis dengan UUP) menjelaskan, Perkawinan ialah ikatan lahir bathin

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG Y A Y A S A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. dipungkiri tidak hanya berdampak pada peningkatan kondisi perekonomian

istilah perjanjian dalam hukum perjanjian merupakan kesepadanan Overeenkomst dari bahasa belanda atau Agreement dari bahasa inggris.

Hal. 1 dari 9 hal. Put. No.62 K/TUN/06

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

ASAS-ASAS DALAM HUKUM PERJANJIAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2001 TENTANG MEREK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB III TINJAUAN YURIDIS MENGENAI KLAUSULA BAKU DALAM PERJANJIAN KARTU KREDIT BANK MANDIRI, CITIBANK DAN STANDARD CHARTERED BANK

BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PINJAM MEMINJAM. mempunyai sifat riil. Hal ini disimpulkan dari kata-kata Pasal 1754 KUH Perdata

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2000 TENTANG DESAIN TATA LETAK SIRKUIT TERPADU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. Achmad Rubaie, Hukum Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum, (Malang: Bayumedia Publishing, 2007), hal 1.

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN. TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 21/PUU-XII/2014 Penyidikan, Proses Penahanan, dan Pemeriksaan Perkara

TENTANG DUDUK PERKARANYA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. diakui eksistensinya dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokok-

Transkripsi:

BAB IV ANALISIS DUALISME AKAD PEMBIAYAAN MUD{ARABAH MUQAYYADAH DAN AKIBAT HUKUMNYA A. Analisis Dualisme Akad Pembiayaan Mud{arabah Muqayyadah Keberadaaan suatu akad atau perjanjian adalah sesuatu yang esensial 1 dalam melakukan suatu transaksi bisnis. Perjanjian merupakan salah satu cara untuk memperoleh sesuatu dalam kehidupan sehari-hari, khususnya dalam melakukan kegiatan ekonomi. Perjanjian harus dibuat secara tertulis oleh kedua belah pihak yang bertransaksi. Perjanjian inilah yang menentukan sah atau tidaknya suatu transaksi. Perjanjian yang dibuat secara sah harus dituangkan dalam perjanjian tertulis dan ditandatangani oleh kedua belah pihak yang bersepakat untuk memperoleh kepastian hukum dan sebagai bukti adanya kesepakatan kerjasama. Hal ini sesuai dengan salah satu asas hukum perikatan dalam Islam, yaitu asas al-kitabah yang diinginkan dalam al-qur a>n surah al- Baqarah/2: 282. Pentingnya keberadaan akad ini juga dirasakan oleh PT. Permodalan BMT Ventura dan KBMT Babussalam yang melakukan perjanjian utang piutang dalam bentuk perjanjian pembiayaan mud{arabah muqayyadah. Perjanjian ini terjadi sebanyak dua kali yaitu pada tanggal 1 Mei 2010 dan 3 Juli 2010 dengan total pembiayaan sebesar Rp1.800.000.000,- (satu miliar delapan ratus juta rupiah). 1 Yang dimaksud dengan esensial adalah perlu sekali, penting dan harus ada. Lihat: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta; Pusat Bahasa, 2008), hlm. 398. 57

58 Dengan jangka waktu pengembalian selama dua tahun terhitung sejak tahun 2010 s/d 2012. Selama menjalankan perjanjian pembiayaan ini, pihak KBMT Babussalam memberikan jaminan kepada PT. Permodalan BMT Ventura. Selain perjanjian pokok yang berupa perjanjian pembiayaan mud{arabah muqayyadah, para pihak juga mencantumkan perjanjian tambahan atau accesoir berupa klausul antisipatif penyelesaian sengketa apabila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan dikemudian hari. Perjanjian tambahan tersebut berupa adanya klausul BASYARNAS dan klausul Pengadilan Agama dalam satu akad perjanjian yang mereka buat. Klausul BASYARNAS terdapat pada bab penyelesaian perselisihan Pasal 14 Ayat (2), sedangkan klausul Pengadilan Agama terdapat pada bab domisili dan pemberitahuan Pasal 15 Ayat (4). Sehingga jelas bahwa perjanjian tambahan berupa klausul antisipatif dengan mencantumkan lembaga penyelesaian sengketa ini hanya akan berlaku apabila terjadi sengketa atau wanprestasi diantara para pihak yang terikat dengan perjanjian pokok. Dengan adanya sengketa tersebut maka akan diselesaikan ke lembaga yang telah disepakati oleh para pihak dalam perjanjian yang mereka sepakati bersama. Penggabungan dua klausul ini mengambil asas kebebasan berkontrak yang dianut dalam hukum perikatan. Asas kebebasan berkontrak bersifat universal dan konsensual atau berdasarkan kesepakatan para pihak. Menurut asas ini, para pihak bebas untuk mengadakan perjanjian yang dikehendaki, tidak terikat pada bentuk tertentu. Asas kebebasan berkontrak yang dimaksud meliputi jenis, bentuk dan isi dari perjanjian.

59 Asas kebebasan berkontrak merupakan asas yang sangat penting dalam hukum perikatan. Asas ini adalah suatu dasar yang menjamin kebebasan para pihak dalam melakukan perjanjian. Hal ini tidak terlepas dari Buku III KUHPerdata yang hanya merupakan hukum yang mengatur sehingga para pihak dapat mengesampingkannya, kecuali terhadap pasal-pasal tertentu yang bersifat memaksa. Sehingga kebebasan yang mengatur perikatan ini disebut menganut sistem terbuka. Akan tetapi, kebebasan tersebut dibatasi oleh tiga hal, yaitu tidak bertentangan dengan undang-undang, tidak bertentangan dengan ketertiban umum dan tidak bertentangan dengan kesusilaan. Berdasarkan asas kebebasan tersebut, kesepakatan para pihak yang terlibat dalam suatu perjanjian dapat menentukan hukum mana yang berlaku dan forum penyelesaian sengketa mana yang diberlakukan ketika terjadi suatu sengketa di kemudian hari. Sebagai konsekuensi logis dari diberlakukannya prinsip kebebasan berkontrak, maka para pihak dalam suatu perjanjian dapat juga menentukan sendiri hal- hal sebagai berikut: 1. Pilihan forum (choice of jurisdiction), para pihak menentukan sendiri pengadilan atau forum mana yang berwenang memeriksa sengketa diantara para pihak dalam kontrak; 2. Pilihan hukum (choice of law), para pihak menentukan sendiri hukum mana yang berlaku dalam interpretasi kontrak tersebut; 3. Pilihan domisili (choice of domicile), para pihak menunujuk sendiri, domisili hukum dari para pihak tersebut.

60 Hal-hal sebagaimana dikemukakan di atas merupakan ketentuan yang dapat disepakati para pihak dalam perjanjian yang dibuat berdasarkan asas kebebasan berkontrak dan dengan disepakatinya hal-hal tersebut para pihak harus beritikad baik dalam melaksanakan perjanjian termasuk salah satunya melaksanakan penyelesaian sengketa melalui lembaga yang dipilih dan disepakati oleh para pihak. 2 Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat dipahami bahwa pilihan forum (choice of jurisdiction) merupakan alternatif pilihan bagi para pihak dalam menentukan lembaga mana yang berhak menyelesaikan sengketa yang mungkin terjadi dikemudian hari. Artinya, para pihak hanya diperkenankan mencantumkan satu klausul lembaga yang berwenang saja. Hal ini bertujuan untuk memberikan batasan kepada para pihak dalam membuat suatu perjanjian agar dapat memberikan kemudahan bagi para pihak dalam menjalankan klausul penyelesaian sengketa diantara mereka serta untuk menghindari terjadinya kekeliruan serta ketegasan dalam memilih forum atau lembaga yang berwenang diantara mereka. Akan tetapi, asas kebebasan berkontrak menempatkan para pihak sebagai pembuat aturan yang akan digunakan dalam perjanjian diantara mereka. Para pihak dapat mencantumkan satu lembaga penyelesaian sengketa ekonomi syariah, tidak mencantumkan lembaga penyelesaian sengketa atau bahkan mencantumkan kedua lembaga penyelesaian sengketa ekonomi syariah yaitu BASYARNAS dan Pengadilan Agama. Masing-masing pilihan dalam mencantumkan atau tidak mencantumkan lembaga penyelesaian sengketa dalam perjanjian kerjasama 2 Munir Fuady, Hukum Kontrak dari Sudut Pandang Hukum Bisnis (Bandung, Citra Aditya Bakti, 2007), hlm. 137.

61 diantara para pihak mempunyai akibat hukum yang berbeda sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang mengaturnya. Para pihak yang telah memilih salah satu lembaga penyelesaian sengketa ekonomi syariah seperti BASYARNAS, maka akan menutup kewenangan Pengadilan Agama untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi diantara para pihak. Sebagaimana yang diamanatkan dalam Peraturan Prosedur BAMUI Pasal 1 Ayat (1) yang berbunyi: Penyelesaian sengketa yang timbul dalam hubungan perdagangan, industri, keuangan, jasa dan lain-lain dimana para pihak sepakat secara tertulis untuk menyerahkan penyelesaiannya kepada BAMUI sesuai dengan Peraturan Prosedur BAMUI. Lebih lanjut Undang-undang No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Pasal 3 menyebutkan bahwa, Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase. Hal ini merupakan pondasi lembaga arbitrase dalam menyelesaikan sengketa diantara para pihak yang terikat dengan perjanjian arbitrase tertulis. Sebaliknya, jika tidak ada klausul BASYARNAS, maka dengan sendirinya sengketa yang terjadi akan menjadi kewenangan Pengadilan Agama. Hal ini sesuai dengan perluasan kewenangan Pengadilan Agama yaitu dalam menyelesaikan sengketa ekonomi syariah sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 49 Undang-undang No. 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undangundang No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama yaitu: Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang:

62 a. perkawinan, b. waris, c. wasiat, d. hibah, e. wakaf, f. zakat, g. infaq, h. shadaqah, dan i. ekonomi syariah. Hal ini menunjukan bahwa Pengadilan Agama berwenang atas sengketa antara para pihak yang berlandaskan pada prinsip syariah, selama diantara para pihak tidak memperjanjikan hal lain dalam perjanjian yang mereka sepakati bersama, seperti mencantumkan perjanjian arbitrase syariah atau BASYARNAS. Artinya, dalam hal para pihak tidak memperjanjikan suatu penyelesaian sengketa dalam kesepakatan yang mereka buat bersama, maka dengan sendirinya sengketa tersebut menjadi kewenangan Pengadilan Agama. Adapun dalam hal para pihak mencantumkan dua lembaga penyelesaian sengketa dalam perjanjian yang mereka buat, yaitu dengan mencantumkan klausul BASYARNAS dan Pengadilan Agama, maka para pihak bebas menentukan lembaga mana yang lebih berwenang. Akan tetapi, dalam kenyataannya para pihak yang bersepakat dalam kerjasama dan mencantumkan dua lembaga penyelesaian sengketa, ketika sengketa tersebut terjadi diantara para pihak, para pihak cenderung berbuat sesuka hati dan memiliki pendapat sendiri dalam memaknai perjanjian yang memuat dua lembaga penyelesaian sengketa. Oleh karenanya untuk menciptakan kepastian hukum maka sebagai jalan keluar maka salah satu klausul penyelesaian sengketa harus ditarik dan dibatalkan terlebih dahulu serta menyatakan bahwa perjanjian sebelumnya dianggap tidak berlaku

63 lagi. Pembatalan perjanjian sebelumnya harus dituangkan dalam perjanjian tertulis yang disepakati oleh kedua belah pihak. Sebagai contoh, pada perjanjian fasilitas pembiayaan 1 Mei 2010, PT. Permodalan BMT Ventura memberikan fasilitas pembiayaan sebesar Rp800.000.000,- (delapan ratus juta rupiah) kepada KBMT Babussalam untuk dijadikan modal kerja dengan jangka waktu pengembalian selama 2 (dua) tahun terhitung sejak Mei 2010 s/d Mei 2012. Pada perjanjian fasilitas pembiayaan 1 Mei 2010, para pihak sepakat memilih BASYARNAS sebagai lembaga penyelesaian sengketa. Selang dua bulan, KBMT Babussalam meminta penambahan fasilitas pembiayaan kepada PT. Permodalan BMT Ventura sebesar Rp1.000.000.000,- (satu miliar rupiah) dengan jangka waktu pengembalian selama 2 (dua) tahun sejak Juli 2010 s/d Juli 2012 sehingga total pembiayaan yang diberikan PT. Permodalan BMT Ventura kepada KBMT Babussalam sebesar Rp1.800.000.000,- (satu miliar delapan ratus juta rupiah). Apabila para pihak ingin mencantumkan klausul Pengadilan Agama, maka pada perjanjian fasilitas pembiayaan 3 Juli 2010 ini, para pihak harus membatalkan klausul BASYARNAS pada perjanjian fasilitas pembiayaan 1 Mei 2010 dan menggantinya dengan klausul Pengadilan Agama dan dimuat pada bab domisili dan pemberitahuan. Sehingga tidak ada tumpang tindih kewenangan antara BASYARNAS dan Pengadilan Agama karena adanya pilihan lembaga penyelesaian sengketa diantara para pihak. Terkait perjanjian pembiayaan mud{arabah muqayyadah antara PT. Permodalan BMT Ventura dan KBMT Babussalam, telah terbukti bahwa pihak

64 KBMT Babussalam telah melakukan wanprestasi terhadap perjanjian pokok. Yang dengan tegas melanggar perjanjian pembiayaan mud{abahah muqayyadah tanggal 1 Mei 2010 dan 3 Juli 2010 Pasal 8 Ayat (1) jo Pasal 10 Ayat (1 ) dan Ayat (2). Dengan adanya wanprestasi tersebut sehingga menyebabkan terjadinya sengketa diantara para pihak, maka perjanjian tambahan berupa klausul alternatif penyelesaian sengketa menjadi berlaku. Akan tetapi bagaimana menerapkan perjanjian tambahan yang memuat dua klausul yang saling bertolak belakang dan tidak sejalan. Melihat kepada adanya kewenangan absolut masing-masing lembaga penyelesaian sengketa ekonomi syariah, dalam hal ini BASYARNAS dan Pengadilan Agama, maka sangat tidak dibenarkan jika para pihak mencantumkan dua klausul lembaga penyelesaian sengketa ekonomi syariah sekaligus dalam satu akad perjanjian. Jika para pihak mencantumkan dua lembaga penyelesaian sengketa ekonomi yaitu BASYARNAS dan Pengadilan Agama, perjanjian tersebut mengandung suatu yang obscuur yaitu kabur atau tidak jelas, sehingga sangat mungkin ditafsirkan berbeda oleh masing-masing pihak yang bersengketa. Dengan adanya tawaran hukum antara BASYARNAS dan Pengadilan Agama dalam perjanjian tersebut menyebabkan klausul penyelesaian sengketa yang disepakati oleh para pihak dalam perjanjian tersebut menjadi tidak jelas dan dapat merugikan pihak yang mencari keadilan. Perjanjian pembiayaan mud{arabah muqayyadah antara PT. Permodalan BMT Ventura dan KBMT Babussalam yang memuat dua lembaga penyelesaian sengketa ekonomi syariah akan menimbulkan persoalan. Persoalan tersebut

65 berkaitan dengan dualisme substansi hukum penyelesaian sengketa ekonomi syariah yang menyebabkan ketidakpastian hukum mengenai pilihan lembaga mana yang memiliki kewenangan untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi diantara para pihak. Padahal Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 28D Ayat (1) menyebutkan bahwa, Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Ketidakpastian hukum karena mencantumkan dua lembaga penyelesaian sengketa ekonomi secara sekaligus dalam satu akad juga dapat menimbulkan kekacauan dalam penerapan klausulnya, para pihak akan saling berbuat sesuka hati dalam melakukan penafsiran terhadap perjanjian tersebut serta masalah kepastian hukum dalam kaitannya dengan pelaksanaan hukum. Hal semacam ini sama sekali tak dapat dilepaskan sama sekali dari prilaku manusia. Dengan mengatakan bahwa setiap individu mempunyai kebebasan dalam melakukan kontrak, sehingga bertindak sebebasnya tanpa memperdulikan konsekuensi yang timbul akibat perjanjian yang dibuat. Padahal dalam menerapkan asas kebebasan berkontrak, harus memperhatikan bahwa kontrak tersebut harus tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan. Selain persoalan dualisme hukum yang timbul, perjanjian pembiayaan mud{arabah muqayyadah yang menetapkan klausul BASYARNAS sebagai forum lembaga penyelesaian sengketa diantara PT. Permodalan BMT Ventura dan KBMT Babussalam pada Pasal 14 Ayat (2) yang dimuat dalam bab penyelesaian perselisihan dan klausul Pengadilan Agama yang terdapat pada Pasal 15 Ayat (4)

66 dan dimuat pada bab domisili dan pemberitahuan akan menimbulkan kebingungan dalam memilih lembaga mana yang berwenang ketika terjadi sebuah sengketa. Undang-undang No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Pasal 3 dan Pasal 11 telah menyatakan dengan tegas tentang kewenangan absolut arbitrase dalam menyelesaikan perkara atau sengketa yang terikat dengan perjanjian arbitrase serta memberikan batasan kepada para pihak dalam menentukan isi dalam suatu perjanjian. Lembaga arbitrase memiliki kewenangan dalam menyelesaikan sengketa diantara para pihak yang terikat dengan perjanjian arbitrase tertulis. Hal tersebut tidak boleh dilanggar dan diabaikan oleh lembaga penyelesaian sengketa lainnya. Adapun kewenangan absolut Pengadilan Agama mengalami perluasan kewenangan sebagaimana yang telah diatur dalam Undang-undang No. 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-undang No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 49. Adapun menurut Ahmad Mukti Arto, asas atau prinsip dasar untuk menentukan kompetensi atau kewenangan absolut Pengadilan Agama yaitu: apabila suatu perkara menyangkut status hukum seorang muslim atau suatu sengketa yang timbul dari suatu perbuatan atau peristiwa hukum yang dilakukan berdasarkan hukum Islam atau berkaitan erat dengan status hukum seorang muslim. Adanya prinsip dasar kekuasaan mengadili perkara oleh Pengadilan Agama ini menimbulkan konsekuensi bahwa setiap orang yang beragama Islam yang melakukan suatu perbuatan atau peristiwa hukum, apabila terjadi perselisihan atau sengketa maka akan menjadi kewenangan Pengadilan Agama

67 dalam penyelesaiannya, sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian yang dibuat oleh para pihak. Seperti mencantumkan perjanjian arbitrase atau lain sebagainya. Adanya dua klausul lembaga penyelesaian sengketa antara PT. Permodalan BMT Ventura dan KBMT Babussalam, dapat disimpulkan bahwa perjanjian tambahan atau accesoir tersebut tidak sesuai dan bertentangan dengan teori yang berlaku tentang pencantuman klausul BASYARNAS ataupun Pengadilan Agama. Perjanjian pembiayaan mud{arabah muqayyadah antara PT. Permodalan BMT Ventura dan KBMT Babussalam yang mencantumkan dua lembaga penyelesaian sengketa ekonomi syariah jelas telah mengandung sesuatu yang samar-samar, tidak jelas dalam menentukan kesepakatan dalam memilih lembaga penyelesaian sengketa dan menimbulkan masalah dalam pelaksanaan klausulnya. Semestinya perjanjian pembiayaan mud{arabah muqayyadah yang dibuat oleh PT. Permodalan BMT Ventura dan KBMT Babussalam yang mencantumkan dua lembaga penyelesaian sengketa ekonomi syariah yaitu BASYARNAS dan Pengadilan Agama harus dihindari. Hal ini dapat menimbulkan masalah baru dan pemahaman yang keliru apabila para pihak berbeda pendapat dalam memilih lembaga mana yang berwenang untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi diantara para pihak. Perjanjian yang samar atau kabur dapat membahayakan apabila diantara para pihak ada yang beritikad tidak baik. Dengan demikian, perlu diperhatikan oleh para pihak yang membuat suatu kesepakatan yang dituangkan dalam perjanjian tertulis bahwa dalam membuat suatu perjanjian harus berhati-

68 hati dalam membuatnya, agar para pihak yang terlibat dalam suatu perjanjian tersebut lebih memperhatikan perjanjian yang mereka buat. Perjanjian atau kesepakatan yang baik adalah perjanjian yang tidak mengandung sesuatu yang kabur, mengandung kejelasan isi, tidak menimbulkan perbedaaan penafsiran atau adanya multitafsir, memiliki kepastian hukum serta tidak bertentangan dengan ketentuan undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan sehingga mudah dalam penerapannya. B. Analisis Akibat Hukum Dualisme Akad Antara PT. Permodalan BMT Ventura Dan KBMT Babussalam Terjadinya sengketa pada perjanjian fasilitas pembiayaan 1 Mei 2010 dan 3 Juli 2010 menimbulkan akibat hukum bahwa perjanjian tambahan berupa klausul antisipatif lembaga penyelesaian sengketa berupa BASYARNAS dan Pengadilan Agama menjadi berlaku. Karena dalam teorinya, perjanjian arbitrase dalam hal ini klausul BASYARNAS atau Pengadilan Agama dapat berjalan dan diberlakukan apabila terjadi sengketa diantara pihak yang bersepakat atau adanya wanprestasi dari salah satu pihak. Akan tetapi perjanjian yang dibuat oleh PT. Permodalan BMT Ventura dan KBMT Babussalam yang mencantumkan dua lembaga penyelesaian sengketa ini akan mengalami kesulitan dalam penerapannya klausul alternatif penyelesaian sengketanya. Perjanjian yang baik adalah perjanjian yang jelas, mudah dipahami dan tidak menimbulkan berbagai pertanyaan. Perjanjian pembiayaan mud{arabah muqayyadah ini sangat mungkin mengandung multitafsir. Terbukti dengan adanya perbedaan penafsiran oleh para pihak yang bersengketa yaitu PT. Pemodalan

69 BMT Ventura dan KBMT Babussalam. Selain perbedaan penafsiran oleh para pihak yang bersengketa, perbedaan dalam menafsirkan perjanjian ini juga terjadi diantara majelis hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan, majelis hakim Pengadilan Tinggi Agama Jakarta dan majelis hakim Mahkamah Agung. Masingmasing hakim memiliki penafsiran yang berbeda terkait perjanjian pembiayaan mud{arabah muqayyadah antara PT. Permodalan BMT Ventura dan KBMT Babussalam ini. Terjadinya sengketa wanprestasi yang dilakukan oleh pihak KBMT Babussalam yang secara tegas melanggar perjanjian pokok Pasal 8 Ayat (1) jo Pasal 10 Ayat (1) dan Ayat (2) menyebabkan pihak PT. Permodalan BMT Ventura membawa sengketa tersebut ke Pengadilan Agama Jakarta Selatan. Setelah perkara tersebut diputus oleh Pengadilan Agama Jakarta Selatan, pihak tergugat mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Agama Jakarta sebelum putusan tersebut inkrah. Dalam putusan ini, pihak penggugat yaitu PT. Permodalan BMT Ventura dimenangkan oleh majelis hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan. Pihak tergugat merasa tidak puas dengan putusan majelis hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan dan menyatakan bahwa Pengadilan Agama Jakarta Selatan tidak memiliki kewenangan menyelesaikan sengketa yang terjadi antara PT. Permodalan BMT Ventura dan KBMT Babussalam. Lembaga yang memiliki kewenangan menyelesaikan sengketa diantara mereka menurut pemohon di tingkat banding adalah BASYARNAS. Hal ini berkaitan dengan klausul BASYARNAS yang dimuat dalam Bab penyelesaian perselisihan, sedangkan Pengadilan Agama terdapat dalam Bab domisili dan

70 pemberitahuan. Sehingga pihak pemohon di tingkat banding berpendapat bahwa pilihan penyelesaian perselisihan melalui BASYARNAS lah yang harus dipegangi oleh para pihak. Adapun putusan Mahkamah Agung menguatkan putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan dan membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Agama Jakarta. Pada tingkat banding, pihak pembanding dimenangkan oleh majelis hakim Pengadilan Tinggi Agama Jakarta. Adapun Mahkamah menafsirkan dua klausul yang berbeda ini menggunakan Pasal 1343 dan 1344 KUHPerdata yang berbicara tentang penafsiran perjanjian. Pasal 1343 KUHPerdata berbunyi sebagai berikut: Jika kata-kata suatu persetujuan dapat diberi dua arti, maka lebih baik diselidiki maksud kedua belah pihak yang melakukan persetujuan itu, daripada dipegang teguh arti kata menurut huruf. Pasal 1344 KUHPerdata berbunyi: Jika suatu janji dapat diberi dua arti, maka janji itu harus dimengerti menurut arti yang memungkinkan janji itu dilaksanakan, bukan menurut arti yang tidak memungkinkan janji itu dilaksanakan. Selain mengacu pada Pasal 1343 dan 1344 KUHPerdata di atas, majelis hakim Mahkamah Agung juga menyatakan bahwa karena tidak ada eksepsi dari pihak tergugat pada saat pihak penggugat mengajukan perkara tersebut ke Pengadilan Agama Jakarta Selatan, maka pihak tergugat dianggap telah menggugurkan haknya untuk melakukan bantahan. Berbicara tentang eksepsi atau bantahan, eksepsi terbagi menjadi eksepsi kewenangan absolut dan eksepsi kewenangan relatif. Eksepsi kewenangan absolut diatur dalam Pasal 134 HIR dan 132 Rv. Berdasarkan kedua Pasal tersebut digariskan hal berikut yaitu:

71 1. Dapat diajukan tergugat setiap saat. Menurut Pasal 134 HIR maupun 132 Rv, eksepsi kewenangan absolut dapat diajukan tergugat setiap saat: a. Selama proses pemeriksaan di sidang pertama b. Tergugat dapat dan berhak mengajukannya sejak proses pemeriksaan dimulai sampai sebelum putusan dijatuhkan. Berdasarkan penjelasan di atas dapat diketahui bahwa eksepsi ini dapat diajukan kapan saja mulai dari sidang pertama sampai sebelum putusan dijatuhkan, pengajuannya pun tidak dibatasi hanya pada sidang pertama, tetapi terbuka dalam segala tahap pemeriksaan. 2. Secara Ex-officio hakim harus menyatakan diri tidak berwenang. Tentang hal ini, lebih jelas diatur dalam Pasal 132 Rv, yang berbunyi: Dalam hal hakim tidak berwenang karena jenis pokok perkaranya, maka ia meskipun tidak diajukan tangkisan tentang ketidakwenangannya, karena jabatannya wajib menyatakan dirinya tidak berwenang. Adapun eksepsi kewenangan relatif diatur dalam Pasal 125 Ayat (2) dan Pasal 133 HIR. Bertitik tolak dari kedua pasal tersebut, dapat dijelaskan hal-hal berikut: a. Bentuk pengajuan terbagi kepada dua, yaitu 1) Berbentuk lisan. Hal ini diatur dalam Pasal 133 HIR, yang memberi hak kepada tergugat untuk mengajukan eksepsi kewenangan relatif secara lisan. 2) Berbentuk tulisan. Eksepsi berbentuk tulisan dalam datur dalam Pasal 125 HIR, tergugat pada hari sidang yang ditentukan diberi hak mengajukan jawaban tertulis

72 b. Saat pengajuan eksepsi kewenangan relatif Memperhatikan ketentuan Pasal 125 Ayat (2) dan Pasal 133 HIR, pengajuan eksepsi harus disampaikan: 1) Pada sidang pertama, dan 2) Bersamaan pada saat pengajuan jawaban pertama terhadap materi pokok perkara. Apabila pada sidang pertama belum diajukan jawaban, tidak gugur hak mengajukan jawaban, dan tidak gugur hak mengajukan eksepsi kewenangan relatif. Misalnya, pada hari sidang pertama penggugat dan tergugat tidak hadir baik berdasarkan alasan yang sah atau tidak. Berdasarkan peristiwa itu, sidang dimundurkan. Maka patokan sidang pertama untuk mengajukan eksepsi adalah pada sidang berikutnya pada saat tergugat mengajukan jawaban pertama. Penjelasan tentang eksepsi di atas menegaskan bahwa, pengajuan eksepsi kewenangan absolut dapat dilakukan setiap saat sepanjang proses persidangan sampai sebelum putusan dijatuhkan oleh majelis hakim. Sedangkan pengajuan eksepsi kewenangan relatif diajukan bersamaan dengan jawaban pertama terhadap materi pokok perkara. Perjanjian pembiayaan mud{arabah muqayyadah antara PT. Permodalan BMT Ventura dan KBMT Babussalam jika dikaitkan dengan konsep eksepsi, maka termasuk ke dalam eksepsi kewenangan absolut. Karenanya apabila para pihak memiliki keberatan terhadap suatu perkara yang diajukan ke Pengadilan Agama sebagai lembaga penyelesaian sengketa karena adanya klausul arbitrase, maka salah satu pihak dapat mengajukan eksepsi kewenangan absolut. Apabila

73 para pihak tidak mengajukan eksepsi kewenangan absolut, maka hakim dapat melakukan ex-officio atau menyatakan Pengadilan Agama tidak berwenang menyelesaikan perkara yang diajukan kepadanya karena adanya suatu klausul arbitrase yang diperjanjikan para pihak. Sehingga dengan adanya suatu klausul atau perjanjian arbitrase tersebut, maka hakim tidak perlu menunggu adanya eksepsi dari para pihak yang terlibat sengketa, melainkan dengan kekuasaannya wajib menolak dan menyatakan bahwa Pengadilan Agama tidak memiliki kewenangan dalam menyelesaikan sengketa tersebut. Melihat kepada konsep eksepsi kewenangan absolut di atas, maka Pengadilan tidak berhak dan hakim wajib menolak menyelesaikan suatu perkara yang diajukan kepadanya jika dalam perjanjian para pihak terdapat suatu klausul arbitrase. Hal ini menegaskan bahwa lembaga arbitrase memiliki kewenangan absolut dalam menyelesaikan suatu sengketa yang terikat perjanjian arbitrase dan lembaga peradilan harus menghormati kewenangan absolut arbitrase tersebut. Hal ini sejalan dengan kewenangan absolut Arbitrase disebutkan dalam Pasal 3 Undang-undang No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang berbunyi, Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase. Lebih lanjut, penegasan kewenangan absolut Arbitrase terdapat pada Pasal 11 Undang-undang No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang berbunyi: (1) Adanya suatu perjanjian arbitrase tertulis meniadakan hak para pihak untuk mengajukan penyelesaian sengketa atau beda pendapat yang termuat dalam perjanjiannya ke Pengadilan Negeri.

74 (2) Pengadilan Negeri wajib menolak dan tidak akan ikut campur tangan di dalam suatu penyelesaian sengketa yang telah ditetapkan melalui arbitrase, kecuali dalam hal-hal tertentu yang ditetapkan dalam Undang-undang ini. Selain itu terdapat pada Undang-undang No. 30 Tahu 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Peraturan prosedur BAMUI pun menyatakan kewenangan absolut arbitrase yang terdapat dalam Pasal 1 Ayat (1) dan Ayat (2) yang berbunyi: (1) Penyelesaian sengketa yang timbul dalam hubungan perdagangan, industri, keuangan, jasa dan lain-lain dimana para pihak sepakat secara tertulis untuk menyerahkan penyelesaiannya kepada BAMUI sesuai dengan Peraturan Prosedur BAMUI. (2) Memberikan suatu pendapat yang mengikat tanpa adanya suatu sengketa mengenai persoalan berkenaan dengan perjanjian atas permintaan para pihak. Mengacu kepada Pasal 3 dan 11 Undang-undang No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa dan Pasal 1 Ayat (1 ) dan Ayat (2) Peraturan Prosedur BAMUI di atas serta konsep eksepsi kewenangan absolut, maka Pengadilan Agama tidak berwenang menyelesaikan suatu sengketa yang terikat pada perjanjian arbitrase syariah atau BASYARNAS. Sebelumnya sudah disinggung bahwa seyogyanya suatu perjanjian hanya diperkenankan mencantumkan satu pilihan lembaga penyelesaian sengketa ekonomi syariah yaitu BASYARNAS atau Pengadilan Agama agar penerapan klausul penyelesaian sengketa melalui pilihan para pihak dapat dilakukan. Sehingga jelas bahwa para pihak tidak diperbolehkan mencantumkan, mencampur dan membuat tumpang tindih kewenangan absolut suatu lembaga penyelesaian sengketa ekonomi syariah, dalam hal ini lembaga tersebut adalah BASYARNAS dan Pengadilan Agama.

75 Akan tetapi, jika para pihak sudah terlanjur melakukan perjanjian dengan mencantumkan dua lembaga penyelesaian sengketa ekonomi syariah yaitu BASYARNAS dan Pengadilan Agama sebagaimana yang dilakukan oleh PT. Permodalan BMT Ventura dan KBMT Babussalam dalam perjanjian pembiayaan mud{arabah muqayyadah pada tanggal 1 Mei 2010 dan 3 Juli 2010, maka sebagai konsekuensinya apabila terjadi sengketa dikemudian hari antara para pihak, maka perjanjian tersebut harus ditafsirkan sebagaimana yang diatur dalam Buku III KUHPerdata Pasal 1342-1351. Pada bagian ini khusus mengatur tentang perjanjian yang mengandung penafsiran. Apabila para pihak secara eksplisit dan tegas menyatakan bahwa apabila diantara para pihak terjadi suatu sengketa atau adanya wanprestasi, maka para pihak sepakat dan tunduk serta mengikatkan diri kepada lembaga BASYARNAS dalam penyelesaiannya, atau para pihak sepakat dalam penyelesaian sengketa yang akan terjadi akan diselesaikan melalui Pengadilan Agama dan tidak mencantumkan lainnya, maka penafsiran tidak diperkenankan oleh para pihak. Hal ini sebutkan dalam Pasal 1342 KUHPedata yang berbunyi, Jika kata-kata suatu persetujuan jelas, tidak diperkenankan menyimpang daripadanya dengan jalan penafsiran. Akan tetapi jika dalam mengandung multitafsir seperti yang terjadi pada perjanjian antara PT. Permodalan BMT Ventura dan KBMT Babussalam yang mencantumkan dua lembaga penyelesaian sengketa ekonomi syariah yaitu klausul BASYARNAS dan Pengadilan Agama dalam satu akad, maka perjanjian tersebut

76 harus ditafsirkan sebagaimana yang diatur pada Pasal 1343 KUHPerdata yang berbunyi: Jika kata-kata suatu persetujuan dapat diberi dua arti, maka lebih baik diselidiki maksud kedua belah pihak yang melakukan persetujuan itu, daripada dipegang teguh arti kata menurut huruf. Adapun pasal selanjutnya yaitu Pasal 1344 KUHPerdata berbunyi: Jika suatu janji dapat diberi dua arti, maka janji itu harus dimengerti menurut arti yang memungkinkan janji itu dilaksanakan, bukan menurut arti yang tidak memungkinkan janji itu dilaksanakan. Lebih lanjut, Pasal 1345 KUHPerdata berbunyi, Jika perkataan dapat diberi dua arti, maka harus dipilih arti yang paling sesuai dengan sifat persetujuan. Perjanjian pembiayaan mud{arabah muqayyadah antara PT. Permodalan BMT Ventura dan KBMT Babussalam yang memiliki dua pilihan lembaga penyelesaian sengketa ekonomi syariah yaitu BASYARNAS dan Pengadilan Agama, maka pilihan para pihak yang bersengketa harus dipegangi oleh mereka yang mengikatkan diri dalam perjanjian tersebut. Apabila para pihak membawa sengketa tersebut ke Pengadilan Agama dan tidak ada eksepsi kewenangan absolut dari pihak tergugat mulai dari sidang pertama sampai sidang sebelum pembacaan putusan, maka pihak tergugat dianggap sepakat dengan pilihan penggugat mengajukan perkara tersebut ke Pengadilan Agama dan pihak tergugat telah menggugurkan haknya dalam mengajukan eksepsi kewenangan absolut. Sehingga dianggap bahwa para pihak telah menjatuhkan pilihan dan sepakat bahwa lembaga yang berwenang menyelesaikan sengketa yang terjadi diantara mereka adalah Pengadilan Agama.

77