BAB II LANDASAN TEORI

dokumen-dokumen yang mirip
PAJAK PENGHASILAN PASAL 21

PAJAK PENGHASILAN PASAL 21

BAB II LANDASAN TEORI. Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Pajak digunakan untuk membiayai

BAB II KAJIAN TEORI DAN KERANGKA BERPIKIR. kegiatan yang dilakukan oleh Wajib Pajak Orang Pribadi dalam negeri (Waluyo,

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER - 32/PJ/2015 TENTANG

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR : PER - 31/PJ/2012 TENTANG

PER - 32/PJ/2015 PEDOMAN TEKNIS TATA CARA PEMOTONGAN, PENYETORAN, DAN PELAPORAN PAJAK PENGHASILAN PA

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER - 31/PJ/2012 TENTANG

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER - 31/PJ/2009 TENTANG

BAB II LANDASAN TEORI

Makalah Tentang Pajak Penghasilan Karyawan Pasal 21 / PPh21

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR: 15/PJ/2006 TENTANG

BAB II LANDASAN TEORI. Pengertian pajak menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR: PER- -1 /PJ/2012 TENTANG

LAMPIRAN 1 LAMPIRAN 1

PAJAK PENGHASILAN PASAL 21/26

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dipungut dengan ketentuan-ketentuan dari Undang-Undang sampai dengan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. adalah iuran rakyat kepada Kas Negara berdasarkan Undang-undang (yang dapat

BAB II KAJIAN PUSTAKA

SOAL LATIHAN: JAWABLAH SOAL SOAL BERIKUT INI, TERKAIT DENGAN: PER - 16 / PJ / 2016 (Terlampir)

MAKALAH PERPAJAKAN II PEMOTONGAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 UNTUK PEGAWAI, PEGAWAI LEPAS, DAN PENERIMA HONORARIUM

BAB II LANDASAN TEORI. serta dapat dipaksakan, tetapi tidak ada jasa timbal balik dari negara secara. langsung, untuk memeliahara negara secara umum.

Pajak Penghasilan Pasal 21/26

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB III PEMBAHASAN HASIL KERJA PRAKTEK. Pratama Bandung Cicadas di Bagian Pelayanan, Tempat Pelayanan Terpadu

BAB II LANDASAN TEORI. sektor privat kepada sektor publik. Pemahaman ini memberikan gambaran bahwa

Pajak Penghasilan Pasal 21/26

BAB II LANDASAN TEORETIS. 1. Pengertian Pajak dan Fungsi Pajak Secara Umum

DASAR-DASAR PERPAJAKAN

BAB II LANDASAN TEORI. pembiayaan pembangunan yaitu menggali sumber dana yang berasal dari dalam negeri

BAB II LANDASAN TEORI. sehingga dapat dipaksakan dengan tiada mendapat balas jasa secara langsung. Pajak

Pengertian Pajak Penghasilan 21

BAB II LANDASAN TEORI. tentang pajak, diantaranya pengertian pajak menurut Santoso (1991)

ANALISIS PERENCANAAN PERHITUNGAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 PADA PERUSAHAAN DI KOTA MEDAN

PPH 21 Nur ain Isqodrin, SE., Ak., M.Acc Isqodrin.wordpress.com

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB III SISTEM PEMOTONGAN DAN PENGHITUNGAN PAJAK PENGHASILAN (PPh) PASAL 21 ATAS PEGAWAI NEGERI SIPIL (PNS) PADA KANTOR DPRD PROVINSI JAWA TENGAH

BAB II KAJIAN PUSTAKA. dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

AGENDA. PPh Pasal 26

BAB II DASAR TEORI. wajib, berupa uang dan/atau barang, yang dipungut oleh penguasa. berdasarkan norma-norma hukum, guna untuk menutup biaya produksi

BAB II URAIAN TEORITIS

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER- 31/PJ/20

badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan

BAB II. rutin maupun pengeluaran pembangunan. Pajak digunakan untuk membiayai. untuk membiayai penyelenggaraan negara.

BAB II LANDASAN TEORI Pengertian-Pengertian Dalam Ketentuan Umum dan Tata Cara

PAJAK PENGHASILAN PASAL 21

BAB II KAJIAN PUSTAKA. pajak. Pajak adalah suatu kewajiban kenegaraan dan pengapdiaan peran aktif

Pertemuan 2 PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 (G + B)

MINGGU KE DUA PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 GAJI DAN BONUS

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Pengertian pajak memilki dimensi yang berbeda beda menurut

BAB II BAHAN RUJUKAN

BAB II KAJIAN PUSTAKA. pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak

MODUL PPh PASAL 21/26 & espt PPh Pasal 21

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA. karangan Prof. Dr. Mardiasmo (2011:1) pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Definisi Pajak menurut undang-undang No.16 tahun 2009 tentang. perubahan keempat atas undang undang No. 6 tahun 1983 tentang

BAB II LANDASAN TEORI. Dalam Undang-Undang No.28 Tahun 2007 Tentang Ketentuan Umum Dan

BAB 2 TINJAUAN TEORETIS. Pengertian pajak menurut Adriani dalam Waluyo (2013:2) disebutkan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB III TINJAUAN TEORI DAN PRAKTIK PEMOTONGAN DAN PELAPORAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 PADA ANGGOTA KOMISI PEMILIHAN UMUM PROVINSI JAWA TENGAH


Contoh Isi Proposal Penelitian Konsentrasi Perpajakan ( Akuntansi) Part 4

Kementerian Keuangan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pajak

PEMOTONGAN PPh PASAL 21

Update. Pajak Penghasilan Sehubungan dengan. Pekerjaan atau Jabatan, Jasa dan kegiatan, Yang dilakukan Wajib Pajak Orang Pribadi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi. Pajak mempunyai definisi yang berbeda-beda menurut sudut pandang yang

LAMPIRAN. Universitas Kristen Marantha

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK PETUNJUK PENGISIAN SPT TAHUNAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 PETUNJUK UMUM

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER- 31/PJ/2012

BAB II LANDASAN TEORI

PERHITUNGAN DAN PEMOTONGAN PAJAK PENGHASILAN (PPh) PASAL 21 ATAS PEGAWAI TETAP PADA PT. PLN (PERSERO) CABANG MEDAN. Mangasi Sinurat, SE, M.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. memiliki tujuan dan inti yang sama yaitu merumuskan pengertian pajak sehingga

BAB II KAJIAN PUSTAKAN DAN RUMUSAN HIPOTESIS. Rochmat Soemitro (Mardiasmo 2011:1), Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara

BENDAHARA SEBAGAI PEMOTONG PAJAK PENGHASILAN PASAL 21/26 BAB II

PAJAK PENGHASILAN UMUM DAN NORMA PERHITUNGAN PAJAK PENGHASILAN

BAB II KAJIAN PUSTAKA tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan adalah. badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang dengan tidak

PAJAK PERTAMBAHAN NILAI

BAB II LANDASAN TEORI. Pengungkapan beberapa para ahli mengenai pajak sebagai berikut :

BAB II KAJIAN PUSTAKA. menurut Rochmat Soemitro, seperti yang dikutip Waluyo (2008:3)

MINGGU PERTAMA KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Bab ini berisi kajian landasan teori dan hasil penelitian sebelumnya yang. digunakan untuk menjawab masalah penelitian.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

BAB III TINJAUAN TEORI DAN PRAKTEK

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Undang-undang No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Pembangunan nasional yang berlangsung terus menerus dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Pajak Penghasilan

BAB II BAHAN RUJUKAN

BAB II LANDASAN TEORI Pengertian Pajak Menurut Undang Undang Pasal 1 angka 1 Ketentuan Umum

BAB II LANDASAN TEORI PAJAK PENGHASILAN. II.1.1. Pengertian dan Pelaksanaan Pajak Penghasilan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Pajak adalah iuran wajib rakyat kepada kas negara.adapun beberapa

BAB II. pembiayaan pembangunan yaitu menggali sumber dana yang berasal dari dalam

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Pengertian Pajak sesuai dengan Undang-Undang Ketentuan Umum

PAJAK PENGHASILAN PASAL 21. JUMLAH PENERIMA PENGHASILAN (Orang)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II LANDASAN TEORI. a. Menurut Prof. Dr. Rochmat Soemitro, S.H. ( Resmi, 2013) (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapatkan jasa timbal balik

Transkripsi:

BAB II LANDASAN TEORI II.1 Pemahaman Perpajakan II.1.1 Definisi Pajak Definisi pajak menurut Undang-undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undangundang Nomor 28 Tahun 2007 pasal 1 angka 1 menjelaskan bahwa : Pajak adalah kontribusi wajib pajak kepada Negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Terdapat bermacam-macam batasan atau definisi tentang pajak yang dikemukan oleh para ahli perpajakan. Salah satunya adalah seperti yang dikemukakan oleh Adriani yang dikutip oleh buku karangan Brotodihardjo (2001), yang mendefinisikan pajak sebagai berikut: Pajak adalah iuran kepada Negara yang dapat dipaksakan yang terhutang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan yang tidak mendapat prestasi kembali, dapat langsung di tunjuk dan gunanya untuk membiayai pengeluaran umum berhubungan tugas Negara untuk menyelenggarakan pemerintahan (h.2). Sedangkan definisi menurut Rochmat Soemitro, SH, yang dikutip dari buku karangan Mardiasmo (2009), adalah 7

Pajak adalah iuran rakyat kepada kas Negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontra prestasi) yang langsung dapat ditunjukan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum. Definisi tersebut kemudian dikoreksinya dengan bunyi sebagai berikut : Pajak adalah peralihan kekayaan dari pihak rakyat kepada kas Negara untuk membiayai pengeluaran rutin dan surplusnya yang digunakan untuk public saving yang merupakan sumber utama untuk membiayai public investment (h.1). II.1.2 Teori Yang Mendukung Pemungutan Pajak Teori-teori pemungutan pajak mengacu pada Mulyono (2008), yang dapat diuraikan sebagai berikut : 1. Teori Asuransi Negara melindungi keselamatan jiwa, harta benda, dan hak-hak rakyatnya. Oleh karena itu rakyat harus membayar pajak yang diibaratkan sebagai suatu premi asuransi karena memperoleh jaminan perlindungan tersebut. 2. Teori Kepentingan Pembagian beban pajak kepada rakyat didasarkan pada kepentingan (misalnya perlindungan) masing-masing orang. Semakin besar kepentingan seseorang terhadap Negara, makin tinggi pajak yang harus dibayar. 3. Teori Daya Pikul Beban pajak untuk semua orang harus sama beratnya, artinya pajak harus dibayar dengan daya pikul masing-masing orang. Untuk mengukur daya pikul dapat digunakan 2 (dua) pendekatan, yaitu : a. Unsur objektif, dengan melihat besarnya penghasilan atau kekayaan yang dimiliki seseorang. 8

b. Unsur subyektif, dengan memperhatikan besarnya kebutuhan materiil yang harus dipenuhi. 4. Teori Bakti Dasar keadilan pemungutan pajak terletak pada hubungan rakyat dengan negaranya. Sebagai warga Negara yang berbakti, rakyat harus selalu menyadari bahwa pembayaran pajak adalah sebagai suatu kewajiban. 5. Teori Asas Daya Beli Dasar keadilan terletak pada akibat pemungutan pajak. Maksudnya memungut pajak berarti menarik daya beli dari rumah tangga masyarakat untuk rumah tangga Negara. Selanjutnya Negara akan menyalurkan kembali ke masyarakat dalam bentuk pemeliharaan kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian kepentingan seluruh masyarakat lebih diutamakan. II.1.3 Fungsi Pajak Menurut Mardiasmo (2009) fungsi pajak terdiri dari : 1. Fungsi Penerimaan (Budgetair) Pajak sebagai sumber danabagi pemerintah untuk membiayai pengeluaranpengeluarannya. Untuk menjalankan tugas-tugas rutin Negara dan melaksanakan pembangunan, Negara membutuhkan biaya. Biaya ini dapat diperoleh dari penerimaan pajak. 2. Fungsi Mengatur (Regulerend) Pajak digunakan sebagai alat untuk mengatur masyarakat baik dibidang ekonomi, sosial, maupun politik dengan tujuan tertentu. 9

Pajak digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan tertentu dapat dilihat contoh sebagai berikut : Pemberian insentif pajak (misalnya tax holiday, penyusutan dipercepat) dalam rangka meningkatkan investasi dalam negeri maupun investasi asing. Pengenaan pajak ekspor untuk produk-produk tertentu dalam rangka memenuhi kebutuhan dalam negeri. Pengenaan Bea Masuk dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah untuk produkproduk impor tertentu dalam rangka melindungi produk-produk dalam negeri. II.1.4 Pengelompokan Pajak Mengacu pada Waluyo (2005) pajak dapat dikelompokan berdasarkan golongan, sifat, dan lembaga pemungutannya, sebagai berikut : 1. Menurut Golongan Pajak Langsung, adalah pajak yang harus dipikul sendiri oleh Wajib Pajak dan tidak dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain. Contoh : Pajak Penghasilan. Pajak Tidak Langsung, adalah pajak yang pada akhirnya dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain. Contoh : Pajak Pertambahan Nilai. 2. Menurut Sifat Pajak Subjektif, adalah pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada objeknya, dalam arti memperhatikan keadaan diri Wajib Pajak. Contoh : Pajak Penghasilan. 10

Pajak Objektif, adalah pajak yang berpangkal pada objeknya, tanpa memperhatikan keadaan diri Wajib Pajak. Contoh : Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. 3. Menurut Lembaga Pemungutan Pajak Pusat, adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan digunakan untuk membiayai rumah tangga Negara. Contoh : Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, Pajak Bumi dan Bangunan, dan Bea Materai. Pajak Daerah, adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah dan digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah. Pajak daerah terdiri atas : a. Pajak Propinsi, yaitu Pajak Kendaraan Bermotor dan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor. b. Pajak Kabupaten/Kota, yaitu Pajak Hotel, Pajak Restoran, dan Pajak Hiburan. II.1.5 Sistem Pemungutan Pajak Mengacu pada Mardiasmo (2009), sistem pemungutan pajak ada 3 (tiga), yaitu : 1. Official Assessment System Adalah suatu sistem pemungutan yang memberi wewenang kepada pemerintah (fiskus) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak. 11

Ciri-cirinya : Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada fiskus Wajib pajak bersifat pasif Utang pajak timbul setelah dikeluarkan surat ketetapan pajak oleh fiskus 2. Self Assessment System Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada Wajib Pajak untuk menentukan sendiri besarnya pajak yang terutang. Ciri-cirinya : Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada Wajib Pajak sendiri Wajib pajak aktif, mulai dari menghitung, menyetor, dan melaporkan sendiri pajak yang terutang Fiskus tidak ikut campur dan hanya mengawasi 3. With Holding System Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pihak ketiga (bukan fiskus dan bukan Wajib Pajak yang bersangkutan) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak. Ciri-cirinya : Wewenang menentukan besarnya pajak yang terutang ada pada pihak ketiga selain fiskus dan Wajib Pajak. 12

II.2 Pemahaman Pajak Penghasilan Pasal 21 II.2.1 Pengertian dan Dasar Hukum PPh Pasal 21 Penghasilan adalah setiap tambahan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak baik berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia yang dapat dipakai untuk konsumsi atau menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan dengan nama dan dalam bentuk apapun. Pajak Penghasilan (PPh) pasal 21 adalah pajak atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama apa pun yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan. Dasar hukum Pajak Penghasilan Pasal 21 yaitu Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 yang kemudian diubah menjadi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1991 lalu diubah kembali menjadi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994. Perubahan ketiga yaitu Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 dan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 yang mulai berlaku sejak 1 Januari 2009. Selain itu juga berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor 545/PJ/2000 yang diubah dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor 15/PJ/2006, yang terbaru adalah Peraturan Menteri Keuangan Nomor 252/PMK.03/2008 dan PER-31/PJ/2009. 13

II.2.2 Hak dan Kewajiban Pajak Penghasilan Pasal 21 Menurut Siti Resmi Wajib Pajak mempunyai hak atas PPh Pasal 21 yaitu : 1. Wajib Pajak berhak meminta bukti pemotongan PPh Pasal 21 kepada pemotong pajak. Jumlah PPh Pasal 21 yang telah dipotong dapat dikreditkan dari PPh untuk tahun pajak yang bersangkutan, kecuali PPh Pasal 21 yang bersifat final. 2. Wajib Pajak berhak mengajukan surat keberatan kepada Direktur Jenderal Pajak, jika PPh Pasal 21 yang dipotong oleh pemotong pajak tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku. 3. Wajib Pajak berhak mengajukan permohonan banding secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan alasan yang jelas ke Badan Penyelesaian Sengketa Pajak terhadap keputusan mengenai keberatannya yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak. Menurut Siti Resmi Kewajiban Wajib pajak PPh Pasal 21 yaitu : 1. Wajib Pajak (penerima penghasilan) wajib menyerahkan surat pernyataan kepada Pemotong Pajak, yang menyatakan jumlah tanggungan keluarga pada suatu tahun takwim untuk mendapatkan pengurangan berupa Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). 2. Wajib pajak berkewajiban menyerahkan SPT tahunan PPh Wajib Pajak Orang Pribadi, jika Wajib Pajak mempunyai penghasilan lebih dari satu pemberi kerja. 14

II.2.3 Pemotong Penghasilan Pasal 21 Pemotongan Pajak Penghasilan 21 mengacu pada Djuanda, G (2009) yang selanjutnya disingkat Pemotong Pajak adalah : 1. Pemberi kerja yang terdiri dari orang pribadi atau badan, baik merupakan pusat maupun cabang, perwakilan atau unit yang membayar gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apapun, sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang dilakukan oleh pegawai atau bukan pegawai. 2. Bendaharawan atau pemegang kas pemerintah, termasuk bendahara atau pemegang kas pada Pemerintah Pusat termasuk institusi TNI/POLRI, Pemerintah Daerah, instansi atau Lembaga pemerintah, lembaga-lembaga Negara lainnya, dan Kedutaan Besar Republik Indonesia di luar negeri, yang membayarkan gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan. 3. Dana pensiun, badan penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja, dan badanbadan lain yang membayar uang pensiun dan tunjangan hari tua atau jaminan hari tua. 4. Orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas serta badan yang membayar : a. Honorarium atau pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan jasa dan/atau kegiatan yang dilakukan oleh orang pribadi dengan status Subjek Pajak dalam negeri, termasuk jasa tenaga ahli 15

yang melakukan pekerjaan bebas dan bertindak untuk dan atas namanya sendiri, bukan untuk dan atas nama persekutuannya. b. Honorarium atau pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan kegiatan dan jasa yang dilakukan oleh orang pribadi dengan status Subjek Pajak luar negeri. c. Honorarium atau imbalan lain kepada peserta pendidikan, pelatihan, dan magang. 5. Penyelenggaraan kegiatan, termasuk badan pemerintah, organisasi yang bersifat nasional dan internasional, perkumpulan, orang pribadi serta lembaga lainnya yang menyelenggarakan kegiatan, yang membayar honorarium, hadiah, atau penghargaan dalam bentuk apapun kepada Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri berkenaan dengan suatu kegiatan. II.2.4 Subjek dan Non Subjek pemotongan Penghasilan Pasal 21 Penerima penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 ini mengacu pada Peraturan Direktorat Jenderal Pajak PER-31/PJ/2009, yaitu sebagai berikut : 1. Pegawai 2. Penerima uang pesangon, pensiun atau uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua, atau jaminan hari tua, termasuk ahli warisnya. 3. Bukan pegawai yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan, antara lain meliputi : 16

a. Tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang terdiri dari pengacara, akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaris, penilai, dan aktuaris. b. Pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, bintang sinetron, bintang iklan, sutradara, kru film, foto model, peragawan/peragawati, pemain drama, penari, pemahat, pelukis, dan seniman lainnya. c. Olahragawan. d. Penasihat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh, dan moderator. e. Pengarang, peneliti, dan penerjemah. f. Pemberi jasa dalam segala bidang termasuk teknik komputer dan sistem aplikasinya, telekomunikasi, elektronika, fotografi, ekonomi, dan sosial serta pemberi jasa kepada suatu kepanitiaan. g. Agen iklan. h. Pengawas atau pengelola proyek. i. Pembawa pesanan atau yang menemukan langganan atau yang menjadi perantara. j. Petugas penjaja barang dagangan. k. Petugas dinas luar asuransi. l. Distributor perusahaan multilevel marketing atau direct selling dan kegiatan sejenis lainnya. 4. Peserta kegiatan yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan dengan keikutsertaannya dalam suatu kegiatan, antara lain meliputi : 17

a. Peserta perlombaan dalam segala bidang, antara lain perlombaan olahraga, seni, ketangkasan, ilmu pengetahuan, teknologi, dan perlombaan lainnya. b. Peserta rapat, konferensi, sidang, pertemuan, atau kunjungan kerja. c. Peserta atau anggota dalam suatu kepanitiaan sebagai penyelenggara kegiatan tertentu. d. Peserta pendidikan, pelatihan, dan magang. e. Peserta kegiatan lainnya. Pihak yang Tidak Dipotong PPh Pasal 21 adalah : 1. Pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat lain dari Negara asing, dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat tinggal bersama mereka, dengan syarat bukan warga Negara Indonesia dan di Indonesia tidak menerima atau memperoleh penghasilan lain di luar jabatan atau pekerjaannya tersebut, serta Negara yang bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik. 2. Pejabat perwakilan organisasi internasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf c Undang-Undang Pajak Penghasilan, yang telah ditetapkan oleh Menteri Keuangan, dengan syarat bukan warga Negara Indonesia dan tidak menjalankan usaha atau kegiatan atau pekerjaan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia. 18

II.2.5 Objek dan Non Objek Pemotongan PPh Pasal 21 Berdasarkan PER-15/PJ/2006, Penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 adalah: 1. Penghasilan yang diterima atau diperoleh Pegawai tetap, baik berupa penghasilan yang bersifat teratur maupun tidak teratur. 2. Penghasilan yang diterima atau diperoleh Penerima pensiun secara teratur berupa uang pensiun atau penghasilan sejenisnya. 3. Penghasilan sehubungan dengan pemutusan hubungan kerja dan penghasilan sehubungan dengan pensiun yang diterima secara sekaligus berupa uang pesangon, uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua atau jaminan hari tua, dan pembayaran lain sejenis. 4. Penghasilan pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas, berupa upah harian, upah mingguan, upah satuan, upah borongan, atau upah yang dibayarkan secara bulanan. 5. Imbalan kepada bukan pegawai, antara lain berupa honorarium, komisi, fee, dan imbalan sejenis dengan nama dan dalam bentuk apapun sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan. 6. Imbalan kepada peserta kegiatan, antara lain berupa uang saku, uang representasi, uang rapat, honorarium, hadiah atau penghargaan dengan nama dan dalam bentuk apapun, dan imbalan sejenis dengan nama apapun. 7. Penerimaan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan lainnya dengan nama dan dalam bentuk apapun yang diberikan oleh : a. Bukan Wajib Pajak. b. Wajib Pajak yang dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final. 19

c. Wajib Pajak yang dikenakan Pajak Penghasilan berdasarkan norma penghitungan khusus (deemed profit). Penghasilan yang tidak dipotong PPh Pasal 21 : 1. Pembayaran manfaat atau santunan asuransi dari perusahaan asuransi sehubungan dengan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa. 2. Penerimaan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan dalam bentuk apapun yang diberikan oleh Wajib Pajak atau Pemerintah, kecuali penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2). 3. Iuran pensiun yang dibayarkan kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan, iuran tunjangan hari tua atau iuran jaminan hari tua kepada badan penyelenggara tunjangan hari tua atau badan penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja yang dibayarkan oleh pemberi kerja. 4. Zakat yang diterima oleh orang pribadi yang berhak dari badan atau lembaga amal zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah, atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia yang diterima oleh orang pribadi yang berhak dari lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah. 5. Beasiswa sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 246/PMK.03/2008. 20

II.2.6 Hak dan Kewajiban Pemotong Pajak Menurut PER-31/PJ/2009, Hak-hak pemotong pajak PPh Pasal 21 adalah : 1. Pemotong Pajak berhak atas kelebihan jumlah penyetoran PPh Pasal 21 yang terjadi karena jumlah PPh Pasal 21 yang terutang dalam 1 (satu) tahun takwim lebih kecil daripada jumlah PPh Pasal 21 yang telah disetor. Jumlah kelebihan tersebut akan diperhitungkan dengan PPh Pasal 21 yang terutang atas gaji untuk bulan pada waktu dilakukan penghitungan tahunan, dan jika masih ada sisa kelebihan, diperhitungkan untuk bulan-bulan lainnya dalam tahun berikutnya. 2. Pemotong Pajak berhak mengajukan permohonan untuk memperpanjang jangka waktu penyampaian Surat Pemberitahuan (SPT) PPh Pasal 21. 3. Pemotong Pajak dapat mengajukan keberatan kepada Direktur Jenderal Pajak dan permohonan banding kepada Badan Peradilan Pajak. Kewajiban pemotong Pajak PPh Pasal 21 adalah : 1. Setiap Pemotong Pajak wajib mendaftarkan diri ke Kantor Pelayanan Pajak atau Kantor Penyuluhan Pajak setempat. 2. Pemotong Pajak mengambil sendiri formulir-formulir yang diperlukan dalam rangka pemenuhan kewajiban perpajakannya pada Kantor Pelayanan Pajak atau Kantor Penyuluhan Pajak setempat. 3. Pemotong Pajak wajib menghitung, memotong, dan menyetorkan PPh Pasal 21 yang terutang untuk setiap akhir bulan takwim. 4. Pemotong Pajak wajib melaporkan penyetoran PPh Pasal 21 tersebut sekalipun nihil dengan menggunakan Surat Pemberitahuan (SPT) Masa ke Kantor 21

Pelayanan Pajak atau Kantor Penyuluhan Pajak setempat, selambat-lambatnya pada tanggal 20 (dua puluh) bulan takwim berikutnya. 5. Pemotong Pajak wajib memberikan Bukti Pemotongan PPh Pasal 21 baik diminta maupun tidak pada saat dilakukannya pemotongan pajak kepada orang pribadi bukan sebagai pegawai tetap, penerima uang tebusan pensiun, penerima Jaminan Hari Tua, penerima uang pesangon, dan penerima dana pensiun. 6. Pemotong Pajak wajib memberikan Bukti Pemotongan PPh Pasal 21 kepada pegawai tetap, termasuk penerima pensiun bulanan, dengan menggunakan formulir yang ditentukan oleh Direktur Jenderal Pajk dalam waktu 2 (dua) bulan setelah tahun pajak berakhir. II.2.7 Tarif Pajak Penghasilan Pasal 21 Tarif pajak PPh Pasal 21 menggunakan tarif progresif dimana penghasilan yang semakin besar akan dikenakan tarif yang lebih tinggi. Untuk perhitungan pajak berdasarkan Undang-Undang PPh Nomor 17 Tahun 2000 Pasal 17 maka tarif yang digunakan adalah sebagai berikut : 22

Tabel II.1 Tarif Pajak Wajib Pajak Orang Pribadi Menurut UU PPh No 17 Tahun 2000 Berlaku sampai dengan 31 Desember 2008 Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak Sampai dengan Rp 25.000.000,00 5% Di atas Rp 25.000.000,00 s.d Rp 50.000.000,00 10% Di atas Rp 50.000.000,00 s.d Rp 100.000.000,00 15% Di atas Rp 100.000.000,00 s.d Rp 200.000.000,00 25% Di atas Rp 200.000.000,00 35% Sedangkan untuk tarif pajak berdasarkan Undang-Undang PPh Nomor 36 Tahun 2008 adalah sebagai berikut : Tabel II.2 Tarif Pajak Wajib Pajak Orang Pribadi Menurut UU PPh No 36 Tahun 2008 Berlaku mulai 1 Januari 2009 Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak Sampai dengan Rp 50.000.000,00 5% Di atas Rp 50.000.000,00 s.d Rp 250.000.000,00 15% Di atas Rp 250.000.000,00 s.d Rp 500.000.000,00 25% Di atas Rp 500.000.000,00 30% 23

Ada satu hal yang sangat penting untuk kita ketahui dan perhatikan, yaitu Pemotongan PPh terhadap Wajib Pajak yang tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) lebih tinggi daripada tarif yang diterapkan terhadap Wajib Pajak yang dapat menunjukan NPWP, yaitu Besarnya tarif pemotongan PPh Pasal 21 yang diterpakan terhadap Wajib Pajak yang tidak memiliki NPWP lebih tinggi 20% (dua puluh persen) daripada tarif yang diterapkan terhadap Wajib Pajak yang dapat menunjukan NPWP. Hal ini diatur dalam Pasal 21 Ayat (5a) Undang-Undang PPh Nomor 36 Tahun 2008. II.2.8 Penghasilan Tidak Kena Pajak Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) merupakan salah satu pengurang penghasilan dan sebagaimana diketahui telah beberapa kali mengalami perubahan. Hal ini dikarenakan dengan pertimbangan perkembangan ekonomi, harga kebutuhan bahan pokok yang semakin meningkat sehingga diperlukan penyesuaian besarnya PTKP. Sejak tercantum dalam Undang-Undang PPh Nomor 17 Tahun 2000 sampai dengan sekarang, PTKP telah mengalami perubahan sebanyak tiga kali. Pada 29 November 2004 dikeluarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 564/KMK.03/2004 tentang penyesuaian besarnya PTKP yang berlaku sejak 1 Januari 2005 sampai dengan 31 Desember 2005. Pada tanggal 30 Desember 2005 Menteri Keuangan kembali mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 137/PMK.03/2005 yang mulai berlaku sejak 1 Januari 2006 sampai dengan 31 Desember 2008. Berdasarkan Undang-Undang PPh Nomor 36 Tahun 2008 Pasal 7, PTKP kembali mengalami perubahan yang mulai berlaku sejak 1 Januari 24

Tabel II.3 Perubahan PTKP Keterangan PerMenkeu No. PerMenkeu No. PerMenkeu No. 564/KMK.03/2004 Berlaku mulai tgl 1 Januari 2005 137/PMK.03/2005 Berlaku mulai tgl 1 Januari 2006 254/PMK.03/2008 Berlaku mulai tgl 1 Januari 2009 Untuk diri Wajib Rp 12.000.000,00 Rp 13.200.000,00 Rp 15.840.000,00 pajak orang pribadi Tambahan untuk Rp 1.200.000,00 Rp 1.200.000,00 Rp 1.320.000,00 Wajib Pajak yang kawin Tambahan setiap keluarga dan semenda untuk anggota sedarah keluarga dalam Rp 1.200.000,00 Rp 1.200.000,00 Rp 1.320.000,00 garis keturunan lurus serta anak angkat, yang menjadi tanggungan sepenuhnya paling 25

banyak tiga orang untuk setiap keluarga Wajib Pajak yang mempunyai anggota keluarga sedarah dan semenda dalam garis keturunan lurus serta anak angkat yang menjadi tanggungan sepenuhnya diberikan tambahan Penghasilan Tidak Kena Pajak untuk paling banyak 3 (tiga) orang. Yang dimaksud dengan anggota keluarga yang menjadi tanggungan sepenuhnya adalah anggota keluarga yang tidak mempunyai penghasilan dan seluruh biaya hidupnya ditanggung oleh Wajib Pajak. Dalam garis lurus, dibedakan garis lurus ke bawah dan garis lurus ke atas. Garis lurus ke bawah merupakan hubungan antara bapak dan keturunannya; sedangkan garis lurus ke atas adalah hubungan anatar seseorang dan mereka yang menurunkannya. Sedangkan keluarga semenda adalah suatu pertalian kekeluargaan karena perkawinan, yaitu pertalian antara salah seorang dari suami-istri dan keluarga sedarah dari pihak lain. Derajat kekeluargaan semenda dihitung dengan cara yang sama seperti cara menghitung derajat kekeluargaan sedarah. Skema hubungan keluarga sedarah dan keluarga semenda dapat digambarkan sebagai berikut : 1. Hubungan sedarah : a. Lurus satu derajat : Ayah, Ibu, Anak Kandung b. Kesamping satu derajat : Saudara Kandung ( Kakak, Adik Kandung ) 26

2. Hubungan semenda : a. Lurus satu derajat : Mertua, Anak Tiri b. Kesamping satu derajat : Saudara Ipar ( Adik, Kakak Ipar ) Berdasarkan skema tersebut, yang termasuk dalam pengertian keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus yaitu : ayah, ibu, dan anak kandung. Sedangkan yang termasuk dalam pengertian keluarga semenda dalam garis keturunan lurus yaitu : ayah mertua, ibu mertua, dan anak tiri. Anggota keluarga sedrah dan semenda berikut ini tidak dapat diperhitungkan sebagai tanggungan untuk penghitungan tambahan PTKP. 1. Saudara kandung, karena termasuk dalam pengertian keluarga sedarah kesamping satu derajat. 2. Saudara ipar, karena termasuk dalam pengertian keluarga semenda kesamping satu derajat. 3. Saudara dari bapak atau ibu, karena tidak termasuk dalam pengertian keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus. Selain untuk anggota keluarga sedarah dan semenda dalam garis keturunan lurus satu derajat, tambahan PTKP juga diberikan untuk wajib pajak yang memiliki tanggungan anak angkat. Namun demikian jumlah tanggungan yang diperhitungkan dalam PTKP dibatasi maksimum 3 orang. Pengertian anak angkat yang dapat diperhitungkan dalam perundang-undangan pajak ditentukan dengan kriteria sebagai berikut : 27

1. Seseorang yang belum dewasa 2. Yang tidak tergolong keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus dari Wajib Pajak 3. Dan menjadi tanggungan sepenuhnya dari Wajib Pajak. Pengertian menjadi tanggungan sepenuhnya menurut Undang-Undang Pajak Penghasilan berdasarkan keadaan yang dapat terlihat dari keadaan yang nyata yaitu tinggal bersama-sama dengan Wajib Pajak, nampak secara nyata tidak mempunyai penghasilan sendiri, tidak pula turut dibantu oleh lain-lain anggota keluarga atau oleh orang tuanya sendiri. Sedangkan kalau Wajib Pajak sekedar menyumbang, membantu, bertanggung jawab dan sebagainya, maka tidak termasuk dalam menjadi tanggungan sepenuhnya. Status Wajib Pajak terdiri dari : 1. Tidak Kawin (TK) beserta tanggungannya. Misal TK/1 : tidak kawin dengan satu tanggungan, TK/2,TK/3, dan TK/0. 2. Kawin beserta tanggungannya. Misal Kawin tanpa tanggungan (K/0), kawin dengan satu tanggungan K/1, K/2, K/3. Wajib Pajak untuk status seperti ini berarti Wajib Pajak Kawin, istrinya tidak mempunyai penghasilan atau mempunyai penghasilan tetapi tidak digabungkan dengan penghasilan suaminya di SPT PPh Orang Pribadi. 3. Kawin, istri punya penghasilan dan digabungkan dengan penghasilan suaminya serta jumlah tanggungannya. Misal K/I/1 artinya Wajib Pajak kawin, istri berpenghasilan dan digabungkan dengan suami di SPT dengan satu tanggungan. 28

Menentukan besarnya PTKP untuk karyawati yang bekerja yaitu : 1. Status kawin suami bekerja, maka PTKP yang didapat hanya untuk diri sendiri. 2. Status tidak kawin, maka besarnya PTKP untuk diri sendiri dan tanggungan jika ada maksimal tiga orang. 3. Status kawin, suami tidak menerima atau memperoleh penghasilan maka besarnya PTKP untuk diri sendiri, status kawin, dan tanggungan maksimal tiga orang dengan syarat menunjukan surat keterangan tertulis dari pemda setemoat minimal tingkat kecamatan. Besarnya PTKP bagi Wajib Pajak orang pribadi adalah berdasarkan status Wajib Pajak yang bersangkutan. Sedang status Wajib Pajak ditentukan menurut keadaan pada awal tahun pajak atau awal bagian tahun pajak. II.2.9 Biaya Jabatan, Iuran Pensiun dan Biaya Pensiun Biaya jabatan adalah salah satu pengurang untuk pegawai tetap dalam menghitung penghasilan neto. Besarnya biaya jabatan sebelumnya diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 521/KMK.04/1998 tanggal 18 Desember 1998. Berdasarkan ketentuan ini besarnya biaya jabatan adalah sebesar 5% dari penghasilan bruto dengan maksimal diperkenankan setinggi-tingginya adalah Rp 1.296.000 setahun atau Rp 108.000 sebulan. Mulai tahun 2009 ini besarnya maksimal biaya jabatan diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 250/PMK.03/2008 tanggal 31 Desember 2008 menjadi Rp 6.000.000 setahun atau Rp 500.000 sebulan. 29

Selain biaya jabatan dan PTKP, biaya yang diperbolehkan menjadi pengurang penghasilan yaitu iuran pensiun dan THT yang dibayar pegawai yayasan dana pensiun yang di setujui menteri keuangan dan jumlahnya tidak dibatasi. Dan juga biaya pensiun khusus untuk penerima pensiun berkala atau bulanan besarnya 5% dari uang pensiun maksimum Rp 432.000 setahun atau Rp 36.000 sebulan. Namun besarnya biaya pensiun yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto untuk penghitungan pemotongan Pajak Penghasilan bagi pensiunan untuk tahun 2009 sebesar 5% dari penghasilan bruto, setinggi-tingginya Rp 2.400.000 setahun atau Rp 200.000 sebulan. II.3 Cara Penghitungan Pajak Penghasilan Pasal 21 Cara penghitungan Pajak Penghasilan Pasal 21 ini mengacu pada Kharisma Team (2008) : 1. Bagi pegawai tetap, Penghasilan Kena Pajak (PKP) adalah penghasilan bruto dikurangi dengan biaya jabatan, iuran pensiun yang dibayar sendiri oleh pegawai kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan Menteri Keungan, termasuk iuran Tabungan Hari Tua atau Jaminan Hari Tua yang dibayar sendiri oleh pegawai kepada Badan Penyelenggara jaminan Sosial Tenaga Kerja yang dipersamakan dengan dana pensiun dan PTKP yang diterima atau diperoleh selama 1 (satu) tahun takwim atau jumlah yang disetahunkan. 2. Bagi penerima pensiun yang dibayarkan secara bulanan, Penghasilan Kena Pajak (PKP) adalah penghasilan bruto dikurangi dengan biaya pensiun dan PTKP, yang diterima atau diperoleh selama 1 (satu) tahun takwim atau jumlah yang disetahunkan. 30

3. Bagi pegawai tidak tetap, pemagang dan calon pegawai, dalam hal penghasilan dibayarkan secara bulanan, Penghasilan Kena Pajak (PKP) adalah penghasilan bruto dikurangi dengan PTKP, yang diterima atau diperoleh untuk jumlah yang disetahunkan. 4. Distributor Multi Level Marketing/Direct Selling dan kegiatan sejenis; penghasilan bruto tiap bulan dikurangi PTKP perbulan. PPh Pasal 21 = Penghasilan Bruto x Tarif Pasal 17 UU PPh 5. Bagi Honorarium, uang saku, hadiah atau penghargaan dengan nama dan dalam bentuk apapun, komisi, beasiswa, dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apapun. 6. Honorarium yang diterima atau diperoleh anggota dewan komisaris atau dewan pengawas yang tidak merangkap sebagai pengawai tetap pada perusahaan yang sama. 7. Jasa produksi, tantiem, gratifikasi, bonus yang diterima atau diperoleh mantan pegawai. 8. Penarikan dana pada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan, oleh peserta program pensiun. 9. Tarif sebesar 15% ditetapkan atas perkiraan penghasilan neto yang dibayarkan atau terutang kepada tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas (pengacara, akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaries, penilai, dan aktuaris). Besarnya 31

perkiraan penghasilan neto adalah 50% dari penghasilan bruto berupa honorarium atau imbalan lain dengan nama dan dalam bentuk apapun. PPh Pasal 21 = (Penghasilan Bruto x 50%) x 15% 10. Batas penghasilan bruto yang diterima atau diperoleh pegawai upah harian, upah mingguan, upah satuan, dan upah borongan sampai dengan jumlah Rp 110.000,00 sehari tidak dipotong PPh Pasal 21 untuk perhitungan sebelum tahun 2009 dan Rp 150.000,00 sehari tidak dipotong PPh Pasal 21 untuk tahun 2009. Tarif 5% diterapkan atas upah harian, upah mingguan, upah satuan, dan upah borongan yang jumlahnya melebihi jumlah tersebut. PPh Pasal 21 sehari = (Penghasilan Bruto sehari Rp 110.000,00) x 5% Atau PPh Pasal 21 sehari = (Penghasilan Bruto sehari Rp 150.000,00) x 5% Namun ketentuan ini tidak berlaku jika penghasilan bruto ini telah melebihi Rp 1.100.000,00 dan melebihi Rp 1.320.000,00 untuk tahun 2009 (jika upah harian tersebut diakumulasikan selama sebulan) atau jika penghasilan upah harian ini dibayarkan secara bulanan. ( Pasal 1 dan Pasal 2 PMK 254/PMK.03/2008) PPh Pasal 21 = (Penghasilan Bruto PTKP/360) x 5% 32

II.4 Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan PPh Pasal 21 SPT Tahunan PPh Pasal 21 ( formulir 1721) adalah surat yang digunakan oleh pemotong untuk melaporkan pemotongan, perhitungan, dan penyetoran pajak atas penghasilan orang pribadi sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, kegiatan. SPT Tahunan PPh Pasal 21 dapat diambil di : 1. Kantor Pelayanan Pajak 2. Kantor Penyuluhan Pajak atau 3. Tempat lain yang ditunjuk oleh Dirjen Pajak 4. Download dari situs resmi Dirjen Pajak, www.pajak.go.id Angka-angka Rupiah dalam SPT Tahunan PPh Pasal 21 beserta lampirannya dinyatakan dalam Rupiah penuh, kecuali untuk besarnya PKP dibulatkan ke bawah hingga ribuan penuh. Batas waktu penyampian SPT Tahunan PPh Pasal 21 adalah 30 April setelah akhir tahun pajak SPT Tahunan tersebut disampaikan ke Kantor Pelayanan Pajak tempat Pemotong Pajak terdaftar atau dikukuhkan dengan cara menyampaikan langsung atau melalui Kantor Pos dan Giro secara tercatat dan tanda bukti serta tanggal pengiriman dianggap sebagai tanda bukti dan tanggal penerimaan. Kekurangan pembayaran pajak yang terutang berdasarkan SPT Tahunan PPh Pasal 21 harus dibayar lunas paling lambat tanggal 25 Maret setelah tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak berakhir, sebelum SPT disampaikan. SPT tahunan PPh Pasal 21 terdiri dari induk SPT dan Lampiran-lampirannya yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Induk SPT dan lampiran- 33

lampirannya masing-masing diberi nomor, kode, dan nama pada formulirnya sebagai berikut : Tabel II.4 Bentuk Lampiran-Lampiran SPT untuk Tahun 2007-2009 No Kode Nama Formulir Keterangan 1 1721 SPT Tahunan PPh Pasal 21 Induk SPT 2 1721-A Daftar Pegawai Tetap dan Penerima Lampiran I Pensiun/THT/JHT 3 1721-A1 Penghasilan dan Perhitungan PPh Pasal Lampiran I-A 21 Pegawai tetap atau pensiun/ THT/ JHT 4 1721-A2 Penghasilan dan Perhitungan PPh Pasal Lampiran I-B 21 PNS, Anggota ABRI, Pejabat Negara dan Pensiunannya 5 1721-B Daftar pegawai tidak tetap/ penerima Lampiran II honorarium dan penghasilan lainnya/ penerima penghasilan yang dikenakan PPh Pasal 21 bersifat Final/ Pegawai dengan status WP Luar Negeri 6 1721-C Daftar Penghasilan yang dibayarkan Lampiran III kepada pengurus/ Dewan komisaris/ Dewan Pengawas/ tenaga ahli 34

Bentuk Lampiran-Lampiran SPT Masa untuk Tahun 2009 No Kode Nama Formulir Keterangan 1 1721 SPT Masa PPh Pasal 21 Induk SPT 2 1721-I Daftar bukti potong PPh Pasal 21 untuk Lampiran I pegawai tetap dan penerima pensiun berkala 3 1721-II Daftar perubahan pegawai tetap Lampiran II 4 1721-T Daftar pegawai tetap/ penerima pensiun Lampiran T berkala 35