TINJAUAN PUSTAKA. atraksi di tempat tujuan (Suyitno, 2006). Wisata memiliki karakteristik. kembali ke tempat asalnya.

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA. Obyek wisata adalah salah satu komponen yang penting dalam industri pariwisata

BAB II URAIAN TEORITIS. yaitu : pari dan wisata. Pari artinya banyak, berkali-kali atau berkeliling.

BAB I PENDAHULUAN. perjalanan, bepergian, yang dalam hal ini sinonim dengan kata travel dalam

PEMERINTAH KABUPATEN SINTANG

II. TINJAUAN PUSTAKA. pariwisata, seperti melaksanakan pembinaan kepariwisataan dalam bentuk

TINJAUAN PUSTAKA. Ecotouris, dalam bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi ekowisata. Ada

OBJEK DAN DAYA TARIK WISATA

BAB II LANDASAN KONSEP DAN TEORI ANALISIS 2.1. TINJAUAN HASIL PENELITIAN SEBELUMNYA

BAB II KAJIAN PUSTAKA. wisatawan itu sendiri. Sejak dahulu kegiatan pariwisata sudah banyak dilakukan oleh

PERATURAN DAERAH PROPINSI DAERAH TINGKAT I BALI NOMOR 3 TAHUN 1991 T E N T A N G PARIWISATA BUDAYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

TINJAUAN PUSTAKA. Danau. merupakan salah satu bentuk ekosistem perairan air tawar, dan

BENTUK PARTISIPASI MASYARAKAT TERHADAP ATRAKSI WISATA PENDAKIAN GUNUNG SLAMET KAWASAN WISATA GUCI TUGAS AKHIR

BAB II GAMBARAN UMUM PARIWISATA

I. PENDAHULUAN. memiliki julukan lumbung beras Provinsi Bali, memiliki luas 839,33

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perencanaan Kawasan Wisata

BAB I PENDAHULUAN. berkaitan erat dengan pelestarian nilai-nilai kepribadian dan. pengembangan budaya bangsa dengan memanfaatkan seluruh potensi

BAB I PENDAHULUAN. dan ekosistemnya ini dapat dikembangkan dan dimanfaatkan sebesar-besarnya

BAB II TINJAUAN TEORITIS

PENGEMBANGAN KAWASAN DESA WISATA Oleh : Dr. Ir. Sriyadi., MP (8 Januari 2016)

BAB I PENDAHULUAN. Sumber daya alam hayati dan ekosistemnya yang berupa keanekaragaman

BAB II URAIAN TEORITI TENTANG PARIWISATA

BAB II SEKILAS TENTANG OBJEK WISATA. budaya serta bangsa dan tempat atau keadaan alam yang mempunyai daya

POTENSI DAN USAHA PENGEMBANGAN EKOWISATA TELUK PENYU CILACAP

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data, diperoleh kesimpulan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tata Ruang dan Konflik Pemanfaatan Ruang di Wilayah Pesisir dan Laut

I. PENDAHULUAN. Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis dan subtropis yang

BAB I PENDAHULUAN. Wisata alam dapat diartikan sebagai bentuk kegiatan wisata yang

Strategi Pengembangan Pariwisata ( Ekowisata maupun Wisata Bahari) di Kabupaten Cilacap.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pariwisata pada saat ini, menjadi harapan bagi banyak negara termasuk

BAB II URAIAN TEORITIS TENTANG KEPARIWISATAAN DAN AGROWISATA. Jika kita tinjau lebih dalam arti dari Pariwisata itu menurut asal katanya, pari

PENGERTIAN DAN KONSEP DASAR EKOWISATA. Chafid Fandeli *)

PEMERINTAH KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR NOMOR 7 TAHUN 2011 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. beraneka ragam dan menarik untuk di kembangkan sebagai obyek dan daya tarik

BERITA DAERAH KABUPATEN KARAWANG PERATURAN BUPATI KARAWANG

BAB II TINJAUAN UMUM DESA WISATA

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. yang bersifat terpusat (sentralistik) berubah menjadi desentralisasi melalui

BAB I PENDAHULUAN. kata yaitu pari yang berarti banyak, berkali-kali,berputar-putar, sedangkan wisata

Pembangunan pariwisata di Indonesia berdasarkan Undang Undang No. 10. Tahun 2009 tentang Kepariwisataan mempunyai tujuan antara lain: (a)

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Wisata

BAB II LANDASAN TEORI. A. Pengembangan Potensi Kawasan Pariwisata. berkesinambungan untuk melakukan matching dan adjustment yang terus menerus

PEMERINTAH KABUPATEN KUTAI BARAT

Dr. I Gusti Bagus Rai Utama, MA.

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai negara agraris, memiliki banyak keunggulan-keunggulan UKDW

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN. negara yang menerima kedatangan wisatawan (tourist receiving countries),

A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. segala potensi yang dimiliki. Pembangunan pariwisata telah diyakini sebagai

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1990 T E N T A N G K E P A R I W I S A T A A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. Yogyakarta dikenal sebagai kota pelajar, selain itu juga dikenal sebagai kota

BAB I PENDAHULUAN. negaranya untuk dikembangkan dan dipromosikan ke negara lain.

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia mencapai orang, yang terdiri atas orang lakilaki

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang. Pada bab ini akan dibahas mengenai latar belakang, rumusan masalah, tujuan dan metode perancangan.

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BELITUNG TIMUR NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG DESA WISATA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. budaya yang semakin arif dan bijaksana. Kegiatan pariwisata tersebut

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

DEFINISI- DEFINISI A-1

BAB II LANDASAN KONSEP DAN TEORI ANALISIS. Tinjauan hasil penelitian sebelumnya yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kajian

BAB I PENDAHULUAN. Pariwisata merupakan suatu kegiatan yang sifatnya kompleks, mencakup

Oleh : Slamet Heri Winarno

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN DAERAH TINGKAT II PURBALINGGA NOMOR 17 TAHUN 1999 SERI D NO. 7

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan bangsa. Hermantoro (2011 : 11) menyatakan bahwa lmu pariwisata

BAB II URAIAN TEORITIS KEPARIWISATAAN. 2.1 Pengertian Pariwisata, Wisatawan, dan Kepariwisataan

KONSEP PENGEMBANGAN KAWASAN WISATA DANAU

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Peran adalah serangkaian rumusan yang membahas perilaku-perilaku yang

PENDAHULUAN Latar Belakang

TINJAUAN PUSTAKA. kandungan gejala alam dari suatu kawasan. Menurut Undang-undang (UU)

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. lakukan, maka penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN. wisata, sarana dan prasarana pariwisata. Pariwisata sudah berkembang pesat dan menjamur di

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Molinda Hotmauly, 2014

Ekowisata Di Kawasan Hutan Mangrove Tritih Cilacap

BAB I PENDAHULUAN. yang sebenarnya sudah tidak sesuai untuk budidaya pertanian. Pemanfaatan dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Oleh HY. Agus Murdiyastomo.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II URAIAN TEORITIS. dengan musik. Gerakan-gerakan itu dapat dinikmati sendiri, pengucapan suatu

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Bab I, pasal 1, UU No.9 Tahun 1990 menyatakan bahwa usaha

BAB II KAJIAN TEORI. mempelajari keunikan daya tarik wisata yang dikunjungi dalam jangka waktu sementara.

BAB I PENDAHULUAN. Subak telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Dunia (WBD) oleh

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN NOMOR 8 TAHUN 2010 TENTANG KEPARIWISATAAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. andalan untuk memperoleh pendapatan asli daerah adalah sektor pariwisata.

BAB II URAIAN TEORITIS TENTANG KEPARIWISATAAN. Berdasarkan Kamus Umum Bahasa Indonesia, Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa

2015 ANALISIS POTENSI EKONOMI KREATIF BERBASIS EKOWISATA DI PULAU TIDUNG KEPULAUAN SERIBU

PENILAIAN DAYA TARIK WISATA KAWASAN AIR TERJUN MANANGGAR DI DESA ENGKANGIN KECAMATAN AIR BESAR KABUPATEN LANDAK

TINJAUAN PUSTAKA. meskipun ada beberapa badan air yang airnya asin. Dalam ilmu perairan

Konsep Pengembangan Kawasan Desa Wisata di Desa Bandungan Kecamatan Pakong Kabupaten Pamekasan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Rahdiana Kartika Sari, 2015

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. berbagai macam kebudayaan, agama, suku yang berbeda-beda, dan kekayaan

I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

BAB II PENDEKATAN TEORITIS

Transkripsi:

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Wisata Wisata adalah perjalanan yang dilakukan oleh seseorang atau kelompok orang, bersifat sementara, serta untuk menikmati objek dan atraksi di tempat tujuan (Suyitno, 2006). Wisata memiliki karakteristik sebagai berikut: a. Bersifat sementara, karena pelaku wisata hanya akan berada di tempat wisata dalam jangka waktu pendek, karena akan segera kembali ke tempat asalnya. b. Melibatkan beberapa komponen wisata seperti sarana transportasi, akomodasi, objek wisata, dan lain-lain. c. Umumnya dilakukan dengan mengunjungi objek dengan atraksi wisata, daerah, atau bahkan negara secara terus-menerus. d. Memiliki tujuan untuk mendapatkan kesenangan (pleasure). e. Tidak bertujuan untuk mencari nafkah, melainkan kedatangannya ke tempat tersebut dapat memberikan kontribusi pada pendapatan masyarakat atau daerah setempat. f. Wisata terjadi karena adanya keterpaduan antara fasilitas dengan objek yang saling mendukung dan berkesinambungan. Istilah wisata, seperti halnya yang tercantum dalam UU No. 10 tahun 2009, pengertian wisata diberikan batasan sebagai: kegiatan perjalanan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang dengan mengunjungi tempat tertentu untuk tujuan rekreasi, pengembangan 6

7 pribadi, atau mempelajari keunikan daya tarik wisata yang dikunjungi dalam jangka waktu sementara. Berdasarkan pengertian wisata menurut undang-undang tersebut di atas, kegiatan wisata mengandung unsur perjalanan yang bersifat rekreatif dan dilakukan secara sukarela, bersifat sementara yang bertujuan untuk menikmati suatu objek atau daya tarik wisata yang ada pada daerah tujuan wisata tersebut. Seseorang atau sekelompok orang yang melakukan kegiatan perjalanan seperti yang dimaksudkan dalam batasan pengertian tersebut, disebut sebagai wisatawan (tourist) (Sunaryo, 2013). Untuk dapat menarik seseorang berkunjung ke suatu tempat, tempat tersebut harus memiliki objek dan atraksi yang dapat dinikmati oleh pengunjung. Menurut Sukarsa (1999), atraksi wisata merupakan segala sesuatu yang menjadi daya tarik bagi orang yang berkunjung ke suatu daerah tertentu. Hal-hal yang dapat menarik seseorang untuk berkunjung ke suatu tempat tujuan wisata meliputi benda-benda yang tersedia dan terdapat di alam semesta (natural amenities) yang mencakup iklim, pemandangan alam, hutan, flora dan fauna, benda- benda hasil ciptaan manusia (man made supply) yang mencakup benda-benda bersejarah, museum, kesenian rakyat, rumah ibadah dan acara-acara tradisional, serta tata cara hidup masyarakat (the way of life) yang mencakup kebiasaan hidup dan adat istiadat.

8 Di Indonesia pada umumnya dan di Bali pada khususnya, begitu banyak hal-hal yang yang dapat dijadikan sebagai atraksi wisata, misalnya kesenian rakyat, upacara adat dan agama. Menurut Mariotti (1985) dan Yoeti (1987) (dalam Sunaryo, 2013); dikemukakan bahwa faktor terpenting yang dapat mengundang wisatawan mengunjungi suatu destinasi adalah daya tarik yang dimiliki oleh destinasi tersebut. Agar suatu tujuan wisata dapat menarik wisatawan untuk dikunjungi, tujuan wisata tersebut harus memenuhi tiga syarat utama, yaitu: a. Destinasi tersebut harus memiliki apa yang disebut dengan something to see, maksudnya destinasi tersebut harus memiliki daya tarik khusus yang dapat dilihat oleh wisatawan, di samping itu juga harus memiliki atraksi wisata yang dapat dijadikan sebagai entertainments bila orang tersebut datang untuk mengunjunginya. b. Selain itu destinasi tersebut harus memiliki something to do, yang artinya selain banyak yang dapat dilihat dan disaksikan, pada destinasi tersebut juga harus dilengkapi dengan beberapa fasilitas rekreasi atau amusement dan wadah atau wahana yang dapat dimanfaatkan oleh wisatawan untuk beraktivitas sehingga dapat menimbulkan keinginan wisatawan untuk tinggal lebih lama. c. Destinasi juga harus memiliki something to buy. Pada suatu destinasi, juga harus tersedia barang-barang yang dapat dibeli

9 wisatawan dan dibawa pulang ke tempat asal. Barang-barang tersebut seperti halnya cindera mata yang merupakan hasil kerajinan masyarakat setempat. Jadi dapat dikatakan bahwa, pada intinya perjalanan wisata merupakan perjalanan yang dilakukan seseorang dalam rangka memenuhi kebutuhan sekundernya yang berupa rekreasi (pleasure) atau penyegaran kembali (refreshing) setelah kebutuhan primernya terpenuhi. 2.1.1 Wisata Budaya Pemerintah Daerah Bali menetapkan secara tegas dalam Peraturan Daerah (Perda) Bali No. 2 tahun 2012 mengenai pengembangan pariwisata yang ada di Bali merupakan pariwisata budaya. Dalam Perda ini, dirumuskan mengenai pariwisata budaya merupakan jenis kepariwisataan Bali yang berlandaskan kepada Kebudayaan Bali yang dijiwai oleh ajaran Agama Hindu dan falsafah Tri Hita Karana sebagai potensi utama dengan menggunakan kepariwisataan sebagai wahana aktualisasinya, sehingga terwujud hubungan timbal-balik yang dinamis antara kepariwisataan dan kebudayaan yang membuat keduanya berkembang secara sinergis, harmonis dan berkelanjutan untuk dapat memberikan kesejahteraan kepada masyarakat, kelestarian budaya dan lingkungan. Penyelenggaraan pariwisata budaya bertujuan untuk memperkenalkan, mendayagunakan, melestarikan dan meningkatkan mutu objek dan daya tarik wisata, memupuk rasa cinta tanah air dan meningkatkan persahabatan antar bangsa, memperluas dan memeratakan

10 kesempatan berusaha, dan lapangan kerja. Dalam penyelenggaraan pariwisata berbasis budaya juga bertujuan untuk meningkatkan pendapatan daerah dalam rangka peningkatan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat, mendorong pendayagunaan produksi daerah dalam rangka peningkatan produksi nasional, serta mempertahankan norma-norma dan nilai-nilai kebudayaan, agama dan keindahan alam Bali yang berwawasan lingkungan hidup, mencegah dan meniadakan pengaruh-pengaruh negatif yang dapat ditimbulkan oleh kegiatan kepariwisataan (Nika, 2010). Lebih lanjut lagi mengenai azas Pariwisata Budaya, diatur dalam Perda Bali No. 2 tahun 2012 Bab II, pasal 2 sebagai berikut: penyelenggaraan kepariwisataan budaya Bali dilaksanakan berdasarkan pada asas manfaat, kekeluargaan, kemandirian, keseimbangan, kelestarian, partisipatif, berkelanjutan, adil dan merata, demokratis, kesetaraan dan kesatuan yang dijiwai oleh nilai-nilai Agama Hindu dengan menerapkan falsafah Tri Hita Karana (THK). Dampak positif pariwisata terhadap kebudayaan yang disebutkan oleh Sihite (2000: 76) dalam garis besarnya dapat dilihat pada hal-hal berikut: a. Merupakan perangsang dalam usaha pemeliharaan monumenmonumen budaya yang dapat dinikmati oleh penduduk setempat dan wisatawan. b. Merupakan dorongan dalam usaha melestarikan dan menghidupkan kembali beberapa pola budaya tradisional seperti

11 kesenian, kerajinan tangan, tarian, musik, upacara-upacara adat, dan pakaian. c. Memberikan dorongan untuk memperbaiki lingkungan hidup yang bersih dan menarik. d. Terjadinya tukar-menukar kebudayaan antara wisatawan dan masyarakat lokal, misalnya, wisatawan dapat lebih banyak mengenal kebudayaan serta lingkungan yang lain dan peduduk lokal juga mengetahui tempat-tempat lain berdasarkan cerita para wisatawan. e. Mendorong pendidikan di bidang kepariwisataan untuk meghasilkan sumber daya manusia di bidang kepariwisataan yang andal. 2.1.2 Rekreasi Rekreasi merupakan salah satu bentuk aktivitas manusia untuk mengisi waktu luangnya. Manusia melakukan rekreasi untuk menghilangkan beban pikiran akibat tekanan dan rutinitas pekerjaannya. Rekreasi dapat memulihkan kondisi mental dan fisik yang lelah, serta memberikan kepuasan dan rasa senang bagi manusia (Brockman, 1979; Soekotjo, 1980; Soemarwoto, 1991). Minat masyarakat terhadap rekreasi mulai meningkat sejak awal tahun 90-an, terutama minat terhadap obyek wisata alam. Latar belakang fenomena tersebut adalah meningkatnya tekanan hidup karena rutinitas kerja dan beban aktivitas yang berat,

12 sehingga mereka membutuhkan akivitas yang dapat mengembalikan semangat kerjanya (Lindberg, 1993). Berdasarkan tempatnya, Mercer (1981) menggolongkan rekreasi menjadi dua, yaitu rekreasi di tempat tertutup dan rekreasi di tempat terbuka. Lebih lanjut dinyatakan bahwa rekreasi di tempat terbuka lebih baik karena dapat diperoleh pengalaman yang khas, baru, dan berbeda. Brockman (1979) mengemukakan kelebihan rekreasi di alam terbuka adalah pengalaman yang lebih baik bagi fisik dan mental manusia, karena untuk melakukan rekreasi di alam terbuka manusia harus mempunyai kesehatan fisik, pengalaman, pengetahuan, dan ketrampilan. Bentuk kegiatan rekreasi di alam terbuka diantaranya adalah memancing, berburu, mendaki gunung, berkuda, piknik, dan berkemah. Pilihan bentuk kegiatan rekreasi yang akan dilakukan manusia tergantung pada latar belakang ketersediaan kesempatan, kesesuaian dengan kondisi pelaku, serta kemampuan fisik dan intelektual. Bentuk kegiatan rekreasi dapat bersifat fisik, intelektual, estetik, emosi, atau kombinasinya. Karena latar belakang dan sifat yang berbeda, maka bentuk kegiatan rekreasi menjadi spesifik bagi setiap individu, dimana pilihan individu yang satu berbeda dengan individu lainnya (Brockman, 1979). 2.2 Ekowisata Salah satu jenis implementasi dari pembangunan kepariwisataan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan adalah berupa pengembangan program ekowisata atau yang sering juga disebut dengan nature tourism.

13 Pada hakekatnya program ekowisata atau nature tourism adalah konsep perpaduan antara pendekatan konservasi lingkungan dan kepariwisataan (Whelan, 1991). Weber dan Damanik (2006) menyebutkan bahwa konsep dasar ekowisata meliputi perjalanan outdoor dan di kawasan alam yang tidak menimbulkan kerusakan lingkungan, mengutamakan penggunaan fasilitas transportasi yang diciptakan dan dikelola oleh masyarakat pada kawasan wisata, serta menaruh perhatian besar pada lingkungan alam dan budaya lokal dimana wisatawan banyak belajar dari masyarakat lokal. Menurut The International Ecotourism Society (1990), ekowisata sebagai a responsible travel to natural areas which conserves the environtment and improves the well-being of local people. Menurut Hadinoto (1996), ekowisata merupakan suatu bentuk kegiatan pariwisata yang memanfaatkan keaslian lingkungan alam, dimana terjadi interaksi antara lingkungan alam dan aktivitas rekreasi, konservasi dan pengembangan, serta antara penduduk dan wisatawan. Menurut Yoeti (2008) ekowisata merupakan suatu bentuk wisata yang sangat erat dengan prinsip konservasi. Dengan demikian ekowisata sangat tepat dan berdayaguna dalam mempertahankan keutuhan dan keaslian ekosistem di areal yang masih alami. Menurut Sherman dan Dixon (1991), Lindberg (1989), Vant Hof (1989) dalam Yoeti (2008) yang merupakan para pakar nature tourism; prinsip yang harus dipegang dalam pengembangan program ekowisata adalah kebijakan untuk memberikan prosentase dari pendapatan yang

14 berasal dari industri pariwisata yang harus dikembalikan lagi untuk lingkungan yang perlu dilestarikan (dilindungi-dikembangkandimanfaatkan) termasuk kontribusi untuk meningkatkan kesejahteraan sosial-ekonomi dan budaya masyarakat setempat. Dalam Yoeti (2008), Alister dan Wall (1982); Wright (1977); disebutkan bahwa beliau merupakan pakar analisis dampak lingkungan dan aktivitas kepariwisataan, yang mengemukakan bahwa model dari pembangunan kepariwisataan berlanjut dan berwawasan lingkungan memiliki prinsip akan mengukur kinerja pembangunan kepariwisataan dengan aspek indikator penting sebagai berikut: a. Aspek indikator lingkungan fisik Komponen fisik memiliki dua kategori indikator lingkungan yang memerlukan pengamatan dan pengukuran secara periodik, yaitu: 1). Lingkungan fisik yang bersifat fixed. Lingkungan fisik ini berupa sumber daya alam/ekologi bukan buatan manusia, seperti lansekap, hutan, danau, ketersediaan air tanah, polusi udara, terumbu karang, flora dan fauna, dan sebagainya. 2). Lingkungan fisik yang bersifat flexible. Lingkungan fisik ini berupa sumber daya alam yang merupakan buatan manusia, seperti sistem infrastruktur, water supply, pembuangan limbah, jaringan listrik, transportasi, pos dan telekomunikasi, layanan kesehatan, perbankan, restoran, cinderamata, dan sebagainya.

15 b. Aspek indikator sosial budaya Pada aspek sosial budaya, beberapa indikator yang harus dimonitor dan ditakar kondisi dan kapasitasnya adalah: 1). Jumlah wisatawan dan tipe kegiatan rekreasi serta perilaku wisatawan yang dapat diserap oleh destinasi tanpa harus mempengaruhi identitas, gaya hidup dan kehidupan sosial budaya serta adat istiadat dari masyarakat setempat. 2). Lama tinggal dan tipe kepariwisataan yang tidak mengubah budaya lokal secara signifikan baik langsung maupun tak langsung, utamanya dalam hal seni, kerajinan, sistem kepercayaann, upacara, serta adat dan tradisi. 3). Tipe kepariwisataan yang tidak ditolak oleh penduduk setempat, terutama yang tidak menghalangi mereka untuk menggunakan layanan dan fasilitas masyarakat/umum yang ada di destinasi. 4). Jumlah pengunjung dan tipe interaksi antara wisatawan dan lingkungan di destinasi, tanpa harus menimbulkan penurunan pengalaman dan kenyamanan pengunjung secara drastis. c. Aspek indikator ekonomi Pada aspek ekonomi, beberapa indikator yang harus selalu dipantau keadaannya pada model kepariwisataan berlanjut adalah: 1). Derajat spelialisasi yang sudah berpengaruh pada hilangnya peluang kerja dan usaha masyarakat setempat dalam industri kepariwisataan.

16 2). Angka kehilangan tenaga kerja manusia yang disebabkan oleh industri kepariwisataan yang ada. 3). Distribusi pendapatan yang adil dari kegiatan kepariwisataan dan dampak penguatannya pada masyarakat maupun masyarakat setempat. 4). Angka penyerapan tenaga kerja dari aktivitas kepariwisataan di objek wisata terhadap sumberdaya manusia yang ada. Hal itu senada dengan isi dari Perda No.11 tahun 2012 tentang RTRW Kabupaten Tabanan yang mengemukakan bahwa ekowisata adalah suatu bentuk perjalanan wisata atau penyelenggaraan kegiatan wisata yang bertanggung jawab ke area alami atau daerah-daerah yang dibuat berdasarkan kaidah alam, secara ekonomi berkelanjutan disertai upayaupaya konservasi dan pelestarian lingkungan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat. Menurut Gunn (1997) hal-hal penting yang harus diperhatikan dalam ekoturisme adalah: a. Pengalaman, penghargaan, dan pemahaman terhadap sumber daya alam. b. Perolehan pengalaman yang berasal dari lingkungan dan penghargaan terhadap lingkungan. c. Penggunaan fasilitas pelayanan dan pendukung yang ramah lingkungan. d. Memberikan kontribusi langsung bagi pembangunan ekonomi lokal.

17 Soemarwoto (2006) dalam Utama (2009), menjelaskan bahwa ekowisata tidak terbatas pada objek alam, tetapi juga mencakup pada kebudayaan. Interaksi lingkungan hidup dengan manusia menciptakan pola hidup seperti yang ada di suatu tempat, namun kebudayaan manusia di tempat tersebut tercipta dari interaksi itu juga. Lingkungan hidup biogeofisik tak dapat dipisahkan dari lingkungan hidup sosial-budaya, kepada para ekowisatawan disajikan keduanya secara utuh. Secara keseluruhan tidak ada yang membedakan antara pariwisata, wisata dan ekowisata, pembeda yang nyata adalah ruang dan waktu pelaksanaan wisata tersebut, karena dalam penyelenggaraan suatu kegiatan satu komponen dengan yang lainnya saling berkaitan dan mendukung, sehingga penyelenggaraan wisata dapat berjalan dengan baik. 2.3 Potensi Desa Menurut Bintarto (1983), potensi desa adalah sumberdaya di suatu desa yang mungkin dapat dikembangkan dan diaktifkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa. Potensi desa dapat berupa sumberdaya alam dan sumberdaya manusia yang ada di dalamnya beserta hasil kerajinan manusia itu sendiri. Tiap-tiap desa memiliki sumberdaya yang merupakan potensi desa. Potensi desa dapat dibagi menjadi dua, yaitu potensi fisik dan nonfisik. Potensi fisik desa meliputi tanah, air, iklim, peternakan dan perikanan, sedangkan potensi nonfisik desa berkaitan dengan sumberdaya budaya, antara lain: sikap gotong royong,

18 organisasi kemasyarakatan serta kreativitas aparatur desa yang mampu mengelola administrasi desa secara tertib dan lancar. 2.4 Subak Menurut Windia (2006), subak adalah suatu masyarakat hukum adat yang merupakan perkumpulan petani pengelola air irigasi di lahan sawah, serta memiliki karakteristik sosioagraris-religius. Arif (1999) memperluas pengertian karakteristik subak yang sosioagraris-religius dengan menyatakan bahwa subak tepat disebut berkarakteristik sosio-teknisreligius, karena pengertian teknis cakupannya menjadi lebih luas, termasuk diantaranya teknis pertanian dan teknis irigasi. Subak merupakan organisasi petani yang bergerak dalam usaha pengaturan air irigasi untuk lahan pertanian basah atau sawah yang memiliki anggota sebagai petani atau pemilik atau penggarap sawah yang dilayani oleh suatu jaringan atau subjaringan irigasi tertentu, tidak memandang dari desa mana anggota tersebut berasal, dengan kata lain pendekatan subak adalah pendekatan jaringan irigasi (coral based) dan bukan desa (village based) (Purbathin, 2010). Windia (2006) mengatakan, budaya pada sistem subak dicerminkan dari pola pikir dalam pengelolaan air irigasi yang dilakukan dengan landasan harmoni dan kebersamaan. Air dianggap sebagai karunia Tuhan sehingga keberadaannya bernilai dan dihormati. Dalam organisasi subak, ada upacara khusus untuk menghormati keberadaan air yang disebut upacara mendak toya. Masyarakat Bali mempercayai bahwa air merupakan

19 perwujudan dari Dewa Wisnu yang merupakan salah satu manifestasi dari Tuhan dan dipercaya sebagai pemelihara kehidupan di dunia ini. Sedangkan, istri dari Dewa Wisnu yaitu Dewi Sri, dianalogikan dengan padi. Padi dan air tidak dapat dilepaskan dari aktivitas pertanian. Sehingga, para petani di Bali yang tergabung dalam organisasi subak sangat menghormati padi dan air.