2015 PENALARAN ILMIAH (SCIENTIFIC REASONING) SISWA SEKOLAH BERORIENTASI LINGKUNGAN DAN SEKOLAH MULTINASIONAL

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Nur Fildzah Amalia, 2015

BAB I PENDAHULUAN. prestasi belajar siswa dengan berbagai upaya. Salah satu upaya tersebut

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Azza Nuzullah Putri, 2013

BAB I PENDAHULUAN. bahwa pengetahuan sebagai kerangka fakta-fakta yang harus dihafal.

2015 PENERAPAN MOD EL INKUIRI ABD UKTIF UNTUK MENINGKATKAN PENGUASAAN KONSEP D AN LITERASI SAINS SISWA SMA PAD A MATERI HUKUM NEWTON

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I Pendahuluan. Internasional pada hasil studi PISA oleh OECD (Organization for

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

2016 PENGARUH PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN ARGUMENT-BASED SCIENCE INQUIRY (ABSI) TERHADAP KEMAMPUAN MEMAHAMI DAN KEMAMPUAN BERARGUMENTASI SISWA SMA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Deni Moh Budiman, 2013

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

2015 PENGARUH PEMBELAJARAN BERBASIS INKUIRI PADA MATERI FOTOSINTESIS TERHADAP PENGUASAAN KONSEP DAN SIKAP SISWA SMP

BAB I PENDAHULUAN. meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Salah satu upaya untuk

I. PENDAHULUAN. tingkat pencapaian kemampuan sains siswa adalah Trends in International

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN. Ilmu kimia merupakan ilmu yang diperoleh dan dikembangkan berdasarkan

2016 PEMAHAMAN DAN KEMAMPUAN PENALARAN DALAM PENGAMBILAN KEPUTUSAN SISWA SMA TENTANG PENGUNAAN KOSMETIK

BAB I PENDAHULUAN. Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) merupakan ilmu pengetahuan yang

2015 PENGARUH PENERAPAN STRATEGI COMPETING THEORIES TERHADAP KETERAMPILAN ARGUMENTASI SISWA SMA PADA MATERI ELASTISITAS

BAB I PENDAHULUAN. Keterampilan berpikir merupakan aspek yang tidak bisa dipisahkan dalam

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

PENERAPAN LEVELS OF INQUIRY UNTUK MENINGKATKAN DOMAIN KOMPETENSI DAN PENGETAHUAN SAINS SISWA SMP PADA TEMA PENCEMARAN LINGKUNGAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Pembelajaran Model Treffinger Untuk Meningkatkan Kemampuan Pemahaman Dan Koneksi Matematis Siswa

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Nur Yetty Wadissa, 2014

BAB I PENDAHULUAN. Sumber daya manusia merupakan faktor penting dalam membangun suatu

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

2015 PEMBELAJARAN LEVELS OF INQUIRY (LOI)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN. penyampaian informasi (transfer of knowledge) dari guru ke siswa. Padahal

PEMBELAJARAN KONSTRUTIVIS, INKUIRI/DISKOVERI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Maimunah, 2014

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. Endi Rohendi, 2013

I. PENDAHULUAN. Pendidikan mempunyai peranan penting dalam meningkatkan dan mengembangkan

BAB I PENDAHULUAN. Mata pelajaran Fisika sebagai bagian dari Ilmu Pengetahuan Alam (IPA)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. terhadap konsep pembelajaran. Guru sebagai tenaga pendidik profesional

2015 PENGARUH PEMBELAJARAN DISCOVERY LEARNING TERHADAP PENGUASAAN KONSEP SISWA PADA POKOK BAHASAN ENZIM

PENGARUH IMPLEMENTASI SCIENTIFIC APPROACH BERMUATAN NILAI PADA PEMBELAJARAN LINGKUNGANTERHADAP KEMAMPUAN BERPIKIR KREATIF DAN SIKAP SISWA

BAB I PENDAHULUAN. pada dasarnya menggunakan prinsip-prinsip matematika. Oleh karena itu,

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. kesimpulan (Hohenberg, 2010). Langkah-langkah metode ilmiah ini dapat

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. B. Perumusan Masalah

BAB I PENDAHULUAN. kualitas sumber daya manusia dan sangat berpengaruh terhadap kemajuan suatu

BAB I PENDAHULUAN. mendatangkan berbagai efek negatif bagi manusia. Penyikapan atas

BAB I PENDAHULUAN. daya manusia yang berkualitas, berkarakter dan mampu berkompetensi dalam

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Matematika merupakan suatu landasan dan kerangka perkembangan ilmu

BAB I PENDAHULUAN. siswa, oleh karena itu pembelajaran fisika harus dibuat lebih menarik dan mudah

BAB I PENDAHULUAN. nilai-nilai yang dibutuhkan oleh siswa dalam menempuh kehidupan (Sani, RA.

BAB I PENDAHULUAN. Dalam upaya meningkatan mutu pendidikan pemerintah. mengeluarkan berbagai kebijakan. Salah satu kebijakannya adalah mengganti

BAB I PENDAHULUAN. mengembangkan pengetahuan, keterampilan, dan sikap percaya diri. 1

2014 PENINGKATAN KEMAMPUAN PEMAHAMAN DAN REPRESENTASI MATEMATIS MELALUI PEMBELAJARAN DENGAN STRATEGI THINK TALK WRITE (TTW) DI SEKOLAH DASAR

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian Deden Rahmat Hidayat,2014

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

2014 PENGEMBANGAN PROGRAM PERKULIAHAN FISIKA SEKOLAH BERORIENTASI KEMAMPUAN BERARGUMENTASI CALON GURU FISIKA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN. Leli Nurlathifah, 2015

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakag Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. mengembangkan kualitas sumber daya manusia. Pasal 31 ayat 2 Undang-Undang

BAB I PENDAHULUAN. pesat terutama dalam bidang telekomunikasi dan informasi. Sebagai akibat

BAB I PENDAHULUAN. teknologi tidak dapat kita hindari. Pengaruh perkembangan ilmu pengetahuan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Kemampuan Penalaran Matematis. a. Pengertian Penalaran Matematis

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Matematika memiliki peranan penting dalam berbagai aspek kehidupan.

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan di Indonesia menjadi perhatian saat memasuki abad ke-21.

BAB I PENDAHULUAN. yang signifikan. Beberapa penerapan pola peningkatan kualitas pendidikan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Slavin (Nur, 2002) bagi siswa agar benar-benar memahami dan dapat

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. knowledge, dan science and interaction with technology and society. Oleh

PENGEMBANGAN LEMBAR KERJA PESERTA DIDIK (LKPD)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Rizky Fauziah Nurrochman, 2015

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Nurningsih, 2013

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

2016 PEMBELAJARAN STEM PAD A MATERI SUHU D AN PERUBAHANNYA D ENGAN MOD EL 6E LEARNING BY D ESIGNTM UNTUK MENINGKATKAN LITERASI SAINS SISWA

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pendidikan merupakan salah satu langkah untuk merubah sikap, tingkah

I. PENDAHULUAN. pendidikan di Indonesia, agar siswa memiliki pola pikir yang sistematis dan

BAB I PENDAHULUAN. keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Transkripsi:

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pembelajaran sains pada hakikatnya bukanlah suatu kegiatan pasif dalam rangka mentransfer pengetahuan, dimana siswa hanya menerima informasi berupa konsep maupun fakta-fakta ilmiah melalui penjelasan guru, melainkan suatu proses aktif yang melibatkan siswa untuk berfikir bagaimana konsep ilmiah itu diperoleh dan diaplikasikan untuk mengatasi masalah dalam kehidupan seharihari. Seperti yang diutarakan oleh National Research Council (NRC) bahwa dalam pembelajaran sains siswa dilibatkan dalam proses kognitif yang melambangkan cara berfikir para saintis seperti mengajukan pertanyaan yang berorientasi ilmiah, mencari sejumlah bukti sebagai respon terhadap pertanyaan, menyusun penjelasan berdasarkan bukti yang diperoleh, menghubungkan penjelasan dengan pengetahuan ilmiah, serta mengkomunikasikan dan membuktikan penjelasan (NRC, 2000, dalam Dolan & Grady, 2010). Kelas sains yang identik dengan kegiatan para saintis seperti mengobservasi, melakukan eksperimen, bahkan berdiskusi ilmiah seharusnya dapat menjadikan siswa sebagai subjek belajar yang aktif, sehingga kegiatan-kegiatan tersebut dapat memicu proses berpikir siswa dan juga memberikan pengalaman yang bermakna. Keterlibatan siswa dalam proses kognitif sangat penting untuk melatih siswa sehingga mereka mampu melek sains. Melek sains atau yang dikenal juga dengan istilah literasi sains sebagai tujuan pembelajaran meliputi pemahaman siswa tentang hakikat sains dan juga penalaran ilmiah (scientific reasoning) siswa (Lawson, 2009, dalam Piraksaa, Srisawasdib, & Koulc, 2014). Penalaran ilmiah merupakan keterampilan berpikir yang terlibat dalam proses inkuiri, eksperimen, penilaian (evaluasi) bukti, penarikan kesimpulan dan argumentasi yang dilakukan untuk mendukung perubahan konsepsi atau pemahaman ilmiah (Zimmerman, 2005). Dalam pembelajaran sains, penalaran ilmiah merupakan salah satu keterampilan yang berperan penting, karena penalaran ini terlibat dalam proses 1

2 menganalisis/ memecahkan masalah, mengintegrasi/ mensintesis bagian-bagian, merancang/ merencanakan percobaan, menarik kesimpulan, membuat generalisasi, mengevaluasi dan membuktikan, serta mengaplikasikan kapasitaskapasitas ini kedalam masalah-masalah yang tidak biasa (TIMSS, 2007, dalam Waldrip, 2012). Pentingnya penalaran ilmiah telah diungkapkan oleh beberapa peneliti. Ding, Wei, dan Mollohan (2014) menyebutkan bahwa penalaran ilmiah merupakan salah satu keterampilan berpikir yang memiliki peran penting di dalam sains, teknologi, teknik, dan matematika. Penalaran ilmiah juga berperan untuk mengembangkan kemampuan berpikir dan bertindak dengan cara yang berhubungan dengan inkuiri, berpengaruh terhadap prestasi akademik siswa, dan berperan penting dalam proses perubahan konseptual (National Research Council, 2013, dalam Lazonder & Drost, 2014; Adey & Shayer, 1994, dalam Chen & She, 2014; Lee & She, 2010, dalam Piraksa, Srisawasdi, & Koul, 2014). Selain itu, melengkapi siswa dengan penalaran ilmiah sebagai habits of mind juga akan membantu mereka memenuhi tanggung jawab sosial dalam membuat keputusan yang berhubungan dengan sains (AAAS, 1990; Driver et al., 2000, dalam Yang & Tsai, 2010). Kemampuan siswa untuk bernalar terhadap bukti-bukti yang diperoleh serta berpartisipasi dalam argumentasi ilmiah juga telah dipertimbangkan sebagai tujuan utama perbaikan pendidikan sains (American Association for the Advancement of Science, 1993; National Research Council, 1996, dalam Furtak, et al., 2008). Duschl dan Gitomer (dalam Furtak, et al., 2008) mengungkapkan bahwa perbaikan pendidikan tersebut melibatkan perkembangan berpikir, bernalar, dan keterampilan memecahkan masalah untuk mempersiapkan siswa berpartisipasi dalam membuat serta mengevaluasi klaim pengetahuan, penjelasan, model, dan desain eksperimen ilmiah. Hal tersebut juga tampak pada upaya perbaikan pendidikan Indonesia melalui kurikulum 2013 yang menekankan pada proses berfikir dan pengalaman belajar siswa saat memperoleh konsep-konsep ilmiah, sehingga paradigma pendidikan yang memusatkan pembelajaran pada

3 guru atau guru sebagai sumber ilmu kini perlahan-lahan bergeser. Guru dituntut untuk semakin kreatif menciptakan lingkungan serta kegiatan belajar yang dapat memfasilitasi siswa untuk mengembangkan keterampilan berfikirnya, termasuk keterampilan penalaran ilmiah. Keterampilan penalaran ilmiah siswa dapat diidentifikasi melalui outputnya yakni argumen. Pada saat bernalar, siswa menghasilkan dan mengevaluasi alasan yang akan memperkuat argumennya untuk menyakinkan orang lain. Siswa juga harus mengungkapkan bukti-bukti yang kuat sehingga argumennya dapat diterima. Vygotsky (dalam Bekiroglu & Eskin, 2012) mengungkapkan bahwa penalaran pada siswa biasanya terlihat saat mereka berdebat dengan orang lain. Pada saat berdiskusi, misalnya, seorang siswa mungkin memiliki penjelasan yang sama atau berbeda dengan siswa lainnya. Mereka mengajukan penjelasan masingmasing disertai dengan alasan dan bukti yang mereka miliki, sehingga rasionalitas sains ditemukan pada kemampuan untuk mengkonstruk argumen yang mengajak dan meyakinkan penjelasan teori dengan data hasil observasi (Duschl and Osborne 2002, dalam Yang & Tsai, 2010). Oleh karena itu, karakteristik kunci dalam penalaran ilmiah adalah argumentasi. Kebiasaan bernalar ilmiah penting dalam kehidupan sehari-hari karena penalaran tersebut berperan dalam membuat keputusan yang benar dan logis mengenai isu yang bersifat kontroversial (Yang & Tsai, 2010). Isu sosio-saintifik merupakan isu-isu yang berdasarkan pada masalah atau konsep ilmiah, bersifat kontroversial, didiskusikan di ruang publik dan biasanya memiliki pengaruh politik dan sosial (Sadler and Zeidler, 2005, dalam Dawson & Venville, 2010). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa isu sosio-saintifik dapat membantu siswa untuk meningkatkan keterampilan berpikir kritis dan kemampuan membuat keputusan, memiliki sensitivitas moral, dan memicu konseptualiasi tentang hakikat sains (Bell & Lederman, 2003; Sadler et al., 2004; Zeidler et al., 2002, dalam Keskin et al., 2013). Ketika menghadapi isu sosio-saintifik, seorang siswa harus membuat keputusan tentang tindakan apa yang harus diambil atau apa yang harus disetujui/

4 tidak disetujui, dengan mengungkapkan bukti serta alasan yang dapat mendukung keputusannya. Sehingga saat siswa bernalar tentang isu sosio-saintifik, siswa dapat menunjukkan penalarannya yang meliputi konstruksi argumen pendukung, counter-argument, dan rebuttal (Sadler & Zeidler, 2004, dalam Wu & Tsai, 2011). Salah satu isu sosio-saintifik yang dapat memicu siswa untuk bernalar yaitu isu tentang lingkungan. Masalah lingkungan merupakan hal yang tidak bisa kita abaikan, karena lingkungan sering mengalami perubahan baik karena proses alami maupun karena aktivitas manusia. Isu-isu lingkungan seringkali memuat nilai, ill-defined, dan bersifat sosio-saintifik kontroversial (Weinberger & Dreyfus, 2013), sehingga keterlibatan dalam isu sosio-saintifik memicu siswa untuk mengaplikasikan konsep, prinsip, dan praktek ilmiah terhadap isu yang juga dipengaruhi oleh pertimbangan sosial, politik, etika, dan/atau ekonomi (Kolstø, 2001; Sadler, 2009, dalam McDonald, 2014). Pemilihan masalah lingkungan dalam penelitian didasarkan pada pertimbangan bahwa saat ini banyak pemberitaan mengenai masalah lingkungan yang terjadi di Indonesia, seperti kebakaran hutan, banjir, pencemaran, kerusakan ekosistem, dan masalah yang terkait bahan bakar fosil, sehingga diharapkan dengan adanya masalah-masalah yang bersifat kontekstual dan terjadi di Indonesia ini dapat memicu siswa untuk bernalar serta mengajukan argumen terkait dengan masalah tersebut, karena salah satu tujuan pendidikan sains adalah agar siswa dapat mengerti dan mampu bertindak terhadap isu personal dan isu sosial (National Research Council, 1996, dalam Keskin et al., 2013), terutama dengan isu lingkungan yang terjadi di sekitar kita sehari-hari. Kemampuan penalaran ilmiah dapat dikembangkan melalui latihan (Adey & Shayer, 1994; Chen & Klahr, 1999, dalam Chen & She, 2014). Latihan yang memicu siswa untuk bernalar telah dilakukan oleh beberapa peneliti diantaranya melalui jenis kegiatan pembelajaran yang dilaksanakan siswa di kelas seperti inkuiri dan representasi (Dolan & Grady, 2010; Sutopo & Waldrip, 2014; Chen & She, 2014; Lazonder & Drost, 2014). Namun, penalaran ilmiah ini melibatkan

5 latihan yang tidak hanya relevan dalam kelas sains tetapi juga dalam dunia nyata (Varma, 2014), sehingga banyak faktor yang bisa saja berperan dalam pengembangan penalaran ilmiah tersebut, termasuk salah satunya lingkungan belajar siswa. Lingkungan belajar merupakan penentu penting bagi keberhasilan proses belajar siswa. Fraser (dalam Marzita et al., 2015) menyebutkan bahwa lingkungan belajar yaitu kondisi dimana proses pembelajaran terjadi dalam konteks sosial, psikologi, dan pedagogi yang dapat mempengaruhi hasil belajar dan sikap siswa. Lingkungan belajar seperti yang dimaksudkan oleh Fraser tercipta di sekolah. Sekolah merupakan lingkungan institusi yang menentukan parameter pengalaman belajar siswa, sehingga kesuksesan akademik siswa sangat dipengaruhi oleh jenis sekolah yang mereka ikuti (Korir & Kipkemboi, 2014). Dua sekolah di Bandung yang menjadi lokasi penelitian yaitu Sekolah berorientasi lingkungan dan Sekolah Multinasional. Sekolah berorientasi lingkungan merupakan sekolah yang mempunyai dimensi alam sebagai sumber ilmu, sehingga proses pembelajaran tidak terpaku pada ruangan kelas tertutup, tetapi berada dalam saung belajar dan juga dalam lingkungan alam yang bebas. Kegiatan yang dilaksanakan di sekolah tidak hanya berorientasi untuk mengembangkan kemampuan kognitif siswa, tetapi juga berupaya untuk mengembangkan sikap sosial dan keterampilan hidup yang akan berguna dalam kehidupan bermasyarakat. Sementara itu, sekolah multinasional merupakan sekolah yang didirikan atas kerjasama dua yayasan dengan latar belakang negara yang berbeda, sehingga ada unsur penggabungan budaya dalam pelaksanaan kegiatan sekolahnya. Kemampuan akademik, psikomotorik, dan juga sosial siswa tentunya akan dibentuk melalui lingkungan sekolah tempat mereka menimba ilmu. Berdasarkan lingkungan, sekolah bisa menjadi pembuka atau penutup pintu yang menuju prestasi akademik siswa (Barry, 2005, dalam Korir & Kipkemboi, 2014). Hal tersebut menunjukkan bahwa lingkungan sekolah memiliki peran yang cukup penting terhadap kemampuan siswa.

6 Sekolah berorientasi lingkungan dan sekolah multinasional keduanya memiliki sistem pendidikan dan juga program-program kegiatan yang berbeda dengan sekolah negeri pada umumnya. Kegiatan sekolah yang menjadi tradisi dan selalu dilaksanakan siswa menjadi menarik untuk diungkap, karena pengenalan terhadap budaya untuk bernalar ilmiah merupakan salah satu faktor yang berperan dalam pertumbuhan penalaran siswa (Tytler & Peterson, 2003). Oleh sebab itu, maka peneliti tertarik untuk menyelidiki bagaimana penalaran ilmiah siswa yang berada di lingkungan sekolah berorientasi lingkungan dan juga sekolah multinasional. B. Rumusan Masalah Penelitian Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu Bagaimanakah penalaran ilmiah (scientific reasoning) siswa sekolah berorientasi lingkungan dan sekolah multinasional yang diidentifikasi melalui argumen siswa terhadap isu lingkungan?. Dari masalah tersebut dijabarkan menjadi beberapa pertanyaan penelitian seperti berikut: 1. Bagaimanakah kelengkapan komponen argumen siswa sekolah berorientasi lingkungan dan sekolah multinasional? 2. Bagaimanakah kekuatan argumen siswa sekolah berorientasi lingkungan dan sekolah multinasional? 3. Faktor-faktor apa saja yang dapat mempengaruhi penalaran ilmiah siswa? C. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini diantaranya untuk: (1) memperoleh gambaran tentang penalaran ilmiah siswa sekolah berorientasi lingkungan dan sekolah multinasional yang diungkap melalui komponen argumen serta kekuatan argumen siswa terkait masalah lingkungan, (2) menyelidiki penalaran ilmiah siswa sekolah berorientasi lingkungan dan sekolah multinasional yang dianalisis melalui

7 komponen dan kekuatan argumen siswa kelas 7, kelas 8, dan kelas 9, (3) menganalisis faktor-faktor yang dapat mempengaruhi penalaran ilmiah siswa baik di sekolah berorientasi lingkungan maupun sekolah multinasional. D. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat diantaranya: 1. Manfaat teori Penelitian ini memberikan kontribusi pengetahuan mengenai penalaran ilmiah yang saat ini belum banyak diteliti di Indonesia. Dengan adanya kajian terhadap lingkungan sekolah yang berbeda, maka penelitian ini juga diharapkan memberikan kontribusi pengetahuan mengenai hal-hal yang dapat mempengaruhi penalaran ilmiah siswa, khususnya siswa sekolah menengah pertama. 2. Manfaat praktis Manfaat praktis yang dapat diperoleh dari penelitian ini diantaranya: (1) menambah wawasan tentang capaian penalaran ilmiah siswa yang teridentifikasi melalui komponen serta kekuatan argumen siswa, (2) memperoleh gambaran tentang penalaran ilmiah siswa dari setiap tingkatan kelas, serta hal-hal yang dapat berpengaruh terhadap penalaran ilmiah tersebut; (3) hasil penelitian dapat menjadi bahan pertimbangan dalam menentukan kegiatan pembelajaran yang dapat memfasilitasi siswa untuk bernalar; (4) hasil penelitian dapat menjadi bahan pertimbangan untuk merencanakan kegiatan sekolah yang dapat memicu siswa untuk bernalar ilmiah dalam kehidupan sehari-hari, dan (5) hasil penelitian dapat dijadikan rujukan bagi penelitian yang serupa maupun pengembangan penelitian yang berhubungan dengan penalaran ilmiah. E. Struktur Organisasi Tesis Tesis ini disusun berdasarkan sistematika sebagai berikut. 1. Bab I Pendahuluan

8 Dalam bab tersebut dijabarkan latar belakang masalah yang mendasari penelitian, identifikasi dan perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, serta struktur organisasi tesis. 2. Bab II Kajian Pustaka Dalam bab tersebut dijabarkan tentang konsep-konsep penalaran ilmiah, penalaran ilmiah sebagai argumentasi, pengembangan rubrik untuk mengukur penalaran ilmiah, materi lingkungan, serta hasil temuan penelitian lain yang relevan dengan penelitian yang dilaksanakan penulis. 3. Bab III Metode Penelitian Dalam bab tersebut dijabarkan tentang metode penelitian yang digunakan, lokasi dan subjek penelitian, instrumen yang digunakan, tahapan pengumpulan data yang dilaksanakan, langkah analisis data yang ditempuh, serta jadwal pelaksanaan penelitian. 4. Bab IV Temuan dan Pembahasan Dalam bab tersebut dijabarkan tentang temuan penelitian berdasarkan hasil pengolahan dan analisis data penalaran ilmiah siswa kelas 7, 8, 9 di sekolah berorientasi lingkungan dan sekolah multinasional, serta pembahasan temuan penelitian untuk menjawab pertanyaan penelitian yang terdapat pada Bab I. 5. Bab V Simpulan dan Rekomendasi Dalam bab tersebut dijabarkan tentang simpulan yang merupakan hasil penting temuan mengenai penalaran ilmiah siswa, serta rekomendasi yang diajukan penulis bagi pihak sekolah, guru, dan peneliti lain yang tertarik untuk melanjutkan penelitian.