I. PENDAHULUAN. prinsip hukum acara pidana yang mengatakan peradilan dilakukan secara

dokumen-dokumen yang mirip
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PELAKSANAAN PENDIDIKAN DAN PENGAJARAN BAGI TAHANAN SEBAGAI BAGIAN PROGRAM PERAWATAN TAHANAN DI KEPOLISIAN RESOR KOTA BANDAR LAMPUNG

PP 58/1999, SYARAT-SYARAT DAN TATA CARA PELAKSANAAN WEWENANG, TUGAS DAN TANGGUNG JAWAB PERAWATAN TAHANAN

BAB I PENDAHULUAN. Hukum materiil seperti yang terjelma dalam undang undang atau yang

BAB I PENDAHULUAN. semua warga negara bersama kedudukannya di dalam hukum dan. peradilan pidana di Indonesia. Sebelum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981

MANFAAT DAN JANGKA WAKTU PENAHANAN SEMENTARA MENURUT KITAB UNDANG HUKUM ACARA PIDANA ( KUHAP ) Oleh : Risdalina, SH. Dosen Tetap STIH Labuhanbatu

II. TINJAUAN PUSTAKA. penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur menurut Undang-Undang ini.

I. PENDAHULUAN. dirasakan tidak enak oleh yang dikenai oleh karena itu orang tidak henti hentinya

PENDAHULUAN. penyalahgunaan, tetapi juga berdampak sosial, ekonomi dan keamanan nasional,

BAB I PENDAHULUAN. pengadilan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. pemeriksaan di sidang pengadilan ada pada hakim. Kewenangan-kewenangan

PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D Abstrak

I. PENDAHULUAN. kebebasan, baik yang bersifat fisik maupun pikiran. Oleh karena itu, Undang-Undang Dasar

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

I. PENDAHULUAN. kepada Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

PRAPERADILAN SEBAGAI UPAYA KONTROL BAGI PENYIDIK DALAM PERKARA PIDANA

BAB I PENDAHULUAN. Pertama, hal Soerjono Soekanto, 2007, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cetakan

I. PENDAHULUAN. Hak asasi manusia merupakan dasar dari kebebasan manusia yang mengandung

I. PENDAHULUAN. keteraturan, ketentraman dan ketertiban, tetapi juga untuk menjamin adanya

I. PENDAHULUAN. adalah bertujuan untuk mencari kebenaran materi terhadap perkara tersebut. Hal

BAB 1 PENDAHULUAN. boleh ditinggalkan oleh warga negara, penyelenggara negara, lembaga

I. PENDAHULUAN. hukum sebagai sarana dalam mencari kebenaran, keadilan dan kepastian hukum. Kesalahan,

BAB I PENDAHULUAN. Pasal 28, Pasal 28A-J Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

I. PENDAHULUAN. Hukum merupakan seperangkat aturan yang diterapkan dalam rangka menjamin

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana. Bagaimanapun baiknya segala peraturan perundang-undangan yang siciptakan

BAB I PENDAHULUAN. pada Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia yang berbunyi Negara Indonesia adalah Negara Hukum.

TINJAUAN HUKUM TERHADAP TUNTUTAN GANTI KERUGIAN KARENA SALAH TANGKAP DAN MENAHAN ORANG MUHAMMAD CHAHYADI/D Pembimbing:

KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2

HAK MANTAN NARAPIDANA SEBAGAI PEJABAT PUBLIK DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA

I. PENDAHULUAN. Tujuan pembangunan nasional dapat diwujudkan dengan upaya secara terus

I. PENDAHULUAN. terpuruknya sistem kesejahteraan material yang mengabaikan nilai-nilai

II. TINJAUAN PUSTAKA. pidana. Dalam hal penulisan penelitian tentang penerapan pidana rehabilitasi

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II PENAHANAN DALAM PROSES PENYIDIKAN TERHADAP TERSANGKA ANAK DIBAWAH UMUR. penyelidikan yang merupakan tahapan permulaan mencari ada atau tidaknya

I. PENDAHULUAN. kemajuan dalam kehidupan masyarakat, selain itu dapat mengakibatkan perubahan kondisi sosial

BAB I PENDAHULUAN. Undang Dasar 1945, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Praperadilan merupakan lembaga baru dalam dunia peradilan di

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara hukum yang memiliki konstitusi tertinggi dalam

I. PENDAHULUAN. hukum serta Undang-Undang Pidana. Sebagai suatu kenyataan sosial, masalah

I. PENDAHULUAN. karna hukum sudah ada dalam urusan manusia sebelum lahir dan masih ada

I. PENDAHULUAN. Salah satu persoalan yang selalu dihadapi di kota-kota besar adalah lalu lintas.

BAB I PENDAHULUAN. kekerasan. Tindak kekerasan merupakan suatu tindakan kejahatan yang. yang berlaku terutama norma hukum pidana.

I. PENDAHULUAN. merupakan potensi masa depan dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan

BAB I PENDAHULUAN. melindungi individu terhadap pemerintah yang sewenang-wenang dan

BAB I PENDAHULUAN. yang bertujuan mengatur tata tertib dalam kehidupan masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN. Penanganan dan pemeriksaan suatu kasus atau perkara pidana baik itu pidana

I. PENDAHULUAN. Kebebasan dasar dan hak dasar itu yang dinamakan Hak Asasi Manusia (HAM), yang

BAB I PENDAHULUAN. yang berbeda. Itu sebabnya dalam keseharian kita dapat menangkap berbagai komentar

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dewasa ini narapidana tidak lagi dipandang sebagai objek melainkan

BAB I PENDAHULUAN. Ketika seseorang yang melakukan kejahatan atau dapat juga disebut sebagai

I. PENDAHULUAN. Fenomena penyalahgunaan dan peredaran narkotika merupakan persoalan

I. PENDAHULUAN. Perdagangan orang (human traficking) terutama terhadap perempuan dan anak

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Negara Indonesia merupakan negara hukum, hal ini tertuang pada

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan

BAB I PENDAHULUAN. Ketentuan Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 ditegaskan bahwa Negara

BAB I PENDAHULUAN. Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PERLINDUNGAN HAK TERSANGKA TERHADAP PENANGKAPAN PELAKU TINDAK PIDANA PENCURIAN (Studi Kasus Di Polresta Palu)

SKRIPSI UPAYA POLRI DALAM MENJAMIN KESELAMATAN SAKSI MENURUT UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

BAB I PENDAHULUAN. Penyelidikan merupakan bagian yang tidak dapat di pisahkan dari. penyidikan, KUHAP dengan tegas membedakan istilah Penyidik dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Hukum berkembang mengikuti perubahan zaman dan kebutuhan

Institute for Criminal Justice Reform

BAB 1 PENDAHULUAN. setiap individu, sehingga setiap orang memiliki hak persamaan dihadapan hukum.

BAB I PENDAHULUAN. Penegakan hukum pidana merupakan sebagian dari penegakan hukum di

BAB I PENDAHULUAN. lazim disebut norma. Norma adalah istilah yang sering digunakan untuk

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 1995 TENTANG PEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN

I. PENDAHULUAN. Hukum acara pidana merupakan perangkat hukum pidana yang mengatur tata cara

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan

BAB I PENDAHULUAN. perundang-undangan yang berlaku. Salah satu upaya untuk menjamin. dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana ( KUHAP ).

BAB I PENDAHULUAN. demokratis yang menjujung tinggi hak asasi manusia seutuhnya, hukum dan

BAB I PENDAHULUAN. melibatkan pemeriksaan investigatif oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan negara hukum yang menjunjung tinggi nilai-nilai

II. TINJAUAN PUSTAKA. adalah adanya kekuasaan berupa hak dan tugas yang dimiliki oleh seseorang

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan Nasional pada dasarnya merupakan pembangunan manusia

BAB I PENDAHULUAN. Presiden, kepolisian negara Republik Indonesia diharapkan memegang teguh nilai-nilai

BAB IV. A. Bantuan Hukum Terhadap Tersangka Penyalahgunaan Narkotika. Dalam Proses Penyidikan Dihubungkan Dengan Undang-Undang

Fungsi Dan Wewenang Polri Dalam Kaitannya Dengan Perlindungan Hak Asasi Manusia. Oleh : Iman Hidayat, SH.MH. Abstrak

BAB I PENDAHULUAN. diri manusia, bersifat universal dan langgeng, oleh karena itu harus dilindungi,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam mewujudkan masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil, dan

PERSPEKTIF DAN PERAN MASYARAKAT DALAM PELAKSANAAN PIDANA ALTERNATIF

I. PENDAHULUAN. pengeledahan, penangkapan, penahanan dan lain-lain diberi definisi dalam. Berdasarkan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP),

BAB I PENDAHULUAN. berlakunya Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. Negara Indonesia adalah negara bardasarkan hukum bukan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam menjalankan kehidupan bermasyarakat tidak pernah lepas dengan. berbagai macam permasalahan. Kehidupan bermasyarakat akhirnya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Agar hukum dapat berjalan dengan baik pelaksanaan hukum

BAB I PENDAHULUAN. hanya terbatas pada kuantitas dari bentuk kejahatan tersebut.

Lex Crimen Vol. V/No. 4/Apr-Jun/2016

BAB I PENDAHULUAN. hidup, tumbuh dan berkembang, berpartisipasi serta berhak atas perlindungan dari

NILAI KEADILAN DALAM PENGHENTIAN PENYIDIKAN Oleh Wayan Rideng 1

BAB I PENDAHULUAN. Republik Indonesia segala sesuatu atau seluruh aspek kehidupan diselenggarakan

BAB I PENDAHULUAN. Acara Pidana (KUHAP) menjunjung tinggi harkat martabat manusia, dimana

BAB I PENDAHULUAN. benar-benar telah menjadi budaya pada berbagai level masyarakat sehingga

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

BAB I PENDAHULUAN. karena kehidupan manusia akan seimbang dan selaras dengan diterapkannya

I. PENDAHULUAN. kali di dalam peraturan penguasa militer nomor Prt/PM-06/1957, sehingga korupsi

TINJAUAN PUSTAKA. tersebut, khususnya mengenai kepentingan anak tentunya hal ini perlu diatur oleh

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum, maka

Transkripsi:

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penyidik berwenang melakukan penahanan kepada seorang tersangka. Kewenangan tersebut diberikan agar penyidik dapat melakukan pemeriksaan secara efektif dan efisien kepada tersangka dan sebagai tindakan untuk memenuhi prinsip hukum acara pidana yang mengatakan peradilan dilakukan secara sederhana, bebas dan biaya ringan. Ketentuan tentang penempatan tahanan menentukan bahwa sebelum ada Rutan maka penahanan dapat dilakukan di tempat tertentu misalnya kantor polisi, kejaksaan dan pengadilan. Pasal 28J Ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disingkat UUD 1945) menentukan, Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan oleh undang-undang dengan maksud semata-semata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis. Ketentuan Pasal 28J Ayat (2) UUD 1945 tersebut jika ditafsirkan secara negatif mengandung arti, bahwa setiap pembatasan terhadap hak dan kebebasan seseorang yang dilakukan tidak berdasarkan undang-undang dan bukan dengan

2 maksud untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis, merupakan pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia (selanjutnya disingkat HAM). Salah satu bentuk pembatasan terhadap hak dan kebebasan seseorang adalah penahanan tersangka pelaku tindak pidana. Agar penahanan tersangka pelaku tindak pidana tidak termasuk dalam kategori pelanggaran HAM, maka sejalan dengan ketentuan Pasal 28J Ayat (2) UUD 1945, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yang disebut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (selanjutnya disingkat KUHAP) mengatur secara ketat penahanan tersangka. Pasal 20 Ayat (1) KUHAP menyatakan bahwa penahanan atau penahanan lanjutan terhadap tersangka hanya untuk kepentingan penyidikan. Selanjutnya Pasal 21 Ayat (1) disebutkan bahwa perintah penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan terhadap tersangka yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup, dalam hal adanya keadaan yang menibulkan kekhawatiran bahwa tersangka akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana. Penjelasan KUHAP menentukan bahwa setiap oang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan atau dihadapkan di muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap.

3 Berdasarkan ketentuan KUHAP dan penjelasannya tersebut maka diketahui bahwa seorang tersangka yang ditahan bukanlah orang yang bersalah melainkan karena kepentingan penyidikan menghendakinya. Oleh karena itu terhadap tersangka yang ditahan, pejabat yang berwenang melakukan penahanan wajib memberikan perawatan terhadap tersangka yang ditahan tersebut. Berkaitan dengan perawatan tahanan, Pasal 2 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 58 Tahun 1999 tentang Syarat-Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Wewenang, Tugas dan Tanggung jawab Perawatan Tahanan (selanjutnya disingkat PP Nomor 58 Tahun 1999) menentukan: (1) Wewenang, tugas dan tanggung jawab perawatan tahanan di Rutan/Cabang Rutan ada pada Menteri dan dilaksanakan oleh Kepala Rutan/Cabang Rutan. (2) Dalam hal Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) tertentu ditetapkan oleh Menteri sebagai Rutan, maka wewenang, tugas dan tanggung jawab perawatan tahanan sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) dilaksanakan, oleh Kepala Lapas/Cabang Lapas yang bersangkutan. (3) Dalam hal tahanan yang di tempatkan di tempat tertentu yang belum ditetapkan sebagai Cabang Rutan, maka wewenang, tugas dan tanggung jawab perawatan tahanan ada pada Menteri dan dilaksanakan oleh pejabat yang memerintahkan penahanan. Berdasarkan ketentuan di atas maka diketahui bahwa penahanan tersangka di sel Kantor Kepolisian yang belum ditetapkan sebagai Cabang Rutan dapat dikategorikan sebagai penempatan tahanan di tempat tertentu yang belum ditetapkan sebagai Cabang Rutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Ayat (3) PP Nomor 58 Tahun 1999. Berdasarkan Pasal 2 Ayat (3) PP Nomor 58 Tahun 1999, terhadap tersangka yang ditahan yang di sel kantor kepolisian, maka wewenang, tugas dan tanggung jawab perawatan tahanan dilaksanakan oleh penyidik Kepolisian sebagai pejabat yang memerintahkan penahanan.

4 Salah satu institusi Kepolisian yang menempatkan tahanan di sel Kantor Kepolisian yang belum ditetapkan sebagai Cabang Rutan sebagaimana diatur dalam Pasal 2 Ayat (3) PP Nomor 58 Tahun 1999 adalah Kepolisian Resor Kota (selanjutnya disingkat Polresta) Bandar Lampung. Hal ini berarti wewenang, tugas dan tanggung jawab perawatan tahanan yang di tempatkan di sel Polresta Bandar Lampung dilaksanakan oleh penyidik Polresta Bandar Lampung sebagai pejabat yang memerintahkan penahanan. Salah satu bentuk perawatan tahanan yang diatur dalam Pasal 20 PP Nomor 58 Tahun 1999 adalah Hak Tahanan untuk mendapatkan Pendidikan dan Pengajaran sebagai berikut: (1) Bagi tahanan dapat diberikan kesempatan mengikuti pendidikan dan pengajaran. (2) Pelaksanaan pendidikan dan pengajaran bagi tahanan sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) dapat berupa: a. Penyuluhan hukum; b. Kesadaran berbangsa dan bernegara; dan c. Lainnya sesuai dengan program perawatan tahanan. Berdasarkan ketentuan Pasal 2 dan Pasal 20 PP Nomor 58 Tahun 1999, maka pelaksanaan pendidikan dan pengajaran bagi tahanan yang di tempatkan di sel Markas Polresta Bandar Lampung dilakukan oleh penyidik Polresta Bandar Lampung. Pelaksanaan pendidikan dan pengajaran bagi tahanan pada dasarnya adalah upaya yang dilakukan oleh negara dalam memenuhi hak-hak tahanan. Penyidik yang berinteraksi langsung dengan tahanan mempunyai kewajiban moral untuk merubahnya menjadi manusia yang bisa menyadari kesalahannya sendiri dan mau merubah dirinya sendiri menjadi lebih baik. Oleh karena itu perlu dikembangkan

5 bimbingan dan pengawasan yang bersifat persuasi edukatif yaitu berusaha merubah tingkah laku melalui keteladanan kepada tahanan sehingga menggugah hatinya untuk melakukan hal-hal terpuji, menempatkan tahanan sebagai manusia yang memiliki potensi dan memiliki harga diri dengan hak-hak dan kewajibannya yang sama dengan manusia lain. Permasalahan yang terjadi dalam kaitannya dengan pendidikan dan pengajaran bagi tahanan adalah adalah secara ideal seorang tersangka maupun narapidana yang telah menjalani proses pendidikan dan pengajaran oleh aparat penegak hukum dalam sistem peradilan pidana dan telah dinyatakan bebas untuk kembali berintegrasi dengan masyarakat, maka seharusnya ia tidak akan melakukan kejahatan atau tindak pidana lagi karena ia telah mendapatkan pembinaan keagamaan dan kesadaran hukum. Pada kenyataannya seorang narapidana masih berpotensi mengulangi kejahatannya kembali dan menjadi seorang residivis. Hal ini dapat disebabkan masih buruknya stigma masyarakat terhadap mantan narapidana, sehingga ia merasa terkucilkan dari pergaulan masyarakat dan berpotensi kembali mengulangi kejahatannya, sebagai bentuk kekecewaannya pada masyarakat yang tidak mau menerima kehadirannya sebagai mantan pelaku kejahatan yang pernah ditahan atau menjalani hukuman. Pendidikan dan pengajaran bagi tahanan dalam konteks ini mempunyai peranan yang besar dalam membangun manusia Indonesia seutuhnya, karena diharapkan dapat membimbing seseorang yang telah melakukan pelanggaran hukum dan menjalani hukuman untuk dapat mencapai reintegrasi, yaitu pemulihan kesatuan hubungan hidup yang terjalin antara individu dengan masyarakat.

6 Untuk mencapai tujuan di atas, harus ditunjang oleh adanya partisipasi dari tersangka itu sendiri, berupa adanya kemauan atau tekad akan perbaikan atas dirinya serta menyesali perbuatannya. Masyarakat di lain pihak hendaknya mau menerima mantan pelaku kejahatan dan tidak mengasingkannya. Menerimanya dalam arti mengarahkan agar bertingkah laku dengan baik, dan bukan selalu mencurigainya. Sebab pembinaan narapidana akan berhasil dengan baik apabila ada kerjasama antara aparat penegak hukum dan masyarakat luas. Berdasarkan uraian di atas maka penulis akan melaksanakan penelitian dan menuangkan ke dalam Skripsi yang berjudul: Pelaksanaan Pendidikan dan Pengajaran Bagi Tahanan sebagai Bagian Program Perawatan Tahanan di Kepolisian Resor Kota Bandar Lampung. B. Permasalahan dan Ruang Lingkup 1. Permasalahan Berdasarkan latar belakang masalah maka permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Bagaimanakah pelaksanaan pendidikan dan pengajaran bagi tahanan di Polresta Bandar Lampung? b. Apakah -faktor yang menghambat pelaksanaan pendidikan dan pengajaran bagi tahanan di Polresta Bandar Lampung? 2. Ruang Lingkup Adapun ruang lingkup penulisan skripsi ini dibatasi pada pelaksanaan pendidikan dan pengajaran bagi para tahanan di Polresta Bandar Lampung sebagai salah satu

7 bentuk perawatan tahanan. Ruang lingkup lokasi penelitian adalah di Polresta Bandar Lampung dan waktu penelitian dilaksanakan pada tahun 2014. C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan Penelitian Secara umum tujuan penelitian ini adalah untuk memperjelas pemahaman tentang permasalahan yang telah ditetapkan. Tujuan dari penelitian ini adalah: a. Untuk mengetahui pelaksanaan pendidikan dan pengajaran bagi tahanan di Polresta Bandar Lampung. b. Untuk mengetahui faktor yang menghambat pelaksanaan pendidikan dan pengajaran bagi tahanan di Polresta Bandar Lampung. 2. Kegunaan Penelitian Setelah penelitian ini dilaksanakan dan mendapat hasil maka penulis mempunyai harapan akan dapat memberikan masukan terhadap dunia akademik maupun dunia praktis sebagai berikut: a. Secara teoritis, penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan masukan dalam rangka penyempurnaan peraturan-peraturan untuk pembentukan hukum nasional, terutama hukum acara pidana yang berkaitan dengan pelaksanaan perawatan tahanan penahanan. b. Secara Praktis, penelitian ini berguna sebagai bahan informasi dan acuan untuk mahasiswa dan instansi terkait yang diharapkan akan timbul rasa tanggung jawab dan kehati-hatian dalam melakukan perawatan terhadap tahanan.

8 D. Kerangka Teori dan Konseptual 1. Kerangka Teori a. Teori Tujuan Pemidanaan Terdapat tiga teori yang berkaitan dengan tujuan pemidanaan, yaitu: 1) Teori Absolut atau pembalasan Menurut teori ini pidana dijatuhkan semata-mata karena orang telah melakukan suatu kejahatan atau tindak pidana. Pidana merupakan suatu pembalasan yang mutlak dari suatu perbuatan tindak pidana tanpa tawar menawar. Tuntutan keadilan yang sifatnya absolut ini terlihat jelas dalam pendapat Immanuel Kant yang menyatakan bahwa pidana tidak pernah dilaksanakan semata-mata sebagai sarana untuk mempromosikan tujuan atau kebaikan masyarakat. tetapi dalam semua hal harus dikenakan karena orang yang bersangkutan telah melakukan kejahatan. Hal ini harus dilaksanakan karena setiap orang harus menerima ganjaran dari perbuatanya dan perasaan balas dendam tidak boleh tetap ada pada anggota masyarakat, karena apabila tidak demikian mereka sernua dapat dipandang sebagai orang yang ikut ambil bagian dalam pembunuhan itu yang merupakan pelanggaran terhadap keadilan umum. Berdasarkan uraian di atas maka dapat dinyatakan bahwa menurut teori absolut atau pemba1asan ini pidana merupakan tuntutan mutlak, bukan hanya sesuatu yang perlu dijatuhkan tetapi mutlak menjadi suatu keharusan kerana hakekat dan pidana adalah pembalasan. 1 1 Muladi dan Barda Nawawi Arief. Teori-teori Kebijakan Hukum Pidana. Alumni, Bandung. 1984. Hlm.32.

9 2) Teori Relatif atau Tujuan Tujuan pidana bukanlah sekedar rnelaksanakan pembalasan dari suatu perbuatan jahat, tetapi juga rnernpunyai tujuan lain yang bermanfaat, dalam arti bahwa pidana dijatuhkan bukan karena orang telah berbuat jahat, melainkan pidana dijatuhkan agar orang tidak melakukan kejahatan. Memidana harus ada tujuan lebih lanjut daripada hanya menjatuhk:an pidana saja, sehingga dasar pembenaran pidana munurut teori relatif atau tujuan ini adalah terletak pada tujuannya. Tujuan pidana untuk mencegah kejahatan ini dapat dibedakan antara prevensi khusus (special prevention) dengan prevensi umum (general prevention), prevensi khusus dimaksudkan pengaruh pidana terhadap pidana hingga pencegahan kejahatan ini ingin dicapai oleh pidana dengan mempengaruhi tingkah laku terpidana untuk tidak melakukan tindak pidana. Teori ini seperti telah dikenal dengan rehabilitation theory. Ada tiga bentuk pengaruh dalam pengertian prevensi umum, yaitu pengaruh pencegahan, pengaruh untuk memperkuat larangan-larangan moral dan pengaruh mendorong suatu kebiasaan perbuatan patuh pada hukum. 2 3) Teori Integratif atau Gabungan Menurut teori ini pemberian pidana di samping sebagai pembalasan dari suatu tindak pidana yang dilakukan juga sebagai usaha mencegah dilakukannya tindak pidana. Selain sebagai pembalasan atas suatu tidak pidana, pidana diberikan untuk mempengaruhi perilaku masyarakat umum demi perlindungan 2 Ibid. hlm.33.

10 masyarakat. Tujuan pidana dan pembenaran penjatuhan pidana di samping sebagai pembalasan juga diakui sebagai pidana yang memiliki kemanfaatan baik terhadap individu maupun terhadap masyarakat. Timbulnya teori gabungan atau aliran integratif ini karena adanya berbagai kelemahan pada teori pembalasan dan teori tujuan. Menurut Binding kelemahan-kelemahan terdapat pada teori pembalasan adalah terlalu sulit untuk menentukan berat ringannya pidana diragukan adanya hak negara untuk menjatuhkan pidana sebagai pembalasan, pidana pembalasan tidak bermanfaat bagi masyarakat. Dalam teori ini tujuan pidana adalah untuk mencegah kejahatantan sehingga dijatuhkan pidana yang berat oleh teori pencegahan umum maupun teori pencegahan khusus, jika ternyata kejahatan itu ringan, maka penjatuhan pidana yang berat tidak akan memenuhi rasa keadilan bukan hanya masyarakat tidak puas tetapi juga penjahat itu sendiri. 3 b. Penahanan dan Hak-Hak Tersangka Penahanan merupakan tindakan penghentian kemerdekaan sebagai hak asasi manusia yang dimiliki oleh setiap orang. KUHAP sebagai hukum acara pidana yang berlaku di Indonesia saat ini menjunjung tinggi HAM, karena itu KUHAP memberikan pembatasan waktu penahanan. Jika waktu itu dilampaui, maka pejabat yang melakukan penahanan wajib mengeluarkan tahanan demi hukum. 4 Menurut M. Yahya Harahap, Landasan penahanan meliputi dasar hukum, keadaan, serta syarat-syarat yang memberi kemungkinan melakukan tindakan 3 Ibid. 1984. Hlm.34. 4 Martiman Prodjohamidjojo, Penangkapan dan Penahanan, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1984, hlm.18.

11 penahanan antara yang satu dengan yang lain dari dasar tersebut, saling menopang kepada unsur yang lain. Sehingga kalau salah satu unsur tidak ada, tindakan penahanan kurang memenuhi asas legalitas meskipun tidak sampai di kualifikasi sebagai tindakan yang tidak sah (ilegal). 5 Penahanan atas diri pelaku tindak pidana pada dasarnya merupakan suatu perampasan hak untuk hidup secara bebas yang dimiliki oleh seseorang. Setiap penahanan dilaksanakan berdasarkan asas praduga tak bersalah, yang secara tegas dinyatakan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undangundang Hukum Acara Pidana. Penempatan tahanan di Rutan/cabang Rutan atau Lapas/cabang lapas di tempat tertentu merupakan rangkaian proses pemidanaan yang diawali dengan proses penyidikan, seterusnya dilanjutkan dengan proses penuntutan dan pemeriksaan perkara disidang pengadilan serta pelaksanaan putusan pengadilan di Lembaga Pemasyarakatan. Proses pemidanaan tersebut dilaksanakan secara terpadu dalam Integrated Criminal Justice System. Perawatan tahanan di Rutan/Cabang Rutan atau Lapas/Cabang Lapas atau di tempat tertentu bertujuan antara lain untuk: 6 a. Memperlancar proses pemeriksaan baik pada tahap penyidikan maupun pada tahap peruntutan dan pemeriksaan dimuka pengadilan. b. Melindungi kepentingan masyarakat dari pengulangan tindak kejahatan yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana yang bersangkutan, atau c. Melindungi si pelaku tindak pidana dari ancaman yang mungkin akan dilakukan oleh keluarga korban atau kelompok tertentu yang terkait dengan tindak pidana yang dilakukan. 5 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan Penerapan KUHAP, Sinar Grafika, Jakarta, 2009. hlm. 165. 6 Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 1999 tentang Syarat-syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Wewenang, Tugas dan Tanggung Jawab Perawatan Tahanan.

12 Hak tahanan yang diatur dalam peraturan pemerintah ini ditekankan pada hak kodrati yang dimiliki oleh setiap orang dan pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan statusnya sebagai tahanan dan satu-satu hak yang hilang adalah hak untuk hidup bebas. Oleh karena itu perawatan tahanan harus dilakukan sesuai dengan program perawatan tahanan dengan memperhatikan tingkat proses pemeriksaan perkara. Kewajiban tahanan untuk secara tertib mengikuti programprogram perawatan adalah bersifat fakultatif yang tidak bersifat memaksa. Kewajiban tersebut semata-mata untuk memberikan manfaat yang menguntungkan bagi dirinya dengan mengikuti berbagai kegiatan sehingga perasaan stres, bosan dan putus asa dapat dilalui secara baik. Darwan Prinst 7, mengemukakan hak-hak tersangka/terdakwa yang diatur dalam KUHAP, sebagai upaya untuk melindungi hak asasi manusia, akan tetapi oleh karena perumusannya lemah seringkali hal ini menjadi nihil. Oleh karena itu ada kemungkinan bahwa KUHP harus direvisi untuk tidak memberi peluang atas pelanggaran hak-hak tersangka/terdakwa. Pelaksanaan suatu undang-undang ditentukan oleh kualitas, moral dan etika para pelaksananya. 2. Konseptual Konseptual adalah kumpulan dari berbagai teori yang dihubungan satu sama lain untuk dapat memberikan suatu gambaran atas suatu fenomena. 8 Konseptual sehubungan penelitian ini dapat dijelaskan sebagai berikut: 7 Darwin Prinst, Hukum Acara Pidana Dalam Praktik, Djambatan, Jakarta, 1998, hlm.5. 8 Ronnyh Kountur, Metode Penelian Untuk Skripsi dan Tesis, PPM, Jakarta, 2007, hlm.85.

13 a. Pelaksanaan adalah proses melaksanakan atau melakukan suatu kegiatan/ program berdasarkan perencanaan guna mencapai hasil atau tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya 9 b. Pendidikan dan pengajaran adalah kegiatan memberikan materi atau nilai-nilai tertentu kepada peserta didik melalui proses pengajaran yang sistematis atau terprogram untuk mencapai hasil 10 c. Perawatan tahanan adalah proses pelayanan tahanan yang dilaksanakan mulai dari penerimaan sampai dengan pengeluaran tahanan dari Rumah Tahanan Negara (Rutan) 11 d. Tahanan adalah tersangka atau terdakwa yang di tempatkan dalam Rutan/Cabang Rutan atau di tempat tertentu. 12 e. Kepolisian menurut Pasal 4 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah institusi yang melaksakan tugas mewujudkan keamanan dalam negeri, meliputi terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, terselenggaranya perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. E. Sistematika Penulisan Untuk memudahkan para pembaca memahami skripsi ini, maka penulisan skripsi ini disusun dengan sistematika sebagai berikut: 9 Solihin Abdul Wahab. Kebijakan Publik. Rajawali Press. Jakarta. 2006.hlm.43 10 Sanjaya Wina. Psikologi Pendidikan. Rineka Cipta. Jakarta. 2007.hlm.12 11 Darwin Prinst, Op cit, hlm.7. 12 Ibid, hlm.9.

14 I PENDAHULUAN Berisi pendahuluan penyusunan skripsi yang terdiri dari Latar Belakang, Permasalahan dan Ruang Lingkup, Tujuan dan Kegunaan Penelitian, Kerangka Teori dan Konseptual serta Sistematika Penulisan. II TINJAUAN PUSTAKA Berisi tinjauan pustaka dari berbagai konsep atau kajian yang berhubungan dengan penyusunan skripsi yaitu pengertian penahanan dan permasalahan di sekitar penahanan, pengertian dan hak-hak tersangka, sistem peradilan pidana dan penegakan hukum pidana. III METODE PENELITIAN Berisi metode yang digunakan dalam penelitian, terdiri dari Pendekatan Masalah, Sumber Data, Penentuan Populasi dan Sampel, Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data serta Analisis Data. IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Berisi deskripsi berupa penyajian dan pembahasan data yang telah didapat terdiri dari pelaksanaan pendidikan dan pengajaran bagi tahanan dan faktor-faktor yang menghambat pelaksanaan pendidikan dan pengajaran bagi tahanan di Polresta Bandar Lampung. V PENUTUP Berisi kesimpulan umum yang didasarkan pada hasil analisis dan pembahasan penelitian serta berbagai saran sesuai dengan permasalahan yang ditujukan kepada pihak-pihak yang terkait dengan penelitian.