DINAMIKA POPULASI DAN PRODUKTIVITAS KERBAU DI JAWA : STUDI KASUS DI KABUPATEN SERANG

dokumen-dokumen yang mirip
R.H. MATONDANG dan P. SITEPU Balai Penelitian Terak P.O. Box 221, Bogor ABSTRAK

KARAKTERISTIK REPRODUKSI KERBAU RAWA DALAM KONDISI LINGKUNGAN PETERNAKAN RAKYAT ABSTRAK

ANALISIS POLA USAHA PEMBIBITAN SAPI BALI YANG DIPELIHARA SECARA EKSTENSIF DAN SEMI INTENSIF

SISTEM PEMELIHARAAN TERNAK KERBAU DI PROPINSI JAMBI

UPAYA PENINGKATAN EFISIENSI REPRODUKSI TERNAK DOMBA DI TINGKAT PETAN TERNAK

POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN TERNAK KERBAU DI KALIMANTAN SELATAN

POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN TERNAK SAPI DI LAHAN PERKEBUNAN SUMATERA SELATAN

PENDAHULUAN. Hasil sensus ternak 1 Mei tahun 2013 menunjukkan bahwa populasi ternak

PENGEMBANGAN TERNAK KERBAU DI PROVINSI JAMBI

MANAJEMEN PEMELIHARAAN DOMBA PETERNAK DOMBA DI KAWASAN PERKEBUNAN TEBU PG JATITUJUH MAJALENGKA

I. PENDAHULUAN. Sapi perah merupakan salah satu penghasil protein hewani, yang dalam

SeminarNasional Peternakan dan Veteriner ARGONO R. SET10K0 1 dan ISTIANA 2

AGROVETERINER Vol.5, No.2 Juni 2017

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah penduduk yang terus

Lampiran 1. Kuisioner Penelitian Desa : Kelompok : I. IDENTITAS RESPONDEN 1. Nama : Umur :...tahun 3. Alamat Tempat Tinggal :......

UKURAN-UKURAN TUBUH TERNAK KERBAU LUMPUR BETINA PADA UMUR YANG BERBEDA DI NAGARI LANGUANG KECAMATAN RAO UTARA KABUPATEN PASAMAN

Tatap muka ke : 10 POKOK BAHASAN VII VII. SISTEM PRODUKSI TERNAK KERBAU

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Persebaran Kambing Peranakan Ettawah (PE) galur lainnya dan merupakan sumber daya genetik lokal Jawa Tengah yang perlu

I PENDAHULUAN. pedesaan salah satunya usaha ternak sapi potong. Sebagian besar sapi potong

PROGRAM AKSI PERBIBITAN TERNAK KERBAU DI KABUPATEN BATANG HARI

KARAKTERISTIK UKURAN TUBUH KERBAU RAWA DI KABUPATEN LEBAK DAN PANDEGLANG PROVINSI BANTEN

I. PENDAHULUAN. Kebutuhan daging sapi setiap tahun selalu meningkat, sementara itu pemenuhan

I. PENDAHULUAN. Indonesia akan pentingnya protein hewani untuk kesehatan dan kecerdasan

I. PENDAHULUAN. kontribusi positif terhadap pertumbuhan Produk Domestik Bruto Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

KONDISI PETERNAKAN KERBAU DI DESA TAMBAKBOYO KECAMATAN AMBARAWA, KABUPATEN SEMARANG

I. PENDAHULUAN. Populasi ternak kerbau di Indonesia hanya sebesar ekor

TINJAUAN PUSTAKA Peternakan Sapi Potong di Indonesia

TEKNOLOGI PAKAN REKAYASA GENETIK PERLU PRINSIP KEHATI-HATIAN

PEMETAAN POTENSI PENGEMBANGAN TERNAK KERBAU DI SELATAN

BAB I PENDAHULUAN. Susu merupakan salah satu produk peternakan yang berperan dalam

I. PENDAHULUAN. sedikit berbukit. Kecamatan Tanjung Bintang merupakan daerah yang sebagian

SISTEM BREEDING DAN PERFORMANS HASIL PERSILANGAN SAPI MADURA DI MADURA

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Dalam usaha meningkatkan penyediaan protein hewani dan untuk

ANALISIS POTENSI KERBAU KALANG DI KECAMATAN MUARA WIS, KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA, KALIMANTAN TIMUR

INOVASI TEKNOLOGI UNTUK MENDUKUNG PENGEMBANGAN TERNAK KERBAU

BAB I. PENDAHULUAN. Kebutuhan daging sapi dari tahun ke tahun terus meningkat seiring dengan

I. PENDAHULUAN. Kambing merupakan salah satu ternak yang banyak dipelihara dan dikembang

V. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi PO adalah sapi persilangan antara sapi Ongole (Bos-indicus) dengan sapi

I. PENDAHULUAN. tentang pentingnya protein hewani untuk kesehatan tubuh berdampak pada

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Materi Prosedur

POTENSI, PERAN DAN PERMASALAHAN BETERNAK KERBAU DI KALIMANTAN SELATAN

I. PENDAHULUAN. Pembangunan sub sektor peternakan merupakan bagian dari pembangunan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

STRATEGI PENGEMBANGAN TERNAK KERBAU RAWA DI KALIMANTAN SELATAN

Dampak Diseminasi Ayam Kampung Unggul Balitnak di Provinsi Gorontalo

PENGEMBANGAN PERBIBITAN KERBAU KALANG DALAM MENUNJANG AGROBISNIS DAN AGROWISATA DI KALIMANTAN TIMUR

Lingkup Kegiatan Adapun ruang lingkup dari kegiatan ini yaitu :

KERAGAAN USAHA TERNAK KERBAU RAWA DI KALIMANTAN SELATAN

PENDAHULUAN Latar Belakang

LINGKUNGAN BISNIS USAHA TERNAK ITIK. : Wahid Muhammad N. Nim : SEKOLAH TINGGI MANAJEMEN INFORMATIKA DAN KOMPUTER STMIK AMIKOM YOGYAKARTA

I. PENDAHULUAN. dengan tujuan untuk menghasilkan daging, susu, dan sumber tenaga kerja sebagai

Performans Sapi Bali Pada Periode Awal Pertumbuhan di Kabupaten Lampung Tengah. Performance Yearling and Growth of Bali Cattle In Central Lampung

KELESTARIAN (HERD SURVIVAL) TERNAK KERBAU DI ACEH BARAT PROVINSI NANGROE ACEH DARUSSALAM (NAD)

Nomor : Nama pewancara : Tanggal : KUESIONER PETERNAK SAPI BALI DI DESA PA RAPPUNGANTA KABUPATEN TAKALAR, SULAWESEI SELATAN

I. PENDAHULUAN. sangat diperlukan untuk meningkatkan kualitas sumberdaya manusia.

Seminar Nasional : Menggagas Kebangkitan Komoditas Unggulan Lokal Pertanian dan Kelautan Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura

I. PENDAHULUAN. Ternak kambing merupakan salah satu ternak ruminansia penghasil protein

Instalasi Penelitian dan Pengkajian Teknologi Pertanian Gowa P.O. Box 1285, Ujung Pandang 90001

PERTUMBUHAN ANAK KAMBING KOSTA SELAMA PERIODE PRASAPIH PADA INDUK YANG BERUMUR LEBIH DARI 4 TAHUN

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Pembangunan peternakan di Indonesia lebih ditujukan guna

ANALISIS PENDAPATAN PETERNAK SAPI MADURA DAN SAPI MADRASIN DI DESA TAMAN SAREH KECAMATAN SAMPANG. Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PROGRAM AKSI PERBIBITAN DAN TRADISI LOKAL DALAM PENGELOLAAN TERNAK KERBAU DI KABUPATEN SUMBAWA, NUSA TENGGARA BARAT

I. PENDAHULUAN. pasokan sumber protein hewani terutama daging masih belum dapat mengimbangi

Kata Kunci : Kerbau Betina, Karakteristik Reproduksi, Tingkat Kesuburan. Keyword: Female Buffalo, Reproductive Characteristics, Fertility Rate

ANALISIS DAYA DUKUNG PAKAN UNTUK PENGEMBANGAN TERNAK SAPI POTONG DI KECAMATAN TANJUNG RAYA KABUPATEN AGAM SKRIPSI. Oleh : AHMAD ZEKI

Pemotongan Sapi Betina Produktif di Rumah Potong Hewan di Daerah Istimewa Yogyakarta

Bibit sapi peranakan Ongole (PO)

STRATEGI PENGEMBANGAN KERBAU RAWA DI KALIMANTAN SELATAN

pengembangan KERBAU KALANG SUHARDI, S.Pt.,MP Plasmanutfah Kalimantan Timur

Tabel. 2.1 Pencapaian Kinerja Pelayanan Dinas Kesehatan Hewan dan Peternakan Aceh Provinsi Aceh

PEMANFAATAN JERAMI JAGUNG FERMENTASI PADA SAPI DARA BALI (SISTEM INTEGRASI JAGUNG SAPI)

PENENTUAN DAN PENGENDALIAN SIKLUS BERAHI UNTUK MENINGKATKAN PRODUKSI KERBAU

BERTEMPAT DI GEREJA HKBP MARTAHAN KECAMATAN SIMANINDO KABUPATEN SAMOSIR Oleh: Mangonar Lumbantoruan

KERAGAAN PENGEMBANGAN TERNAK SAPI POTONG YANG DIFASILITASI PROGRAM PENYELAMATAN SAPI BETINA PRODUKTIF DI JAWA TENGAH

PEMANFAATAN PROBIOTIK DALAM FERMENTASI JERAMI SEBAGAI PAKAN SAPI BALI DI MUSIM KEMARAU

BAB I PENDAHULUAN. agar diperoleh efisiensi dan efektifitas dalam penggunaan pejantan terpilih,

MANFAAT BIOPLUS DALAM PENGGEMUKAN SAPI FRIESIAN HOLSTEIN (FH) JANTAN DI KECAMATAN LELES KABUPATEN DT II GARUT

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

Lokakarya Nasional Pengembangan Jejaring Litkaji Sistem Integrasi Tanaman - Ternak yang Iebih besar. Selain itu jumlah bagian dagingnya lebih banyak d

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Soedjana (2011) berdasarkan data secara nasional, bahwa baik

penampungan [ilustrasi :1], penilaian, pengenceran, penyimpanan atau pengawetan (pendinginan dan pembekuan) dan pengangkutan semen, inseminasi, pencat

Rini Ramdhiani Muchtar, Bandiati, S K P, Tita D. Lestari Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran Jatinangor, Sumedang ABSTRAK

KA-DO UNTUK PETERNAKAN INDONESIA Oleh: Fitria Nur Aini

IV. POTENSI PASOKAN DAGING SAPI DAN KERBAU

KARAKTERISTIK REPRODUKSI KELINCI REX, SATIN DAN REZA

DUKUNGAN TEKNOLOGI PENYEDIAAN PRODUK PANGAN PETERNAKAN BERMUTU, AMAN DAN HALAL

Seminar Nosional Peternakan dan lieteriner 199- TATIT S., E. WrNA, B. TANGENIAYA dall I. W. MATHIUS

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kambing Kacang dengan kambing Ettawa. Kambing Jawarandu merupakan hasil

PERFORMAN REPRODUKSI KERBAU LUMPUR (Bubalus bubalis) DI KABUPATEN MALANG.

BAB I PENDAHULUAN. dimanfaatkan untuk membajak sawah oleh petani ataupun digunakan sebagai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Indonesia. Sebagai ternak potong, pertumbuhan sapi Bali tergantung pada kualitas

APLIKASIANALISIS RANCANGAN ACAK LENGKAP DALAM PENGOLAHAN DATAHASILPENELITIAN PERCOBAAN PAKAN TERNAK PADAKAMBINGINDUK

NI Luh Gde Sumardani

PENDAHULUAN. potensi besar dalam memenuhi kebutuhan protein hewani bagi manusia, dan

DAFTAR ISI KATA PENGANTAR... ABSTRAK... ABSTRACT... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR ILUSTRASI... DAFTAR LAMPIRAN...

Transkripsi:

Seminar Nasional Peternakan clan Veteriner 2000 DINAMIKA POPULASI DAN PRODUKTIVITAS KERBAU DI JAWA : STUDI KASUS DI KABUPATEN SERANG Kate kunck Populasi, produktivitas, kerbau R.H. MAToNDANG dan A.R. SiPEGAR Balai Penelitian Ternak P.O. Box 221, Bogor 16002 ABSTRAK Penelitian ini dilakukan di kabupaten Serang, Jawa Barat pada lokasi penelitian Balitnak 1981 melaui survai. Dua kecamatan dipilih berdasarkan jumlah populasi (kantong produksi) yaitu Ciruas mewakili datamn rendah dan Baros yang dataran sedang. Sebanyak 90 rosponden dipilih secara acak dan data dikumpulkan melalui pengisian kuesioner yang telah dipersiapkan dan buku statistik kecamatan untuk data sekunder. Data dianalisa secara deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa populasi kerbau di kabupaten Serang menurun sebesar -8,22 persen, walaupun populasi bertambah 47,06 persen tetapi populasi kerbau jantan menurun sangat nyata di Ciruas sebesar -79,09 persen. Faktor-faktor reproduksi di Baros Iebih baik dari pada di Ciruas yaitu umur berahi pertama 31 bulan vs 32 bulan, umur kawin pertama 37 bulan vs 38 bulan, umur beranak pertama 43 bulan vs 47 bulan, dan sedang beranak 367 hari vs 398 hari. Kedua kecainatan ini lebih baik dad pada kabupaten Serang 1982. Kepadatan kerbau terhadap luas lahan dan jumlah penduduk di Ciruas memperlihatkan penurunan sebesar -23,19 persen dan -18,89 persen dari tahun 1982 sampai dengan tahun 1986. Sedangkan di Baros meningkat sebesar 294,12 persen dan 67,65 persen dari tahun 1982 sampai dengan tahun 1996. PENDAHULUAN Kerbau mempunyai peranan penting dalarn kehidupan sosial ekonomi petani di Indonesia,yaitu sebagai sumber daging, tenaga kerja, susu dan pupuk. Namun populasi kerbau mengalarni penunman sebesar 12,79 persen selama periode tahun 1983-1993 dari 2,4 juta ekor tahun 1983 menjadi 2,08 juta ekor pada tahun 1993 (SENSUS PERTANIAN, 1993). Saat ini terlihat bahwa di Jawa populasi kerbau semakin menurun akibat pertambahan penduduk yang pesat, sehingga ketersediaan lahan pengembalaan menyempit clan kertesediaan rumput berkurang. Menurut SENSUS PERTANIAN (1993) bahwa di Jawa Barat populasi kerbau sebesar 443 ribu ekor pada tahun 1983 menjadi 353 ribu ekor pada tahun 1993. Di Jawa Tengah dari 328 ribu ekor kerbau pada tahun 1983 menjadi 181 ribu ekor pada tahun 1993. Sedangkan di Jawa Timur dari tahun!983 sampai tahun 1993 populasi kerbau menurun dari 187 ribu ekor menjadi 117 ribu ekor. Terdesaknya populasi kerbau antara lain disebabkan oleh rendahnya nilai sosial ekonomi kerbau dibandingkan sapi. Disamping lambat clewasa kelamin, laju konsepsi rendah, sulit dalarn pemeliharaan clan respon terhadap perbaikan pakan rendah (MERKENS, 1927). Produktivitas kerbau yang rendah dan populasi semakin terdesak, kerbau masih mempunyai peranan penting dalarn penghasil daging. SASAKI (1994) mengatakan bahwa dalarn kondisi tertentu kerbau bahkan mampu memanfaatkan pakan berkualitas rendah dan menghasilkan daging yang berkualitas. Untuk mempertahankan eksistensi kerbau, perlu adanya perbaikan produktivitas kerbau disamping ketersediaan lahan tetap dipertahankan. Melalui penelitian ini diharapkan perolehan mengenai informasi tentang : perkembangan populasi kerbau dengan menyempitnya lahan pertanian sebagai lahan pengembalaan dan sumber pakan, dan tingkat produktivitas kerbau.

Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner 200'0 MATERI DAN METODE Penelitian ini dilakukan di kabupaten Serang, Jawa Barat. Lokasi penelitian dipilih berdasarkan populasi terrak kerbau terbesar (kantong produksi) dan merupakan lokasi penelitian Balitnak tahun 1981. Dua kecamatan yang dipilih yaitu Ciruas dan Baros. Kecamatan Ciruas mewakili dataran rendah (< 50 m dpl.) dan Baros merupakan dataran sedang (50 m-100 m dpi.). Sebanyak 90 responden diwawancarai melalui pengisisan kuesioner yang telah disediakan masing-masing 45 responden untuk setiap kecamatan. Penentuan responden dilakukan secara acak. Data yang dikumpulkan berupa populasi dan produktivitas kerbau tahun 1996 dan data sekunder terdiri dari Was wilayah dan jumlah penduduk dari Monografi dan Statistik kecamatan. Data dianalisa secara deskriptif. HASIL DAN PEMBAHASAN Pada Tabel 1 dapat dilihat bahwa di kecamatan Ciruas populasi kerbau menurun dari 306 ekor pada tahun 1982 menjadi 227 ekor pada tahun 1996 atau penurunan sebesar -34,80 persen, sedangkan di kecamatan Baros meningkat dari 102 ekor pada tahun 1982 menjadi 150 ekor pada tahun 1996 atau meningkat sebesar 47,06 persen. Penurunan populasi ini diperlihatkan dengan berkurangnya populasi kerbau jantan sebesar -79,09 persen dari 110 ekor tahun 1982 menjadi 23 ekor pada tahun 1996 di Ciruas, sebaliknya di Baros populasi kerbau jantan meningkat sangat besar sekah yaitu 900 persen dari 2 ekor tahun 1982 menjadi 20 ekor tahun 1996. Dari Tabel 1 dapat dilihat bahwa rasio antara satu ekor jantan dan kurang dari 10 ekor betina adalah rasio yang cukup seimbang. Menurut PETHERAM et al. (1982) di daerah dataran rendah, pada musim hujan petani mengerjakan sawah sehingga ruang gerak untuk pengembalaan kerbau semakin sempit dengan demikian tidak ada kesempatan pertemuan antara kerbau jantan dan kerbau betina akibatnya tidak terjadi perkawinan. Oleh karena itu, perlu padang pengembalaan yang tersedia sepanjang tahun, walaupun tingkat pemberian pakan sedikit berperan pada musim kawin di daerah dataran rendah (PETHERAM et al., 1982 ). Disamping pengaruh musim, juga pengaruh pertambahan penduduk yang mengakibatkan semakin menyempitnya lahan di daerah ini. Keadaan ini dapat dilihat pada Tabel 2 bahwa Was wilayah kecamatan Baros berkurang dari 5,83 km 2 pada tahun 1982 menjadi 2,24 km2 pada tahun 1996 namun tidak dikuti dengan pertambahan penduduk sehingga kepadatan per wilayah mengalami peningkatan yang relatif kecil. Tabel 1. Perkembangan populasi kerbau di kecamatan Ciruas dan Baros, Kabupaten Serang tahun 1982 dan 1996 No. Uraian Ciruas Persen Baros Persen 1982 1996 1982 1996 1. Populasi (ekor) : Jantan 110 23-79,09 2 20 900 Betina 196 204 4,08 100 130 30 Jumlah (ekor) 306 227-34,80 102 150 47,06 2. Rataan pemilikan 1,3 1,4-1,0 1,3 3. Rasio antara jantan 1 : 1,78 I :8,87-1 :50 1 :6,50 dan betina Sumber : * PETHERAM et al. (1982) " Monografi kecamatan Ciruas dan Baros (Diolah) 423

Seminar Nasional Peternakan don Veteriner 2000 Keadaan ini berbeda dengan kecamatan Ciruas dimana berkurangnya luas wilayah diikuti dengan pertambahan penduduk yang cukup besar sehingga kepadatan penduduk mendesak keberadaan kerbau, akibatnya populasi kerbau menurun sangat nyata. Hal ini disebabkan kebijakan pemerintah daerah bahwa kecamatan Ciruas merupakan lokasi pengembangan kota Serang, sehingga perpindahan penduduk semakin meningkat dari wilayah Serang dan kota-kota disekitarnya Tabel 2. Luas wilayah kecamatan Ciruas dan Baros Kabupaten Serang Tahun 1982 clan 1996 Kecamatan Luas wilayah (km 2 ) Sumber: * PETHERAM dkk. (1982) ** Monogmfi kecamatan Ciruas dan Baros (Diolah). 1982* 1996** Kepadatan penduduk (orang/km) Luas wilayah (km x) Kepadatan penduduk (oranng/km ) Ciruas 4,44 810 4,31 1053 Baros 5,83 500 2,24 944 Akibat dari penyempitan lahan dan pertambahan penduduk, pada Tabel 3 nampak bahwa kepadatan kerbau terhadap luas lahan menurun dari 0,69 ekor/ha padatahun 1982 menjadi 0,53 ekor/ha pada tahun 1996 di Ciruas, sedangkan di Baros terdapat peningkatan kepadatan kerbau dari 0,17 ekor/ha pada tahun 1982 menjadi 0,67 ekor/ha. Hal yang sama terjadi antara kepadatan kerbau terhadap jumlah penduduk berkurang dari 90 ekor menjadi 73 ekor per 1000 penduduk di kecamatan. Ciruas dan kepadatan kerbau meningkat dari 34 ekor menjadi 57 ekor per 1000 orang penduduk di Baros. Penurunan populasi ini selain karena pertambahan penduduk, juga disebabkan sulitnya mendapat pakan hijauan yang berkualitas dan belum dilaksanakan diversifikasi pakan. Tabel 3. Kepadatan kerbau di kecamatan Ciruas clan Baros Tahun 1982 clan 1996 Kecamatan Kepadatan kerbau terhadap Was lahan pertanian (ekor/ha) Kepadatan ekonomi (ekor/ 1000 penduduk ) 1982 19% Persen 1982 1996 Persen Ciruas 0,69 0,53-23,19 90 73-18,89 Baros 0,17 0,67 294,12 34 57 67,65 Pada Tabel 4 menunjukkan bahwa produktivitas kerbau di Baros relatif lebih baik dibandingkan di Ciruas dan kabupaten Serang 1982. Hal ini antara lain karena struktur populasi yang tidak seimbang antara kerbau jantan dan betina disamping lahan pengembalaan yang sangat minim. Untuk mengatasinya menurut CHANTALAKHANA (1994) bahwa dengan perbaikan manajemen pakan dan breeding, kemampuan reproduksi kerbau dapat ditingkatkan 2-3 kali lipat. Umur berahi pertama dari kerbau di kedua kecamatan masih lebih lama dibandingkan hasil penelitian MERKENS (1927) yaitu, 24-36 bulan. Keadaan ini mungkin disebabkan penanganan kerbau mulai sejak dilahirkan hingga lepas sapih masih rendah, baik karena bobot lahir yang rendah maupun kualitas pakan rendah. Sebaliknya umur kawin pertama kerbau pada kedua kecamatan tersebut lebih baik dibandingkan dengan kabupaten Serang tahun 1982 yaitu berturut-turut 38, 37, dan 39 bulan namun masih lebih lama yang dilaporkan oleh KASIP (1991) bahwa umur kawin kerbau yaitu 36,10 bulan.

Seminar Nasionaf Peternakan dan 6'eteriner 2000 Tabel 4. Produktivitas temak kerbau ditinjau dari reproduksi kerbau dikecamatan Ciruas dan Baros, kabupaten Serang Tahun 1982 dan 1996 Faktor-faktor produktivitas Ciruas 1996 Baros 1996 Kabupaten Serang * 1982 1. Umur berahi I (bulan) 32 31-2. Umur kawin I (bulan) 38 37 39 3. Umur beranak I (bulan) 47 43 46,8 4. Lama bunting (hari) 300 329-5. Selang beranak (hari) 398 367 684 Sumber: * PETHERAM et at. (1982) Angka umur beranak pertama di kecamatan Baros adalah 43 bulan lebih baik daripada kecamatan Ciruas dan kabupaten Serang, berturut-turut 47 clan 47,8 bulan. Sementara itu, lama kebuntingan kerbau di Ciruas lebih baik dibandingkan di Baros (300 hari vs 329 hari). Namun selang beranak di Baros lebih baik dibandingkan dengan di Ciruas (367 vs 398 hari). Angka ini mengkoreksi penemuan PETHERAM et al. (1982) bahwa selang beranak kerbau di Serang adalah 684 hari. PUTU et al. (1995) mendapatkan lama beranak kerbau kalang di Kalimantan 318-327 hari dan selang beranak berkisar antara 417-439 hari. Ternyata kerbau di kabupaten Serang Jawa Barat menunjukkan tingkat yang lebih baik dari kerbau di Kalimantan. Selang beranak merupakan sifat yang sangat penting dalam beternak kerbau sebagai faktor penentu bagi produktivitas (KUSUMA dan SUBANDRIO, 1995). KESIMPULAN DAN SARAN Dari hasil penelitian ini dapat ditarik kesimpulan bahwa populasi kerbau di kabupaten Serang menurun sebesar -8,22 persen dari tahun 1982 populasi kerbau sebesar 408 ekor menjadi 377 ekor pada tahun 1996, walaupun peningkatan populasi di Baros mencapai 47,06 persen dari 102 ekor pada tahun 1982 menjadi 150 ekor pada tahun 1996, namun penurunan populasi kerbau jantan di Ciruas sangat besar mencapai -79,09 persen dari 110 ekor kerbau jantan pada tahun 1982 menjadi 2 ekor pada tahun 1996. Sementara itu, faktor-faktor produktivitas kerbau yang ditemukan di Baros lebih baik dari pada di Ciruas antara lain umur berahi pertama 31 bulan vs 32, umur kawin pertama 37 bulan vs 38bulan, umur beranak pertama 43 bulan vs 47 bulan clan selang beranak selama 367 hari vs 398 hari. Kepadatan kerbau terhadap luas lahan dan jumlah penduduk memperlihatkan peningkatan di Baros berturut-turut yaitu dari 0,17 ekor/ha pada tahun 1982 menjadi 0,67 ekor/ha dan 34 ekor/ 1000 penduduk pada tahun 1982 menjadi 57 ekor/1000 penduduk pada tahun 1996. Sementara itu, di Ciruas terjadi penurunan kepadatan kerbau terhadap luas lahan dan jumlah penduduk berturut-turut yaitu dari 0,69 ekor/ha pada tahun 1982 menjadi 0,53 ekor/ha pada tahun 1996 clan 90 ekor/1000 penduduk pada tahun 1982 menjadi 73 ekor/1000 penduduk pada tahun 1996. Produktivitas kerbau semakin baik dan meningkat jika di daerah tersebut keseimbangan antara populasi kerbau jantan dan kerbau betina tetap dipertahankan. Apabila terjadi perubahan dari pertanian tradisional (kerbau sebagai tenaga kerja pengolahan lahan pertanian) ke mekanisasi pertanian perlu dipikirkan lahan pengganti untuk mempertahankan eksistensi kerbau. Rasio antara jantan dan betina sebagai sumber bibit harus dipertahankan, antara lain dengan kawin suntik. 425

Seminar Nasionai Peternakan dan Veteriner 2000 DAFTAR PUSTAKA Anonymous 1995a. Monografi Desa Pulo kecamatan Ciruas, Kabupaten Serang. Anonymous 1995b. Monografi Desa Sidamukti. Kecamatan Baros. Kabupaten Serang. Anonymous. 1997. Laporan Taman Nasional Baluran Jawa Timur. CHANTALAKHANA, C. 1994. Swamp buffalo development in the past three decades and sustauinable production beyond 2000. Di dalam : Kusuma Diwyanto dan Suibandrio (ed). Peningkatan mutu genetik kerbau lokal di Indonesia. J. Litbang Pertanian XIV(4) :92-101. DiwYANTO K. dan SUBANDRIO. 1995. Peningkatan mutu genetik kerbau lokal di Indonesia. J. Litbang Pertanian XIV(4):92-101. KAstt', L.M. 1991. Kerbau tedong bonga. Prospek Pengembangan dan Pelestariannya Di dalam : S. Adisoemarto (ed). Plasma Nuftah Hewani Indonesia. Komisi Pelastarian Plasma Nutfah Nasional. Bogor. MERKENs, J. 1927. Sumbangan pengetahuan tentang kerbau dan peternakan kerbau di Indonesia (Bijdrage sot de kennis vanden karbou% en de kerbouweteelt in Nederlanch oest India). Thesis. Didalam Soemartono Adisoemarto (Penyunting) dan R.P. Utoyo kpenterjemah) Pengembangan Peternakan Sapi dan Kerbau di Indonesia. LIPI. 1982. Bogor. pp. 25-128. PETHERAM, R.J., C. LIEM, YAYAT PRIYATNA, and MATHURIDI. 1982. Studi Kesuburan Kerbau Di Pedesaan Kabupaten Serang, Jawa Barat. Laporan No. 1, Balai Penelitian Ternak, Bogor. PuTu, I.G., M. SABRANI, M. WINUGROHO, T. CHAMAGO, dan SANToso. 1995. Performans produksi da reproduksi kerbau Kalang di kecamatan Danau Panggang, Kalimantan Selatan. Proc. Seminar Sains dan Teknologi Peternakan, Balitnak, Ciawi. SASAKI, M. 1994. Progress in Asian buffalo production : Its complication to small farmer development. Didalam: KUsumA Diwyanto dan SUBANDRIO (ed). Peningkatan Mutu Genetik Kerbau Lokal di Indonesia. J. Litbang Pertanian XIV (4):92-101.