PERAN PERENCANAAN TATA RUANG DALAM PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM INDRA BUDIMAN SYAMWIL 1 Spatial Planning Specialist November, 2003 Tata Ruang di Indonesia merupakan produk Sistem Tata Ruang Nasional yang sangat diarahkan oleh model perencanaan yang hirarkis terpusat. Sistem ini didasarkan pada konsep pembangunan yang berimbang di antara wilayah-wilayah dalam kerangka pemikiran bahwa pendapatan nasional akan didistribsikan sesuai dengan strategi pemerintah pusat untuk mengedepankan pembangunan sosial-ekonomi yang berimbang ke seluruh wilayah nasional. Dasar hukum untuk sistem perencanaan tata ruang ini adalah Ung-ung No. 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang. Rencana Tata Ruang mengakomodasikan alokasi penggunaan ruang dalam satuan wilayah administratif pada tataran geografis berdasarkan pada fungsi keberadaan/kontribusi sumber daya yang ada, seperti kawasan lindung/non-budidaya, kawasan budidaya, kawasan perkotaan perdesaan. Rencana tata ruang digunakan sebagai arahan pembangunan fisik, seperti pembangunan infrastruktur pada kawasan perkotaan perdesaan. Di antara perangkat perencanaan dari beberapa dinas yang ada, Rencana Tata Ruang dipersiapkan sebagai perencanaan yang komprehensif umum, yang diharapkan dapat mempertimbangkan mengintegrasikan seluruh permasalahan lintas batas lintas sektoral yang berkaitan dengan penyediaan kebutuhan lahan untuk program pembangunan sektoral. Rencana Tata Ruang saat ini memiliki karateristik sebagai berikut : Komprehensif, menyeluruh menggarisbawahi masalah penting saja yang memberikan arahan pada alokasi pemnggunaan ruang untuk kegiatan pembangunan. Lintas sektoral, mengakomodasikan rencana-rencana khusus dari berbagai sector, termasuk konservasi sumber daya alam. hirarkis 2, masalah lintas batas administraif biasanya diselesaikan dengan pendekatan hirarkis, tingkat pemerintahan yang lebih tinggi akan menyelesaikan pemasalahan antar wilayah di bawahnya. Batas administrasi, berdasarkan batas-batas administrasi wilayah Konservasi Sumber Daya Alam 3, mengakomodasi kawasan lindung sumber daya alam di dalam rencananya 1 2 3 Ketua KBK Lingkungan Binaan, Departemen Arsitektur, Institut Teknologi Bandung, PhD. Referensi system hirarki ini dimulai dari Rencana Tata Ruang Nasional (RTRN) sebagai referensi tertinggi untuk Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi. Pada tingkat propinsi, rencana tata ruang disiapkan sebagai referensi/acuan untuk rencana tata ruang yang lebih rendah: tingkat kabupaten/kota. Pada sistem ini Rencana Tata Ruang Wilayah () Propinsi merupakan acuan untuk Kabupaten/Kota dalam propinsi yang bersangkutan. Menurut PP No.47 Tahun 1997 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, kawasan lindung meliputi: 1. Kawasan yang memberikan perlindungan kawasan bawahannya; 2. Kawasan perlindungan setempat; 3. Kawasan suaka alam; 4. Kawasan pelestarian alam; 5. Kawasan cagar budaya; 6. Kawasan rawan bencana alam; 7. Kawasan lindung lainnya. 1
Normatif, dimaksudkan untuk memformulasikan peraturan-peraturan daerah sehingga isi metoda analisis terstruktur menyeluruh. Dasar pendekatan batas administratif berjenjang/hirakis dalam sistem perencanaan tata ruang relative cocok untuk mengakomodasi issue desentralisasi otonomi daerah. Kelemahan/kekurangan sistem perencanaan tata ruang yang ada selama ini dalam konteks pengelolaan sumber daya alam antara lain adalah: Top down, dimana prosedur penyusunan sudah distandarisasi serta waktu penyiapannya yang sangat pendek serta sasaran yang telah ditentukan untuk perencanaan yang komprehensif. Tidak tersedia waktu yang cukup untuk melibatkan pihak-pihak terkait (stakeholders) dalam proses penyiapan rencana tata ruang. Tidak ada fokus yang jelas, prosedur, proses, serta sasaran yang sudah standar komprehensif menjadikan rencana tata ruang memiliki kelemahan dalam rencana strategis yang merefleksikan karakter serta kondisi khusus wilayah yang bersangkutan. Orientasi pada pertumbuhan, rencana tata ruang lebih mengakomodasikan rencana kegiatan pembangunan pemerintah dengan sasaran pertumbuhan kegiatan perekonomian pendapatan daerah. Kurangnya penelitian yang intensif, penyusunan tata ruang seringkali berbasis proyek sehingga yang didasarkan kepada data sekunder atau penelitian yang dibuat dalam kerangka yang terlalu umum, sehingga multiplier effect eksternalitas rencana pembangunan yang memberikan tekanan pada kelestarian sumber daya alam kurang didalami dengan baik. Masalah lintas batas administratif, pendekatan prencanaan yang berjenjang masih mengasumsikan bahwa ekonomi ruang terstruktur dalam hirarki administratif, sementara dalam kenyataannya ekonomi ruang tidak memiliki batas-batas admnistraif. Pertumbuhan lintas batas administratif dapat memberikan tekanan pada konservasi sumber daya alam dalam wilayah yang lain. Ung-ung No. 24 Tahun 1922 sesungguhnya telah mengilhami sistem perencanaa berjenjang desentralisasi. Hal ini jelas dinyatakan dalam UU No. 22/1992 bahwa Rencana Tata Ruang Nasional meliputi arahan dalam penggunaan lahan untuk konservasi sumber daya alam kawasan budi daya, termasuk juga jaringan infrastruktur nasional. Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi menetapkan ruang-ruang tersebut lebih detil pada tingkat propinsi sementara Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota menetapkan alokasi penggunaan lahan tersebut pada tingkat Kabupaten/Kota. Ung-ung No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat Daerah memberikan implikasi pada peningkatan bagian a pembangunan bagi daerah yang memiliki sumber daya alam melimpah. Hal ini menimbulkan efek bandwagon pada keinginan membangun di daerah yang secepatnya tidak terkendali serta memperbesar rasa ego wilyah dalam tatanan hirarki system pemerintahan, terutama pada wilayah-wlyah dengan tingkat pertumbuhan yang tinggi. Implikasi dari kebijakan ini adalah bahwa hal ini akan memberikan peningkatan volume frekuensi kegiatan pembangunan pada tingkat Kabupaten/Kota untuk melaksanakan beban tugas yang sebelumnya tidak pernah dikelola sendiri. Keadaan ini 2
selanjutnya akan memberikan tekanan-tekanan pada upaya konservasi serta pemanfaatan sumber daya alam yang ada. Semangat desentralisasi seringkali diinterpretasikan secara kurang tepat sebagai pengalihan kewenangan sepenuhnya ke Kabupaten/Kota dalam hal koordinsasi penyiapan rencana tata ruang. Akibat dari kebijakan ini adalah diabaikannya peran Pemerintah Propinsi, lemahnya koordinasi antara Kabupaten/Kota dalam mengelola rencana tata ruang yang terintegrasi. Aya bentuk rencana tata ruang wilayah skala nasional, daerah propinsi daerah kabupaten/kota, tidak perlu dilihat sebagai suatu hirarki yang mengikat secara kewenangan politis. Skala rencana tata ruang wilayah disusun sebagai suatu keterikatan fungsional struktural dalam menata ruang yang lebih optimal efisien. UU No. 22 Tahun 1999 juga menekankan perlunya diadakan kerjasama antar daerah dalam menyelesaikan kegiatan/permasalahan yang meliputi lebih dari satu daerah, sehingga penataan ruang untuk kawasan yang meliputi lebih dari satu daerah propinsi tidak lagi dikoordinasikan penyusunannya oleh Menteri yang bertugas mengkoordinasi penataan ruang yang meliputi satu daerah kabupaten/kota tidak lagi dikoordinasikan oleh Gubernur, sepanjang kawasan tersebut bukan merupakan kawasan tertentu yang kewenangan pengelolaannya berada pada pemerintah pusat. Upaya ini memerlukan kapasitas Pemerintah daerah untuk melaksanakan tugas-tugas dalam mengalokasikan a secara efektif efisien untuk memastikan pembangunan sosial ekonomi yang berkelanjutan, di mana untuk kurun waktu yang lama dilakukan oleh Pemrintah Pusat Propinsi. Integrasi Proses Hutan Lahan Kritis Pertanian Process (Modelling) DAS Air Pariwisata Penataan Process Implementation Pertam bangan Perdesaan Perkotaan Industri Analysis Efek Nyata Regional Perkotaan Perdesaan Perumahan Industri Implementation (Strategic & Operational Studies) 3
RTR Nasional sebagai suatu proses siklus yang dinamis (Makro) Propinsi Propeda Repetada Renstra Data Base SumberdayaAl am & Sosio-ekonomi Proses Kabupaten Proses Legal Perda dll Pelaksanaan/ Kabupaten Rencanarencana Sektoral Kesepakat an Lintas Batas Monitoring Perubahan Planning view 10 20 tahun Proses perencanaan dalam konteks pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan membutuhkan kerangka wawasan perencanaan jangka panjang, mengintegrasikan rencanarencana sektoral (lintas sektor), mengintegrasikan pemanfaatan sumber daya alam dalam keterkaitan fungsional (pengelolaan lintas batas) kelestarian serta neraca sumber daya alam termasuk juga keterlibatan seluruh stakeholder yang terpengaruh/berpengaruh terhadap kegiatan pembangunan ekonomi serta pemanfaatan sumber daya alam seluruh dampaknya. Proses perencanaan dalam konteks pengelolaan sumber daya alam ini memerlukan penyempurnaan proses penyusunan rencana tata ruang sebagai berikut: Basis data untuk daya dukung sumber daya alam (Data base for the natural resources carrying capacity), pengelolaan data yang dinamis yang dapat dicari, di up-date di monitor (misalnya dengan menggunakan sistem informasi geografis), yang sesuai untuk semua sektor. Neraca Sumber Daya Alam, pengembangan perekonomian akan menghabiskan sumber daya alam akan membawa dampak pada kelestarian sumber daya alam baik secara langsung maupun tidak langsung (dampak eksternalitas multiplier), dibutuhkan pengembangan data dasar studi khusus akan hal ini yang akan di integrasikan kedalam perencanaan tata ruang. Koordinasi (coordination), pada semua tingkatan pada sistem perencanaan (integrasi vertikal) semua sector (integrasi horisontal), termasuk pada semua tahapan proses pengelolaan pembangunan (kebijakan kelembagaan, perencanaan, pelaksanaan, monitoring/evaluasi) 4
Proses perencanaan dari bawah (bottom up planning process), proses perencanaan merupakan hasil dari apa yang terjadi di tingkat bawah (grass-roots) harus didasarkan pada hal-hal yang seg berjalan pada tingkat opersional daripada sekedar sasaran-sasaran yang tidak realistis. Pendekatan Partisipatif (Participatory approach), melibatkan peran serta semua stakeholders (lembaga sektoral, komunitas swasta, komunitas lokal LSM termasuk lembaga penelitian universitas) sebagai subyek/aktor pembangunan di daerah semua pihak yang terkena pengaruh dampak pembangunan. TOP DOWN PLANNING Regulasi Arahan DYNAMIC PLANNING PROCESS Strategi Program Jangka Menengah Strategi Analisis, Perumusan Program Pelaksanaan Rencana Pembangunan Monitoring/ Produk Nyata Monitor, Analisis Pemutakhiran Data Base, Partisipasi Masyarakat Monitoring/ Produk Nyata Literatur: 1. Haeruman, Herman. 1997. Pengelolaan Sumber Daya Lahan dalam Sistem Tata Ruang Nasional. Makalah dalam Seminar Agenda 21 Pembangunan berkelanjutan Nasional, UGM, 8 September 1997. Jakarta. 2. Inpasihardjo, Koensatwanto. 1999. Reformasi Pengelolaan Sumber Daya Air dalam Era Otonomi Daerah. Makalah dalam Prosiding Seminar Nasional Desentralisasi Pengelolaan Sumber Daya Air Indonesia, ITB, 4 September 1999. Bandung. 3. Sughandhy, Aca. 1999. Penataan Ruang dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 4. Ung-Ung Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang. 5. Ung-Ung Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. 6. Ung-Ung Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. 7. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 47 Tahun 1997 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional. 8. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung. 9. Direktorat Pembinaan Program, Ditjen Bangda. Pedoman Prosedur Operasi Standar Kegiatan Penataan RuangPropinsi Daerah Tingkat I Kabupaten Tingkat II. Jakarta. 5