PENERAPAN PUTUSAN ARBITRASE INTERNASIONAL DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG DAN HUKUM ACARA DI INDONESIA. Lu Sudirman 1. Ritaningtyas 2

dokumen-dokumen yang mirip
PROSES PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE DITINJAU DARI UU No. 30 TAHUN 1999 (Studi Putusan No. 86/PDT.G/2002/PN.JKT.PST)

PENOLAKAN EKSEKUSI PUTUSAN ARBITRASE INTERNASIONAL DI PENGADILAN NASIONAL INDONESIA. Oleh: Ida Bagus Gde Ajanta Luwih I Ketut Suardita

BAHAN KULIAH ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DAGANG Match Day 9 ARBITRASE (2)

BAB I PENDAHULUAN. dipungkiri tidak hanya berdampak pada peningkatan kondisi perekonomian

PENYELESAIAN SENGKETA PERDAGANGAN. Karakteristik Pengadilan Negeri. Penyelesaian Sengketa Melalui Litigasi 11/8/2014

BAB I PENDAHULUAN. sengketa yang terjadi diantara para pihak yang terlibat pun tidak dapat dihindari.

Oleh : Komang Eky Saputra Ida Bagus Wyasa Putra I Gusti Ngurah Parikesit Widiatedja

PERANAN PENGADILAN DALAM PELAKSANAAN PUTUSAN ARBITRASE INTERNASIONAL

PUBLIC POLICY SEBAGAI ALASAN PEMBATALAN PELAKSANAAN PUTUSAN ARBITRASE INTERNASIONAL DI INDONESIA

UNDANG - UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

UNDANG - UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. beli, tetapi disebutkan sebagai dialihkan. Pengertian dialihkan menunjukkan

BAB V P E N U T U P. forum penyelesaian sengketa yang pada awalnya diharapkan dapat menjadi solusi

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PENYELESAIAN SENGKETA DALAM KONTRAK DAGANG INTERNASIONAL

Pokok-Pokok Masalah Pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional di Indonesia oleh: M. Husseyn Umar *)

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan dunia usaha dalam perkembangan dunia yang semakin. pesat membutuhkan suatu hukum guna menjamin kepastian dan memberi

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Konvensi ini mengandung 16 pasal. Dari pasal-pasal ini dapat ditarik 5 prinsip berikut dibawah ini:

BAB I PENDAHULUAN. setiap negara modern. Hukum memiliki peran yang dominan dalam. ekonomi dan budaya pada masa pembangunan suatu negara.

BAHAN KULIAH ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DAGANG 14 METODE PENYELESAIAN SENGKETA PERDAGANGAN INTERNASIONAL A.

ARBITRASE. Diunduh dari :

BAB I PENDAHULUAN. khususnya di Indonesia mau tidak mau akan menghadapi situasi baru dalam dunia

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan Berdasarkan uraian dan permasalahan yang dikemukakan pada bab-bab sebelumnya dapat disusun kesimpulan sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN. melalui negosiasi, mediasi, dan arbitrase. Pengertian arbitrase termuat dalam

DESAIN TATA LETAK SIRKUIT TERPADU. Perhatikan desain-desain handphone berikut:

BAB IV PENUTUP. yang dikemukakakan sebelumnya maka Penulis memberikan kesimpulan sebagai

PENYELESAIAN SENGKETA PENANAMAN MODAL ASING DI BALI

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan dunia usaha yang diwarnai dengan semakin. pihak yang terlibat dalam lapangan usaha tersebut, sangat berpotensi

BAB 1 PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia

UNDANG - UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

BAB II PENGATURAN PENYELESAIAN SENGKETA PERBANKAN SYARIAH

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap orang dalam melakukan kehidupan sehari-hari, seringkali tidak pernah lepas dalam melakukan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lex et Societatis, Vol. IV/No. 1/Jan/2016

Oleh: Hengki M. Sibuea *

NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

Bergabungnya Pihak Ketiga Dalam Proses Penyelesaian Sengketa Melalui Arbitrase dan Permasalahan Yang Mungkin Timbul

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 13 Mei Agustus 2013

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB IV PENUTUP. (perkara Nomor: 305/Pdt.G/BANI/ 2014/PNJkt.Utr) adalah sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN. Sejalan dengan berdirinya lembaga-lembaga perekonomian yang menerapkan

BAB II PUTUSAN ARBITRASE INTERNASIONAL DALAM PERSPEKTIF HUKUM INTERNASIONAL DAN HUKUM NASIONAL. A. Batasan-Batasan Putusan Arbitrase Internasional

JURNAL. Peran BPSK (Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen) dalam Menyelesaikan Sengketa Konsumen Melalui Proses Mediasi di Yogyakarta

I. PENDAHULUAN. menimbulkan pengaruh terhadap berkembangnya transaksi-transaksi bisnis yang

Upaya Penyelesaian Sengketa Di Bidang HEI RANAH PUBLIK PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL PADA UMUMNYA 20/05/2017

BAB I PENDAHULUAN. Perlindungan hukum bagi konsumen 1 bertujuan untuk melindungi hak-hak

HPI PEMAKAIAN HUKUM ASING PERTEMUAN XIII, XIV & XV. By Malahayati, SH, LLM

Oleh : Ni Putu Rossica Sari Dewa Nyoman Rai Asmara Putra Nyoman A Martana Bagian Hukum Acara Fakultas Hukum Universitas Udayana

BAB I PENDAHULUAN. Pada masa sekarang ini banyak terjadi sengketa baik dalam kegiatan di

BAB III. Upaya Hukum dan Pelaksanaan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara. oleh Pejabat Tata Usaha Negara

HUKUM PERDAGANGAN BEBAS MULTILATERAL Penyelesaian Sengketa Dagang Melalui Arbitrase

BAB I PENDAHULUAN. Dalam berbagai perjanjian penanaman modal asing, investor asing cenderung memilih

BAB IV ANALISIS DUALISME AKAD PEMBIAYAAN MUD{ARABAH MUQAYYADAH DAN AKIBAT HUKUMNYA

AKIBAT HUKUM PEMBATALAN TERHADAP AKTA PERDAMAIAN (ACTA VAN DADING) OLEH SALAH SATU PIHAK YANG BERPERKARA DI PENGADILAN

BAB I PENDAHULUAN. putusan ini, hubungan antara kedua belah pihak yang berperkara ditetapkan untuk selamalamanya,

BAB I PENDAHULUAN. ke dalam free market dan free competition. Menyadari bahwa hubungan bisnis

BAB I PENDAHULUAN. membuat keseimbangan dari kepentingan-kepentingan tersebut dalam sebuah

KONSEKUENSI HUKUM BAGI SEORANG ARBITER DALAM MEMUTUS SUATU PERKARA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NO. 30 TAHUN 1999

Lex Administratum, Vol. III/No.3/Mei/2015

UPAYA PERLAWANAN HUKUM TERHADAP EKSEKUSI PEMBAYARAN UANG DALAM PERKARA PERDATA (Studi Kasus Pengadilan Negeri Surakarta)

PROBLEMATIKA KEWENANGAN PENGADILAN NEGERI MENJATUHKAN PUTUSAN DALAM SENGKETA BISNIS YANG MEMPUNYAI KLAUSULA ARBITRASE

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Manusia dikodratkan oleh sang pencipta menjadi makhluk sosial yang

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERAMPASAN ASET TINDAK PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB III PENGAKUAN DAN PELAKSANAAN PUTUSAN PENGADILAN ATAU ARBITRASE ASING DI INDONESIA

memperhatikan pula proses pada saat sertipikat hak atas tanah tersebut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

MAKALAH PELAKSANAAN PUTUSAN PENGADILAN DAN ARBITRASE INTERNASIONAL

BAB I PENDAHULUAN. Penyelesaian Sengketa (APS) atau Alternative Dispute Resolution (ADR). 3 Salah satu

BAB I PENDAHULUAN. serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya. Kegiatan usaha

BAB I PENDAHULUAN. Bentuk sengketa beraneka ragam dan memiliki sekian banyak liku-liku yang

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 01 TAHUN 2008 Tentang PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA

BAB III TINJAUAN TEORITIS. Undang-Undang No 9 Tahun 1999 berjudul Undang-Undang tentang Perlindungan

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. di dunia berkembang pesat melalui tahap-tahap pengalaman yang beragam disetiap

PANDUAN WAWANCARA. proses mediasi terhadap perkara perceraian? b. Apa ada kesulitan dalam menerapkan model-model pendekatan agama?

Makalah Peradilan Tata Usaha Negara BAB I PENDAHULUAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB 1 PENDAHULUAN. Tengker, cet. I, (Bandung: CV. Mandar Maju, 2001), hal (Jakarta: Djambatan, 2002), hal. 37.

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia, Bogor, hlm M. Husseyn Umar, 1995, Hukum dan Lembaga Arbitrase di Indonesia, Proyek Pengembangan

BAB V PENUTUP. Dari rangkaian diskusi dalam bab-bab sebelumnya dapat ditarik kesimpulan,

EKSEKUSI TANAH TERHADAP PUTUSAN SERTA MERTA Muhammad Ilyas,SH,MH Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 26/PUU-XV/2017 Pembatalan Putusan Arbitrase

2015, No tidaknya pembuktian sehingga untuk penyelesaian perkara sederhana memerlukan waktu yang lama; d. bahwa Rencana Pembangunan Jangka Mene

dengan hukum atau yang tidak dapat dilaksanakan atau yang memuat iktidak tidak baik (Pasal 17 ayat 3).

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL

BAB I PENDAHULUAN. Ekonomi syariah tengah berkembang secara pesat. Perkembangan

ARBITRASE SEBAGAI LEMBAGA PENYELESAIAN SENGKETA MENURUT UNDANG-UNDANG NO. 30 TAHUN 1999

BAB 1 PENDAHULUAN. sangat penting. Oleh sebab itu banyak pengusaha asing yang berlomba

BAB 4 PEMBAHASAN. Universitas Indonesia. Penundaan eksekusi..., Edward Kennetze, FHUI, 2009

KEWENANGAN PENYELESAIAN SENGKETA KEPAILITAN YANG DALAM PERJANJIANNYA TERCANTUM KLAUSUL ARBITRASE

KEKUATAN HUKUM DARI HASIL MEDIASI DI PENGADILAN

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 19/PUU-XIII/2015

PPHI H. Perburuhan by DR. Agusmidah, SH, M.Hum

KOMPETENSI PENGADILAN NIAGA DALAM MENYELESAIKAN PERKARA KEPAILITAN YANG MEMUAT KLAUSULA ARBITRASE SKRIPSI

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PEMBATALAN STATUS TERSANGKA DALAM PUTUSAN PRAPERADILAN

DIPONEGORO LAW JOURNAL Volume 5, Nomor 3, Tahun 2016 Website :

PEMERIKSAAN GUGATAN SEDERHANA (SMALL CLAIM COURT)

Lex et Societatis, Vol. III/No. 10/Nov/2015

Tulisan ini hendak menjabarkan kewajiban dari PT. Karyajati Megatama (Tiara Grosir) setelah adanya putusan Mahkamah Agung No. 208/K/TUN/2013..

Transkripsi:

PENERAPAN PUTUSAN ARBITRASE INTERNASIONAL DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG DAN HUKUM ACARA DI INDONESIA Lu Sudirman 1 Ritaningtyas 2 This research to determine the application of the decision of the International arbitration in resolving disputes in Indonesia based on Law No. 30 of 1999 on arbitration and dispute resolution as well as procedural law in Indonesia. This research is a juridical normative legal research using comparative law method. Therefore the source of data used was a secondary data source which were gathered with literature review technique. Upon the gathering of the data, such data was processed and analized with analitic qualititative descriptive method, meaning that by grouping of data in accordance to the aspect studied and afterwards the conclusion was drawn and descriptively elaborated. The result conclude that International arbitration decision can be implemented in Indonesia if it is approved by the Chairman of the Central Jakarta District Court. Where the decision of the international arbitration is a dispute in the areas of commercial law and does not violate public order throughout the country Indonesia. Where the law number 30 of 1999 on arbitration and dispute resolution and the Supreme Court Regulation No. 1 of 1990 on procedures of foreign arbitral awards, still leave a gap to the Central Jakarta District Court to reject or annul the decision of international arbitration in Indonesia. With the enactment of Supreme Court Regulation No. 1 of 1990, the Indonesia ratified the New York Convention in 1958 concerning the recognition and enforcement of foreign arbitral award or international arbitration. It is thus an international arbitration ruling can be implemented or cannot be implemented in Indonesia Keywords: Arbitration,Dispute Resolution,International,Procedural Law Indonesia 1 Pengajar Fakultas Hukum Universitas Internasional Batam 2 Mahasiswa Program Studi Ilmu Hukum Universitas Internasional Batam 56

A. Latar Belakang Masalah Seiring dengan makin tumbuhnya keperluan dunia usaha dan kesadaran kalangan praktisi dan pemerintah akan suatu proses penyelesaian sengketa di luar jalur pengadilan, dengan demikian diambil suatu cara sebagai alternatif atau pelengkap terhadap proses penyelesaian sengketa sebagai suatu pola yang dikenal dengan arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Pada tahun 1999, Pemerintah Negara Republik Indonesia dibawah Pemerintahan Presiden BJ Habibie telah mengesahkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Undang-undang tersebut ditujukan untuk mengatur penyelesaian sengketa diluar forum pengadilan, dengan memberikan kemungkinan dan hak bagi para pihak yang bersengketa untuk menyelesaikan persengketaan atau perselisihan atau perbedaan pendapat di antara para pihak, dalam forum yang lebih sesuai dengan maksud para pihak. Dewasa ini, arbitrase merupakan pranata hukum penting dalam menyelesaikan sengketa di luar Pengadilan. Meningkatnya peranan arbitrase bersamaan dengan meningkatnya transaksi perdagangan baik nasional maupun internasional. Arbitrase dipilih oleh para pelaku bisnis antara lain dikarenakan sengketa diperiksa oleh orang-orang yang ahli menguasai masalah-masalah yang disengketakan. Oleh karena itu waktu penyelesaian sengketa relatif cepat, biaya lebih ringan, serta kerahasiaan yang terjamin karena pihak-pihak dapat menyelesaikan sengketa tanpa terpublikasikan dan berpotensi merusak reputasi bisnisnya. Selain hal-hal di atas, arbitrase mempunyai keistimewaan dibanding peradilan, yaitu putusannya yang bersifat final dan mengikat sehingga lebih menghemat waktu dan biaya karena tidak tersedianya upaya hukum seperti banding, kasasi maupun peninjauan kembali yang tentunya sangat melelahkan. Namun sayangnya dalam praktik tidak jarang terjadi para pihak yang berperkara dalam forum arbitrase menemui kekecewaan karena adanya hambatan dalam pelaksanaan eksekusi atau bahkan di batalkan oleh Pengadilan. Hal ini tentu saja mereduksi reliabilitas lembaga arbitrase di Indonesia. Menjadi pertanyaan kemudian apakah kesalahannya ada pada putusan lembaga arbitrase yang tidak berkualitas, atau Pengadilanlah yang berperan sebagai sarana dalam menghambat pelaksanaan eksekusi putusan arbitrase internasional/ asing. Beberapa kasus yang cukup terkenal sehubungan dengan pembatalan pelaksanaan putusan arbitrase internasional di Indonesia ialah perkara antara Karaha Bodas Company dengan PT. Pertamina dan PLN. Kemudian kasus Bankers Trust Company, Bankers Trust International dan 57

PT. BT. Prima Securities Indonesia dengan PT. Mayora Indah Tbk. Begitupula kasus antara Pertamina dan Pertamina E.P dengan PT. Lirik Petroleum.Berdasarkan pemaparan diatas, fenomena pembatalan putusan arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa oleh Pengadilan menjadi hal yang menarik untuk ditelaah. Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, penelitian ini fokus pada rumusan permasalahan:(1)bagaimana jaminan kepastian hukum terhadap putusan arbitrase internasional yang akan didaftarkan atau dilaksanakan di Indonesia;(2)Apa hambatan dalam pelaksanaan putusan arbitrase internasional di Indonesia. B. METODE PENELITIAN Penulis menggunakan metode penelitian hukum normatif dengan menggunakan pendekatan konseptual terhadap konseptual peraturan perundangundangan maupun kaidah-kaidah hukum lainnya baik hukum tidak tertulis (living law) maupun hukum tertulis seperto hukum acara perdata di Indonesia (HIR, RBg, Rv) dan Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. 3 Dalam penelitian ini Penulis melakukan pengkajian dengan menggunakan data sekunder yang diperoleh dari Peraturan Perundang-undangan yang mengatur tentang penerapan putusan arbitrase internasional/ asing di Indonesia. Jenis Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data sekunder adalah data yang diperoleh dari buku, peraturan perundang-undangan, laporan jurnal, dan sebagainya. Data sekunder yang digunakan penulis dalam penelitian ini dapat dibedakan menjadi beberapa macam, antara lain: Pertama, Bahan Hukum Primer, yaitu bahan hukum yang mengikat, seperti Undang-undang Republik Indonesia 1945, Kitab Undang-undang Hukum Acara Perdata, Undangundang nomor 48 tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman, Undang- Undang nomor 30 tahun 1999 tentang arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Peraturan Mahkamah Agung nomor 1 tahun 1990 tentang tata cara pelaksanaan putusan arbitrase asing di Indonesia, Keputusan Presiden nomor 34 tahun 1981 tentang Negara Indonesia yang meratifikasi konvensi New York tahun 1958 dan Konvensi New York tahun 1958. Kedua, Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan hukum yang mendukung dan memperkuat bahan hukum primer, misalnya Jurnal Hukum, Buku, laporan penelitian atau hasil karya ilmiah dari kalangan hukum, internet dan pendapat para ahli yang berkompeten dengan penelitian ini. Ketiga, Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan hukum yang merupakan pelengkap yang sifatnya memberikan petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer 3 Peter Mahmud Marzuki. Penelitian Hukum, Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2013,cet.8, Edisi Revisi, hal 47,hal 55,hal56 58

dan bahan hukum sekunder, misalnya kamus hukum, kamus besar Bahasa Indonesia, kamus Bahasa Inggris, dan sebagainya. 4 Dalam penelitian ini, Penulis menggunakan teknik analisis data deskriptifkualitatif. Pengumpulan data dilakukan dengan menghimpun data sekunder dari Peraturan Perundang-undangan yang mengatur tentang penerapan putusan arbitrase internasional/ arbitrase asing di Indonesia untuk kemudian diolah dan dianlisis secara kualitatif-deskriptif. 5 C.Hasil Penelitian Dan Pembahasan 1. Jaminan kepastian hukum terhadap putusan arbitrase internasional/ asing yang akan didaftarkan atau dilaksanakan di Idonesia. Arbitrase merupakan suatu metode penyelesaian sengketa yang sering juga disebut dengan pengadilan wasit. Hal demikian karena arbiter dalam persidangan arbitrase memang berfungsi selayaknya seorang wasit (referee). 6 Dalam Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering disingkat BRv atau Rv dikenal istilah Arbritrage (bahasa Belanda) yang dalam bahasa inggris dijumbuhkan dengan istilah arbitration, yang berarti the submission for determination of disputted matter to privat unofficial persons selected in manner provided by law or agreement. 7 Sementara itu, Undang-Undang Arbitrase Nomor 30 Tahun 1999 mengatur bagaimana jika suatu putusan arbitrase internasional dieksekusi di Indonesia, di mana beberapa ketentuan pokok perihal eksekusi merujuk pada Keppres No. 34 tahun 1981 mengenai ratifikasi Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbital Award atau yang dikenal dengan New York Convention 1958. Konvensi terserbut merupakan pembaharuan aturan mengenai pelaksanaan putusan Arbitrase Asing yang menggantikan Konvensi Jenewa tahun 1927. Sejak keluarnya Keppres No. 34 tahun 1981 sebenarnya hakim-hakim Indonesia telah terikat untuk melaksanakan putusan Arbitrase luar negeri yang dikualifikasikan dapat dijalankan (enforceble) sepanjang putusan arbitrase itu dibuat dinegara yang juga meratifikasi New York Conventiuon. Namun sayangnya belum ada keseragaman dalam praktik mengenai bagaimana tata cara pelaksanaan putusan arbitrase asing itu di Indonesia. Untuk mengatasi persoalan tersebut 4 peter mahmud Marzuki, edisi revisi, hal.195 5 Ibid hlm 4 6 Akhmad Ichsan, Kompendium Tentang Arbitrase Perdagangan Internasional(Luar Negeri), 1992, Jakarta : Pradnya Paramita, hal.10 7 Munir Fuady, Arbitrase Nasional (Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis),2000, Bandung : Citra Aditya Bakti 59

Mahkamah Agung mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 1 tahun 1990 tentang Tata Cara Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing. 8 Undangundang nomor 30 tahun 1999 mengatur pula bagaimana pelaksanaan putusan arbitrase internasional/asing di Indonesia sesuai dengan pasal 65 sampai dengan 69 dimana dalam ketentuan penutupnya disebutkan bahwa keseluruhan ketentuan arbitrase dalam Rv dinyatakan tidak berlaku lagi (Pasal 81 Undang- Undang Nomor 30 Tahun 1999). 9 Undang-undang tersebut memberikan wewenang kepada pengadilan negeri Jakarta Pusat untuk melaksanakan putusan arbitrase internasional/ asing di Indonesia. Akan tetapi tidak semua putusan arbitrase asing dapat dieksekusi di Indonesia. Putusan tersebut baru dapat dieksekusi apabila memenuhi syarat-syarat yang ada dalam Pasal 66 Undang-Undang Arbitrase Nomor 30 Tahun 1999, yaitu : Pertama, Putusan arbitrase asing dikeluarkan oleh lembaga arbitrase dari negara yang terikat perjanjian baik secara bilateral maupun multilateral dengan negara Indonesia. Ini berarti asas reciprosity (asas kesetimpalan) berlaku. Resiprositas merupakan asas yang menyatakan bahwa putusan negara dimana arbitrase berasal harus pula dapat melaksanakan putusan arbitrase asing bila arbitrase tersebut berkedudukan di Indonesia. Kedua, Hanya terbatas pada putusan yang menurut hukum Indonesia termasuk dalam ruang lingkup hukum perdagangan (perniagaan, perbankan, keuangan, penanaman modal, industri, HAKI). Hal ini terdapat dalam penjelasan Pasal 66 UndangUndang Arbitrase Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Ketiga, Tidak bertentangan dengan ketertiban umum menurut hukum Indonesia. Keempat, Memperoleh eksekutur dari Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Kelima, Jika menyangkut Negara Republik Indonesia sebagai salah satu pihak dalam sengketa, hanya dapat dilaksanakan setelah memperoleh eksekuatur dari Mahkamah Agung Republik Indonesia yang selanjutnya dilimpahkan kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Pelaksanaan eksekusi putusan arbitrase asing ada di tangan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan tidak diberikan kepada Pengadilan Negeri lain (Pasal 1 Perma Nomor 1 Tahun 1990). Hal ini berarti secara formal Pasal 195 dan Pasal 197 HIR telah memberikan kewenangan kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Tata cara pelaksanaan eksekusi putusan arbitrase asing terdapat dalam Pasal 69 UndangUndang Arbitrase Nomor 30 Tahun 1999 dan berlaku ketentuan-ketentuan tentang pelaksanaan eksekusi dalam hukum acara perdata yang umum. Sehingga di 8 Peraturan Mahkamah Agung nomor 1 tahun 1990 9 Undang-undang nomor 30 tahun 1999 60

Indonesia tata cara pelaksanaan eksekusinya mengikuti ketentuan yang diatur dalam Pasal 195 sampai dengan Pasal 224 HIR atau Pasal 206 sampai dengan Pasal 225 Rbg. 10 Terhadap putusan arbitrase internasional/asing yang telah mendapat eksekutor dari pengadilan negeri Jakara Pusat, tidak dapat dilakukan upaya hukum apapun baik banding,kasasi maupun peninjauan kembali. Kemudian terhadap putusan arbitrase internasional/ asing yg ditolak oleh pengadilan negeri Jakarta Pusat, maka salah satu pihak dapat mengajukan upaya hukum kasasi ke Mahkamah Agung Republik Indonesia. Terhadap putusan pelaksanaan atau menolak pelaksanaan putusan arbitrase oleh Mahkamah Agung (dalam hal negara terlibat sebagai salah satu pihak dalam sengketa tersebut), baik yang menerima atau yang menolak eksekusi, tidak tersedia upaya hukum apapun termasuk upaya perlawanan atau Peninjauan Kembali (PK). Selain upaya hukum tersebut, terdapat upaya hukum perlawanan yaitu upaya hukum pembatalan putusan arbitrase internasional/ asing sesuai dengan Undang-undang nomor 30 tahun 1999 pasa 70, yaitu apabila putusan tersebut diputuskan dari hasil tipu muslihat, terdapat dokumen yang bersifat menentukan di sembunyikan, dan terdapat dokumen yang bersifat menentukan yang di palsukan. Permohonan pembatalan putusan arbitrase harus diajukan secara tertulis dalam tenggang waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak hari penyerahan dan pendaftaran putusan arbitrase kepada panitera pengadilan negeri. Dalam waktu 30 (tiga puluh) hari sejak permohonan pembatalan diterima di Pengadilan, Ketua Pengadilan Negeri sudah menetapkan putusannya. Apabila salah satu pihak merasa dirugikan atas putusan tersebut dapat mengajukan permohonan kasasi ke Mahkamah Agung paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah permohonan kasasi tersebut diterima oleh Mahkamah Agung. Putusan tersebut merupakan putusan dalam tingkat pertama dan terakhir. 2. Hambatan-Hambatan Dalam Pelaksanaan Keputusan Arbitrase Internasional/ Asing Di Indonesia. Hukum adalah lembaga yang melakukan pengaturan masyarakat dan karena itu berkaitan dengan perilaku anggota masyarakat. Mengatur tidak untuk sendiri, melainkan berinteraksi dengan masyarakat dan perilaku anggota masyarakat. Di Indonesia sendiri aturan mengenai arbitrase sudah diatur dalam Undang-Undang Arbitrase Nomor 30 Tahun 1999. Namun ketentuan yang baik tersebut belum tentu dapat direalisasikan secara sempurna dalam praktek, sehubungan dengan adanya beberapa permasalahan yang berkaitan dengan kondisi hukum di Indonesia maupun persyaratan-persyaratan tertentu yang harus dipenuhi oleh negara dimana keputusan 10 Fakhriah, Efa Laela. Perbandingan HIR dan RBG Sebagai Hukum Acara Perdata Positif D Indonesia, (Bandung:CV.Keni Media, 2015), Hal.99 61

tersebut ditetapkan. Sehingga pelaksanaan atau eksekusi putusan arbitrase asing di Indonesia masih banyak memiliki hambatan. Hambatan-hambatan tersebut antara lain: Pertama, Peranan lembaga peradilan formal yang masih sangat dominan. Di Indonesia lembaga peradilan formal masih sangat besar pengaruhnya, dimana eksekusi keputusan lembaga arbitrase asing harus melalui pengadilan negeri. Eksekusi keputusan lembaga arbitrase asing yang harus melalui pengadilan negeri sering kali menjadi suatu masalah yang menakutkan bagi pihak pemenang, karena disini akan mulai ditemukan lagi kesulitan dari pengajuan perkara melalui saluran pengadilan negeri. Dimana untuk memulai eksekusi harus dimulai dengan dilakukanya peneguran, dan setelah 8 hari peneguran ini seharusnya ditindak lanjuti dengan sitaan dan kemudian lelang dihadapan kantor lelang setempat dari aset pihak yang dikalahkan. Tetapi, disini timbul kemungkinan untuk masuknya berbagai pihak, baik pihak yang harus melaksanakan eksekusi maupun pihak ketiga yang mempunyai kepentingan dan dapat menyanggah segala sesuatu yang telah didasarkan atas putusan pnetapan perintah eksekusi tersebut. Kedua, Kompetensi Pengadilan, Pengadilan yang berwenang menangani masalah pengakuan dan eksekusi putusan arbitrase asing, menurut Pasal 65 UndangUndang Arbitrase Nomor 30 Tahun 1999 menjadi kompetensi Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Ketentuan ini tentunya memberatkan apabila kepentingan eksekusi yang berada diluar wilayah pulau Jawa. Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman mengamanatkan agar peradilan di Indonesia dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan. Namun kenyataannya berperkara di pengadilan bisa memakan waktu yang sangat lama karena prosesnya sangat panjang (banding, kasasi, PK) dan menumpuknya perkara di tingkat banding dan kasasi. Akibatnya biaya berperkara menjadi sangat tinggi. Proses penyelesaian yang berlarut-larut dan mahal menimbulkan risiko bagi masyarakat karena ada inefisiensi waktu dan biaya serta ada sebagian usaha/kegiatan menjadi terhalang untuk dikerjakan hingga kasusnya selesai. Di samping itu, proses beracara di pengadilan terasa sangat kompleks dan kaku. Ketiga, Adanya perjanjian bilateral dan multilateral dengan Indonesia (Asas Timbal Balik). Hal ini merupakan salah satu syarat agar putusan arbitrase asing dapat dakui atau dilaksanakan di wilayah Indonesia. Ketentuan ini berarti putusan arbitrase hanya dapat dieksekusi di Indonesia sepanjang adanya perjanjian bilateral antara negara tempat dikeluarkannya putusan arbitrase dan Indonesia. Hal ini berkaitan dengan Asas Timbal balik yang dikenal dalam Hukum Internasional, dimana tindakan-tindakan yang dilakukan suatu negara terhadap negara lain akan memperoleh balasan yang serupa dari negara lain secara bertimbal balik. Menjadi permasalahan bagaimana apabila putusan arbitrase itu dibuat di negara asing yang sama-sama menandatangani Konvensi New York 1958 62

tetapi tidak memiliki perjanjian bilateral atau bahkan hubungan bilateral dengan Indonesia. Keempat, Tumpang tindih peraturan. Pada saat berlakunya Undang- Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, ketentuan-ketentuan mengenai arbitrase sebagaimana yang diatur dalam Pasal 615 sampai dengan Pasal 651 Rv, Pasal 377 HIR, dan Pasal 705 Rbg, dinyatakan tidak berlaku lagi. Undang-Undang Arbitrase Nomor 30 Tahun 1999 berusaha mengatur semua aspek baik hukum acara maupun substansinya, serta ruang lingkupnya yang meliputi aspek arbitrase nasional dan internasional. Materi Undang-Undang Arbitrase Nomor 30 Tahun 1999 juga menimbulkan persoalan, misalnya tidak ada ketentuan mengenai jangka waktu bagi pendaftaran putusan arbitrase internasional di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Undang-Undang Arbitrase Nomor 30 Tahun 1999 mengatur bagaimana jika suatu putusan arbitrase internasional dieksekusi di Indonesia, di mana beberapa ketentuan pokok pengaturan oleh Undang-Undang Arbitrase Nomor 30 Tahun 1999 yang berhubungan dengan eksekusi terhadap suatu putusan dari arbitrase Dikeluarkannya Keppres Nomor 34 tahun 1981 yang mengesahkan Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbital Award atau yang dikenal dengan New York Convention 1958. Kelima,Tidak ada keinginan secara sukarela untuk melaksanakan putusan arbitrase asing dari pihak yang kalah. Pihak yang kalah dalam putusan arbitrase asing tidak menerima dan melaksanakan putusan secara sukarela. Padahal putusan arbitrase asing bersifat final dan binding dan biasanya bersifat winlose solution. Jadi, salah satu pihak pasti ada yang menang dan ada yang kalah. Akibatnya tidak jarang pihak yang dikalahkan enggan melaksanakan putusan arbitrase tersebut secara sukarela. Apabila kondisinya demikian, tentunya pengadilan memiliki peran yang sangat krusial untuk memastikan putusan arbitrase dapat dilaksanakan. Ketentuan yang terlalu merestriksi pelaksanaan eksekusi putusan arbitrase asing sebagaimana ditentukan dalam New York Convention tentunya telah mereduksi jaminan kepastian tersebut. Keenam, Bertentangan dengan ketertiban umum. Putusan Arbitrase asing yang dilaksanakan di Indonesia pada umumnya terganjal dalam masalah eksekusinya atau pelaksanaannya yang tidak memenuhi syarat dapat dilaksanakannya putusan arbitrase asing di Indonesia. Putusan arbitrase yang tidak dapat dieksekusi dikarenakan alasan bertentangan dengan ketertiban umum. Ketertiban umum dijadikan dalih untuk menolak permohonan arbitrase. Ketertiban umum sendiri adalah suatu sendi-sendi dan nilai-nilai asasi dari hukum dan kepentingan nasional suatu negara namun memiliki tafsir yang bias. Ada beberapa perkara menarik yang menunjukkan bagaimana sulitnya menjaga konsistensi pelaksanaan putusan arbitrase internasional/ asing di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan Mahkamah Agung antara lain : a. Kasus antara pertamina dan PLN dengan Karaha Bodas Company 63

Masalah KBC bermula dengan adanya niat Pertamina dan KBC untuk melaksanakan proyek pembangunan pembangkit tenaga listrik yang berasal dari panas bumi (geothernal). Niat ini dituangkan kedua belah pihak dalam Joint Operation Contract (JOC). Tenaga listrik yang dihasilkan rencananya akan dijual ke Perusahaan Listrik Negara (PLN) berdasarkan Energy Sales Contract (ESC). Proyek ini mengalami persoalan saat Indonesia mengalami krisis moneter tahun 1997. Pada waktu itu berdasarkan keputusan presiden (keppres) Nomor 5 Tahun 1998, pemerintah memutuskan membatalkan proyek Karaha Bodas. Pada tahun 1999 proyek yang terbengkalai mulai dimasalahkan KBC. KBC yang tidak mempercayai pengadilan Indonesia untuk menyelesaikan sengketa bisnisnya dengan Pertamina, dan karena itulah klausul arbitrasenya memilih arbitrase internasional. Ini adalah pilihan kontraktual yang seharusnya dihormati dan, karenanya, siapa pun yang memilih arbitrase jangan menganggap remeh apalagi mengabaikan proses arbitrase itu. Konon, Pertamina agak mengabaikan proses arbitrase tersebut karena terlambat menunjuk arbitrator sehingga penunjukan arbitrator itu dilakukan oleh lembaga arbitrase internasional tersebut. Dalam perjalanannya, mungkin Pertamina tak sepenuhnya siap dalam pertarungan arbitrase tersebut. Padahal sebetulnya Pertamina mempunyai alasan yang cukup kuat untuk memenangi arbitrase, setidaknya untuk mendapatkan putusan yang sifatnya win-win solution. Berdasaran uraian kasus diatas, dapat dicermati mengenai penerapan Lex Arbitri. Lex arbitri merupakan suatu cara dalam penyelesaian sengketa hukum perdata internasional, dimana kedua belah pihak merupakan subjek hukum internasional dan telah membuat perjanjian yang didalamnya terdapat klausul arbitrase.yang jadi pertanyaan, untuk perkara Pertamina melawan Karaha Bodas, apakah pengadilan Indonesia berwenang untuk membatalkan putusan arbitrase Jenewa? Untuk menjawabnya, harus dilihat kembali mengenai lex arbitri (hukum dari negara tempat arbitrase diselenggarakan). Lex Arbitri nantinya akan menentukan apakah terhadap putusan arbitrase dapat diajukan keberatan atau pembatalan atau eksaminasi ulang terhadap pokok sengketa. Meski perjanjian yang menjadi pokok sengketa dibuat berdasarkan hukum Indonesia, karena kedua belah pihak sepakat memilih Jenewa sebagai tempat arbitrase, otomatis yang menjadi lex arbitri adalah hukum Swiss. Oleh karena putusan arbitrase Jenewa Swiss telah di batalkan melalui pengadilan negeri jakarta pusat maka pihak Karaha Bodas mengajukan upaya hukum banding melalui Mahkamah Agung. Kemudian dikeluarkan putusan Mahkamah Agung nomor 01/ Banding/ Wasit. Int/ 64

2002 pada tanggal 8 Maret 2004 yang menyatakan mengabulkan permohonan banding dari pihak karaha bodas dan membatalkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang pada pokoknya menyatakan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak berwenang untuk memeriksa dan memutus gugatan penggugat (Pertamina). Setelah putusan tersebut disampaikan kepada masing-masing pihak sesuai dengan tata cara dan prosedur penyampaian putusan, pihak yang dikalahkan yaitu PT. Pertamina mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali melalui Mahkamah Agung. Dimana pihak pertamina menyatakan bahwa Pengadilan Federal Swiss tidak pernah memeriksa pokok perkara pembatalan putusan arbitrase yang diajukan oleh Pertamina ke Pengadilan Federal Swiss, dan pihak Karaha Bodas Company telah menyembunyikan dokumen polis asuransi yang bersifat menentukan. Dalam pertimbangan hukumnya, Mahkamah Agung dalam putusan nomor 444 PK/ Pdt/ 2007 menyimpulkan bahwa tata cara pembatalan putusan arbitrase tunduk pada hukum acara dimana putusan tersebut diajukan. Mengingat pengadilan swiss tidak memeriksa pokok perkara maka dengan sendirinya pengadilan Indonesia yang berwenang. Adapun mengenai bukti baru yang diajukan dinilai tidak memenuhi persyaratan sebagaimana ditentukan pasal 72 ayat (4) Undang-undang nomor 30 tahun 1999. Dengan demikian Mahkamah Agung memutuskan menolak permohonan Peninjauan Kembali yang diajukan oleh pihak PT. Pertamina dan menghukum pihak pemohon Peninjauan kembali untuk membayar biaya perkara. b. Kasus Bankers Trust Company, Bankers Trust International dan PT. BT. Prima Securities Indonesia dengan PT. Mayora Indah Tbk Pihak pemohon adalah Bankers Trust Company, Bankers Trust International dan PT. BT. Prima Securities Indonesia. melawan termohon PT. Mayora Indah Tbk. Dalam kasus Bankers Trust Company bersama Bankers Trust International PLC (BT) melawan PT Mayora Indah Tbk (Mayora), Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memutuskan untuk menerima gugatan Mayora (walaupun ada klausul arbitrase didalamnya) melalui putusan No.46/Pdt.G/1999 tanggal 9 Desember 1999. Penolakan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam hal pengakuan dan eksekusi putusan arbitrase London tersebut ditindaklanjuti dengan keluarnya deponir di kepaniteraan PN Jakarta Pusat tanggal 14 Desember 1999. Selanjutnya Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam putusan No.001 dan 65

002/Pdt/Arb.Int/1999/PN.JKT.PST juncto 02 /Pdt.P /2000 /PNJKT. PST, tanggal 3 Februari 2000, menolak permohonan BT untuk melakukan eksekusi atas putusan Arbitrase London, dengan alasan pelanggaran ketertiban umum, pelanggaran ketertiban umum yang dimaksud adalah bahwa perkara tersebut masih dalam proses peradilan dan belum memiliki kekuatan hukum tetap. Karena penolakan permohonan eksekusi tersebut maka Pemohon mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung pada tanggal 14 Maret 2000 tapi sampai batas waktu yang ditentukan Undang-Undang(90 hari) ternyata tidak dapat dipenuhi. Perkara kasasi tersebut baru diputus tanggal 5 September 2000 melalui Putusan Mahkamah Agung No.02K/Ex r/arb.int /Pdt /2000 yang pada pokoknya menguatkan putusan Pengadilan Negeri bahwa permohonan eksekusi tersebut melanggar ketertiban umum. Putusan Pengadilan Negeri dan Mahkamah Agung tersebut patut dikritisi karena menurut pasal 3 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase, Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase. Mengingat adanya klausul arbitrase menyebabkan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tidak berwenang mengadili perkara tersebut. Adapun para pihak hanya dapat mengajukan sengketa ke lembaga arbitrase yang sudah ditunjuk dalam perjanjian tersebut. Adapun putusan yang dikeluarkan sejatinya adalah putusan yang bersifat final and binding. c. Kasus Pertamina dan Pertamina EP dengan PT. Lirik Petroleum PT. Lirik Petroleum adalah mitra Pertamina dalam pengelolaan lapangan Lirik lewat mekanisme badan operasi bersama atau join operating body (JOB) pada tahun 1995. Kasus ini berawal pada tahun 1995-1996 yang pada waktu itu Pertamina, selain bertindak sebagai pemain, juga sebagai Regulator (yang setelah keluarnya UU 20/2001 tentang Migas hingga saat ini dilakukan oleh BP Migas). Pada saat itu PT. Lirik Petroleum mengajukan rencana pengembangan (Plan of Development/POD) kepada Pertamina terhadap 4 lapangan minyak, yaitu North Pulai, South Pulai, Molek, dan Lirik. Dari keempat lapangan minyak tersebut, hanya Lirik yang menurut penilaian Pertamina komersial. Penentuan komersialitas ini perlu karena nantinya Pemerintah yang akan membayar cost recovery terhadap PT. Lirik Petroleum. Merasa dirugikan, PT. Lirik Petroleum mengajukan gugatan untuk meminta ganti kerugian karena hanya satu lapangan minyak yang disetujui oleh Pertamina ke arbitrase ICC di Paris, Perancis. Pemilihan ICC sebagai forum penyelesaian sengketa sesuai dengan klausul dalam kontrak. Proses pelaksanaan arbitrase pertama dan kedua dilaksanakan di Jakarta, dan yang ketiga dan selanjutnya 66

dilaksanakan secara teleconference dan putusan arbitrasenya sendiri dilaksanakan oleh ICC yang berkedudukan di Paris. Terhadap putusan ICC tersebut pihak yang dikalahlan kemudian mengajukan pembatalanputusan arbitrase kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Dalam memori Peninjauan Kembali Mahkamah Agung nomor 56 PK/ PDT.SUS/2011 dijelaskan duduk perkara, tuntutan para pihak dan amar putusan mulai dari upaya hukum pembatalan putusan melalui Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, kasasi hingga peninjauan kembali di Mahkamah Agung. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mengeluarkan putusan sela yang dikuatkan kembali dalam putusan akhir nomor 01/Pembatalan Arbitrase/2009/PN-JKT.PST. yang pada pokoknya menolak permohonan pembatalan putusan arbitrase ICC di Paris. Ditingkat banding, Pengadilan Tinggi Jakarta melalui putusan No. 513/PDT/ 2010/PT.DKI mengabulkan permohonan pemohon(pt. Pertamina EP dan Pertamina Persero) sekaligus membatalkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Dalam pertimbangan hukumnya, Pengadilan Tinggi berpendapat bahwa putusan arbitrase nomor 14387/ JB/ JEM bertentangan dengan ketertiban umum dan mendegradisinya menjadi putusan arbitrase domestik/nasional. Selain itu secara formil Pengadilan Tinggi juga menyimpulkan bahwa putusan tersebut telah kehilangan kekuatan eksekutorialnya mengingat pendaftaran putusan arbitrase tersebut telah melampaui batas waktu yang ditentukan dalam pasal 59 UU nomor 30 tahun 1999. Oleh sebab itu, permohanan tersebut sudah saharusnya ditolak oleh kepaniteraan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Pada tingkat kasasi, PT.Lirik selaku pemohon dimenangkan Mahkamah Agung dimana MA berpendapat bahwa hakim Pengadilan Tinggi telah keliru dalam menerapkan hukum sehubungan dengan pembatalan putusan arbitrase. Selanjutnya PT. Pertamina EP dan PT.Pertamina (Persero) mengajukan Peninjauan Kembali. Dalam putusannya Mahkamah Agung kembali menolak permohanan pemohon PK(Pertamina) dengan alasan permohonan tersebut tidak dapat dibenarkan sesuai dengan undangundang nomor 30 tahun 1999 tentang arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa sehingga sudah seharusnya ditolak. D. Kesimpulan Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan lakukan, maka dapat dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut : 1. Putusan arbitrase internasional/ arbitrase asing dapat dilaksanakan di Indonesia melalui Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Putusan arbitrase dapat dilaksanakan melalui Pengadilan Negeri Jakarta Pusat apabila memenuhi 67

persyaratan sesuai dengan pasal 66 Undang-undang nomor 30 tahun 1999. Terhadap putusan yang dihasilkan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tentang pelaksanaan/ eksekusi putusan arbitrase internasional/ asing dapat dilanjutkan dengan upaya hukum yaitu : Apabila putusan Pengadilan Negeri memutuskan bahwa putusan arbitrase internasional tersebut diakui dan dapat dilaksanakan, maka tidak terdapat upaya hukum lagi baik upaya hukum banding maupun kasasi. 2. Pelaksanaan/ eksekusi putusan arbitrase internasional/ asing di Indonesia masih mengalami beberapa hambatan, sehingga pelaksanaan putusan arbitrase tersebut memakan waktu yang cukup lama. Hambatan tersebut diantaranya disebabkan keengganan para pihak untuk melaksanakan putusan secara sukarela serta adanya gugatan permohonan pembatalan putusan arbitrase di Pengadilan Negeri. Daftar Pustaka Buku- buku : Akhmad Ichsan, Kompendium Tentang Arbitrase Perdagangan Internasional(Luar Negeri), 1992, Jakarta : Pradnya Paramita, hal.10 Fakhriah, Efa Laela. Perbandingan HIR dan RBG Sebagai Hukum Acara Perdata Positif D Indonesia, (Bandung:CV.Keni Media, 2015), Hal.99 Munir Fuady, Arbitrase Nasional (Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis),2000, Bandung : Citra Aditya Bakti Peter Mahmud Marzuki. Penelitian Hukum, Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2013,cet.8, Edisi Revisi, hal 47,hal 55,hal 56 Undang-undang: Kitab Undang- undang Hukum Acara Perdata (HIR, RBg, dan Rv) Undang-undang nomor 30 tahun 1999 tentang arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa Peraturan Mahkamah Agung nomor 1 tahun 1990 tentang tata cara pelaksanaan putusan arbitrase asing 68