BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Rizki Amalia, 2013

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. wilayah. Kehidupan yang semakin meng-global ini memberikan tantangan yang

BAB I PENDAHULUAN. mendatangkan berbagai efek negatif bagi manusia. Penyikapan atas

BAB I PENDAHULUAN. Pembelajaran Model Treffinger Untuk Meningkatkan Kemampuan Pemahaman Dan Koneksi Matematis Siswa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. secara terus menerus sesuai dengan level kognitif siswa. Dalam proses belajar

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan sangat diperlukan oleh semua orang terutama pendidikan yang

KEMAMPUAN BERPIKIR MATEMATIS MAHASISWA DALAM MENYELESAIKAN MASALAH GEOMETRI. Rizki Amalia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. mengembangkan daya pikir manusia. Perkembangan teknologi dan informasi

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan matematika merupakan salah satu unsur utama dalam. mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Hakikatnya matematika

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan, antara lain pembaharuan kurikulum, peningkatan kualitas tenaga. pendidik dan peningkatan sarana dan pra sarana.

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan matematika sangat berperan penting dalam upaya menciptakan

BAB I PENDAHULUAN. dilaksanakan dalam kegiatan pembelajaran.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Nurningsih, 2013

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

PENERAPAN MODEL ADVANCE ORGANIZER UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN PEMAHAMAN DAN ANALOGI MATEMATIS SISWA SMP

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Matematika merupakan ilmu yang menunjang berbagai macam

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan memegang peranan penting dalam menciptakan manusiamanusia

BAB I PENDAHULUAN. jenjang pendidikan di Indonesia mengindikasikan bahwa matematika sangatlah

BAB I PENDAHULUAN. mengembangkan potensi siswa yaitu Sekolah. Melalui pendidikan di

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

A. LATAR BELAKANG MASALAH

UNTUK MENINGKATKAN KOMPETENSI PENALARAN DAN KOMUNIKASI MATEMATIKA. (PTK Pembelajaran Matematika Kelas VII Semester II SMP Negeri 2

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. manusia- manusia unggul dan berkualitas. Undang-undang No 20 tahun 2003

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sri Asnawati, 2013

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Salah satu tujuan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) untuk mata

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan ilmu pengetahuan saat ini mengalami kemajuan yang

BAB I PENDAHULUAN. kemampuan dan keterampilan intelektual. Matematika juga merupakan ilmu yang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN. Pada era global yang ditandai dengan pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam rangka meningkatkan prestasi belajar siswa dibidang Matematika,

BAB I PENDAHULUAN. meningkatkan kualitas sumber daya manusia bagi suatu bangsa. Dengan adanya

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Diana Utami, 2014

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Yeni Febrianti, 2014

I. PENDAHULUAN. menjadi kebutuhan mendasar yang diperlukan oleh setiap manusia. Menurut UU

BAB I PENDAHULUAN. memiliki kemampuan atau skill yang dapat mendorongnya untuk maju dan terus

2015 PERBANDINGAN KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIS ANTARA SISWA YANG MENDAPATKAN MODEL DISCOVERY LEARNING DENGAN MODEL PROBLEM BASED LEARNING

Contoh Penalaran Induktif dan Deduktif Menggunakan Kegiatan Bermain-main dengan Bilangan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Pendidikan Indonesia repository.upi.edu

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Nobonnizar, 2013

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dewasa ini sangat pesat.

BAB I PENDAHULUAN. daya manusia yang berkualitas, berkarakter dan mampu berkompetensi dalam

BAB I PENDAHULUAN. Pembaharuan di bidang pendidikan yang mengacu pada visi dan misi

BAB I PENDAHULUAN. Pengaruh Pembelajaran Model Matematika Knisley Terhadap Peningkatan Kemampuan Koneksi Matematis Siswa SMA

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. di sekolah. Mata pelajaran matematika memiliki tujuan umum yaitu memberikan

BAB I PENDAHULUAN. pola pikir siswa adalah pembelajaran matematika. Hal ini sesuai dengan yang

BAB I PENDAHULUAN. Matematika mempunyai peran yang sangat besar baik dalam kehidupan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Maya Siti Rohmah, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dedi Abdurozak, 2013

BAB I PENDAHULUAN. Berkembangnya peradaban dunia membawa perubahan terhadap budaya,

BAB I PENDAHULUAN. permasalahan yang sedang dihadapinya. Oleh karena itu, kemampuan pemecahan

BAB I PENDAHULUAN. Matematika merupakan ilmu universal yang mendasari perkembangan

Pembelajaran Matematika dengan Metode Penemuan Terbimbing untuk Meningkatkan Kemampuan Representasi Matematis Siswa SMA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah AgusPrasetyo, 2015

BAB I PENDAHULUAN. Diantaranya, Kurikulum 1964, Kurikulum 1974, Kurikulum 1984, Kurikulum

PENDAHULUAN. Leli Nurlathifah, 2015

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Winda Purnamasari, 2013

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pendidikan memegang peranan penting dalam kehidupan manusia.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sangat pesat, hal ini

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Panji Faisal Muhamad, 2015

BAB I PENDAHULUAN. bekerja sama dalam suatu kelompok. matematika yaitu pemecahan masalah (problem solving), penalaran dan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Arif Abdul Haqq, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Helen Martanilova, 2014

BAB I PENDAHULUAN. digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Matematika memiliki peranan penting dalam berbagai aspek kehidupan.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. diberikan sejak tingkat pendidikan dasar sampai dengan pendidikan menengah di

BAB I PENDAHULUAN. Matematika pada mulanya diambil dari perkataan Yunani mathematike

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Riva Lesta Ariany, 2014

I. PENDAHULUAN. Perkembangan zaman dan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) menghadapi persaingan khususnya dalam bidang IPTEK. Kemajuan IPTEK yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pendidikan merupakan salah satu aspek penting yang akan

BAB I PENDAHULUAN. yang baik dan tepat. Hal tersebut diperjelas dalam Undang - Undang No 2 Tahun

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN. Matematika sebagai ilmu yang timbul dari pikiran-pikiran manusia yang

BAB I PENDAHULUAN. terutama dalam mata pelajaran matematika sejauh ini telah mengalami

2016 KEMAMPUAN PENALARAN MATEMATIS SISWA SMP MELALUI MODEL PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH DENGAN PENDEKATAN SAINTIFIK

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Pandangan matematika sebagai pelajaran yang sulit bukanlah hal baru dalam

BAB I PENDAHULUAN. yang dilakukan secara bertahap dan berkelanjutan. Setiap individu membutuhkan

BAB I PENDAHULUAN. Matematika adalah salah satu ilmu dasar, yang sangat berperan penting

BAB I PENDAHULUAN. kesamaan, perbedaan, konsistensi dan inkonsistensi. tahu, membuat prediksi dan dugaan, serta mencoba-coba.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. menyatakan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk

BAB I PENDAHULUAN. yaitu membekali diri dengan pendidikan. Terdapat pengertian pendidikan menurut

Meningkatkan Kemampuan Penalaran Matematis melalui Pembelajaran berbasis Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Matematika adalah salah satu mata pelajaran yang diajarkan pada pendidikan formal. Matematika merupakan salah satu mata pelajaran yang diajarkan secara bertahap dari konkrit menjadi abstrak dan secara berkesinambungan. Johnson dan Rising (dalam Tim MKPBM, 2001: 19) menyatakan bahwa matematika adalah pola berpikir, pola mengorganisasikan, pembuktian secara logis, matematika itu adalah bahasa yang menggunakan istilah yang didefinisikan dengan cermat, jelas dan akurat, dan representasinya menggunakan simbol dan padat. Tim MKPBM (2001: 20) juga menyatakan bahwa matematika tidak hanya sekedar bahasa atau sarana berpikir, tetapi matematika juga mencakup bahasa yaitu bahasa matematika yang dapat membuat kita berlatih berpikir secara logis dan dengan matematika ilmu pengetahuan lainnya juga bisa berkembang dengan cepat. Matematika tidak terlepas dari aktivitas manusia. Manusia secara kodratnya harus terus belajar. Matematika harus dipelajari seseorang secara individual terkait dengan proses berpikir secara matematis dimana matematika harus dipelajari terlebih dahulu, dikaji secara seksama dan dikerjakan secara teliti dan ulet. Pembelajaran matematika harus dirancang dengan pertimbangan yang ditinjau dari berbagai aspek baik itu dari guru ataupun siswanya. Pembelajaran matematika yang diberikan di sekolah harus dapat mengasah siswa agar mereka memiliki kompetensi dasar dalam matematika sesuai dengan tujuan umum pembelajaran matematika. NCTM (2000) menyebutkan bahwa terdapat lima kemampuan dasar matematika yang merupakan standar yakni pemecahan masalah (problem solving), penalaran dan bukti (reasoning and proof), komunikasi (communication), koneksi (connections), dan representasi (representation).

2 Tujuan mata pelajaran matematika pada tingkat SMA berdasarkan BSNP (2006: 146) adalah agar peserta didik memiliki kemampuan: 1. Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antar konsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma, secara luwes, akurat, efisien, dan tepat dalam pemecahan masalah. 2. Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika. 3. Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh. 4. Mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah. 5. Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah. Kemampuan siswa untuk bernalar secara benar dan beragumentasi secara logis dianggap sebagai tujuan penting dari pengajaran di sekolah. NCTM (2000) menyebutkan bahwa penalaran, beragumentasi dan pembuktian matematis sebaiknya diintegrasi dalam seluruh kelas matematika pada setiap jenjang. Adapun tujuan diajarkannya penalaran dan pembuktian dari sebelum Taman Kanak-kanak (TK) hingga kelas XII (NCTM, 2000: 56) adalah siswa mampu untuk (1) mengenali penalaran dan pembuktian sebagai aspek pokok dari matematika; (2) membuat dan menyelidiki dugaan matematis; (3) membangun dan mengevaluasi argumen dan pembuktian matematis; (4) memilih dan menggunakan bermacam-macam tipe dari penalaran dan metode pembuktian. Proses pembuktian sudah diajarkan dari jenjang yang paling dasar hingga jenjang yang paling tinggi yaitu perguruan tinggi baik formal maupun informal. Peserta didik diharapkan memiliki kemampuan dalam proses pembuktian.

3 Pembuktian adalah sembarang argumen atau presentasi dari bukti-bukti yang meyakinkan atau membujuk seseorang untuk menerima suatu keyakinan. Ada enam kriteria yang dapat diidentifikasi untuk meyakinkan diri atau orang lain untuk menerima sebuah argumen sebagai pembuktian yang meyakinkan, yaitu personal experience, acceptance of authority, observations of instances, lack of counter-example, the usefulness of result, deductive argument (Bell, 1978: 290). Argumen deduktif merupakan jenis argumen yang sangat diterima dalam teorema pembuktian pada matematika. Bell (1978: 293) menyatakan bahwa sebuah argumen deduktif merupakan bentuk argumen yang valid yang beroperasi pada seperangkat hipotesis yang dianggap memiliki nilai kebenaran yang absah (valid) sampai berakhir dengan seperangkat kesimpulan yang logis dari hipotesis tersebut. Terdapat dua kategori umum dalam pembuktian deduktif yaitu (1) pembuktian dengan argumen langsung meliputi modus ponens, transitivity, modus tollens, deduction theorem, contraposition, proof by cases, dan mathematical induction; (2) pembuktian dengan kontradiksi meliputi counter-example dan indirect proof. Pembuktian merupakan salah satu materi yang tidak mudah untuk diajarkan. Senk dalam Hanna dan Jahnke menyatakan bahwa berdasarkan penelitiannya tentang kemampuan menulis bukti terhadap 1520 siswa sekolah menengah atas untuk pelajaran Geometri Euclidean, hanya 30% dari siswa tersebut yang mencapai tingkat penguasaan menulis bukti sebesar 75% dan hanya 3% dari siswa tersebut yang mencapai skor ideal (Maya, 2011: 2). Fakta lain juga mengungkapkan bahwa dalam menyelesaikan masalah pembuktian banyak siswa yang mengalami kesulitan. Hal ini senada dengan Reiss, et al (2008) yang menyatakan bahwa banyak siswa menghadapi kesulitan yang serius dengan penalaran yang konsisten dan beragumentasi, khususnya pada pembuktian matematis. Pada kenyataannya kesulitan tersebut terlihat dari kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh siswa dalam mengemukakan argumen pada proses pembuktian sehingga prestasi belajar mereka menurun.

4 Salah satu faktor penyebab rendahnya kemampuan matematika siswa khususnya pada hasil dari pembelajaran pembuktian adalah terbatasnya kemampuan berpikir matematis tingkat tinggi yang dimiliki para siswa. Selain itu, pembelajaran matematika di sekolah menengah masih kurang memperhatikan masalah pembuktian ini. Hal itu mungkin dikarenakan masalah pembuktian tidak terdapat pada soal Ujian Akhir Nasional (UAN) baik pada tingkatan Sekolah Menengah Pertama (SMP) maupun pada Sekolah Menengah Atas (SMA). Padahal, pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi (tingkat perguruan tinggi) masalah pembuktian banyak dipelajari. Pembuktian yang diajarkan pada setiap jenjang pendidikan sangat penting. Kemampuan tersebut merupakan bekal siswa sebelum mereka melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi. Menurut artikel Making Mathematics yang berjudul Proof (Tn. 2002: 3) paling tidak terdapat enam motivasi mengapa orang membuktikan, yaitu to establish a fact with certainty, to gain understanding, to communicate an idea to others, for the challenge, to create something beautiful, to construct a large mathematical theory. Pembuktian matematika banyak diperhatikan pada jenjang Sekolah Menengah Atas (SMA). Bell (1978: 303) menyatakan bahwa pembuktian matematika di SMA bertujuan untuk mengidentifikasi objek kognitif dan afektif dari pembuktian teorema yang didasarkan pada pembuktian mengenai suatu objek yang penting. Pada pembelajaran matematika SMA, materi tentang pembuktian banyak ditemui dalam trigonometri. Setiawan (2004: 1) menyatakan bahwa dalam pengajaran trigonometri di lapangan masih banyak dijumpai kendala dan kesulitan, dari segi pengelolaan pembelajaran yang dilakukan oleh guru maupun dari segi pemahaman siswa, hal ini berdasarkan hasil Monitoring dan Evaluasi (ME) yang diselenggarakan oleh Pusat Pengembangan dan Penataran Guru (PPPG) Matematika tahun 2003. Siswa harus dapat menghubungkan antara definisi ataupun teorema yang telah dipelajari agar suatu permasalahan bisa terbukti. Pembuktian mendorong siswa untuk berpikir tingkat tinggi pada materi trigonometri sehingga dapat meningkatkan kemampuan berpikir kreatif.

5 Manusia adalah makhluk berpikir, sehingga tidak ada manusia yang tidak mengalami tahapan berpikir. Berpikir adalah mengolah informasi yang telah diterima untuk memberikan respon atau mengolah sesuatu. Pada kegiatan belajar mengajar, siswa mengalami proses berpikir dimana pengetahuan yang telah diperoleh tersebut akan menjadi lebih bermakna. Ibrahim dan Nur (dalam Darminto, 2008: 36) menyatakan bahwa berpikir adalah kemampuan untuk menganalisis, mengkritik, dan mencapai kesimpulan berdasarkan pada inferensi atau pertimbangan yang seksama. Selain itu, Marpaung (dalam Darminto, 2008: 36) menyatakan bahwa berpikir merupakan suatu aktivitas yang dimulai dari usaha menemukan informasi (dari luar atau diri siswa), mengolah, menyimpan dan memanggil kembali informasi dari ingatan siswa. Berdasarkan beberapa pengertian tersebut, berpikir adalah suatu proses yang kompleks dimana proses tersebut diawali dengan penemuan, pengolahan, serta pembuatan kesimpulan. Dewanto (2004: 3) menyatakan bahwa kemampuan berpikir tingkat tinggi adalah suatu kapasitas di atas informasi yang diberikan, dengan sikap yang kritis untuk mengevaluasi, mempunyai kesadaran (awareness) metakognitif dan memiliki kemampuan pemecahan masalah. Stein dan Lane (dalam Thompson, 2008: 97) mengungkapkan bahwa kemampuan berpikir matematis tingkat tinggi menggunakan pemikiran yang kompleks, non-algoritmik untuk menyelesaikan suatu masalah yang tidak dapat diprediksi, menggunakan pendekatan yang berbeda dengan tugas yang telah ada atau contoh latihan. Dari beberapa pernyataan di atas, berpikir matematis tingkat tinggi merupakan salah satu tahapan berpikir yang tidak dapat dilepaskan dari kehidupan sehari-hari dan setiap siswa diarahkan untuk memiliki pola berpikir tingkat tinggi tersebut. Sebagaimana diungkapkan Dahlan (2011: 6.32) contoh berpikir tingkat tinggi yang membuat seseorang berpikir kritis yaitu pada saat seseorang memperoleh data atau informasi, orang tersebut akan membuat kesimpulan yang tepat dan benar sekaligus melihat adanya kontradiksi atau konsistensi maupun kejanggalan dalam informasi itu. Pada jaman sekarang ini, melatih kemampuan berpikir matematis tingkat tinggi siswa adalah salah satu masalah yang sejak dulu sampai sekarang masih

6 merupakan masalah yang cukup seru bagi dunia pendidikan di Indonesia. Salah satu kendala yang terjadi adalah peran guru sebagai sumber ilmu terlalu dominan dan fokus pendidikan di sekolah lebih banyak menghafal. Siswa hanya dianggap sebagai tempat untuk menerima ilmu saja. Selain itu, kendala yang sulit dipecahkan adalah sistem penilaian terhadap prestasi siswa lebih banyak didasarkan pada tes yang sifatnya menguji kemampuan kognitif tingkat rendah. Tahapan-tahapan kemampuan kognitif siswa tersebut berdasarkan taksonomi Bloom pada ranah pengetahuan dan pemahaman. Thompson (2008: 96) menyatakan bahwa menggunakan taksonomi Bloom adalah salah satu alternatif yang digunakan oleh guru matematika untuk melakukan penilaian terhadap kemampuan berpikir tingkat tinggi. Krathwohl (2002) menyatakan bahwa indikator untuk mengukur kemampuan berpikir tingkat tinggi meliputi menganalisis, mengevaluasi dan mengkreasi/mensistesis. Suherman dan Kusumah (1990: 49) menyatakan bahwa analisis adalah suatu kemampuan untuk merinci atau menguraikan suatu masalah (soal) menjadi bagian-bagian yang lebih kecil (komponen) serta mampu untuk memahami hubungan diantara bagian-bagian tersebut. Sudjana (2005: 27) menyatakan bahwa penyatuan unsur-unsur atau bagian-bagian ke dalam bentuk menyeluruh disebut sintesis. Evaluasi merupakan kemampuan seseorang untuk dapat memberikan pertimbangan terhadap suatu situasi, ide, metode berdasarkan suatu patokan atau kriteria (Suherman dan Kusumah, 1990: 60). Shadiq (2007) mengungkapkan dalam laporan hasil seminar dan lokakarya pembelajaran matematika bahwa proses pembelajaran di kelas kurang meningkatkan kemampuan berpikir tingkat tinggi (high order thinking skills) dan kurang terkait langsung dengan kehidupan nyata sehari-hari. Selain itu, laporan hasil studi Henningsen dalam Stein (1997), Peterson (1998), Mullis, dkk (2000) (dalam Suryadi, 2012: 2) menunjukkan bahwa pembelajaran matematika pada umumnya masih berfokus pada pengembangan kemampuan berpikir tahap rendah yang prosedural. Pernyataan tersebut dapat diartikan bahwa pada pembelajaran matematika pada umumnya belum terfokus pada pengembangan kemampuan berpikir matematis tingkat tinggi.

7 Berpikir matematis tingkat tinggi merupakan salah satu aspek penting dalam pembelajaran, khususnya pada pembelajaran matematika di Indonesia. Kemampuan siswa pada tahapan berpikir merupakan faktor yang saling berkaitan. Pada pembelajaran matematika, pola pikir siswa secara perlahan terus berkembang melalui materi pelajaran yang diajarkan. Perkembangan pola pikir menuju kemampuan berpikir tingkat tinggi juga berpengaruh pada kemampuan pemecahan masalah dan penalaran, yang dengan pembuktian merupakan komponen yang saling berkaitan. Perkembangan kemampuan berpikir matematis tingkat tinggi dapat membantu siswa dalam menyelesaikan masalah pembuktian. Siswa harus bisa membangun dan mengembangkan pikirannya sendiri dalam menghubungkan suatu definisi ataupun teorema pada masalah pembuktian tersebut. Pada permasalahan pembuktian, siswa belajar untuk mengamati objek tak langsung pada pembelajaran matematika yaitu teorema dan akibat. Bell (1978: 223) menyatakan bahwa terdapat beberapa model pembelajaran untuk mengajarkan objek langsung dan objek tak langsung pada pembelajaran matematika. Objek langsung matematika terdiri dari fakta, konsep, hubungan antarkonsep (prinsip), dan keterampilan. Dahlan (2011: 5.17) menyatakan contoh fakta adalah bilangan (misalkan 2), contoh konsep adalah pengertian pecahan, sedangkan contoh prinsip adalah penjumlahan pecahan. Objek tak langsung (Bell, 1978: 223) dalam matematika antara lain theoremproving, problem solving, transfer of learning, learning how to learn, intellectual development, individual work, group work, dan positive attitude. Pada proses pembelajarannya, objek langsung dan tak langsung diajarkan menggunakan model pembelajaran yang disesuaikan dengan kemampuan dan kompetensi yang ingin dicapai. Objek langsung diajarkan dengan menggunakan model pembelajaran ekspositori, advance organizer, discovery, inquiry, individual, dan spiral. Objek tak langsung diajarkan menggunakan model pembelajaran pembuktian teorema (theorem proving), problem solving, laboratory, inquiry, group processes, dan computer-augmented. Adapun

8 hubungan antara objek langsung dan tak langsung terhadap model pembelajaran (Bell, 1978: 223) dapat dilihat pada Gambar 1.1. Direct Objects in Learning Mathematics Facts Skills Concepts Principles Teaching/Learning Models Expository model Advance organizer model Discovery model Game model Individulized model Spiral model Indirect Objects in Learning Mathematics Theorem proving Problem solving Transfer of learning Learning how to learn Intellectual development Working individually Working in groups Positive attitudes Teaching/Learning Models Theorem proving model Problem solving model Laboratory model Inquiry model Group processes model Computer-augmented model Gambar 1.1 Objek Matematika dan Hubungannya terhadap Model Pengajaran atau Pembelajaran. Uraian di atas memberi inspirasi kepada penulis untuk melakukan penelitian yang berjudul Penerapan Model Pembelajaran Pembuktian untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang dikemukakan di atas maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah apakah model pembelajaran pembuktian dapat meningkatkan kemampuan berpikir matematis tingkat tinggi siswa SMA? Agar penelitian yang dilakukan lebih terarah, maka rumusan masalah tersebut dijabarkan menjadi sub-sub masalah sebagai berikut:

9 1. Apakah peningkatan kemampuan berpikir matematis tingkat tinggi siswa (kemampuan analisis, sintesis dan evaluasi) yang mendapatkan pembelajaran dengan model pembelajaran pembuktian lebih baik dibandingkan dengan kemampuan berpikir matematis tingkat tinggi siswa (kemampuan analisis, sintesis dan evaluasi) yang memperoleh pembelajaran konvensional? 2. Bagaimana sikap siswa terhadap pembelajaran dengan model pembelajaran pembuktian? C. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah yang diuraikan di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk: 1. Menelaah peningkatan kemampuan berpikir matematis tingkat tinggi siswa SMA (kemampuan analisis, sintesis dan evaluasi) dalam menyelesaikan masalah pembuktian setelah mendapatkan pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran pembuktian. 2. Mendeskripsikan sikap siswa terhadap pembelajaran dengan model pembelajaran pembuktian. D. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat: 1. Sebagai masukan dan informasi bagi pihak sekolah agar dapat meningkatkan sistem pembelajaran khususnya pada pembelajaran matematika untuk mencapai tujuan yang optimal. 2. Sebagai bahan pertimbangan dan alternatif pilihan bagi guru yang dapat digunakan untuk meningkatkan kemampuan berpikir matematis tingkat tinggi terutama dari segi kognitif yaitu kemampuan analisis, sintesis dan evaluasi serta membantu siswa dalam menyelesaikan masalah pembuktian. 3. Sebagai sarana bagi siswa untuk meningkatkan berpikir matematis tingkat tinggi dan memberikan pengalaman baru dalam menyelesaikan masalah pembuktian. 4. Sebagai bahan acuan untuk penelitian lebih lanjut, khususnya penelitian yang berkenaan dengan hasil penelitian ini.

10 E. Definisi Operasional 1. Kemampuan Berpikir Matematis Tingkat Tinggi Kemampuan berpikir matematis tingkat tinggi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kemampuan berpikir matematis tingkat tinggi yang ditinjau dari segi kognitif yaitu kemampuan untuk menganalisis, sintesis dan evaluasi. Soal untuk mengukur kemampuan berpikir matematis tingkat tinggi berbentuk non-algoritmik, cenderung kompleks, memiliki solusi yang mungkin lebih dari satu (open-ended), membutuhkan usaha untuk menemukan struktur dalam ketidakteraturan. Indikator kemampuan berpikir matematis tingkat tinggi pada penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 1.1. Tabel 1.1 Indikator Kemampuan Berpikir Matematis Tingkat Tinggi Kemampuan Analisis Sintesis Evaluasi 2. Model Pembelajaran Pembuktian (MPP) Indikator Siswa mampu memeriksa kembali ketepatan hubungan dan interaksi antara unsur-unsur dalam soal kemudian membuat keputusan sebagai penyelesaiannya. Siswa mampu menyusun kembali elemen-elemen masalah dan merumuskan suatu hubungan dalam penyelesaiannya. Siswa mampu untuk mengkritik pembuktian. Siswa mampu untuk merumuskan dan memvalidasi generalisasi. Pembuktian yang dimaksud pada penelitian ini adalah proses siswa dalam mengemukakan argumen baik itu sifat maupun teorema secara deduktif. Pada proses pembuktian, argumen deduktif merupakan salah satu bentuk argumen yang diterima dalam matematika. Tipe argumen deduktif yang digunakan adalah deduction theorem, contraposition, proof by cases, dan counterexample.