BAB V PENUTUP. dikeluarkannya Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. Tuhan Yang Maha Esa tersebut tidak boleh dicabut oleh siapapun termasuk oleh

BAB IV KETENTUAN DIBOLEHKANNYA ABORSI AKIBAT PERKOSAAN DALAM PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 61 TAHUN 2014 TENTANG KESEHATAN REPRODUKSI

BAB V PENUTUP. putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Majalah Kedokteran Andalas No.1. Vol.34. Januari-Juni

PEMERINTAH KABUPATEN POSO

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

Kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pada zaman globalisasi dewasa ini tanpa disadari kita telah membuat nilainilai

- Secara psikologis sang istri mempunyai ikatan bathin yang sudah diputuskan dengan terjadinya suatu perkawinan

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan manusia, selain dapat memberikan kemudahan-kemudahan bagi manusia

2 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Pelayanan Kesehatan adalah suatu kegiatan dan/atau serangkaian

Aborsi pada Kehamilan akibat perkosaan: Ketentuan perundangundangan dan Fikih Islam

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2006 TENTANG PENYELENGGARAAN DAN KERJA SAMA PEMULIHAN KORBAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2006 TENTANG PENYELENGGARAAN DAN KERJASAMA PEMULIHAN KORBAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2006 TENTANG PENYELENGGARAAN DAN KERJA SAMA PEMULIHAN KORBAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

BAB III ABORSI DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 36 TAHUN 2009 TENTANG KESEHATAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BUPATI PATI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PATI,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Abortus provocatus di Indonesia lebih populer disebut sebagai aborsi

BAB IV. A. Analisis tentang Ketentuan Aborsi dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan

A. Analisis Terhadap Tinjauan Aborsi Menurut PP. Nomor 61 Tahun Menurut ketentuan yang ada dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana

BAB I PENDAHULUAN. sendiri, angka pembunuhan janin per tahun sudah mencapai 3 juta. 1 Angka yang

PENGECUALIAN LARANGAN ABORSI BAGI KORBAN PERKOSAAN SEBAGAI JAMINAN HAK-HAK REPRODUKSI

BAB III ANALISA HASIL PENELITIAN

Hadirkan! Kebijakan Perlindungan Korban Kekerasan Seksual. Pertemuan Nasional Masyarakat Sipil Untuk SDGs Infid November 2017

BAB XX KETENTUAN PIDANA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Salah satu tindak kejahatan yang menjadi fenomena akhir-akhir ini

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. yang tidak diinginkan, meliputi abortus provocatus medicinalis dan abortus

BUPATI BADUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 15 TAHUN 2013 TENTANG PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN KEKERASAN

LEMBARAN DAERAH NOMOR 2 TAHUN 2013 PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUDUS NOMOR 2 TAHUN TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Belakangan ini banyak sekali ditemukan kasus-kasus tentang

Wajib Lapor Tindak KDRT 1

V. KESIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan pembahasan diatas dan dari hasil penelitian yang dilakukan, maka

PERLINDUNGAN TERHADAP KELOMPOK RENTAN PEREMPUAN DAN ANAK DALAM KONTEKS HAK ASASI MANUSIA

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan pembahasan pada bab IV maka ada beberapa hal yang dapat

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH

PERLINDUNGAN KORBAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DI KABUPATEN SIDOARJO PASCA BERLAKUNYA UNDANG UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2004

PENANGGULANGAN ABORTUS PROVOCATUS CRIMINALIS DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

BAB III PENUTUP. Berdasarkan uraian dan analisis pada bab-bab sebelumnya maka dapat. Yogyakarta melakukan upaya-upaya sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Membahas permasalahan mengenai aborsi pada korban

PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG

BUPATI PURBALINGGA PROVINSI JAWA TENGAH

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SERANG NOMOR 13 TAHUN 2017 PERATURAN DAERAH KABUPATEN SERANG NOMOR 13 TAHUN 2017 TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN ANAK

PERATURAN BUPATI ACEH TIMUR NOMOR 34 TAHUN 2011 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KASUS KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN DAN ANAK

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 74 TAHUN 2014 TENTANG

BUPATI SUKOHARJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG

WALIKOTA DENPASAR PERATURAN DAERAH KOTA DENPASAR NOMOR 4 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN KEKERASAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kekerasan secara umum sering diartikan dengan pemukulan,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEBUMEN NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN KORBAN KEKERASAN BERBASIS GENDER

PERATURAN DAERAH KABUPATEN OGAN KOMERING ULU

BAB I PENDAHULUAN. Manusia selalu melakukan perubahan dalam kehidupannya, hal ini

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG MEMBANTU MELAKUKAN TERHADAP TINDAK PIDANA ABORSI DI INDONESIA

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN BOGOR NOMOR 5 TAHUN 2015 TENTANG PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK DARI TINDAK KEKERASAN

PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KORBAN PERDAGANGAN ANAK DAN PEREMPUAN

BUPATI LUWU UTARA PROVINSI SULAWESI SELATAN

Bagaimana tanggapan Anda dengan UU Kesehatan yang disahkan DPR 14 September lalu?

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang

INDONESIA. UU No.23 Tahun 1992 tentang Kesehatan

PEMERINTAH KABUPATEN BANGKA BARAT

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkosaan merupakan salah satu tindakan kekerasan pada perempuan.

I. TINJAUAN PUSTAKA. kekerasan itu tidak jauh dari kebiasaan kita. Berdasarkan Undang-undang (UU) No. 23 Tahun

Abstraksi. Kata Kunci : Komunikasi, Pendampingan, KDRT

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Institute for Criminal Justice Reform

BAB I PENDAHULUAN. bumi. Manusia memiliki perbedaan baik secara biologis maupun rohani. Secara

KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Daftar Isi TINDAK PIDANA KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA. Penyusun: Justice for the Poor Project. Desain Cover: Rachman SAGA. Foto: Luthfi Ashari

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR (SOP)

WALIKOTA BLITAR PROVINSI JAWA TIMUR

BAB I PENDAHULUAN. Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) sebenarnya bukan hal yang baru

BAB III DESKRIPSI PASAL 44 AYAT 4 UU NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG KETENTUAN PIDANA KEKERASAN SUAMI KEPADA ISTERI DALAM RUMAH TANGGA

BAB I PENDAHULUAN. dan merupakan salah satu tempat pembentukan kepribadian seseorang. Dalam

BAB III LEGALISASI ABORSI KEHAMILAN AKIBAT PERKOSAAN. A. Latar Belakang Keluarnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 61 Tahun

UNDANG-UNDANG NOMOR 36 TAHUN 2009 TENTANG KESEHATAN [LN 2009/144, TLN 5063]

PERBANDINGAN TINDAK PIDANA ABORSI MENURUT HUKUM POSITIF DI INDONESIA DAN HUKUM ISLAM S K R I P S I

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2008 TENTANG

BAB V PENUTUP. sebelumnya, maka Penulis berkesimpulan sebagai berikut: Seksual Terhadap Anak dalam Hukum Pidana Indonesia

BAB IV PENUTUP. dalam tesis ini, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :

BUPATI BANGKA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA BARAT NOMOR 13 TAHUN 2013 PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN KEKERASAN

Transkripsi:

BAB V PENUTUP Berdasarkan seluruh uraian tersebut diatas, maka dapat diperoleh kesimpulan dan saran sebagai berikut: A. Kesimpulan 1. Pada dasarnya perkembangan hukum mengenai aborsi di Indonesia sudah menuju ke arah yang lebih baik, hal ini ditunjukkan dengan dikeluarkannya Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang sebetulnya dalam undang-undang tersebut lebih memberikan kepastian hukum pada kasus aborsi, baik itu aborsi yang dilakukan dalam indikasi kedaruratan medis ataupun aborsi yang disebabkan oleh akibat dari tindak pidana perkosaan. Hal utama yang perlu digarisbawahi dan perlu diingat adalah bahwa dalam Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan pada dasarnya sama sekali tidak memperbolehkan dilakukannya aborsi, secara tegas dan jelas undang-undang tersebut melarang aborsi, adapun aborsi yang diperbolehkan hanyalah pada dua kondisi tertentu yang sudah dibahas sebelumnya, yaitu hanya pada saat terjadinya indikasi kedaruratan medis serta apabila perempuan tersebut mengandung anak hasil perkosaan. Tujuan dari diperbolehkannya aborsi bagi korban perkosaan sebetulnya sangat mulia dan bijaksana, yaitu untuk menyelamatkan kondisi baik itu dari ibu maupun dari janin yang dikandung, karena korban perkosaan cenderung menderita tekanan secara psikis dan menuju ke arah

90 depresi maka pembuat undang-undang memutuskan untuk memperbolehkan aborsi dilakukan bagi korban tindak pidana perkosaan dikarenakan kondisi psikis dari korban tersebut, karena wanita yang dalam kondisi tertekan seperti itu dikhawatirkan akan sulit untuk membesarkan anaknya nanti dan justru apabila dipaksakan untuk melahirkan ditakutkan anak tersebut akan ditelantarkan dan malah akan menimbulkan masalah baru baik bagi si ibu, anak, maupun keluarga dari ibu dan anak tersebut. Secara yuridis aborsi dibolehkan bagi perempuan yang menjadi korban tindak pidana perkosaan, namun hal pelegalan tersebut juga diiringi oleh sebuah peraturan dan tahapan prosedur yang sangat ketat, sehingga meskipun perempuan tersebut ingin melakukan aborsi karena menjadi korban perkosaan, perempuan tersebut tetap harus mengikuti segala bentuk prosedur yang telah dipersyaratkan seperti harus melakukan konseling dan pemeriksaan kesehatan terlebih dahulu. Pengaturan mengenai tata cara serta prosedur untuk melakukan sebuah aborsi bagi korban tindak perkosaan sendiri diatur di dalam Peraturan Pemerintah No. 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi. Peraturan pemerintah tersebut mengatur mengenai tahapan demi tahapan yang harus dilalui bagi korban perkosaan yang ingin melakukan aborsi terhadap janin yang dikandung olehnya. Sebelum dilakukannya aborsi terhadap janin milik korban perkosaan, sebagaimana diatur dalam Pasal 34 Peraturan Pemerintah No. 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi maka kehamilan tersebut haruslah terlebih dahulu dibuktikan apakah betul diakibatkan oleh

91 perkosaan, dimana cara pembuktian tersebut adalah dengan membandingkan antara usia kehamilan dengan tanggal kejadian perkosaan serta berdasarkan kesimpulan dari keterangan penyidik, psikolog serta ahli lain yang turut serta melakukan pemeriksaan terhadap korban. Apabila memang korban sudah disimpulkan sebagai korban perkosaan, maka tahapan berikutnya adalah memasuki tahapan konseling sebagaimana yang diatur dalam Pasal 37 dan Pasal 38 Peraturan Pemerintah No. 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi, dimana pada intinya tahapan konseling haruslah diadakan baik di saat sebelum melakukan aborsi dan sampai dengan di tahap setelah selesai melakukan aborsi. Berdasarkan pada Peraturan Pemerintah No. 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan, korban perkosaan yang ingin melakukan aborsi terhadap janin yang dikandungnya dibatasi dalam jangka waktu 40 hari, pembatasan ini semata untuk meminimalisir resik yang timbul dari tindakan aborsi tersebut. Pada kesimpulannya, sebetulnya baik Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan maupun Peraturan Pemerintah No. 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi sudah menerapkan bentuk-bentuk persyaratan yang ketat dalam hal untuk melakukan aborsi bagi korban tindak pidana perkosan, dan juga telah diatur tahapan-tahapan yang harus dilalui bagi korban tindak pidana perkosaan tersebut apabila ingin melakukan aborsi terhadap janin yang dikandung olehnya.

92 2. Kesimpulan yang dapat diambil dalam hal faktor-faktor yang menjadi hambatan yang dihadapi oleh kepolisian dalam rangka mengimplementasikan kewenangannya dapat dibagi menjadi empat faktor penghambat yaitu: a. Tidak kooperatifnya korban tindak pidana perkosaan dalam proses penyidikan sehingga menyulitkan penyidik kepolisian dalam rangka mengembankan dan mengambil tindak lanjut yang berkaitan dengan kasus perkosaan yang dihadai oleh korban. b. Belum terdapatnya suatu tim terpadu yang bertugas untuk melakukan penilaian, pemeriksaan, serta pendampingan bagi korban saat dilakukannya penyidikan. c. Belum adanya upaya sosialisasi yang dilakukan oleh pihak kepolisian kepada warga masyarakat yang berkaitan dengan cara menghadapi kasus perkosaan. Ketiga faktor yang menjadi penghambar tersebut apabila dikelompokkan maka akan didapatkan penghalang yang berasal dari dalam tubuh kepolisian sendiri sebagai penegak hukum dan hambatan yang terjadi karena koordinasi lintas sektoral belum sepenuhnya berjalan dengan baik, sehingga karena hal tersebut pada akhirnya membuat implementasi kewenangan dari kepolisian yang diamanahkan oleh Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan maupun Peraturan Pemerintah No. 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi menjadi sedikit terhambat dalam pelaksanaannya.

93 B. Saran 1. Penting untuk dilakukan sebuah sosialisasi secara meluas dalam hal untuk melakukan pemahaman kepada masyarakat luas mengenai apa yang menjadi faktor pendorong utama dari Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang di dalam salah satu pasalnya memperluan pengaturan mengenai aborsi. Diharapkan dengan sosialisasi tersebut masyarakat menjadi paham akan landasan bergerak dari undang-undang tersebut, sehingga kemelut kesalahpahaman yang selama ini terjadi di masyarakat yang menganggap bahwa Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan melegalkan pembunuhan terhadap janin yang tidak bersalah yang dalam hal ini terdapat di kasus aborsi bagi korban tindak pidana perkosaan dapat terurai dan masyarakat dapat menjadi paham mengenai tujuan dari mengapa diperbolehkannya aborsi bagi korban tindak pidana perkosaan. 2. Terhadap kendala yang dihadapi oleh penegak hukum, atau yang dalam hal ini adalah kepolisian, pihak kepolisian harus melakukan suatu upaya sosialisasi kepada masyarakat mengenai cara menghadapi serta menangani kasus perkosaan, harapannya dengan adanya sosialisasi ini maka masyarakat menjadi paham dan apabila melihat atau mengalami perkosaan dapat segera melapor ke kepolisian, sehingga dengan jangka waktu pelaporan yang cepat pihak kepolisian dapat mengumpulkan barang bukti yang berkaitan dengan perkosaan tersebut dengan mudah

94 Selanjutnya, mengenai pembentukan tim terpadu, sudah seharusnya tim terpadu dibentuk dan ditempatkan di setiap provinsi, kabupaten dan kota, hal ini agar mendorong terjadinya proses penilaian serta pemeriksaan secara profesional dalam hal menangani kasus yang berkaitan dengan perkosaan, sehingga dengan adanya tim terpadu tersebut sekat-sekat birokrasi di masing-masing instasi serta lembaga dapat terlebur menjadi satu dan membuat pelayanan pemeriksaan mengenai korban perkosaan menjadi lebih cepat dan tepat.