DETEKSI ANTIBODI SPESIFIK FILARIA IgG4 DENGAN PAN LF PADA ANAK SEKOLAH DASAR UNTUK EVALUASI KEBERHASILAN PROGRAM ELIMINASI FILARIASIS

dokumen-dokumen yang mirip
Prevalensi pre_treatment

BAB 4 HASIL PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 4 HASIL PENELITIAN

DESCRIPTION OF KNOWLEDGE, ATTITUDE AND BEHAVIOR OF THE PEOPLE AT NANJUNG VILLAGE RW 1 MARGAASIH DISTRICT BANDUNG REGENCY WEST JAVA ABOUT FILARIASIS

Cakupan Pemberian Obat Pencegahan Massal Filariasis di Kabupaten Sumba Barat Daya Tahun

Kata kunci: filariasis; IgG4, antifilaria; status kependudukan; status ekonomi; status pendidikan; pekerjaan

UNIVERSITAS INDONESIA

Filariasis cases In Tanta Subdistrict, Tabalong District on 2009 After 5 Years Of Treatment

ABSTRAK. Pembimbing I : Rita Tjokropranoto, dr., M.Sc Pembimbing II : Hartini Tiono, dr.,m. Kes

Bab I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan yang disebabkan oleh berjangkitnya penyakit-penyakit tropis. Salah satu

BAB I PENDAHULUAN. yang disebabkan infeksi cacing filaria yang ditularkan melalui gigitan

BAB I PENDAHULUAN. Akibat yang paling fatal bagi penderita yaitu kecacatan permanen yang sangat. mengganggu produktivitas (Widoyono, 2008).

BAB 1 PENDAHULUAN. Deklarasi Milenium yang merupakan kesepakatan para kepala negara dan

BAB I PENDAHULUAN. menular (emerging infection diseases) dengan munculnya kembali penyakit menular

PENGOBATAN FILARIASIS DI DESA BURU KAGHU KECAMATAN WEWEWA SELATAN KABUPATEN SUMBA BARAT DAYA

PREVALENSI MIKROFILARIA SETELAH PENGOBATAN MASAL 4 TAHUN DI WILAYAH KAMPUNG SAWAH, KECAMATAN CIPUTAT, TANGERANG SELATAN

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penyakit Filariasis Limfatik atau penyakit Kaki Gajah merupakan salah

UNIVERSITAS INDONESIA PERBANDINGAN PREVALENSI MIKROFILARIA ANTARA PEMERIKSAAN MIKROSKOPIK DENGAN BRUGIA RAPID SKRIPSI

Naskah masuk: 4 Januari 2016, Review 1: 7 Januari 2016, Review 2: 8 Januari 2016, Naskah layak terbit: 29 Februari 2016

ABSTRAK PREVALENSI FILARIASIS DI KOTA BEKASI PERIODE

LYMPHATIC FILARIASIS (LF) ELIMINATION USED A COMMUNITY DIRECTED APPROACH.

GAMBARAN KARAKTERISTIK PENDERITA FILARIASIS DI DESA SANGGU KABUPATEN BARITO SELATAN KALIMANTAN TENGAH

ABSTRAK GAMBARAN PENYAKIT FILARIASIS DI KABUPATEN BEKASI, PROVINSI JAWA BARAT PERIODE

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Filariasis limfatik merupakan penyakit tular vektor dengan manifestasi

BAB I PENDAHULUAN. penyakit yang disebabkan oleh infeksi cacing filaria yang penularannya melalui

Gambaran Pengobatan Massal Filariasis ( Studi Di Desa Sababilah Kabupaten Barito Selatan Kalimantan Tengah )

HUBUNGAN ANTARA FAKTOR PENDIDIKAN DENGAN KEJADIAN FILARIASIS YANG DITENTUKAN BERDASARKAN DISTRIBUSI IGG4 ANTIFILARIA. Biyan Maulana*, Heri Wibowo**

Analisis Spasial Distribusi Kasus Filariasis di Provinsi Nusa Tenggara Timur Tahun

BAB I PENDAHULUAN. Infeksi parasit pada saluran cerna dapat disebabkan oleh protozoa usus dan

RISIKO KEJADIAN FILARIASIS PADA MASYARAKAT DENGAN AKSES PELAYANAN KESEHATAN YANG SULIT

Kondisi Filariasis Pasca Pengobatan Massal di Kelurahan Pabean Kecamatan Pekalongan Utara Kota Pekalongan

BAB I PENDAHULUAN.

EFEKTIvITAS PENGOBATAN MASSAL FILARIASIS TAHAP II MENGGUNAKAN KOMBINASI DEC DENGAN ALBENDAZOLE

BAB 1 PENDAHULUAN. Filariasis atau yang dikenal juga dengan sebutan elephantiasis atau yang

BAB 1 : PENDAHULUAN. Filariasis adalah penyakit yang disebabkan oleh cacing filaria yang

BAB I PENDAHULUAN. Prioritas pembangunan kesehatan dalam rencana strategis kementerian

SITUASI FILARIASIS DI PULAU ALOR PADA TAHUN 2006

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Filariasis (penyakit kaki gajah) adalah penyakit menular yang

Filariasis Limfatik pada Anak anak. Monica Puspa Sari

GAMBARAN PENGETAHUAN, SIKAP DAN PERILAKU MASYARAKAT DI RW 1 DESA NANJUNG KECAMATAN MARGAASIH KABUPATEN BANDUNG JAWA BARAT TENTANG FILARIASIS TAHUN

BAB 1 PENDAHULUAN. kaki gajah, dan di beberapa daerah menyebutnya untut adalah penyakit yang

ANALISIS SITUASI FILARIASIS LIMFATIK DI KELURAHAN SIMBANG KULON, KECAMATAN BUARAN, KABUPATEN PEKALONGAN Tri Wijayanti* ABSTRACT

GAMBARAN KEPATUHAN PENGOBATAN MASAL DI DAERAH ENDEMIS KOTA PEKALONGAN

Optimalisasi Real Time PCR untuk Diagnosis Filariasis Bancrofti pada Sediaan Hapus Darah Tebal

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN TINGKAT KEBERHASILAN PROGRAM PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN FILARIASIS DI PUSKESMAS SE-KOTA PEKALONGAN TAHUN 2016

DI DAERAH ENDEMIS FILARIASIS KECAMATAN PONDOK GEDE, KABUPATEN BEKASI, JAWA BARAT

PERILAKU MINUM OBAT ANTI FILARIASIS DI KELURAHAN RAWA MAMBOK Anti-filariasis Medicine Drinking Behavior in Rawa Mambok Village

Faktor Risiko Kejadian Penyakit Filariasis Pada Masyarakat di Indonesia. Santoso*, Aprioza Yenni*, Rika Mayasari*

CAKUPAN PENGOBATAN MASSAL FILARIASIS DI KABUPATEN SUMBA BARAT DAYA TAHUN 2011 FILARIASIS MASS TREATMENT COVERAGE IN DISTRICT SOUTHWEST SUMBA 2011

Proses Penularan Penyakit

MDA dan CMA sebagai Strategi Eliminasi Filariasis. MDA and CMA as Elimination of Filariasis Strategy

ABSTRAK. Pembimbing II : Penny S M., dr., Sp.PK., M.Kes

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh cacing filaria dan ditularkan oleh nyamuk Mansonia, Anopheles,

ABSTRAK STUDI KASUS PENENTUAN DAERAH ENDEMIS FILARIASIS DI DESA RANCAKALONG KABUPATEN SUMEDANG JAWA BARAT TAHUN 2008

TOPIK UTAMA Filariasis di Indonesia OPINI Analisis Epidemiologi Deskriptif Filariasis di Indonesia Oleh : dr. Tri Yunis Miko Wahyono, M.Sc...

BAB I PENDAHULUAN. 1

KEPATUHAN MASYARAKAT TERHADAP PENGOBATAN MASSAL FILARIASIS DI KABUPATEN BELITUNG TIMUR TAHUN 2008

HUBUNGAN PENGETAHUAN, SIKAP, DUKUNGAN KELUARGA DAN AKSES PELAYANAN KESEHATAN DENGAN KEPATUHAN MASYARAKAT MINUM OBAT ANTIFILARIASIS

Juli Desember Abstract

The occurrence Factor of Filariasis Transmission In Lasung Health Centers Kusan Hulu Subdistrict, Tanah Bumbu Kalimantan Selatan

PREVALENSI DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD) PADA PASIEN ANAK DI RSUP H ADAM MALIK MEDAN DARI JANUARI HINGGA DESEMBER 2009 KARYA TULIS ILMIAH.

ABSTRAK. Helendra Taribuka, Pembimbing I : Dr. Felix Kasim, dr., M.Kes Pembimbing II : Rita Tjokropranoto, dr., M.Sc

Filariasis Limfatik di Kelurahan Pabean Kota Pekalongan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pada tahun 2013 jumlah kasus baru filariasis ditemukan sebanyak 24 kasus,

Re-Transmission Assessment Survey Filariasis Pasca Pengobatan Massal di Kabupaten Agam, Provinsi Sumatera Barat Tahun 2016

Distribusi Filariasis Brugia Timori dan Wuchereria Bancrofti di Desa Kahale, Kecamatan Kodi Balaghar, Kabupaten Sumba Barat Daya, Nusa Tenggara Timur

BAB 1 PENDAHULUAN. tahunnya. World Health Organization (WHO) memperkirakan. mendatang diperkirakan sekitar 29% warga dunia menderita

PREVALENSI TERJADINYA TUBERKULOSIS PADA PASIEN DIABETES MELLITUS (DI RSUP DR.KARIADI SEMARANG) LAPORAN HASIL KARYA TULIS ILMIAH

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penyakit malaria masih merupakan masalah kesehatan bagi negara tropis/

UPAYA KELUARGA DALAM PENCEGAHAN PRIMER FILARIASIS DI DESA NANJUNG KECAMATAN MARGAASIH KABUPATEN BANDUNG

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh parasit Protozoa genus Plasmodium dan ditularkan pada

KARAKTERISTIK PASIEN TUBERKULOSIS PARU DI PUSKESMAS TUMINTING MANADO

STUDI ENDEMISITAS FILARIASIS DI WILAYAH KECAMATAN PEMAYUNG, KABUPATEN BATANGHARI PASCA PENGOBATAN MASSAL TAHAP III. Yahya * dan Santoso

GAMBARAN PENDERITA DENGUE HAEMORRAGIC FEVER DI RUMAH SAKIT IMMANUEL JANUARI DESEMBER 2011

ABSTRAK PREVALENSI TUBERKULOSIS PARU DI RUMAH SAKIT PARU ROTINSULU BANDUNG PERIODE JANUARI-DESEMBER 2007

Rencana Nasional Program Akselerasi Eliminasi Filariasis di Indonesia. No ISBN :

Keberhasilan Pengobatan Massal Filariasis di Kecamatan Kusan Hulu Kabupaten Tanah Bumbu Provinsi Kalimantan Selatan

DAFTAR ISI Halaman COVER... i SAMPUL DALAM... ii LEMBAR PENGESAHAN... iii PENETAPAN PANITIA PENGUJI... iv PERNYATAAN KEASLIAN... v ABSTRAK...

HUBUNGAN RESPON IMUN ADAPTIF SELULAR DAN HUMORAL PADA IBU HAMIL DENGAN INFEKSI WUCHERERIA BANCROFTI

Diana Andriyani Pratamawati 1*, Siti Alfiah 1. Jl. Hasanudin No.123 Salatiga 50721

Kata Kunci : Peran PMO, Kepatuhan minum obat, Pasien tuberkulosis paru. Pengaruh Peran Pengawas... 90

PENGETAHUAN, SIKAP DAN PERILAKU MASYARAKAT PASCA PENGOBATAN DAN PENGARUHNYA TERHADAP ENDEMISITAS FILARIASIS DI KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR

BAB 1 PENDAHULUAN. agar peningkatan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya dapat

FAKTOR DOMINAN YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN FILARIASIS DI KOTA PADANG TAHUN

OLEH : DARIUS HARTANTO

GAMBARAN PEMBERIAN OBAT MASAL PENCEGAHAN KAKI GAJAH DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS WELAMOSA KECAMATAN WEWARIA KABUPATEN ENDE TAHUN ABSTRAK

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN Desain Penelitian Desain yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah metode potong lintang (cross-sectional).

Model Penyebaran Penyakit Kaki Gajah di Kelurahan Jati Sampurna

PEMERIKSAAN MIKROFILARIA DI DUSUN CIJAMBAN KECAMATAN PANUMBANGAN KABUPATEN CIAMIS. Mei Widiati*, Ary Nurmalasari, Septi Nurizki ABSTRACT

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

HUBUNGAN PERILAKU PENCARIAN LAYANAN KESEHATAN DENGAN KETERLAMBATAN PASIEN DALAM DIAGNOSIS TB PARU DI BBKPM SURAKARTA SKRIPSI

ABSTRAK GAMBARAN INFEKSI MALARIA DI PUSKESMAS SUNGAI AYAK III KALIMANTAN BARAT TAHUN 2010

BAB I PENDAHULUAN. menetap dan berjangka lama terbesar kedua di dunia setelah kecacatan mental (WHO,

Gambaran Infeksi Malaria di RSUD Tobelo Kabupaten Halmahera Utara Periode Januari Desember 2012

FAKTOR RISIKO DENGAN PERILAKU KEPATUHAN IBU DALAM PEMBERIAN IMUNISASI DASAR LENGKAP PADA BAYI

ABSTRAK PERBEDAAN PENGETAHUAN, SIKAP, PERILAKU SISWA-SISWI SMA NEGERI X DENGAN SMA SWASTA X KOTA BANDUNG TERHADAP INFFEKSI MENULAR SEKSUAL

SURVEI DARAH JARI FILARIASIS DI DESA BATUMARTA X KEC. MADANG SUKU III KABUPATEN OGAN KOMERING ULU (OKU) TIMUR, SUMATERA SELATAN TAHUN 2012

BAB 3 METODE PENELITIAN

Transkripsi:

DETEKSI ANTIBODI SPESIFIK FILARIA IgG4 DENGAN PAN LF PADA ANAK SEKOLAH DASAR UNTUK EVALUASI KEBERHASILAN PROGRAM ELIMINASI FILARIASIS Lutfie, Taniawati Supali Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia, Salemba, Jakarta Pusat, Indonesia Email: lutfie040991@yahoo.com ABSTRAK Hingga saat ini, filariasis adalah salah satu penyakit infeksi yang menjadi masalah kesehatan masyarakat dunia. Sebagai upaya eliminasi filariasis limfatik, WHO mencanangkan program pengobatan masal yang berlangsung selama enam tahun menggunakan kombinasi DEC albendazol. Adapun program eliminasi filariasis di Kabupaten Alor, NTT, sudah dimulai sejak tahun 2002. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengevaluasi keberhasilan program tersebut melalui pengukuran kadar antibodi spesifik filaria IgG4 dengan Pan LF. Penelitian menggunakan desain potong lintang pada anak Sekolah Dasar di Kabupaten Alor, NTT. Sampel darah dikumpulkan dari 1232 anak SD usia 3 hingga 10 tahun, yang terdiri dari 629 anak laki laki dan 603 anak perempuan. Hasil yang diperoleh menunjukkan terjadinya penurunan prevalensi positif IgG4 secara signifikan. Prevalensi IgG4 tidak dipengaruhi oleh umur (p=0,765) maupun jenis kelamin (p=0,941), akan tetapi dipengaruhi oleh kecamatan tempat tinggal (p=0,042). Disimpulkan bahwa pengobatan massal yang dilakukan di Kabupaten Alor berhasil menurunkan prevalensi positif IgG4 pada anak SD. Kata kunci : filariasis, IgG4, Pan LF, anak SD, pengobatan masal, Alor ABSTRACT Until now, filariasis is one of the infectious diseases troubling the world. To eliminate it, WHO implements a six year mass drug administration program using the combination of DEC-albendazol. The elimination program in Alor district, NTT, has been started since 2002. The purpose of this research is to evaluate the program by measuring IgG4 antibody titre with Pan LF. This study uses cross sectional design to elementary school students in Alor district, NTT. The blood samples were collected from 1232 elementary school students whose ages ranged from three to ten years old, consisted of 629 boys and 603 girls. The result shows a significant decrease of positive IgG4 prevalence. The prevalence is not influenced by age (p=0,765) and sex (p=0,941), but is influenced by subdistrict (p=0,042). It is concluded that the mass drug administration held in Alor district succeed to lower the positive IgG4 prevalence on elementary school students. Keywords : filariasis, IgG4, elementary school students, mass drug administration, Alor

Pendahuluan Filariasis limfatik akibat infeksi dari superfamili Filaroidea dapat disebabkan oleh Wuchereria bancrofti, Brugia malayi, dan Brugia timori. 1,2,3 Sebagaiamana diresolusikan World Health Assembly (WHA), filariasis merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat dunia sejak tahun 1997. 2,4 Pada tahun 2010, diperkirakan infeksi terjadi pada lebih dari 700 juta orang di seluruh dunia, dengan 60 juta orang di antaranya berada di Asia Tenggara. 3 Dari seluruh negara di dunia, Indonesia adalah satu satunya negara dengan ketiga jenis agen tersebut. Terhitung pada tahun 2009, kurang lebih telah dilaporkan 11.914 kasus, dengan sebaran terbanyak pada provinsi Nangroe Aceh Darussalam (2.350), Nusa Tenggara Timur (1.730), dan Papua (1.158). 2 Endemisitas di Indonesia berada pada rentang 0 40% dan 356 dari 495 kabupaten / kota (71,9%) dinyatakan endemis filariasis. 2 Adapun infeksi filariasis di NTT terutama disebabkan oleh W.bancrofti dan B.timori. 5,6,7 Sebelum pengobatan massal dilakukan, tercatat 759 penduduk Alor, termasuk anak anak, telah terjangkit infeksi. Prevalensi mikrofilaremia positif pada usia 5 10 tahun menunjukkan angka 20% dan 81% untuk positif IgG4. Temuan ini sedikit lebih tinggi pada anak laki laki (22%) apabila dibandingkan dengan wanita (19%) untuk mikrofilaremia, sedangkan untuk IgG4 tidak jauh berbeda. 9 Tingginya angka ini tentu juga terkait dengan tingginya risiko penularan penyakit. Padahal, filariasis diketahui tidak jarang menimbulkan kecacatan permanen yang bersifat ireversibel. 3,5 Bahkan, pada anak, infeksi filariasis dapat bermanifestasi lebih berat. 10 Untuk itu, Indonesia telah berupaya menangani infeksi ini sejak tahun 1970, akan tetapi belum ditemukan penurunan prevalensi yang bermakna. 1 Di tengah usaha tesebut WHO pada tahun 2000 mencanangkan Global Program for the Elimination of the Lymphatic Filariasis (GPELF). Target dari program ini adalah bebas filariasis pada tahun 2020. 2,4,12 Strategi yang dilakukan adalah pengobatan masal dengan dietilkarbamazin atau ivermectin tunggal atau dapat pula dikombinasikan dengan albendazol setiap tahun untuk empat sampai enam tahun. 7,13 Indonesia tergabung sebagai salah satu negara yang ikut serta dalam GPELF pada tahun 2001. 1,2 Aplikasi program dijalankan di Kabupaten Alor pada tahun 2002 dan 2003. 5

Sebagai upaya evaluasi, perlu dilakukan pemeriksaan darah pada anak usia sekolah dasar dengan usia minimal dua tahun dan umumnya di bawah sepuluh tahun. Meskipun WHO menganjurkan metode diagnostik parasitologis, pada praktiknya ditemukan beberapa kendala pada pemeriksaan darah tebal di daerah rural. Oleh karena itu, dikembangkan metode diagnostik serologis melalui deteksi antibodi IgG4 Brugia Rapid (BR) maupun Pan LF untuk filariasis brugia. 5,15 Metode dapat langsung dilakukan di lokasi memakai sampel darah kapiler pada siang hari, sehingga menutupi kesulitan yang sejauh ini ditemui. 4,14 Di samping itu, sensitivitas alat ini ternyata mencapai 98% serta spesivisitas 99%. Pan LF dalam hal ini memiliki kelebihan karena mampu mendeteksi antibodi dalam filariasis Brugia dan Wuchereria. 15,16 Oleh karena itu, pada penelitian ini, digunakan Pan LF untuk deteksi antibodi agar diperoleh prevalensi terkini untuk kasus filariasis pada anak usia Sekolah Dasar di Alor. Kemudian, data ini akan dibandingkan dengan data sebelum pengobatan masal, sehingga dijadikan pedoman evaluasi keberhasilan program eliminasi filariasis di Kabupaten Alor. Metode Penelitian Penelitian dilakukan dengan desain cross-sectional analitik untuk mengetahui prevalensi IgG4 positif pada anak SD di daerah endemis filariasis pasca pengobatan missal serta mencari kaitannya dengan umur, jenis kelamin, serta daerah asal. Populasi target pada penelitian ini adalah seluruh siswa kelas 1 dan 2 SD di Kabupaten Alor dengan populasi terjangkau ialah mereka yang bertempat tinggal di sekitar 20 puskesmas kabupaten setempat. Sampel diambil dari murid usia dua hingga sepuluh tahun yang berasal dari 41 Sekolah Dasar di Kabupaten Alor, Nusa Tenggara Timur dan telah tersedia di Departemen Parasitologi, FKUI. Penelitian dimulai dari bulan Agustus 2011 hingga bulan Juli 2012. Subjek akan dieksklusi apabila mengalami sakit berat atau menolak berpartisipasi.

Adapun sampel dipilih dengan metode cluster sampling berdasarkan wilayah puskesmas pada kabupaten Alor sebanyak 1.656 orang, sesuai jumlah minimal yang ditetapkan oleh WHO, yaitu 1.548 anak (52 siswa per SD dari 30 SD). 21 Setelah dilakukan pemeriksaan serologi, hasil valid hanya diperoleh dari 1.232 anak. Spesimen untuk penelitian ini adalah darah hasil tusukan jari, yang kemudian diperiksa kadar antibodinya dengan Pan LF Rapid. Data kemudian diolah dengan program SPSS 18.0.0 lalu dicari hubungan kadar antibodi dengan usia, jenis kelamin, maupun kecamatan. Uji yang dilakukan adalah Chi square ataupun Fisher s Exact test dengan Hasil uji tergolong bermakna bila diperoleh p < 0,05. Hasil dan Pembahasan Penelitian ini menghasilkan data valid untuk sampel sebanyak 1.232 anak. Sebaran umur diperlihatkan oleh gambar 4.1, jenis kelamin oleh gambar 4.2, dan daerah kecamatan asal pada tabel 4.1. Jumlah Sampel 400 300 200 100 310 327 358 237 0 < / = 6 7 8 > 9 Usia Gambar 1. Sebaran Umur Subyek Penelitian 49% 51% Laki - laki Perempuan Gambar 2. Sebaran Jenis Kelamin Subyek Penelitian

Tabel1. Sebaran Asal Kecamatan Subyek Penelitian No Asal Kecamatan Jumlah Subyek Penelitian Persentase 1 Alor Timur Laut 47 3,82% 2 Alor Barat Daya 174 14,13% 3 Alor Timur 167 13,57% 4 Alor Barat Laut 206 16,65% 5 Alor Selatan 139 11,29% 6 Alor Tengah Utara 99 8,04% 7 Alor Kabola 62 5,04% 8 Alor Teluk Mutiara 96 7,80% 9 Pantar 83 6,74% 10 Pantar Timur 63 5,12% 11 Pantar Tengah 50 4,06% 12 Pantar Barat 46 3,74% Diperoleh hasil bahwa hasil positif untuk antibodi anti filaria IgG4 terdeteksi pada 12 anak (0,97%). Dibandingkan dengan persentase awalnya pada tahun 2001, yaitu 81%, dapat dikatakan ditemukan penurunan yang signifikan. 9

100% 80% 60% 40% 20% 0% 81% Sebelum Pengobatan Masal Prevalensi PosiHf IgG4 0.97% Setelah Pengobatan Masal Gambar 3. Perbandingan Prevalensi Positif IgG4 Sebelum dan Sesudah Pengobatan Masal Sesuai pedoman Departemen Kesehatan Indonesia dan WHO, program dinyatakan berhasil bila prevalensi mikrofilaria kurang dari 1%. Dalam hal ini, eliminasi tidak perlu dilanjutkan dan pengobatan hanya dilakukan secara selektif pada anak dengan mikrofilaria. Sebagai konversinya, prevalensi antibodi IgG4 umumnya mendekati dua atau tiga kali lipat dari prevalensi mikrofilaria. 9 Dengan temuan prevalensi IgG4 0,97%, dapat diprediksi prevalensi mikrofilaria sekitar 0,34%. Oleh karena itu, pengobatan masal dinyatakan berhasil. Selain didukung oleh faktor utamanya yaitu efek farmakologis obat, keberhasilan ini juga merupakan akibat dilakukannya intervensi Knowledge, Attitude, and Practice (KAP) sebelum pengobatan masal, yaitu dari 54% menjadi 89%. 20 Intervensi ini berhasil meningkatkan jumlah peserta dari 21% menjadi 88%, dimana diprediksi nilai keikutsertaan lebih dari 70% adalah salah satu faktor esensial untuk keberhasilan program. 5,20,22 Ditinjau dari segi usia, diperoleh hasil bahwa kelompok usia lebih dari sembilan tahun memiliki prevalensi angka tertinggi, dengan sebarannya diperlihatkan pada gambar 4.4.

Prevalensi Posi3f IgG4 1.50% 1.00% 0.50% 0.97% 1.22% 0.56% 1.27% 0.00% < / = 6 7 8 > 9 Usia Gambar 4. Prevalensi IgG4 Positif berdasarkan Kelompok Umur Uji Fischer menunjukkan nilai p = 0,765, sehingga dikatakan tidak terdapat perbedaan proporsi untuk prevalensi filariasis pada setiap kelompok umur. Adapun tingginya prevalensi pada anak yang berusia lebih dari sembilan tahun dapat saja disebabkan oleh jumlah subjek penelitian yang lebih sedikit untuk kelompok usia tersebut. Meskipun hasil temuan ini tidak bersesuaian dengan penelitian Supali, dkk., hasil ini diperkirakan terkait dengan tingginya endemisitas hanya pada daerah / kecamatan tertentu. 9 Apabila kelompok usia tertentu mendominasi daerah ini, maka prevalensi positif untuk IgG4 yang diperoleh juga dapat saja lebih tinggi. 22 Ditinjau dari jenis kelamin, filariasis didapatkan sama pada laki laki dan perempuan. Hasil analisis statistik dengan uji Chi square menunjukkan tidak adanya perbedaan signifikan bila dilihat dari jenis kelamin (p = 0,941). 50% 50% Laki - laki Perempuan Gambar 5. Prevalensi Positif IgG4 berdasarkan Jenis Kelamin Hasil temuan ini sesuai dengan studi oleh Supali, dkk. 9 Pada penduduk dewasa, laki laki umumnya memiliki prevalensi yang lebih tinggi. Hal ini disebabkan oleh lebih tingginya risiko tergigit oleh nyamuk di tempat pekerjaan mengingat pencaharian utama di Kabupaten Alor adalah petani. 8

Hasil temuan pada penelitian ini menunjukkan bahwa kemungkinan besar anak SD dengan usia di bawah 10 tahun belum bekerja di persawahan, yang menjadi tempat utama penularan larva filaria melalui gigitan nyamuk. Dilihat dari kecamatan asal siswa, terlihat bahwa hanya empat dari dua belas yang masih positif untuk kasus filariasis. Sebaran data diperlihatkan oleh tabel 2. Tabel 2. Prevalensi Positif IgG4 berdasarkan Kecamatan No Asal Prevalensi Persentase Kecamatan Positif IgG4 1 Alor Timur Laut 2 Alor Barat Daya 0 0% 1 0,09% 3 Alor Timur 6 0,52% 4 Alor Barat Laut 0 0% 5 Alor Selatan 4 0,34% 6 Alor Tengah Utara 0 0% 7 Alor Kabola 0 0% 8 Alor Teluk Mutiara 0 0% 9 Pantar 1 0,09% 10 Pantar Timur 0 0% 11 Pantar Tengah 0 0% 12 Pantar Barat 0 0% Uji Fischer Exact test menghasilkan nilai p = 0,042%, dengan interpretasi bahwa lokasi / kecamatan berpengaruh secara signifikan pada prevalensi positif IgG4.

Temuan ini disebabkan oleh hasil positif antibodi yang hanya ditemukan pada 5 dari 41 SD. Adapun kelima SD tersebut berada pada 4 (33%) dari total 12 kecamatan. Hasil ini dapat merefleksikan infeksi filariasis aktif yang terjadi pada anak, akan tetapi, dapat juga menggambarkan endemisitas awal yang tinggi di kecamatan tertentu. 22 Berdasarkan hasil studi Rahmah, dkk., pada daerah dengan endemisitas rendah, IgG4 umumnya bertahan selama 6 bulan hingga 2 tahun pasca pengobatan massal. 16 Witt dan Ottesen juga menunjukkan bahwa prevalensi mikrofilaria akan lebih besar pada daerah dengan endemisitas tinggi. Selain itu, respon antibodi yang ditimbulkannya juga akan menjadi lebih tinggi. Sebagai akibatnya, penurunan kadar IgG4 membutuhkan waktu lebih panjang bila dibandingkan dengan anak SD dari kecamatan dengan endemisitas awal rendah. 9,10 Pada anak SD dengan hasil positif pada deteksi Pan LF, disarankan untuk dilakukannya pemeriksaan mikrofilaria. Tahapan ini dimaksudkan untuk membedakan apakah terdeteksinya IgG4 menandakan infeksi aktif atau hanya disebabkan oleh tingginya endemisitas awal daerah tinggal. 18 Adapun temuan mikrofilaremia harus dilanjutkan dengan tata laksana. 14 Simpulan Berdasarkan data pada penelitian ini, diketahui bahwa prevalensi positif untuk antibodi IgG4 pada murid Sekolah Dasar di Kabupaten Alor menurun dari 81% menjadi 0.97% pasca pengobatan masal. Dalam hal ini, tidak ditemukan kaitan langsung antara infeksi yang terjadi dengan kelompok umur (p = 0,765) maupun jenis kelamin (p = 0.941), namun terdapat kaitan dengan kecamatan asalnya (p = 0,042), dimana dari dua belas wilayah kecamatan yang diperiksa, hanya empat yang masih menunjukkan prevalensi hasil positif di bawah 1%. Hubungan antara endemisitas dengan temuan prevalensi antibodi harus dikaji lebih lanjut. Penelitian ini juga melahirkan saran dilakukannya pemeriksaan mikrofilaria pada anak yang masih memiliki antibodi IgG4. Di samping itu, melihat dampak positif dari program eliminasi di kabupaten ini, hendaknya dapat dijadikan pelajaran dan diaplikasikan pada tempat lain.

Ucapan Terima Kasih Penulis menyampaikan terima kasih kepada Dr. Dra. Taniawati Supali sebagai pembimbing serta rekan-rekan yang tergabung dalam kelompok penelitian ini. Daftar Acuan 1. Oqueka T, Supali T, Ismid IS, Purnomo, Rucket P, Bradley M, et al. Impact of Two Rounds of Mass Drug Administration Using Diethylcarbamazine Combined with Albendazole on the Prevalence of Brugia timori and of Intestinal Helminths on Alor Island, Indonesia. Filaria Journal. 2005; 4: 5. 2. Brahim R, Hasnawati, Anggraeni ND, Ismandari F. Filariasis di Indonesia. Buletin Jendela Epidemiologi. 2010; 1: 1-8. 3. Wahyono TY. Analisis Epidemiologi Deskriptif Filariasis di Indonsia. Buletin Jendela Epidemiologi. 2010; 1: 9-14. 4. Ottesen EA. The Global Programme to Eliminate Lymphatic Filariasis. Tropical Medicine and International Health. 2010; 5 (9): 591-4. 5. Supali T. Keberhasilan Program Eliminasi Filariasis di Kabupaten Alor, Nusa Tenggara Timur. Buletin Jendela Epidemiologi. 2010; 1: 20-3. 6. Fischer P, Supali T, Maizels RM. Lymphatic Filariasis and Brugia timori: Prospects for Elimination. Trends in Parasitology. 2004; 20 (8): 351-5. 7. Supali T, Ismid IS, Ruckert P, Fischer P. Treatment of Brugia timori and Wuchereria bancrofti Infections in Indonesia Using DEC or a Combination of DEC and Albendazole: Adverse Reactions and Short-term Effects on Microfilariae. Tropical Medicine and International Health. 2002; 7 (10): 894 901. 8. Supali T, Wibowo H, Ruckert P, Fischer K, Ismid IS, Purnomo, et al. High Prevalence of Brugia Timori Infection in the Highland of Alor Island, Indonesia. Am.J.Trop.Med.Hyg. 2002; 66 (5) : 560-5. 9. Supali T, Rahmah N, Djuardi Y, Sartono E, Ruckert P, Fischer P. Detection of Filarialspecific IgG4 Antibodies Using Brugia Rapid Test in Individuals from an Area Highly Endemic for Brugia Timori. Acta Tropica. 2004; 90. 255-61. 10. Witt C, Ottesen EA. Lymphatic Filariasis: an Infection of Childhood. Tropical Medicine and International Health. 2001; 6 (8) : 582 606. 11. Shenoy RK. Lymphatic Filariasis in Children. J. Commun.Dis. 2006; 38 (2): 118-23.

12. Zhang Y, MacArthur C, Mubila L, Baker S. Control of Neglected Tropical Diseases Needs a Long-term Commitment. BMC Medicine. 2010; 8: 67. 13. Purwantyastuti. Pemberian Obat Massal Pencegahan (POMP) Filariasis. Buletin Jendela Epidemiologi. 2010; 1: 15-9. 14. Weil GJ, Ramzy RM. Diagnostic Tools for Filariasis Elimination Programs. Trends in Parasitology. 2006; 23 (2): 78-81. 15. Rahman RA, Cheah HY, Noordin R. Pan LF-ELISA Using BmR1 and BmSXP Recombinant Antigens for Detection of Lymphatic Filariasis. Filaria Journal. 2007; 6: 10. 16. Noordin R, Makoto I, Eisaku K, Rahman RA, Ravindran B, Mahmud R, et al. Multicentre Evaluations of Two New Rapid IgG4 Tests (WB Rapid and Pan LF Rapid) for Detection of Lymphatic Filariasis. Filaria Journal. 2007; 6: 9. 17. McCarthy J. Diagnosis of Lymphatic Filarial Infections. In: Nutman TB, Pasvol G, Hoffman SL, editors. Lymphatic Filariasis. London: Imperial College Press; 2000. p. 127-39. 18. Fink DL, Fahle GA, Fischer S, Fedorko DF, Nutman TB. Toward Molecular Parasitologic Diagnosis: Enhanced Diagnostic Sensitivity for Filarial Infections in Mobile Populations. Journal of Clinical Microbiology. 2011; 49 (1): 42-7. 19. Nisonoff A. Introduction to Molecular Immunology. Sunderland: Sinauer Associates; 1982.p.47-8. 20. Krentel A, Fischer P, Manoempil P, Supali T, Servais G, Ruckert P. Using Knowledge, Attitudes, and Practice (KAP) Surveys on Lymphatic Filariasis to Prepare a Health Promotion Campaign for Mass Drug Administration in Alor District, Indonesia. Tropical Medicine and International Health. 2006; 11 (11): 1731 40. 21. WHO. Lymphatic Filariasis: A Manual for National Elimination Programmes. Geneva: World Health Organization Press; 2011: p. 54, 71-6. 22. Kyelem D, Biswas G, Bockarie MJ, Bradley MH, El-Setouhy M, Fischer PU, et al. Determinants of Success in National Programs to Eliminate Lymphatic Filariasis: A Perspective Identifying Essential Elements and Research Needs. Am J Trop Med Hyg. 2008; 79 (4): 480-4.