BAB II TINJAUAN PUSTAKA

dokumen-dokumen yang mirip
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PENDUGAAN BIOMASSA TEGAKAN PINUS MENGGUNAKAN BACKSCATTER ALOS PALSAR, UMUR, DAN TINGGI TEGAKAN: KASUS DI KPH BANYUMAS BARAT, JAWA TENGAH

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

Phased Array Type L-Band Synthetic Aperture Radar (PALSAR)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem Informasi Geografis (SIG) SIG dirancang untuk mengumpulkan, menyimpan, dan menganalisis objekobjek serta fenomena

BAB II DASAR TEORI. 2.1 DEM (Digital elevation Model) Definisi DEM

q Tujuan dari kegiatan ini diperolehnya peta penggunaan lahan yang up-to date Alat dan Bahan :

II. TINJAUAN PUSTAKA

PERBEDAAN INTERPRETASI CITRA RADAR DENGAN CITRA FOTO UDARA

1. BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PERANAN CITRA SATELIT ALOS UNTUK BERBAGAI APLIKASI TEKNIK GEODESI DAN GEOMATIKA DI INDONESIA

SENSOR DAN PLATFORM. Kuliah ketiga ICD

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

09 - Penginderaan Jauh dan Pengolahan Citra Dijital. by: Ahmad Syauqi Ahsan

PENGOLAHAN CITRA SATELIT ALOS PALSAR MENGGUNAKAN METODE POLARIMETRI UNTUK KLASIFIKASI LAHAN WILAYAH KOTA PADANG ABSTRACT

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 2 A. PENGINDERAAN JAUH NONFOTOGRAFIK. a. Sistem Termal

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

II METODE PENELITIAN 2.1 Tempat dan Waktu Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Kegiatan konversi hutan menjadi lahan pertambangan melepaskan cadangan

11/25/2009. Sebuah gambar mengandung informasi dari obyek berupa: Posisi. Introduction to Remote Sensing Campbell, James B. Bab I

ISTILAH DI NEGARA LAIN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

penginderaan jauh remote sensing penginderaan jauh penginderaan jauh (passive remote sensing) (active remote sensing).


II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. DEM ( Digital Elevation Model

+ MODEL SPASIAL PENDUGAAN DAN PEMETAAN BIOMASSA DI ATAS PERMUKAAN TANAH MENGGUNAKAN CITRA ALOS PALSAR RESOLUSI 12.5 M MITRA ELISA HUTAGALUNG

II METODOLOGI PENELITIAN

Spektrum Gelombang. Penginderaan Elektromagnetik. Gelombang Mikro - Pasif. Pengantar Synthetic Aperture Radar

PENGINDERAAN JAUH. --- anna s file

II. BAHAN DAN METODE

BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. global, sehingga terjadi penyimpangan pemanfaatan fungsi hutan dapat merusak

BAB III METODE PENELITIAN

MENU STANDAR KOMPETENSI KOMPETENSI DASAR MATERI SOAL REFERENSI

II. TINJAUAN PUSTAKA Biomassa

PEMANFAATAN INTERFEROMETRIC SYNTHETIC APERTURE RADAR (InSAR) UNTUK PEMODELAN 3D (DSM, DEM, DAN DTM)

Legenda: Sungai Jalan Blok sawah PT. Sang Hyang Seri Kabupaten Subang

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lahan dan Penggunaan Lahan Pengertian Lahan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Alat dan Data 3.3 Tahapan Pelaksanaan

PENYUSUNAN MODEL PENDUGAAN DAN PEMETAAN BIOMASSA PERMUKAAN PADA TEGAKAN JATI

L A P O R A N. Kelompok Pelaksana Litbang Teknologi Eksploitasi Tambang Dan Pengelolaan Sumberdaya

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

KOMPONEN PENGINDERAAN JAUH. Sumber tenaga Atmosfer Interaksi antara tenaga dan objek Sensor Wahana Perolehan data Pengguna data

KARAKTERISTIK BACKSCATTER CITRA ALOS PALSAR PADA TEGAKAN HUTAN TANAMAN

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Eko Yudha ( )

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Perumusan Masalah

APLIKASI CITRA ALOS PALSAR RESOLUSI 50 m DAN CITRA ALOS AVNIR-2 RESOLUSI 50 m DALAM IDENTIFIKASI TUTUPAN LAHAN

5. SIMPULAN DAN SARAN

II. TINJAUAN PUSTAKA

LAPAN sejak tahun delapan puluhan telah banyak

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 1 A. PENGERTIAN PENGINDERAAN JAUH B. PENGINDERAAN JAUH FOTOGRAFIK

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Usahatani Padi dan Mobilitas Petani Padi

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

ULANGAN HARIAN PENGINDERAAN JAUH

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

ESTIMASI BIOMASSA PADA DAERAH REKLAMASI MENGGUNAKAN DATA CITRA ALOS PALSAR : Studi Kasus Wilayah Kerja Pertambangan Batubara di Kalimantan Timur

BAB VII ANALISIS. Airborne LIDAR adalah survey untuk mendapatkan posisi tiga dimensi dari suatu titik

BAB IV TINJAUAN MENGENAI SENSOR LASER

Interpretasi Citra SAR. Estimasi Kelembaban Tanah. Sifat Dielektrik. Parameter Target/Obyek: Sifat Dielektrik Geometri

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perancangan dan Realisasi Antena Mikrostrip Polarisasi Sirkular dengan Catuan Proxmity Coupled

BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1. Sistem Remote Sensing (Penginderaan Jauh)

Radar I yg membuahkan gambar dikembangkan selama PD II, yakni B-Sacn (distorsi besar). PPI (Plan Position Indicator) distorsi dpt dikoreksi dg

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 3 A. CITRA NONFOTO. a. Berdasarkan Spektrum Elektromagnetik

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pemetaan Sawah Baku 2.2. Parameter Sawah Baku

BAB III METODA. Gambar 3.1 Intensitas total yang diterima sensor radar (dimodifikasi dari GlobeSAR, 2002)

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. masyarakat tumbuh-tumbuhan yang di kuasai pepohonan dan mempunyai kondisi

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

DAFTAR ISI. . iii PRAKATA DAFTAR ISI. . vii DAFTAR TABEL. xii DAFTAR GAMBAR. xvii DAFTAR LAMPIRAN. xxii DAFTAR SINGKATAN.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Gambar 11. Citra ALOS AVNIR-2 dengan Citra Komposit RGB 321

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli-November Penelitian ini

Puslitbang tekmira Jl. Jend. Sudirman No. 623 Bandung ESTIMASI BESARAN EMISI AKIBAT PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN DI KAWASAN PERTAMBANGAN

BAB III METODOLOGI 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2 Bahan dan Alat

II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

ACARA I SIMULASI PENGENALAN BEBERAPA UNSUR INTERPRETASI

1 BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Kekeringan

BAB III APLIKASI PEMANFAATAN BAND YANG BERBEDA PADA INSAR

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Puslitbang tekmira Jl. Jend. Sudirman No. 623 Bandung 40211

PENDAHULUAN. hutan yang luas diberbagai benua di bumi menyebabkan karbon yang tersimpan

Pengukuran Kekotaan. Lecture Note: by Sri Rezki Artini, ST., M.Eng. Geomatic Engineering Study Program Dept. Of Geodetic Engineering

TINJAUAN PUSTAKA. lahan dengan data satelit penginderaan jauh makin tinggi akurasi hasil

Transkripsi:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penginderaan Jauh Penginderaan jauh merupakan suatu teknik pengukuran atau perolehan informasi dari beberapa sifat obyek atau fenomena dengan menggunakan alat perekam yang secara fisik tidak terjadi kontak langsung atau bersinggungan dengan obyek atau fenomena yang dikaji (Howard 1996). Lillesand dan Kiefer (1990) mendefinisikan penginderaan jauh (Remote Sensing) sebagai ilmu, teknik dan seni guna mengetahui informasi mengenai obyek, daerah atau kejadian melalui analisis data yang diperoleh dengan alat tanpa melakukan kontak langsung dengan obyek, daerah atau kejadian yang dikaji. Menurut Lindgren (1985), penginderaan jauh merupakan teknik yang dikembangkan untuk memperoleh dan menganalisis informasi tentang bumi. Informasi tersebut berbentuk radiasi elektromagnetik yang dipantulkan atau dipancarkan dari permukaan bumi. Hasil observasi penginderaan jauh yang berupa gambar yang menampakkan suatu objek disebut citra. Citra tersebut kemudian diinterpretasikan guna mengidentifikasi objek dan menilai arti penting objek tersebut (Estes dan Simonett 1975). Dalam pelaksanaan penginderaan jauh, perlu adanya alat sensor, alat pengolah data, dan alat lain sebagai pendukung. Sensor tidak diletakkan pada objek sehingga perlu adanya wahana atau media sebagai tempat meletakkan sensor tersebut. Wahana yang digunakkan untuk meletakkan sensor tersebut dapat berupa balon udara, pesawat terbang, satelit, atau wahana lainnya (lihat gambar 1). Antara wahana, sensor, dan citra diharapkan berkaitan karena akan mempengaruhi skala yang akan digunakan (Lindgren 1985). Dengan menggunakan wahana tersebut penginderaan jauh dilakukan. Semakin tinggi letak sensor, maka daerah yang terdeteksi akan semakin luas dan informasi yang diperoleh lebih beragam.

4 Gambar 1 Wahana Penginderaan Jauh Penginderaan jauh yang menggunakan tenaga alamiah berupa tenaga matahari disebut penginderaan jauh pasif dan hanya dapat beroperasi pada siang hari saat cuaca cerah, sedangkan penginderaan jauh aktif menggunakan sumber tenaga buatan yang dibuat dan dipancarkan dari sensor kemudian dipantulkan kembali ke sensor untuk direkam. Umumnya menggunakan gelombang mikro yang dipancarkan, namun dapat pula menggunakan spektrum tampak dengan sumber tenaga buatan berupa laser (Lindgren 1985). Komponen dasar pengambilan data penginderaan jauh sistem pasif meliputi sumber tenaga, atmosfer, interaksi tenaga dengan objek di permukaan bumi, sensor, sistem pengolahan data, dan berbagai penggunaan data. Pada penginderaan jauh sistem aktif menggunakan tenaga elektromagnetik yang dibangkitkan oleh sensor Radar (Radio Detection And Ranging) (Purwadhi 2011). 2.2 Radar Radar merupakan singkatan dari Radio Detecting and Ranging. Radar memiliki sumber energi sendiri sehingga dapat beroperasi siang dan malam serta mempunyai kemampuan menembus awan. Oleh karena itu, sistem radar ini disebut dengan penginderaan jauh aktif. Radar memiliki tiga fungsi, yaitu

5 1. Sensor yang memancarkan gelombang microwave (radio) ke bidang permukaan tertentu; 2. Sensor tersebut menerima beberapa bagian dari energi yang dipancarkan balik (backscatter) oleh permukaan; dan 3. Sensor ini dapat menangkap kekuatan (detection,amplitudo) dan perbedaan waktu (ranging, phase) dari pancar balik gelombang energi (JICA dan Fakultas Kehutanan IPB 2010). Pencitraan radar telah berkembang sejak tahun 1978 ketika satelit SEASAT SAR diluncurkan guna memperoleh resolusi spatial yang tinggi dan juga dapat diletakkan pada wahana satelit. SAR dapat bersifat kompetitif dan komplementatif terhadap multispectral radiometer sebagai instrumen penginderaan jauh. Dimulai dengan satelit SEASAT yang bekerja pada band L-HH pada tahun 1978, kemudian NASA meluncurkan SIR-A dan SIR-B pada tahun 1980 1990an, lalu ERS 1,3 pada tahun 1992 dan 1995, kemudian JERS-1 pada tahun 1992, dan RADARSAT-1 pada tahun 1995. Perkembangan terkini beberapa satelit dengan polarimetrik (HH, HV, VV, dan VH) dan interferometrik atau dikenal sebagai Pol_inSAR penuh telah diluncurkan, seperti ALOS PALSAR tahun 2006 dengan band L, TERRA SAR-X dengan band X, dan Radarsar-2 dengan band C. Penggunaan band yang berbeda dari ketiga satelit tersebut diharapkan dapat menyajikan data penginderaan jauh untuk memberikan informasi keadaan lingkungan bumi (JICA dan Fakultas Kehutanan IPB 2010). Dalam sistem radar, ukuran resolusi spasial pada sebagian besar penginderaan jauh sistem radar dipengaruhi oleh ukuran antena. Pemasangan antena pada sistem radar yang berwahana di udara umumnya terdapat pada bagian bawah pesawat dan diarahkan ke samping yang disebut dengan SLAR (Side Looking Airbone Radar) atau SLR (Side Looking Radar). Dengan sistem SLAR menghasilkan jalur citra berkesinambungan yang menggambarkan daerah medan luas dan berdekatan dengan jalur terbang (Lillesand dan Kiefer 1990). Penginderaan jauh sistem radar menggunakan tenaga elektromagnetik berupa pulsa berenergi tinggi yang dibangkitkan pada sensor. Tenaga ini yang dipancarkan dalam waktu yang sangat pendek, yaitu sekitar 10-6 detik. Pancaran gelombang ini diarahkan mengenai objek dan dipantulkan kembali ke sensor

6 radar. Selanjutnya sensor merekam waktu pancaran gelombang ditransmisikan dan kembali ke sensor serta intensitas balik (backscatter) panjang gelombang tersebut. Hasil intensitas balik dikonversikan menjadi data dijital dan dikirim ke perekaman data sehingga menjadi citra (Purwadhi 2011). Dalam sistem radar ini, sinyal ditransmisikan secara tegak/ vertikal (V) dan mendatar/ horisontal (H) dan diterima kembali secara horisontal atau vertikal. Terdapat empat kemungkinan polarisasi sinyal yang ditransmisikan kemudian diterima kembali oleh sensor, yaitu transmisi H terima H (HH), transmisi H terima V (HV), transmisi V terima V (VV), dan transmisi V terima H (VH). Berbagai objek mempengaruhi tingkat polarisasi sinyal sehingga polarisasi sinyal yang dihasilkan mempengaruhi dalam menampilkan kenampakkan suatu objek (Lillesand dan Kiefer 1990). Besaran backscatter dipengaruhi oleh sensor dan objek yang menjadi target. Faktor-faktor yang mempengaruhi besaran backscatter pada sensor, yaitu: 1. Panjang gelombang microwave yang digunakan (band X, C, S, L, dan P), 2. Polarisasi, 3. Sudut pandang dan orientasi, dan 4. Resolusi yang dihasilkan. Pada objek yang menjadi target, backscatter dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu: 1. Konstanta dielektrik (berupa kelembapan atau kandungan air), 2. Kekasaran, ukuran, dan orientasi objek termasuk biomassa di dalamnya, dan 3. Sudut kemiringan (slope) dan orientasinya (sudut pandang lokal/ local incident angle) (JICA dan Fakultas Kehutanan IPB 2010). Adanya pengaruh topografi terhadap geometri berhubungan dengan unsur spasial citra itu sendiri, sedangkan pengaruh terhadap radiometrik lebih terkait kepada backscatter atau digital number sehingga dapat mempengaruhi tingkat kecerahan (brightness) citra. Salah satu metode yang dapat digunakan untuk mengurangi pengaruh topografi terhadap image radar adalah radiometric terrain correction atau dikenal dengan slope correction. Metode slope correction ini

7 dilakukan guna mengoreksi radiometrik piksel-piksel yang terpengaruh oleh variasi topografi, terutama pada lereng yang menghadap sensor (JICA dan Fakultas Kehutanan 2011). 2.3 ALOS PALSAR Satelit ALOS merupakan satelit generasi lanjutan dari JERS-1 dan ADEOS yang dilengkapi teknologi yang lebih maju. Satelit buatan jepang ini diluncurkan pertama kali pada tanggal 24 Januari 2006 dengan massa sekitar 4 ton serta memiliki ukuran panjang 4,5 meter; lebar 3,5 meter; dan tinggi 6,5 meter. Satelit ini memiliki tiga instrumen penginderaan jauh, yaitu AVNIR-2 (Advanced Visible and Near Infrared Radiomemetr type-2), PRISM (Panchromatic Remote-sensing Instrument for Stereo Mapping), dan PALSAR (Phased-Array type L-band Synthetic Aperture Radar). AVNIR dan PRISM merupakan sensor optik dimana AVNIR dapat dimanfaatkan dalam penyusunan peta penggunaan lahan atau peta vegetasi dengan menggunakan cahaya tampak (visible) dan infra merah dekat (near infrared), sedangkan PRISM memiliki kemampuan untuk membangun data 3 dimensi. PALSAR merupakan sensor radar yang memiliki gelombang mikro aktif dengan frekuensi L band dan memiliki kinerja lebih tinggi dibandingkan sensor SAR (Synthetic Aparature Radar) pada satelit JERS-1. Hal ini yang memungkinkan PALSAR dapat melakukan pengamatan suatu objek menembus awan baik siang maupun malam hari (JAXA 2006). Dengan menggunakan ScanSAR, sebagai salah satu observasinya, memungkinkan sensor PALSAR melakukan pengamatan bumi dengan cakupan areal yang luas, yaitu 250 hingga 350 km. ScanSAR pada PALSAR ini memiliki kemudi berkas cahaya yang diatur pada elevasi (ketinggian) dan didesain untuk memperoleh cakupan yang lebih luas dibandingkan SAR konvensional dengan polarisasi tunggal horisontal (HH) maupun vertikal (HV). Karakteristik PALSAR dapat dilihat pada Tabel 1 sebagai berikut:

8 Tabel 1 Karakteristik PALSAR Mode Karakteristik Polarimetric Fine ScanSAR (Experiment Mode) Frekuensi 1.270 MHz (L-Band) Lebar Kanal 14 MHz 14,28 MHz 14 MHz Polarisasi HH/VV/HH+HV atau VV+VH HH atau HV HH+HV+VH+VV Resolusi Spasial 10 m (2 look)/20 m (4 look) 100 m (multi look) 30 m Lebar Cakupan 70 km 250-350 km 30 km Incidence Angle 8-60 derajat 18-43 derajat 8-30 derajat NE Sigma 0 <-23 db (70 km) >-25 db (60 km) <-25 db <-29 db Panjang Bit 3 bit atau 5 bit 5 bit 3 bit atau 5 bit Ukuran Antena AZ:8.9 m x EL:2.9 m (Sumber : Jaxa 2006) Data citra ALOS PALSAR dapat digunakan untuk pembuatan DEM (Digital Elevation Model), monitoring sumberdaya alam (hutan), monitoring kebakaran hutan, estimasi kandungan biomassa, mengukur kelembaban tanah, monitoring objek-objek buatan, kandungan mineral dan bahkan untuk pencarian pesawat dan kapal yang hilang (Ginting et al. 2003). Selain itu, PALSAR juga digunakan dalam penafsiran dan klasifikasi tutupan lahan serta mengawasi tutupan lahan yang terjadi (Wang et al. 2007). 2.4 Biomassa Biomassa merupakan jumlah total dari bahan organik hidup yang dinyatakan dalam berat kering oven ton per unit area (Brown 1997). Biomassa dibedakan menjadi dua kategori, yaitu biomassa atas permukaan (above ground biomass) dan biomassa bawah permukaan (below ground biomass). Menurut Hairiah dan Rahayu S (2007), pendugaan biomassa di atas permukaan tanah dapat diukur dengan menggunakan metode langsung (destructive) dan metode tidak langsung (non destructive). Metode tidak langsung digunakan untuk menduga biomassa vegetasi yang berdiameter 5 cm, sedangkan metode secara langsung digunakan untuk menduga biomassa vegetasi yang memiliki diameter < 5 cm (vegetasi tumbuhan bawah).

9 Menurut Brown (1997), terdapat dua pendekatan dalam menduga biomassa suatu pohon, yaitu pendekatan pertama berdasarkan pendugaan volume kulit sampai batang bebas cabang kemudian dirubah menjadi kerapatan biomassa (ton/ha) dan pendekatan kedua dengan menggunakan persamaan regresi biomassa atau dikenal dengan alometrik. Penentuan kerapatan biomassa pada pendekatan kedua menggunakan persamaan regresi biomassa berdasarkan diameter batang pohon. Dasar dari persamaan regresi ini dengan mendekati biomassa rata-rata per pohon menurut sebaran diameter dengan menggabungkan sejumlah pohon yang ada per kelas diameter dan menjumlahkan seluruh pohon total untuk seluruh kelas diameter. Pendugaan dan pemetaan biomassa hutan melalui pemodelan radiometrik dilakukan dengan cara mengintegrasikan data citra satelit dan data hasil pengukuran pada plot-plot contoh di lapangan. Pada masing-masing plot contoh dilakukan dua macam proses, yaitu pengolahan nilai-nilai dijital pada citra dan pengukuran biomassa di lapangan untuk membuat model regresi antara nilai-nilai dijital pada citra dengan nilai-nilai biomassa di lapangan. Berdasarkan model regresi tersebut dilakukan pendugaan nilai-nilai biomassa pada setiap lokasi sehingga dapat diperoleh peta sebaran biomassa di seluruh areal hutan (Lu 2006). Selain penafsiran, pengolahan citra perlu dilakukan untuk menentukan nilainilai dijital (digital numbers) ataupun nilai-nilai transformasinya, misalnya indeks vegetasi pada citra satelit optik atau nilai-nilai backscatter pada citra radar. Untuk citra PALSAR, nilai-nilai backscatter diperoleh dari polarisasi HH dan HV, dimana nilai-nilai backscatter HV cenderung memiliki korelasi yang lebih erat dengan biomassa tegakan dibanding nilai-nilai backscatter HH (Saleh 2010). 2.5 Pinus Pinus merkusii merupakan satu-satunya jenis pinus yang tumbuh asli di Indonesia. Pohon ini termasuk ke dalam famili Pinaceae. P. merkusii ini merupakan jenis pohon serba guna yang dikembangkan secara terus menerus dan diperluas penanamannya pada masa mendatang guna menghasilkan kayu, getah, dan sebagai konservasi lahan (Dahlian dan Hartoyo 1997). Hampir seluruh bagian pada pohon P. merkusii ini dapat digunakan, salah satunya penyadapan pada bagian batang guna memperoleh getahnya. Getah

10 tersebut selanjutnya diproses lebih lanjut menjadi gondorukem dan terpentin. Gondorukem dapat digunakan sebagai bahan pembuatan sabun, cat, dan resin. Terpentin digunakan sebagai bahan industri parfum, obat-obatan, dan disinfektan. Hasil kayunya dapat bermanfaat untuk kayu konstruksi, korek api, pulp, dan kertas serat panjang.bagian kulitnya dapat digunakan sebagai bahan bakar dan abunya dapat dimanfaatkan untuk bahan campuran pupuk karena mengandung kalium (Dahlian dan Hartoyo 1997). Peubah tinggi pada pinus merupakan parameter penting dan memiliki korelasi dengan volume pohon (Sahid 2003). Menurut Spur (1960) dalam Sahid (2003), penaksiran volume pinus menggunakan diameter tajuk sebagai peubah bebas guna melakukan penaksiran volume akan memberikan hasil standar. Bila ditambahkan dengan peubah tinggi sebagai peubah bebas kedua akan memperbaiki hasil taksiran. Begitu pula bila ditambahkan peubah umur. Semakin besar umur tegakan pinus maka semakin besar tinggi dan diameter tegakan tersebut. Adanya penambahan ukuran tinggi dan diameter berkorelasi erat dengan penambahan besar pada volume. 2.6 Penelitian Menggunakan Citra ALOS PALSAR Penelitian menggunakan ALOS PALSAR telah banyak dilakukan. Daulay (2011) dalam penelitiannya melakukan pengkajian terhadap karakteristik backscatter citra ALOS PALSAR pada hutan hujan tropis. Dari hasil penelitiannya diperoleh hasil bahwa nilai suatu backscatter dipengaruhi oleh peubah tegakan yang diamati. Peubah tegakan yang mempengaruhi nilai backscatter pada citra alos palsar resolusi 50 meter adalah lbds pohon dan biomassa pohon. Woisiri (2011) juga menggunakan ALOS PALSAR dalam melakukan kajian karakteristik bakscatter citra pada tegakan hutan tanaman Eucalypthus grandis. Variasi backscatter pada tegakan Eucalypthus grandis dipengaruhi oleh variasi peubah tinggi (m) untuk citra resolusi 50 meter dan variasi jumlah tajuk (m 2 /plot) serta jumlah pohon (m) untuk citra PALSAR resolusi 6,25 meter. Pada penelitian Nurhadiatin (2011) menggunakan PALSAR dalam penafsiran tutupan lahan di Kabupaten Brebes, Cilacap, Ciamis dan Banyumas. Berdasarkan hasil penafsiran PALSAR resolusi 50 meter dan 12,5 meter di daerah

11 tersebut diketahui bahwa citra resolusi 12,5 meter tidak memberikan penambahan informasi tentang tutupan lahan yang berbeda dan hanya sebatas pada mempermudah identifikasi penutupan lahan serta memperjelas hasil deliniasi tutupan lahan pada citra. Dalam penelitian pendugaan biomassa di KPH Banyumas Barat oleh Riska (2011) diperoleh informasi bahwa nilai backscatter pada citra ALOS PALSAR baik resolusi 50 m maupun resolusi 12,5 m dapat menjelaskan dengan baik kondisi biomassa di lapangan.