TINJAUAN ASPEK FARMASETIK PADA RESEP RACIKAN DI TIGA APOTEK DI KABUPATEN PEMALANG PERIODE JANUARI-JUNI 2008 SKRIPSI

dokumen-dokumen yang mirip
TINJAUAN ASPEK FARMASETIK PADA RESEP RACIKAN DI LIMA APOTEK DI KOTAMADYA PEKALONGAN PERIODE JANUARI-JUNI 2009 SKRIPSI. Oleh : EBTARINI K

TINJAUAN ASPEK FARMASETIK PADA RESEP RACIKAN DI TIGA APOTEK KOTA SURAKARTA PERIODE JANUARI-JUNI 2008 SKRIPSI

TINJAUAN ASPEK ADMINISTRASI PADA RESEP DI TIGA APOTEK DI KABUPATEN PEMALANG PERIODE JANUARI - JUNI 2008 SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

SURVEI KESALAHAN DALAM PENULISAN RESEP DAN ALUR PELAYANANNYA DI APOTEK KECAMATAN AMPEL KABUPATEN BOYOLALI SKRIPSI

TINJAUAN ASPEK KLINIS PADA RESEP DI TIGA APOTEK DI KABUPATEN PEMALANG PERIODE JANUARI-JUNI 2008 SKRIPSI

TINJAUAN ASPEK KLINIS PADA RESEP DI TIGA APOTEK DI KOTA SURAKARTA PERIODE JANUARI-JUNI 2008 SKRIPSI

SKRINING RESEP PADA PASIEN ANAK DI APOTEK WILAYAH KABUPATEN SUKOHARJO PERIODE BULAN AGUSTUS-OKTOBER 2009 SKRIPSI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PERANAN APOTEKER DI RUMAH SAKIT

SURVEI KESALAHAN DALAM PENULISAN RESEP DAN ALUR PELAYANANNYA DI 4 APOTEK KECAMATAN GROGOL KABUPATEN SUKOHARJO SKRIPSI

TINJAUAN ASPEK ADMINISTRATIF PADA RESEP DI TIGA APOTEK DI KOTA SURAKARTA PERIODE JANUARI-JUNI TAHUN 2008 SKRIPSI

Stabat dalam rangka pembinaan Puskesmas. BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pusat Kesehatan Masyarakat yang disingkat puskesmas adalah unit

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. mewujudkan tercapainya derajat kesehatan yang optimal bagi masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi mendorong masyarakat untuk semakin memperhatikan derajat

STUDI KELENGKAPAN RESEP OBAT UNTUK PASIEN ANAK DI APOTEK WILAYAH KECAMATAN KARTASURA BULAN OKTOBER - DESEMBER 2008 SKRIPSI

KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA. Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 TENTANG STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. hidup layak, baik dalam kesehatan pribadi maupun keluarganya termasuk di

HEALTH & BEAUTY. Oleh Aftiyani. Guardian, The One You Trust

STUDI KELENGKAPAN RESEP OBAT PADA PASIEN ANAK DI APOTEK WILAYAH KECAMATAN SUKOHARJO BULAN OKTOBER-DESEMBER TAHUN 2008 SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

KERANGKA ACUAN PELAYANAN KEFARMASIAN DI PUSKESMAS CILEDUG

TINJAUAN ASPEK LEGALITAS DAN KELENGKAPAN RESEP DI 5 APOTEK KABUPATEN KLATEN TAHUN 2007 SKRIPSI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

GAMBARAN PELAKSANAAN STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK WILAYAH KECAMATAN LAWEYAN KOTA SOLO TAHUN 2007 SKRIPSI

INKOMPATIBILITAS PADA PERESEPAN. Rina Wijayanti, M. Sc., Apt

MEHTERIKESEHATAN REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI KESEHAT AN REPUBLIK INDONESIA. Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 TENTANG

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

TINJAUAN ASPEK LEGALITAS DAN KELENGKAPAN RESEP DI LIMA APOTEK KOTA SURAKARTA SKRIPSI

Inkompatibilitas Obat. Heru Sasongko, S.Farm.,Apt. D3 Farmasi UNS

GAMBARAN PELAKSANAAN STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK KABUPATEN SRAGEN TAHUN 2008 SKRIPSI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA SURAKARTA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktek

TINJAUAN ASPEK KLINIS PADA RESEP DI LIMA APOTEK DI KOTAMADYA PEKALONGAN PERIODE JANUARI-JUNI 2009 SKRIPSI

GAMBARAN PELAKSANAAN STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK KABUPATEN BREBES TAHUN 2008 SKRIPSI

KATA PENGANTAR. Ilham Niawan

SERBUK F A R M A S E T I K D A S A R

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Penelitian ini telah dilaksanakan pada bulan Maret 2012 di Apotek RSU

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Inkompatibilitas Obat. Heru Sasongko, Apt D3 Farmasi UNS

karena selain komoditas perdagangan, obat juga memiliki fungsi sosial. Obat berperan sangat penting dalam pelayanan kesehatan karena penanganan dan

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pelayanan kesehatan terutama untuk pasien pediatri. Di Indonesia bentuk racikan

KAJIAN PERESEPAN BERDASARKAN KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NO

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Indonesia sebagai apoteker (Presiden, RI., 2009).

Bentuk-bentuk Sediaan Obat. Indah Solihah,S.Farm,M.Sc.,Apt

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Penelitian ini telah dilaksanakan pada tanggal 25 Maret 2012 di Apotek RSUD Toto

Konsep Dasar Pemberian Obat. Basyariah Lubis, SST, MKes

Bentuk Sediaan Obat (BSO)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Izin Apotek Pasal 1 ayat (a): Apotek adalah tempat tertentu, tempat dilakukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

STUDI KESERAGAMAN BOBOT SEDIAAN PULVERES YANG DIBUAT APOTEK DI KOTA JAMBI ABSTRAK

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN. Hasil penelitian pola peracikan resep khusus pediatri, struktur pelayanan

KIE di Rumah Riset Jamu. Dikompilasi dari materi Pelatihan Apoteker Saintifkasi Jamu di B2P2TOOT

PENGARUH PELAYANAN TERHADAP TINGKAT KEPUASAN DAN LOYALITAS KONSUMEN DI APOTEK BUNDA SURAKARTA SKRIPSI

KERANGKA ACUAN KERJA / TERM OF REFERENCE KEGIATAN EVALUASI DAN PENGEMBANGAN STANDAR PELAYANAN KESEHATAN TA. 2017

SOP Pelayanan Farmasi Tentang Perencanaan dan Pemesanan Obat-obat High Alert

PENGELOLAAN OBAT DAN ADMINISTRASI APOTEK. Heru Sasongko, S.Farm.,Apt.

PHARMACY, Vol.07 No. 03 Desember 2010 ISSN Agus Priyanto, Moeslich Hasanmihardja, Didik Setiawan

RESEP DAN KELENGKAPAN RESEP DR. APRILITA RINA YANTI EFF., M.BIOMED PRODI FARMASI-FIKES

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masalah kesehatan di Indonesia sebagai salah satu negara berkembang

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

OTC (OVER THE COUNTER DRUGS)

BAB IV BAHAN AIR UNTUK CAMPURAN BETON

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

PENYIMPANAN OBAT Tujuan penyimpanan Agar obat tidak menguap Agar khasiat obat tidak berubah Agar obat tetap dalam keadaan baik dan bersih Agar obat ti

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

LEBIH DEKAT DENGAN OBAT

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Konsep pelayanan dalam kamus bahasa Indonesia diartikan sebagai memberikan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. komponen obat terlalu banyak, dan kebiasaan (Setiabudy, 2011).

DESAIN SEDIAAN FARMASI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Apoteker berperan dalam mengelola sarana dan prasarana di apotek. Selain itu, seorang apoteker juga harus menjamin bahwa:

BAB IV PEMBAHASAN. sakit yang berbeda. Hasil karakteristik dapat dilihat pada tabel. Tabel 2. Nama Rumah Sakit dan Tingkatan Rumah Sakit

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN UMUM RUMAH SAKIT. Menurut Undang-Undang RI Nomor 44 tahun 2009, rumah sakit adalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Pengertian farmakokinetik Proses farmakokinetik Absorpsi (Bioavaibilitas) Distribusi Metabolisme (Biotransformasi) Ekskresi

Desain formulasi tablet. R/ zat Aktif Zat tambahan (eksipien)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kefarmasian dan penyaluran obat kepada masyarakat (Syamsuni, 2006). Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kesehatan RI No.

2. Bentuk setengah Padat contohnya salep,krim,pasta,cerata,gel,salep mata. 3. Bentuk cair/larutan contohnya potio,sirop,eliksir,obat tetes,dan lotio.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia. Pembangunan kesehatan diarahkan

LAPORAN LENGKAP PRAKTIKUM ANORGANIK PERCOBAAN 1 TOPIK : SINTESIS DAN KARAKTERISTIK NATRIUM TIOSULFAT

SOSIALISASI STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI SARANA KESEHATAN

J. Ind. Soc. Integ. Chem., 2013, Volume 5, Nomor 2 UJI KESERAGAMAN VOLUME SUSPENSI AMOKSISILIN YANG DIREKONSTITUSI APOTEK DI KOTA JAMBI.

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian berjudul Profil Penerapan Pelayanan Farmasi Klinik di Rumah

BLUEPRINT UJI KOMPETENSI APOTEKER INDONESIA METODE OSCE

Lampiran 1 Hasil lembar ceklist Puskesmas Helvetia, Medan-Deli dan Belawan Bagian II Nama puskesmas Kegiatan

PERESEPAN, PEMESANAN DAN PENGELOLAAN OBAT

Bab 11 Bagaimana menjelaskan kepada dokter saat berobat

Transkripsi:

TINJAUAN ASPEK FARMASETIK PADA RESEP RACIKAN DI TIGA APOTEK DI KABUPATEN PEMALANG PERIODE JANUARI-JUNI 2008 SKRIPSI Oleh : ELIYA LUTFI HIDAYATI K 100 050 106 FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA SURAKARTA 2009

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Peresepan dan penggunaan obat yang tidak tepat, tidak efektif, tidak aman, dan juga tidak ekonomis saat ini telah menjadi masalah dalam pelayanan kesehatan, baik di negara maju maupun negara berkembang. Masalah ini dijumpai di unit-unit pelayanan kesehatan misalnya di rumah sakit, apotek, praktek pribadi, maupun di masyarakat luas (Anonim, 2000). Kesalahan (error) bisa diartikan sebagai kegagalan dari suatu rencana yang akan dicapai atau kekeliruan dalam perencanaan untuk mencapai tujuan tertentu. Kesalahan tersebut bisa terjadi pada berbagai tahapan dalam proses pengobatan mulai dari diagnosis, penetapan terapi (dalam hal ini berwujud penulisan resep oleh dokter), sampai penyiapan obat dan penyerahan obat oleh apoteker (drug dispensing), serta penggunaannya oleh pasien. Masing-masing tahap tersebut berpeluang untuk terjadinya kesalahan (Nadeem, 2001). Kriteria untuk kesalahan peresepan sendiri adalah meliputi telah terpenuhi atau tidaknya Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek yang sesuai dengan KepMenKes No.1027/MENKES/SK/IX/2004 yang dimulai dengan skrining resep terlebih dahulu oleh Apoteker meliputi persyaratan administrasi, kesesuaian farmasetik, dan pertimbangan klinis. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa peresepan yang salah, informasi yang tidak sesuai tentang obat, baik yang diberikan oleh dokter maupun apoteker, 1

2 serta cara penggunaan obat yang tidak benar oleh pasien dapat menyebabkan kerugian dan penderitaan bagi pasien yang juga dapat mempengaruhi lingkungan sekitarnya. Oleh karena itu, perlu perhatian yang cukup besar untuk mengantisipasi dan atau mengatasi terjadinya kesalahan peresepan (Cohen, 1999). Penulisan resep yang tidak rasional selain menambah biaya, kemungkinan juga dapat menimbulkan efek samping yang semakin tinggi serta dapat menghambat mutu pelayanan (Ashadi, 1997). Oleh karena itu, alur peresepan obat dari mulai saat resep tersebut ditulis oleh dokter sampai obat sampai ke tangan pasien harus sesuai dengan peraturan yang berlaku. Hal ini bertujuan untuk menjamin keamanan dan keefektifan obat yang diterima oleh pasien. Dalam hal ini seorang apoteker mempunyai peranan yang sangat penting untuk memeriksa dan memastikan apakah resep yang diberikan ke pasien telah sesuai dan layak untuk diracik dalam rangka mencapai tujuan terapi yang diharapkan (Nadeem, 2001). Menurut Wiedyaningsih (2008), pada hasil penelitiannya menunjukkan bahwa bentuk sediaan padat (serbuk/serbuk dalam kapsul) mendominasi resepresep racikan, dengan penggerusan sediaan tablet mewarnai masalah dalam pencampuran dan pembuatan bentuk sediaan. Sedangkan hasil dari penelitiannya secara kuisioner menunjukkan bahwa bentuk sediaan salep paling menimbulkan masalah dalam pembuatan bentuk sediaan. Dengan timbulnya problem-problem tersebut, masih menunjukkan adanya ketidaksesuaian farmasetik menurut standar pelayanan kefarmasian di apotek, sehingga akan mengakibatkan tidak tercapainya

3 tujuan terapi dari pengobatan, resiko untuk pasien karena adanya perubahan efek dari obat ataupun dampak negatif lainnya (Wiedyaningsih, 2008). Data Badan Pusat Statistik Kabupaten Pemalang tahun 2003, jumlah total penduduk di Kabupaten Pemalang yaitu 1.371.943 jiwa (Anonim, 2007). Sedangkan ada 56 orang dokter yang menjalankan tugas di Kabupaten tersebut pada tahun yang sama (Anonim b, 2003). Program Indonesia Sehat 2010 yang dicanangkan pemerintah pusat menetapkan standar ideal jumlah tenaga dokter umum 40 orang per 100.000 penduduk, atau 1 tenaga dokter melayani 2.500 orang (Anonim b, 2006). Berdasarkan kriteria tersebut, secara kuantitas jumlah tenaga dokter umum di Pemalang belum ideal. Perbandingan antara dokter dengan pasien sebesar 1 : 24.493, akan menyebabkan terjadinya ketidakseimbangan antara jumlah dokter dengan banyaknya pasien, sehingga memungkinkan kesalahan peresepan yang dilakukan oleh dokter. Untuk itu dilakukan penelitian ini, sehingga peneliti melakukan evaluasi kesalahan pada resep racikan yang ditinjau dari segi farmasetik. Pada penelitian ini hanya dibatasi meliputi stabilitas bentuk sediaan obat yang memungkinkan terjadinya inkompatibilitas. B. Perumusan Masalah Bagaimana kesesuaian resep racikan ditinjau dari aspek farmasetik di tiga apotek di Kabupaten Pemalang periode Januari-Juni 2008?

4 C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui persentase kesalahan peresepan ditinjau dari aspek farmasetik di tiga apotek di Kabupaten Pemalang periode Januari-Juni 2008. D. Tinjauan Pustaka 1. Resep Resep adalah permintaan tertulis dari seorang dokter kepada apoteker untuk membuat atau menyerahkan obat kepada pasien (Anief, 2000). Resep dalam arti yang sempit ialah suatu permintaan tertulis dari dokter, dokter gigi, atau dokter hewan kepada apoteker untuk membuatkan obat dalam bentuk sediaan tertentu dan menyerahkannya kepada penderita. Resep juga merupakan perwujudan hubungan profesi antara dokter, apoteker, dan penderita (Zaman- Joenoes, 2001). Menurut undang-undang yang dibolehkan menulis resep ialah dokter umum, dokter spesialis, dokter gigi, dan dokter hewan. Bagi dokter umum dan dokter spesialis tidak ada pembatasan mengenai jenis obat yang boleh diberikan kepada penderitanya. Di apotek, bila obatnya sudah diserahkan kepada penderita menurut peraturan pemerintah kertas resep tersebut harus disimpan dan diatur menurut urutan tanggal dan nomor urut pembuatan serta harus disimpan sekurangkurangnya selama 3 tahun (Zaman-Joenoes, 2001). Resep harus ditulis dengan lengkap supaya dapat memenuhi syarat untuk dibuatkan obatnya di apotek. Resep yang lengkap terdiri atas:

5 a. Nama dan alamat dokter serta surat izin praktek, dan dapat pula dilengkapi dengan nomor telepon, jam dan hari praktek. b. Nama kota serta tanggal resep ditulis oleh dokter. c. Tanda R/ singkatan dari recipe yang berarti harap diambil. d. Nama setiap jenis/bahan obat yang diberikan serta jumlahnya (inscripto). e. Cara pembuatan atau bentuk sediaan yang dikehendaki (subscription). f. Aturan pemakaian obat oleh penderita umumnya ditulis dengan singkatan bahasa latin. Aturan pakai ditandai dengan signature biasa disingkat S. g. Nama penderita dibelakang kata pro, merupakan identifikasi penderita dan sebaiknya dilengkapi dengan alamatnya sehingga akan memudahkan penelusuran bila terjadi sesuatu tentang obat pada penderita. Jika penderita seorang anak, maka harus dituliskan umurnya sehingga apoteker dapat mengecek apakah dosis yang diberikan sudah cocok untuk anak umur sekian. Penulisan nama penderita tanpa umur pada resep itu diperuntukkan bagi orang dewasa. h. Tanda tangan atau paraf dari dokter, dokter gigi, dokter hewan yang menuliskan resep tersebut yang menjadikan suatu resep itu otentik. (Zaman-Joenoes, 2001). 2. Pelayanan Resep Alur atau rantai pelayanan obat dimulai dari penulisan resep oleh dokter, penerimaan resep, skrining resep (persyaratan administrasi, kesesuaian farmasetik, pertimbangan klinis), status dan data pasien, etiket, penyiapan obat, pemanggilan pasien, penyerahan obat, informasi/konseling (Hartini dan Sulasmono, 2006).

6 KepMenKes No.1027/MENKES/SK/IX/2004 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek menetapkan bahwa pelayanan yang ada di apotek meliputi salah satunya yaitu pelayanan resep. Pelayanan resep ini dimulai dengan skrining resep terlebih dahulu oleh Apoteker. a. Skrining resep meliputi: 1) Persyaratan Administrasi Adapun persyaratan administrasi meliputi : a) Nama, SIP dan alamat dokter b) Tanggal penulisan resep c) Tanda tangan/paraf dokter penulis resep d) Nama, alamat, umur, jenis kelamin, dan berat badan pasien e) Cara pemakaian yang jelas f) Informasi lainnya 2) Kesesuaian farmasetik Bentuk sediaan, dosis, potensi, stabilitas, inkompatibilitas, cara dan lama pemberian. 3) Pertimbangan klinis Adanya alergi, efek samping, interaksi, kesesuaian (dosis, durasi, jumlah obat dan lain-lain). Jika ada keraguan terhadap resep hendaknya dikonsultasikan kepada dokter penulis resep dengan memberikan pertimbangan dan alternatif seperlunya bila perlu menggunakan persetujuan setelah pemberitahuan.

7 b. Penyiapan Obat 1) Peracikan Merupakan kegiatan menyiapkan, menimbang, mencampur, mengemas dan memberikan etiket pada wadah. Dalam melaksanakan peracikan obat harus di buat suatu prosedur tetap dengan memperhatikan dosis, jenis dan jumlah obat serta penulisan etiket yang benar. 2) Etiket Etiket harus jelas dan dapat dibaca. 3) Kemasan Obat yang Diserahkan Obat hendaknya dikemas dengan rapi dalam kemasan yang cocok sehingga terjaga kualitasnya. 4) Penyerahan Obat Sebelum obat diserahkan pada pasien harus dilakukan pemeriksaan akhir terhadap kesesuaian antara obat dengan resep. Penyerahan obat dilakukan oleh apoteker disertai pemberian informasi obat dan konseling kepada pasien. 5) Informasi Obat Apoteker harus memberikan informasi yang benar, jelas, dan mudah dimengerti, akurat, tidak bias, etis, bijaksana, dan terkini. Informasi obat pada pasien sekurang-kurangnya meliputi : cara pemakaian obat, cara penyimpanan obat, jangka waktu pengobatan, aktivitas, serta makanan dan minuman yang harus dihindari selama terapi. 6) Konseling Apoteker harus memberikan konseling, mengenai sediaan farmasi, pengobatan dan perbekalan kesehatan lainnya, sehingga dapat memperbaiki

8 kualitas hidup pasien atau yang bersangkutan terhindar dari bahaya penyalahgunaan obat. Untuk penderita penyakit tertentu seperti kardiovaskular, diabetes, TBC, asma dan penyakit kronis lainnya, apoteker harus memberikan konseling secara berkelanjutan. 7) Monitoring Penggunaan Obat. Setelah penyerahan kepada pasien, apoteker harus melaksanakan pemantauan penggunaan obat, terutama untuk pasien tertentu seperti kardiovaskular, diabetes, TBC, asma dan penyakit kronis lainnya. 3. Bentuk Sediaan Zaman-Joenoes (2001) mengatakan bahwa bentuk sediaan obat ialah sediaan yang mengandung satu atau beberapa zat berkhasiat, umumnya dimasukkan dalam suatu vehikulum yang diperlukan untuk formulasi hingga didapat suatu produk (dengan dosis-unit, volume, serta sediaan yang diinginkan) yang siap untuk diminum atau dipakai oleh penderita. Pembagian obat menurut bentuk sediaan yang lazim diberikan kepada penderita ialah sebagai berikut: a. Obat cair: Solutio, mixtura, mixtura agitanda, suspensio, emulsi, saturasi, galenica, guttae (obat tetes), sirup, injeksi, aerosol (obat semprot). b. Obat setengah padat: linimentum (obat gosok), unguentum (salep, cream), pasta, sapo (sabun), emplastrum (plester). c. Obat padat: pulvis (serbuk tidak terbagi), pulveres (puyer), kapsul, tablet, pil, suppositoria. (Arkel, 1963)

9 Faktor-faktor bahan obat yang menentukan pemilihan bentuk sediaan obat dalam penulisan resep: a. Sifat-sifat fisiko kimia bahan obat: 1) Bahan obat higroskopis sebaiknya diberikan dalam bentuk cairan. 2) Bahan obat tidak larut dalam air umumnya diberikan dalam bentuk padat seperti pulveres, tablet, dan kapsul. 3) Bahan obat yang dirusak oleh getah lambung diberikan dalam bentuk injeksi (misalnya penicillin G dan Adrenalin G). b. Hubungan aktivitas atau struktur kimia obat : 1) Derivat barbiturat thiopental (ultra-short-acting) diberikan dalam bentuk injeksi. 2) Derivat barbiturat Phenobarbital (long-acting) umumnya diberikan oral dalam bentuk tablet, kapsul, atau puyer. c. Sifat farmakokinetik bahan obat : Obat yang mengalami first pass effect pada hati kurang efektif bila diberikan dalam salah satu bentuk sediaan oral karena mengurangi bioavailabilitas obat. First pass effect atau eliminasi prasistemik adalah suatu proses dimana tidak semua obat yang diabsorpsi dari tempat pemberian akan mencapai sirkulasi sistemik, tetapi sebagian akan dimetabolisme oleh enzim di dinding usus pada pemberian oral dan atau di hati pada lintasan pertamanya melalui organ-organ tersebut (Anonim, 1995). Misalnya Nitrogliserine dan isosorbide dinitrat untuk angina pectoris dipilih tablet sublingual.

10 d. Bentuk sediaan yang paling stabil : Contoh vitamin C ini mudah larut dalam air, tetapi tidak diberikan dalam bentuk obat minum karena tidak stabil dalam bentuk larutan. Dalam hal seperti ini dipilih bentuk sediaan padat (tablet). (Arkel, 1963) 4. Inkompatibilitas Inkompatibilitas obat dapat dibagi atas tiga golongan : a. Inkompatibilitas Terapetik Inkompatibilitas golongan ini mempunyai arti bahwa bila obat yang satu dicampur atau dikombinasikan dengan obat yang lain akan mengalami perubahanperubahan demikian rupa hingga sifat kerjanya dalam tubuh (in vivo) berlainan dengan yang diharapkan. Hasil kerjanya kadang-kadang menguntungkan, namun dalam banyak hal justru merugikan dan malah dapat berakibat fatal, dengan contoh sebagai berikut: absorpsi dari tetrasiklin akan terhambat bila diberikan bersama-sama dengan suatu antasida (yang mengandung kalsium, aluminium, magnesium atau bismuth) (Wangsaputra, 1981). b. Inkompatibilitas Fisika Yang dimaksudkan dengan inkompatibilitas fisika atau tak tercampurkannya obat secara fisika ialah terjadinya perubahan-perubahan yang tidak diinginkan pada waktu mencampur bahan obat-obatan tanpa ada perubahan susunan kimianya. Selain itu, bahan obat yang jika dicampurkan tidak memberikan suatu campuran yang sama dapat disebut pula tak tercampurkan secara fisika. Berikut contoh inkompatibilitas fisika :

11 1) Penggaraman (salting out) Yang diartikan dengan penggaraman ialah pengurangan kelarutan dari zatzat dengan jalan menambahkan garam-garam atau zat-zat yang dapat larut kedalam larutannya sehingga zat tersebut tidak lagi dalam keadaan terlarut. Peristiwa ini tergantung dari konsentrasi. Hal ini juga sangat penting untuk garamgaram alkaloida dan bahan-bahan yang berkhasiat keras lainnya, karena jika bahan-bahan tersebut tidak dapat larut akan mengendap pada dasar botol dan dengan jalan penggojokan sukar membagikannya sama rata. Sehingga ada kemungkinan bahwa penderita akan meminum obatnya dengan takaran yang terlampau besar pada sendok yang terakhir. 2) Meleleh atau menjadi basahnya campuran serbuk Jika dua macam serbuk yang kering dicampurkan dan terjadi lelehan atau campuran menjadi lembab. Hal ini dapat disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut: a) Penurunan titik cair b) Penurunan tekanan uap relatif Dalam beberapa hal, melelehnya suatu campuran serbuk disebabkan karena campurannya lebih higroskopis daripada masing-masing zatnya. Higroskopisnya suatu zat tergantung dari tekanan uap dari larutan jenuh zat tersebut. Jika tekanan uap ini lebih kecil daripada derajat kelembaban rata-rata dari udara maka zat tersebut akan menarik air dari udara dan meleleh. Pada umumnya tekanan uap dari larutan jenuh suatu campuran lebih kecil daripada tiap tekanan uap dari larutan jenuh zatnya masing-masing. Bila tekanan uap relatif dari

12 campuran menjadi turun dibawah tekanan uap relatif dari atmosfer mungkin campuran menjadi mencair. c) Bebasnya air hablur, disebabkan oleh terbentuk suatu garam rangkap dengan air hablur yang lebih sedikit daripada garam-garam penyusunnya atau bebasnya air disebabkan oleh terjadinya suatu reaksi kimia. 3) Tidak dapat larut dan obat-obat yang apabila disatukan tidak dapat bercampur secara homogen. Pada pencampuran bahan obat-obatan kemungkinan campuran yang terbentuk tidak serba sama, hal ini disebabkan oleh pencampuran zat-zat padat dan zat-zat cair. Zat-zat padat tersebut tidak dapat larut dalam zat cair atau jika kita mencampurkan zat-zat cair yang tidak bercampur. 4) Adsorpsi obat yang satu terhadap obat yang lain Tidak semua hal-hal adsorpsi dapat dianggap sebagai peristiwa fisika yang murni. Adsorpsi sering diikuti oleh reaksi kimia sehingga dapat dikatakan penukaran ion dapat terjadi. Salah satu contohnya yaitu carbo dapat mengadsorpsi zat-zat elektronegatif maupun elektropositif, oleh sebab itu carbo merupakan pengadsorpsi umum. Bolus alba dan kaolin mengadsorpsi alkaloida-alkaloida dan zat-zat warna yang basa, tetapi tidak demikian terhadap zat-zat yang bereaksi asam dan zat-zat seperti fenol-fenol dan alkohol. Alkaloida-alkaloida dan garamgaram alkaloida diadsorpsi oleh norit dan carbo adsorben, juga oleh bolus alba dan kaolin. Zat-zat yang telah diikat dengan jalan adsorpsi pada umumnya sukar dilepaskan oleh zat pengadsorpsi. Kombinasi dari bahan-bahan pengadsorpsi yang kuat dengan garam alkaloida harus dihindarkan karena sesudah diadsorpsi

13 alkaloida sangat sukar terlepas dari zat pengadsorpsi sehingga tak berkhasiat atau khasiatnya berkurang. (Arkel, 1963) c. Inkompatibilitas Kimia Inkompatibilitas kimia adalah perubahan-perubahan yang terjadi pada waktu pencampuran obat yang disebabkan oleh berlangsungnya reaksi kimia/interaksi pada waktu mencampurkan bahan obat-obatan. Termasuk di sini adalah : 1) Reaksi yang terjadi karena proses oksidasi/reduksi maupun hidrolisa. 2) Reaksi-reaksi dimana karena perubahan-perubahan dari kedua belah pihak reaksi akan terbentuk suatu endapan yang tidak dapat larut atau karena terjadi perubahan-perubahan lainnya. Jika dua buah larutan garam dicampurkan ada kemungkinan akan terbentuk suatu senyawa yang tidak dapat larut. Hal seperti ini dapat dikatakan sebagai suatu tak tercampurkannya anion-anion dan kation-kation. 3) Reaksi antara obat yang bereaksi asam dan basa Reaksi basa dari gelas dapat menyebabkan terjadinya penguraian. Karena pengaruh dari zat-zat yang bereaksi asam atau basa dapat terjadi pembentukan gas. Misalnya jenis gelas kapur natrium (normal terdiri dari 75% SiO 2, 15% Na 2 O, dan 10% CaO), gelas ini tidak digunakan untuk membuat gelas ampul dan wadah infusi, karena menunjukkan resistensi yang rendah terhadap air dan larutan dalam air. Gelas jenis ini akan melepaskan ion Na + ke dalam air dan mengambil ion H + dari air. Ion alkali tersebut menyebabkan terjadinya reaksi alkalis dari air

14 dan putusnya kerangka silisium pada permukaan gelas, sehingga lapisan gelas yang baru menghentikan reaksinya terhadap serbuan larutan dalam air. Begitu juga dengan ion kalsium dan silikat, juga dapat dipertukarkan dengan ion H + dari air atau kation yang terdapat di air, sehingga akan membentuk garam kalsium sukar larut yang mengendap (Voight, 1971). 4) Perubahan-perubahan warna Jika terjadi perubahan-perubahan warna, akan menimbulkan kesukarankesukaran. Sebagai contoh senyawa molekuler dari asam askorbinat dengan asam nikotinamida menjadi berwarna kuning sitrun. Selain itu, larutan-larutan dari adrenalin mudah berwarna merah karena pengaruh dari basa-basa (reaksi basa dari gelas) dan karbondioksida karena terbentuk hasil oksidasi adrenokrom yang berwarna oleh karena itu khasiatnya dapat berkurang. 5) Tidak tercampurkannya dengan sediaan-sediaan galenik Harus diakui bahwa informasi mengenai masalah inkompatibilitas obat terutama inkompatibilitas fisika dan kimia masih sangat jarang. Akibatnya akan sukar menentukan saran-saran apa yang dapat diberikan untuk pemakaian obat dalam kombinasi. (Arkel, 1963)