1 BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang Pasar Modal merupakan kegiatan yang bersangkutan dengan Penawaran Umum dan perdagangan efek, Perseroan Publik yang berkaitan dengan Efek yang diterbitkannya, serta lembaga dan profesi yang berkaitan dengan Efek 1. Perkembangan Pasar Modal di Indonesia terbilang semakin pesat, hal tersebut tak lain dikarenakan Pasar Modal memiliki peranan strategis sebagai salah satu sumber pembiayaan serta sarana investasi bagi pemodal. Pada hakekatnya Pasar Modal tidak jauh berbeda dengan pasar tradisional yang selama ini dikenal yang mana dalam pasar tradisional tersebut terdapat pembeli, penjual serta kegiatan tawar menawara harga, kegiatan sebagaima terjadi dalam pasar tradisional tersebut merupakan gambaran sederhana mengenai kegiatan yang terjadi dalam Pasar Modal. Pihak yang membutuhkan dana dalam hal ini adalah Perseroan Terbatas yang mana berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 (UUPT) Pasal 11 ayat 1 memiliki definisi sebagai berikut: Perseroan Terbatas, yang selanjutnya disebut perseroan, adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam undang-undang ini serta peraturan 1 Pasal 1 ayat 13 Undang-Undang No. 8 tahun 1985 Tentang Pasar Modal.
2 pelaksanaannya. Kedudukan Perseroan Terbatas bila dihadapkan dengan doktrin atau ajaran umum (de heersende leer) tentang badan hukum, maka unsur-unsur badan hukum sesuai dengan de heersende leer seperti: a. Adanya kekayaan terpisah; b. Adanya tujuan tertentu; c. Adanya kepentingan sendiri; d. Adanya organisasi yang teratur, dapat dilihat di dalam Perseroan Terbatas sebagai badan hukum. 2 Perseroan sebagai pihak yang membutuhkan dana dapat melakukan Penawaran Umum Perdana atau populer dengan sebutan Initial Public Offering atau Go Public untuk menghimpun dana sesuai dengan kebutuhan Perseroan. Penawaran Umum Perdana ini adalah kegiatan penawaran Efek yang dilakukan oleh Emiten untuk menjual Efek kepada masyarakat berdasarkan tata cara yang diatur oleh undangundang ini dan peraturan pelaksanaannya. Dengan dilakukannya Penawaran Umum Perdana Perseroan disebut sebagai Perseroan Terbuka. Selanjutnya jika saham yang ditawarkan kepada publik, dimiliki oleh sekurang-kurangnya 300 (tiga ratus) pemegang saham dan modal disetornya paling tidak sebesar Rp3.000.000.000,- (tiga miliar rupiah) atau suatu jumlah pemegang saham dan modal disetor yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah maka Perseroan tersebut merupakan Perseroan Publik. 2 Nindyo Pramono, Sertifikasi Saham PT Go Public dan Hukum Pasar Modal di Indonesia, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hal 24
3 Penawaran Umum Perdana merupakan suatu kegiatan Pasar Modal yang banyak dilakukan oleh Perseroan-Perseroan, sebabnya tak lain adalah kesempatan Perseroan untuk dapat menghimpun dana dalam jumlah besar dan tentunya dana yang diperoleh tersebut akan semakin menunjang kegiatan operasional Perseroan dan mewujudkan cita cita memperoleh profit setingi-tingginya. Namun menjadi Perseroan Publik juga berarti tanggung jawab yang dimiliki semakin besar dan semakin banyak Peraturan Perundangan yang harus diperhatikan dalam melaksanakan kegiatan usahanya. Kepemilikan saham suatu Perseroan oleh publik tentunya tidak lepas dari konsekuensi Perseroan Publik untuk bertanggung jawab dalam setiap tindakan, transaksi serta aksi korporasi yang akan dijalankan tidak hanya terhadap pemegang saham mayoritas namun juga terhadap pemegang saham minoritas. Pada prateknya pemegang saham minoritas seringkali berada pada posisi yang lemah, sebabnya adalah pemegang saham dengan kepemilikan saham mayoritas memiliki kepentingan yang cukup besar terhadap perusahaan sehingga monopoli terhadap jalannya perusahaan cenderung dilakukan oleh pemegang saham mayoritas. Perlindungan hukum terhadap pemegang saham mayoritas ditinjau dari UUPT cukup terjamin dengan adanya mekanisme Rapat Umum Pemegang Saham yang mana jika keputusan tidak dapat diambil secara musyawarah maka akan diambil keputusan yang dapat diterima oleh mayoritas. Berbanding terbalik dengan pemegang saham minoritas yang kedudukan suaranya kurang diperhatikan padahal semestinya suara minoritas juga harus mendapatkan perlindungan. Konsep dan pengaturan hukum tentang prinsip perlindungan pemegang saham minoritas merupakan hal yang baru dan kurang mendapatkan
4 porsi yang cukup dalam peraturan perundang-undangan hukum korporat di Indonesia selama ini, hal ini dikarenakan oleh: 3 1. Kuatnya berlaku prinsip bahwa yang dapat mewakili perseroan hanyalah Direksi 2. Kuatnya berlaku pendapat bahwa yang dianggap demokratis adalahyang berkuasa adalah pihak mayoritas. 3. Kuatnya rasa keengganan dari pengadilan untuk mencampuri urusan bisnis dari suatu perusahaan. UUPT membuat suatu teroboson dengan mengatur equal treatment terhadap hak-hak seluruh pemegang saham baik mayoritas maupun minoritas, beberapa pasal yang menggambarkan hal tersebut adalah: 1. Pasal 61 ayat (1) UUPT sebagai berikut: Setiap pemegang saham berhak mengajukan gugatan terhadap Perseroan ke Pengadilan Negeri apabila dirugikan karena tindakan perseroan yang dianggap tidak adil dan tanpa alasan wajar sebagai akibat keputusan RUPS, Direksi, dan/atau Dewan Komisaris. Hak ini dikenal sebagai Hak Perseorangan (Personal Right) yang mana secara hukum semua orang memiliki kedudukan yang sama di mata hukum, sehingga pemegang saham minoritas mempunyai hak untuk menggugat Direksi dan/atau Dewan Komisaris ke Pengadilan Negeri jika melakukan kesalahan atau kelalaian yang merugikan Pemegang Saham Minoritas. 3 Chatamarrasjid, Penerobosan Cadar Perseroan Dan Soal-Soal Aktual Hukum Perusahaan, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002, hal. 220.
5 2. Pasal 62 ayat (1) UUPT sebagai berikut: Setiap Pemegang Saham berhak meminta kepada Perseroan agar sahamnya dibeli dengan harga yang wajar apabila yang bersangkutan tidak menyetujui tindakan Perseroan yang merugikan pemegang saham atau Perseroan, berupa: a. Perubahan Anggaran Dasar; b. Pengalihan atau penjaminan kekayaan Perseroan yang mempunyai nilai lebih dari 50% (lima puluh persen) kekayaan bersih Perseroan; atau c. Penggabungan, peleburan, pengambilalihan, atau pemisahan Hak pemegang saham minoritas sebagaimana diatur dalam Pasal 62 ayat (1) UUPT tersebut merupakan Hak untuk membela kepentingannya dalam rangka menilai harga saham atau disebut sebagai Appraisal Right. 3. Pasal 43 ayat (1) dan (2) UUPT sebagai berikut: (1) Seluruh saham yang dikeluarkan untuk penambahan modal harus terlebih dahulu ditawarkan kepada setiap pemegang saham seimbang dengan pemilikan saham untuk klasifikasi saham yang sama. (2) Dalam hal saham yang akan dikeluarkan untuk penambahan modal merupakan saham yang klasifikasinya belum pernah dikeluarkan, yang berhak membeli terlebih dahulu adalah seluruh pemegang saham sesuai dengan perimbangan jumlah saham yang dimilikinya Hak ini merupakan hak untuk meminta didahulukan atas saham yang ditawarkan dan harga yang ditawarkan kepada pemegang saham minoritas haruslah harga yang
6 sama dengan harga yang ditawarkan kepada pemegang saham lainnya, hak ini disebut juga sebagai Pre-Emptive Right. 4. Pasal 79 ayat (2) sebagai berikut: Penyelenggaraan RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan atas permintaan: a. 1 (satu) orang atau lebih pemegang saham yang bersama-sama mewakili 1/10 (satu persepuluh) atau lebih dari jumlah seluruh saham dengan hak suara, kecuali anggaran dasar menentukan suatu jumlah yang lebih kecil Hak ini merupakan hak pemegang saham minoritas untuk menggugat Direksi dan Dewan Komisaris yang mengatasnamakan Perseroan, sehingga dengan demikian pemegang saham minoritas memiliki hak untuk membela kepentingan Perseroan melalui otoritas lembaga Peradilan, hak ini disebut juga Derivative Right. 5. Pasal 97 ayat (6) UUPT sebagai berikut: Atas nama Perseroan, pemegang saham yang mewakili paling sedikit 1/10 (satu persepuluh) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara dapat mengajukan gugatan melalui pengadilan negeri terhadap anggota Direksi yang karena kesalahan atau kelalaiannya menimbulkan kerugian pada Perseroan. Ini dikenal juga dengan nama Enquete Right atau hak angket dimana pemegang saham minoritas memiliki kewenangan untuk mengajukan permohonan pemeriksaan berhubung terdapat dugaan adanya kecurangan-kecurangan atau halhal yang disembunyikan oleh Direksi, Dewan Komisaris atau pemegang saham.
7 Selain apa yang telah diatur dalam UUPT, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985 tentang Pasar Modal (UUPM) juga berusaha untuk memberikan perlindungan terhadap pemegang saham minoritas, hal tersebut tercermin dari lahirnya sebuah lembaga bernama Badan Pengawas Pasar Modal ( Bapepam ) yang bertanggung jawab kepada Menteri. UUPM memberikan kewenangan kepada Bapepam-LK untuk melakukan pembinaan, pengaturan, dan pengawasan sehari-hari kegiatan Pasar Modal untuk tujuan mewujudkan terciptanya kegiatan Pasar Modal yang teratur, wajar, dan efisien serta melindungi kepentingan pemodal dan masyarakat 4. Dalam melakukan aktivitas di pasar modal, perusahaan publik atau sebuah perusahaan tercatat di dalam rencananya untuk melakukan suatu transaksi bisnis wajib memperhatikan rambu-rambu yang diatur dalam peraturan pasar modal yang berlaku, yaitu Undang-Undang Pasar Modal (UUPM) beserta seluruh peraturan pelaksananya. Hal ini perlu dilakukan demi mencapai sasaran yang ingin dicapai Undang-Undang Pasar Modal, yaitu : a. Terciptanya kerangka hukum yang kuat di bidang pasar modal; b. Menciptakan transparansi dan memberikan jaminan perlindungan hukum bagi investor; c. Meningkatkan profesionalisme para pelaku pasar modal; d. Menciptakan sistem perdagangan yang aman, tertib, efisien, dan likuid; e. Memberikan kesempatan berinvestasi bagi para investor kecil; 5 4 Pasal 3 & 4 Undang-Undang No. 8 Tahun 1995 5 Nindyo Pramono, Bunga Rampai Hukum Bisnis Aktual, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, hal 15
8 Pengawasan mempunyai posisi yang vital bagi keberhasilan organisasi, Semakin besar dan kompleks suatu organisasi, maka akan semakin membutuhkan pengawasan mengingat rentang kendali yang panjang dan sulit untuk dilakukan oleh manusia secara individu. 6 UUPM memberikan 17 (tujuh belas) kewenangan kepada Bapepam hal tersebut tak lain untuk mengefektifkan independensi Bapepam agar dapat menegakkan hukum secara konsisten dan adil. Kemudian perkembangan terbaru sehubungan dengan independensi Bappeam adalah pembentukan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dengan adanya OJK maka Bapepam akan lepas dari Menteri dalam hal ini Kementerian Keuangan. OJK d/h Bapepam dalam perkembangannya banyak mengeluarkan peraturan peraturan yang berlaku bagi Perseroan Publik di bidang pasar modal. Banyak dari Peraturan yang dikeluarkan oleh OJK bertujuan untuk meningkatkan prinsip transparansi serta sebagai bentuk perlindungan terhadap pemegang saham minoritas. Salah satu Peraturan yang dikeluarkan oleh OJK yang bertujuan untuk melindungi kepentingan pemegang saham minoritas adalah Peraturan Bapepam & LK Nomor IX.E.1 Lampiran Keputusan Bapepam & LK Nomor Kep-521/BL/2008 tentang Transaksi Afiliasi dan Benturan Kepentingan Transaksi Tertentu (Peraturan IX.E.1). Sebelum lahir Peraturan IX.E.1 ini terdapat Peraturan yang mengatur hal sama dan diterbitkan pada tahun 2000 namun Peraturan tersebut dianggap sudah tidak sesuai dengan kondisi Pasar Modal yang semakin berkembang dan untuk tujuan meningkatkan prinisp keterbukaan dan perlindungan terhadap pemegang 6 Jusuf Anwar, Penegakan Hukum dan Pengawasan Pasar Modal Indonesia, PT Alumni, Bandung, 2008, hal 127
9 saham minoritas terhadap transaksi yang dilakukan oleh Perseroan Publik, maka Peraturan tahun 2000 tersebut direvisi. Pokok pokok yang direvisi pada Peraturan tersebut adalah : 1. Menambahkan pengertian Transaksi Afiliasi; 2. Menyempurnkan pengertian Benturan kepentingan dalam suatu transaksi; 3. Menambahkan kewajiban bagi perusahaan yang melakukan Transaksi Afiliasi; 4. Penambahan terhadap pengecualian transaksi yang mengandung Benturan Kepentingan; 5. Memasukkan jangka waktu penyampaian laporan bagi Perseroan Publik yang melakukan transaksi benturan kepentingan; Peraturan IX.E.1 ini berlaku bagi perusahaan yang telah melakukan Penawaran Umum Efek bersifat Ekuitas atau bagi Perseroan Publik. Pada prinsipnya Peraturan IX.E.1 bertujuan untuk meminimalisir Perseroan Publik untuk melakukan transaksi afiliasi serta transaksi yang mengandung benturan kepentingan. Pasal 1 ayat (d) dan (f) Peraturan IX.E.1 mengatur definisi mengenai transaksi afiliasi dan benturan kepentingan yaitu: Pasal 1 ayat (d) Peraturan IX.E.1 Transaksi Afiliasi adalah Transaksi yang dilakukan oleh Perusahaan atau Perusahaan Terkendali dengan Afiliasi dari Perusahaan atau Afiliasi dari anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, atau pemegang saham utama Perusahaan. Peraturan 1 ayat (f) Peraturan IX.E.1 Benturan Kepentingan adalah perbedaan antara kepentingan ekonomis Perusahaan dengan kepentingan ekonomis pribadi anggota Direksi, anggota
10 Dewan Komisaris, atau pemegang saham utama yang dapat merugikan Perusahaan dimaksud. Dengan dilakukannya transaksi afiliasi oleh Peseroan Publik maka terdapat kewajiban untuk mengumumkan transaksi tersebut kepada masyarakat umum serta menyampaikan dokumen pendukungnya kepada OJK paling lambat 2 (dua) hari setelah terjadinya transaksi tersebut. Dokumen pendukung yang dimaksud disini adalah Laporan dari Penilai Independen yang menyatakan wajar atau tidaknya transaksi afiliasi tersebut dilakukan oleh Perseroan Publik. Lain hal nya dengan Transaksi Benturan Kepentingan, Perseroan Publik harus mengajukan kepada Pemegang Saham Independen dalam Rapat Umum Pemegang Saham untuk mendapatkan persetujuan. Melalui ketentuan yang diatur dalam Peraturan IX.E.1 dapat dilihat bahwa OJK mencoba merealisasikan fungsinya untuk mewujudkan terciptanya kegiatan Pasar Modal yang teratur, wajar, dan efisien serta melindungi kepentingan pemodal dan masyarakat. Namun ketentuan mengumumkan transaksi afiliasi serta menyampaikan Laporan Kewajaran dari Penilai paling lambat 2 (dua) hari setelah transaksi afiliasi dilakukan merupakan tindakan represif. Artinya, perbuatan telah terjadi dan kemungkinan kerugian pun bisa saja telah dialami, sedangkan penerapan prinsip keterbukaan dan pemberdayaan pemegang saham independen merupakan sarana hukum untuk mencegah transaksi afiliasi tertentu yang biasa menguntungkan pihak-pihak tertentu dan sekaligus merugikan Perseroan Publik. PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk., (Garuda Indonesia) merupakan perusahaan yang telah melakukan Penawaran Umum Perdana pada tahun 2011
11 dengan nilai emisi sebesar Rp 4.750.000.000.000,- (empat triliun tujuh ratus lima pulih miliar Rupiah), dengan nilai emisi yang tergolong besar Garuda Indonesia sebagai Perseroan Publik tentunya memiliki sejumlah besar pemegang saham minoritas. Komposisi Pemegang Saham Garuda Indonesia pada saat ini adalah: Pemegang Sahan Status Pemilik Jumlah Saham Presentasi Kepemilikan Negara Republik Indonesia Negara Republik Indonesia 15.653.128.000 69,136% Credit Suisse AG Singapore TR AC CL Perseroan Terbatas 3.622.559.360 16,00% Pemegang Saham Lainnya - 3.365.308.640 14,864% Sumber : Daftar Pemegang Saham PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk. per 31 Juli 2014 yang dikeluarkan oleh PT Datindo Entrycom Dilihat dari tabel tersebut di atas maka selain Garuda Indonesia adalah merupakan Perseroan Publik, Garuda Indonesia juga merupakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN), apa yang dimaksud dengan BUMN sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (1) Undang Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (UU BUMN) adalah : Badan Usaha Milik Negara, yang selanjutnya disebut BUMN adalah Badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modanya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasa dari kekayaan negara Selanjutnya Pasal 1 ayat (2) UU BUMN mengatur mengenai definisi daripada Persero yaitu : Perusahaan Perseroan yang selanjutnya disebut Persero adalah BUMN yang berbentuk perseroan terbatas yang modalnya terbagi dalam saham yang seluruhnya atau paling sedikit 51% (lima puluh satu persen) sahamnya dimiliki
12 oleh Negara Republik Indonesia yang tujuan utamanya adalah mengejar keuntungan. Sehingga dengan adanya kepemilikan modal Negara Republik Indonesia sebesar 69,136% pada Garuda Indonesia, maka menurut UU BUMN Garuda Indonesia termasuk dalam Persero. Konsekuensi Garuda Indonesia sebagai BUMN Persero dan kaitannya dengan Peraturan IX.E.1 adalah dengan demikian Garuda Indonesia berpotensi besar melakukan apa yang disebut dengan transaksi afiliasi. Singkatnya, transkasi antara BUMN Persero yang satu dengan BUMN Persero lainnya dikategorikan sebagai transaksi afiliasi karena dikendalikan oleh pihak yang sama yaitu Negara Republik Indonesia selaku pemegang saham utama. Sehingga Garuda Indonesia dalam melalukan transaksinya harus memperhatikan ketentuan dalam Peraturan IX.E.1. Padahal jika dicermati lebih dalam, tentunya ada beberapa kendala yang dialami oleh Garuda dalam memenuhi ketentuan yang diatur oleh Peraturan IX.E.1 salah satunya adalah kendala efisiensi waktu serta biaya, dimana dalam pelaporannya diperlukan Penilai atau Kantor Jasa Penilai Publik (KJPP) yang mana pengadaannya wajib dilakukan dengan sistem tender, kemudian tentunya Garuda Indonesia harus membayar biaya KJPP tersebut untuk mengeluarkan Laporan Pendapat Kewajaran atas transaksi afiliasi yang dilakukan dan setelahnya adalah biaya yang dikeluarkan untuk publikasi di surat kabar berperedaran Nasional. Di sisi pemegang saham minoritas, Peraturan IX.E.1 ini juga nampaknya memiliki kelemahan. Sebagai contoh di tahun 2013 Garuda Indonesia memperoleh fasilitas kredit dari PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk., (BRI) sebesar USD
13 40.000.000,- (empat puluh juta Dollar Amerika Serikat) dan kepemilikan Negara Republik Indonesia pada BRI adalah sebesar 56,57% dan transaksi ini bukan merupakan core business dari Garuda sehingga dapat digolongkan Transaksi Afiliasi, Garuda wajib menyampaikan Laporan Kewajaran terhadap transaksi ini serta melakukan publikasi di surat kabar berperadaran nasional paling lambat 2 (dua) hari setelah transaksi dilakukan dan KJPP menyimpulkan bahwa transaksi tersebut adalah transaksi yang wajar 7. Sebagaimana yang telah dibahas dalam paragrap sebelumnya, apa yang diatur oleh OJK dalam Peraturan IX.E.1 merupakan tindakan represif yang mana transaksi dimaksud telah terjadi dan telah dilaksanakan. Yang menjadi pertanyaan kemudian apakah Garuda Indonesia dapat menentukan transaksi mana yang dianggap transaksi afiliasi dan apakah ketentuan yang diatur dalam Pearturan Bapepam IX.E.1 dapat dilaksanakan dengan baik kaitannya dengan perlindungan hak pemegang saham minoritas serta kendala atau hambatan dalam pelaksanaannya. Untuk itu perlu kajian dan analisis yang lebih mendalam mengenai transaksi afiliasi pada Garuda Indonesia. Berdasarkan uraian di atas, maka Penulis tertarik untuk membuat sauatu kajian yang lebih lanjut mengenai permasalahan tersebut, dengan judul TINJAUAN YURIDIS PENERAPAN PERATURAN BAPEPAM NOMOR IX.E.1 DALAM TRANSAKSI AFILIASI PT GARUDA INDONESIA (PERSERO) Tbk. TERHADAP PERLINDUNGAN PEMEGANG SAHAM MINORITAS 7 Keterbukaan Informasi Sehubungan dengan Transaksi Afiliasi PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk. ( Perseroan ), Bisnis Indonesia, Jumat 31 Mei, hlm. 5.
14 B. Rumusan Masalah Dari latar belakang masalah yang telah penulis uraian tersebut, maka penulis mengambil suatu rumusan masalah sebagai berikut: 1. Bagaimana PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk., menentukan suatu transaksi merupakan transaksi afiliasi atau tidak? 2. Bagaimana PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk., melaksanakan kewajiban mengenai transaksi afiliasi terhadap pemegang saham minoritas sebagaimana diatur dalam Peraturan Bapepam Nomor IX.E.1? C. Keaslian Penelitian Sepengetahuan penulis, belum pernah ada penulis-penulis terdahulu yang menulis dan meneliti mengenai TINJAUAN YURIDIS PENERAPAN PERATURAN BAPEPAM NOMOR IX.E.1 DALAM TRANSAKSI AFILIASI PT GARUDA INDONESIA (PERSERO) TBK. TERHADAP PERLINDUNGAN PEMEGANG SAHAM MINORITAS, namun apabila ternyata tanpa sepengetahuan penulis telah ada penulis terdahulu yang telah menulis seperti yang penulis tulis, maka penelitian ini diharapkan dapat melengkapinya. D. Manfaat Penelitian Penulisan tesis ini diharapkan akan diperoleh manfaat praktis dan teoritis sebagai berikut: 1. Secara praktis, hasil dari penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pihak-pihak sebagai berikut:
15 a. Bagi penulis, penelitian ini dilakukan untuk menyelesaikan tugas akhir sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Hukum pada program Pascasarjana Universitas Gajah mada b. PT Garuda Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan, dari hasil penelitian ini diaharapkan dapat dijadikan bahan masukan, evaluasi serta referesi berkaitan dengan aspek-aspek hukum yang perlu diperhatikan oleh perusahaan yang akan melakukan transaksi afiliasi, khususnya pemahaman aspek yuridis di bidang Pasar Modal c. Bagi Masyarakat, hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi masyarakat, khususnya bagi mahasiswa yang melakukan penelitian berkait dan dengan transaksi afiliasi kaitannya dengan perlindungan hukum bagi pemegang saham minoritas 2. Secara teoritis hasil dari penelitian ini diharapkan akan bermanfaat sebagai berikut: a. Memberikan masukan bagi pihak-pihak berkepentingan dalam kegiatan transaksi afiliasi dan transaksi benturan kepentingan b. Memberikan masukan bagi pemegang saham minoritas berkaitan dengan kepastian hukum dan perlindungan yang diperoleh terhadap terjadinya transaksi afiliasi oleh Perseroan Publik. c. Sebagai informasi bagi para peneliti dan praktisi Pasar Modal yang tertarik untuk melakukan penelitian dengan substansi yang sama dengan sudut pandang lain.
16 E. Tujuan Penelitian a. Tujuan Subjektif Untuk memperoleh data yang berhubungan dengan objek yang diteliti dan dalam rangka penyusunan penulisan hukum untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar kesarjanaan di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. b. Tujuan Objektif Penelitian ini dilakukan dengan tujuan utama untuk memperoleh gambaran dan pemahaman yang menyeluruh tentang: a) Praktek PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk., dalam menjalankan Peraturan IX.E.1 b) Hambatan PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk., dalam menjalankan kewajiban sebagaimana diatur dalam Peraturan IX.E.1 c) Efektivitas daripada Peraturan IX.E.1 dalam menjamin kepastian hukum & perlindungan terhadap pemegang saham minoritas.