UPAYA PEMBUKTIAN MELALUI SAKSI DALAM PENUNTUTAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN YANG MENYEBABKAN LUKA BERAT

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. baik. Perilaku warga negara yang menyimpang dari tata hukum yang harus

Penerapan Tindak Pidana Ringan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/Pid.B/2013/PN.Kis)

II. TINJAUAN PUSTAKA. nampaklah bahwa pembuktian itu hanyalah diperlukan dalam berperkara dimuka

TINDAKAN HAKIM DALAM MENILAI KEKUATAN ALAT BUKTI KETERANGAN SAKSI YANG BERBEDA ANTARA DI DEPAN PENYIDIK DENGAN DI PERSIDANGAN SKRIPSI

BAB I PENDAHULAN. dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3)

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2008

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

BAB I PENDAHULUAN. tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan

BAB 1 PENDAHULUAN. boleh ditinggalkan oleh warga negara, penyelenggara negara, lembaga

BAB II BATASAN PENGATURAN KEKERASAN FISIK TERHADAP ISTRI JIKA DIKAITKAN DENGAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN MENURUT KETENTUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA

NASKAH PUBLIKASI SKRIPSI PERBANDINGAN PENJATUHAN SANKSI PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PERTAMA DAN RESIDIVIS.

BAB III PENUTUP. pidana pembunuhan berencana yang menggunakan racun, yaitu: b. Jaksa Penuntut Umum membuat surat dakwaan yang merupakan dasar

I. PENDAHULUAN. Hakim memiliki peranan penting dalam suatu proses persidangan yaitu. mengambil suatu keputusan hukum dalam suatu perkara dengan

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan

BAB I PENDAHULUAN. menyatakan Negara Indonesia adalah Negara hukum. 1 Adapun tujuan

I. PENDAHULUAN. Pembunuhan berencana dalam KUHP diatur dalam pasal 340 adalah Barang

BAB I PENDAHULUAN. melalui media massa maupun media elektronik seperti televisi dan radio.

II. TINJAUAN PUSTAKA. wajib untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Pertanggungjawaban

BAB I PENDAHULUAN. pribadi maupun makhluk sosial. Dalam kaitannya dengan Sistem Peradilan Pidana

BAB I PENDAHULUAN. dapat di pandang sama dihadapan hukum (equality before the law). Beberapa

BAB I PENDAHULUAN. semua warga negara bersama kedudukannya di dalam hukum dan. peradilan pidana di Indonesia. Sebelum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. sebagaimana diuraikan dalam bab sebelumnya dapat dikemukakan kesimpulan

BAB I PENDAHULUAN. sekali terjadi, bahkan berjumlah terbesar diantara jenis-jenis kejahatan terhadap

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Meningkatnya kasus kejahatan pencurian kendaraan bermotor memang

PERANAN VISUM ET REPERTUM PADA KASUS PEMBUNUHAN OLEH IBU TERHADAP ANAK (BAYI)

BAB III IMPLEMENTASI KETERANGAN AHLI DALAM PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA DI TINGKAT PENYIDIKAN

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara yang berdasar atas hukum (rechtstaat) seperti

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tugas dan Wewenang Hakim dalam Proses Peradilan Pidana. Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk

Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN

KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA. Oleh : Sumaidi, SH.MH

FUNGSI DAN KEDUDUKAN SAKSI A DE CHARGE DALAM PERADILAN PIDANA

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tata Cara Pelaksanaan Putusan Pengadilan Terhadap Barang Bukti

I. PENDAHULUAN. terpuruknya sistem kesejahteraan material yang mengabaikan nilai-nilai

I. PENDAHULUAN. kaya, tua, muda, dan bahkan anak-anak. Saat ini penyalahgunaan narkotika tidak

PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D Abstrak

KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2

KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM DALAM PERKARA PENGANIAYAAN. Zulaidi, S.H.,M.Hum

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum, maka

Bab IX : Sumpah Palsu Dan Keterangan Palsu

I. PENDAHULUAN. Manusia didalam pergaulan sehari-hari tidak dapat terlepas dari interaksi dengan

TINDAKAN HAKIM DALAM MENILAI KEKUATAN ALAT BUKTI KETERANGAN SAKSI YANG BERBEDA ANTARA DI DEPAN PENYIDIK DENGAN DIPERSIDANGAN NASKAH PUBLIKASI

I. PENDAHULUAN. didasarkan atas surat putusan hakim, atau kutipan putusan hakim, atau surat

UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG [LN 2007/58, TLN 4720 ]

PERANAN KETERANGAN AHLI DALAM PROSES PERKARA PIDANA PENGADILAN NEGERI

BAB III PENUTUP. praperadilan, maka dapat disimpulkan bahwa: akan memeriksa tuntutan tersebut. Tata cara atau acara dalam proses pemeriksaan

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan hidupnya dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan norma serta

ALAT BUKTI PETUNJUK DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA. (Studi Kasus Di Wilayah Hukum Pengadilan Negeri Surakarta)

PERAN DAN KEDUDUKAN AHLI PSIKIATRI FORENSIK DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA

I. PENDAHULUAN. dengan alat kelamin atau bagian tubuh lainnya yang dapat merangsang nafsu

BAB I PENDAHULUAN. pada Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia yang berbunyi Negara Indonesia adalah Negara Hukum.

BAB I PENDAHULUAN. oleh berbagai pihak. Penyebabnya beragam, mulai dari menulis di mailing list

BAB II PENERAPAN KONSEP NOODWEER DALAM TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN SEBAGAI AKIBAT ADANYA TINDAK PIDANA KEHORMATAN KESUSILAAN

BAB I PENDAHULUAN. hukum, tidak ada suatu tindak pidana tanpa sifat melanggar hukum. 1

HAKIKAT DAN PROSEDUR PEMERIKSAAN TINDAK PIDANA RINGAN 1 Oleh: Alvian Solar 2

JURNAL ILMIAH KEDUDUKAN HUKUM KESAKSIAN ANAK DI BAWAH UMUR DALAM TINDAK PIDANA KDRT. Program Studi Ilmu Hukum

I. PENDAHULUAN. jumlah kasus yang terjadi dan jumlah kerugian keuangan negara maupun dari segi

BAB III PENUTUP. terdahulu, maka penulis menyimpulkan beberapa hal yaitu :

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN. disuatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk menentukan

II. TINJAUAN PUSTAKA. pidana. Dalam hal penulisan penelitian tentang penerapan pidana rehabilitasi

BAB I PENDAHULUAN. peradilan adalah untuk mencari kebenaran materiil (materiile waarheid)

PERANAN DOKTER FORENSIK DALAM PEMBUKTIAN PERKARA PIDANA. Oleh : Yulia Monita dan Dheny Wahyudhi 1 ABSTRAK

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. peraturan perundangan undangan yang berlaku dan pelakunya dapat dikenai

Kekuatan Keterangan Saksi Anak Dibawah Umur dalam Pembuktian Perkara Pidana

I. PENDAHULUAN. nyata. Seiring dengan itu pula bentuk-bentuk kejahatan juga senantiasa mengikuti perkembangan

BAB I PENDAHULUAN. perilaku remaja di Indonesia mulai dari usia sekolah hingga perguruan tinggi.

MANFAAT DAN JANGKA WAKTU PENAHANAN SEMENTARA MENURUT KITAB UNDANG HUKUM ACARA PIDANA ( KUHAP ) Oleh : Risdalina, SH. Dosen Tetap STIH Labuhanbatu

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pertanggungjawaban pidana ( criminal liability) atau ( straafbaarheid),

Lex et Societatis, Vol. V/No. 2/Mar-Apr/2017

BAB I PENDAHULUAN. terdakwa melakukan perbuatan pidana sebagaimana yang didakwakan Penuntut. tahun 1981 tentang Kitab Hukum Acara Pidana.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Salah satu masalah besar yang dihadapi masyarakat pada saat ini

I. PENDAHULUAN. Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 Perubahan ke-4 Undang-Undang Dasar Hal ini. tindakan yang dilakukan oleh warga negara Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. lazim disebut norma. Norma adalah istilah yang sering digunakan untuk

BAB 1 PENDAHULUAN. secara konstitusional terdapat dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945

BAB I PENDAHULUAN. penyelesaian perkara pidana, keterangan yang diberikan oleh seorang saksi. pidana atau tidak yang dilakukan terdakwa.

BAB I PENDAHULUAN. dapat lagi diserahkan kepada peraturan kekuatan-kekuatan bebas dalam

BAB II LANDASAN TEORI. Adapun yang menjadi tujuan upaya diversi adalah : 6. a. untuk menghindari anak dari penahanan;

Perkembangan Kasus Perjadin Mantan Bupati Jembrana: Terdakwa Bantah Tudingan Jaksa

BEBERAPA HAMBATAN YANG DIHADAPI HAKIM DALAM PROSES PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA KORUPSI DI PENGADILAN NEGERI JAMBI

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

I. PENDAHULUAN. saling mempengaruhi satu sama lain. Hukum merupakan pelindung bagi

BAB I PENDAHULUAN. untuk dipenuhi. Manusia dalam hidupnya dikelilingi berbagai macam bahaya. kepentingannya atau keinginannya tidak tercapai.

BAB I PENDAHULUAN. mendorong terjadinya krisis moral. Krisis moral ini dipicu oleh ketidakmampuan

BAB IV HAMBATAN-HAMBATAN BAGI PENUNTUT UMUM DALAM MELAKUKAN PENUNTUTAN DILIHAT DARI PERAN KORBAN DALAM TERJADINYA TINDAK PIDANA

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

BAB IV PENUTUP A. Simpulan

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai Negara hukum, Pasal 28 Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara

KONSEKUENSI HUKUM PENGINGKARAN ISI BERITA ACARA PEMERIKSAAN OLEH TERDAKWA DI PERSIDANGAN Oleh :

BAB I PENDAHULUAN. suatu perkara disandarkan pada intelektual, moral dan integritas hakim terhadap

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. a. Pengertian, Kedudukan, serta Tugas dan Wewenang Kejaksaan

I. PENDAHULUAN. hukum serta Undang-Undang Pidana. Sebagai suatu kenyataan sosial, masalah

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I

KEKUATAN HUKUM SAKSI A DE CHARGE DALAM PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN DIPENGADILAN NEGERI KISARAN JURNAL

BAB III DESKRIPSI PERKARA TENTANG PENGGELAPAN DALAM JABATAN PERKARA NOMOR 23/PID.B/2016/PN.JBG PUTUSAN PENGADILAN NEGERI JOMBANG

PERANAN SIDIK JARI DALAM PROSES PENYIDIKAN SEBAGAI SALAH SATU ALAT BUKTI UNTUK MENGUNGKAP SUATU TINDAK PIDANA. (Studi Kasus di Polres Sukoharjo)

PERANAN VISUM ET REPERTUM DALAM TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN YANG MENGAKIBATKAN KEMATIAN

BAB I PENDAHULUAN. yang telah tercakup dalam undang-undang maupun yang belum tercantum dalam

Transkripsi:

NASKAH PUBLIKASI UPAYA PEMBUKTIAN MELALUI SAKSI DALAM PENUNTUTAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN YANG MENYEBABKAN LUKA BERAT (Studi Kasus di Kejaksaaan Negeri Surakarta) Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Syarat-syarat Guna Mencapai Derajat Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta Disusun oleh: NIA YUNITA CHRISTANTI C 100 120 121 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2016

PERSETUJUAN Naskah publikasi ini disetujui oleh Pembimbing Skripsi Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta Menyetujui Pembimbing Utama Hartanto, S.H.,M.Hum. i

HALAMAN PENGESEHAN UPAYA PEMBUKTIAN MELALUI SAKSI DALAM PENUNTUTAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN YANG MENYEBABKAN LUKA BERAT (Studi Kasus di Kejaksaaan Negeri Surakarta) Yang ditulis oleh: NIA YUNITA CHRISTANTI C 100 120 121 Telah dipertahankan di depan Dewan Penguji Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta Pada tanggal Juli 2016 Dan dinyatakan telah memenuhi syarat Dewan Penguji Ketua : ( ) Sekretaris : ( ) Anggota :. ( ) Mengetahui Dekan Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta (Dr. Natangsa Surbakti, S.H.,M.Hum) ii

SURAT PERNYATAAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH Bismillahirrohmannirrohim Yang bertanda tangan di bawah ini, saya: Nama : Nia Yunita Christanti NIM : C 100 120 121 Fakultas : Hukum Jenis : Skripsi Judul : UPAYA PEMBUKTIAN MELALUI SAKSI DALAM PENUNTUTAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN YANG MENYEBABKAN LUKA BERAT (Studi Kasus di Kejaksaaan Negeri Surakarta) Dengan ini menyatakan bahwa saya menyetujui untuk: 1. Memberikan hak bebas royalti kepada Perpustakaan UMS atas penulisan karya ilmiah saya, demi pengembangan ilmu pengetahuan 2. Memberikan hak menyimpan, mengalih mediakan / mengalih formatkan, mengelola daam bentuk pangkalan data (database), mendistribusikannya, serta menampilkannya dalam bentuk softcopy untuk kepentingan akademis kepada Perpustakaan UMS, tanpa perlu meminta ijin dari saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis / pencipta 3. Bersedia dan menjamin untuk menanggung secara pribadi tanpa melibatkan pihak Perpustakaan UMS, dari semua bentuk tuntutan hukum yang timbul atas pelanggaran hak cipta dalam karya ilmiah ini Demikian pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan semoga dapat digunakan sebagaimana mestinya. Surakarta, 25 Juli 2016 Yang Menyatakan Nia Yunita Christanti C 100 120 121 iii

UPAYA PEMBUKTIAN MELALUI SAKSI DALAM PENUNTUTAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN YANG MENYEBABKAN LUKA BERAT Nia Yunita Christanti C 100 120 121 Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta 2016 nia.wuzz32@gmail.com ABSTRAK Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis upaya pembuktian melalui keterangan saksi dalam penuntutan tindak pidana penganiayaan yang menyebabkan luka berat. Penelitian ini termasuk jenis penelitian hukum empiris. Penelitian dilaksanakan di Kejaksaan Negeri Surakarta. Sumber data menggunakan data primer. Teknik analisis data menggunakan analisis kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: upaya jaksa dalam penuntutan tindak pidana penganiayaan yang menyebabkan luka berat adalah dengan memberikan dakwaan berlapis yaitu dakwaan primair dan subsaider, mengajukan saksi yang memberatkan (a charge). Agar keterangan saksi tersebut dinilai sah oleh hakim maka harus diberikan di bawah sumpah, diberikan di depan persidangan, dan hanya memberikan keterangan yang bernilai sebagai alat bukti. Hambatanhambatan yang dihadapi kejaksaan dalam upaya pembuktian melalui keterangan saksi pada tindak pidana penganiayaan yang menyebabkan luka berat adalah kurangnya partisipasi saksi dalam persidangan, keterangan saksi tidak sesuai dengan keterangan saksi lainnya, dan saksi mencabut keterangan di BAP. Kata Kunci: tindak pidana penganiayaan yang menyebabkan luka berat, upaya pembuktian melalui keterangan saksi ABSTRACT The purpose of this study was to analyze the efforts to prove through witness testimony in the prosecution of criminal acts of persecution that led to serious injuries. This research includes empirical legal research. Research conducted at the State Attorney Surakarta. The data source using primary data. Data were analyzed using qualitative analysis. The results showed that: efforts prosecutor in the prosecution of criminal acts of persecution that caused severe injuries is to provide a layered indictment is the primary charge and subsaider, propose witnesses against him (a charge). In order for the witness testimony is considered valid by the judge must be given under oath, given in front of the court, and only provide information of value as evidence. The obstacles faced by the prosecutor in efforts to prove through witness testimony in the criminal acts of persecution that causes serious injury is the lack of participation of witnesses in the trial, witness testimony does not correspond to other witness testimony, and witnesses retract statements. Keywords: criminal acts of persecution that caused serious injury, efforts to prove through witness testimony 1

1. PENDAHULUAN Penganiayaan adalah perbuatan yang bertujuan untuk menimbulkan rasa sakit atau luka pada tubuh orang lain. Dalam KUHP, delik penganiayaan merupakan suatu bentuk perbuatan yang dapat merugikan orang lain terhadap fisik bahkan dapat berimbas pada hilangnya nyawa orang lain. Tindak pidana penganiayaan merupakan perbuatan yang bertentangan dengan norma hukum sehingga dilarang oleh undang-undang. Menurut Pasal 351 KUHP: (1) Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah, (2) Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun. (3) Jika mengakibatkan mati, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun. (4) Dengan penganiayaan disamakan sengaja merusak kesehatan. (5) Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana. Pengertian luka berat atau parah menurut Soesilo adalah: (a) Penyakit atau luka yang tidak boleh diharap akan sembuh lagi dengan sempurna atau dapat mendatangkan bahaya maut; (b) Terus-menerus tidak cakap lagi melakukan jabatan atau pekerjaan. Kalau hanya buat sementara saja tidak cakap melakukan pekerjaannya itu tidak masuk luka berat; (c) Tidak lagi memakai salah satu panca inderanya; (d) Cacat; (e) Lumpuh artinya tidak bisa menggerakkan anggota badannya; (f) Tidak dapat berpikir dengan normal; (g) Menggugurkan atau membunuh anak dalam kandungan. 1 Sanksi pidana pada penganiayaan berat dirumuskan dalam Pasal 354 KUHP sebagai berikut: (1) Barangsiapa sengaja melukai berat orang lain, dipidana karena melakukan penganiayaan berat dengan pidana penjara paling lama 8 tahun. (2) Jika perbuatan itu mengakibatkan kematian,yang bersalah dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun. Aparat penegak hukum harus menangkap pelaku tindak pidana penganiayaan berat untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Pemidanaan 1 R. Soesilo, 1988, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Bogor: Politeia: hal. 98. 2

harus ditegakkan untuk menegakkan keadilan. Menurut Sudarto pemidanaan merupakan sinonim dari penghukuman. Seorang yang dijatuhi pidana ialah orang yang bersalah melanggar suatu peraturan hukum pidana. Jadi pemidanaan itu berkaitan erat dengan hukum pidana. 2 Kejaksaan memiliki kewenangan dalam penuntutan. Menurut Leden Marpaung, penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan. 3 Kewenangan penuntut umum untuk melakukan penuntutan terhadap pelaku tindak pidana penganiayaan yang menyebabkan luka berat mendorong penulis untuk mengadakan penelitian ini. Perlu untuk diketahui bagaimana jaksa menyusun surat dakwaan yang nantinya menjadi pedoman bagi hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap pelaku tindak pidana penganiyaan berat. Berdasarkan uraian di atas maka dilakukan penelitian dengan judul: Upaya Pembuktian Melalui Saksi Dalam Penuntutan Tindak Pidana Penganiayaan Yang Menyebabkan Luka Berat (Studi Kasus di Kejaksaaan Negeri Surakarta). Berdasarkan uraian yang dikemukakan dalam latar belakang maka yang menjadi pokok bahasan atau permasalahan dalam penelitian ini adalah: Pertama, Bagaimana upaya pembuktian melalui keterangan saksi dalam penuntutan tindak pidana penganiayaan yang menyebabkan luka berat?; Kedua, Bagaimanakah hambatan-hambatan yang dihadapi Kejaksaan dalam upaya pembuktian tindak pidana penganiayaan yang menyebabkan luka berat?; Ketiga, Bagaimanakah upaya Kejakaan dalam mengatasi hambatan-hambatan dalam pembuktian tindak pidana penganiayaan yang menyebabkan luka berat? 2. METODE PENELITIAN 2 Sudarto, 1995, Hukum Pidana I. Semarang: Yayasan Sudarto d/a Fakultas Hukum UNDIP Semarang, hal 89 3 Andi Hamzah, 1996, Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta: CV Sapta Artha Jaya, hal. 164. 3

Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian hukum empiris, yaitu efektivitas pelaksanaan hukum dan norma-norma tertulis yang dibuat dan diundangkan oleh lembaga atau pejabat yang berwenang dalam hal ini kejaksaan. 4 Sumber data menggunakan data primer. Teknik pengumpulan data menggunakan wawancara dan studi kepustakaan. Teknik analisis data dalam penelitian ini menggunakan analisis data kualitatif. 3. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 3.1. Upaya Pembuktian Melalui Keterangan Saksi Dalam Penuntutan Tindak Pidana Penganiayaan Yang Menyebabkan Luka Berat Tindak pidana penganiayaan yang menyebabkan korban luka berat harus diselesaikan dengan cara menghukum pelaku dengan hukuman yang setimpal. Agar pelaku tidak lolos dari hukuman, upaya jaksa dalam melakukan penuntutan terhadap pelaku tindak pidana penganiayaan yang menyebabkan luka berat biasanya adalah dengan melakukan dakwaan berlapis yaitu dakwaan primair dan subsaider. Dakwaan primer merujuk pada Pasal 351 ayat (2) KUHP bahwa: Jika perbuatan itu menyebabkan luka berat, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun. 5 Selanjutnya dakwaan subsider merujuk pada Pasal 351 ayat (1) KUHP yaitu Penganiayaan dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya dua tahun delapan bulan atau denda sebanyak-banyaknya empat ribu lima ratus rupiah. Dakwaan primair digunakan oleh Jaksa Penuntut Umum karena Jaksa Penutut Umum lebih menilai perbuatan terdakwa menyebabkan luka berat pada diri saksi korban, pada dakwaan subsidair Jaksa Penuntut Umum juga menggunakan aturan pasal yang sama yakni dengan menggunakan Pasal 351 ayat (1). Unsur dari pasal ini yakni Jaksa Penuntut Umum lebih berfokus pada adanya tindakan penganiayaan yang dilakukan terdakwa terhadap saksi korban, sehingga 4 Soerjono Soekanto, 2010, Pengantar Penelitian Hukum, Edisi 11, UI Pers, Jakarta. Hal. 74 5 Sutarno, Jaksa Penuntut di Kejaksaan Negeri Surakarta, Wawancara Pribadi, Surakarta, 9 Mei 2016 di Kejaksaan Negeri Surakarta. 4

atas perbuatannya tersebut terdakwa harus dijatuhi hukuman guna mempertanggungjawabkan perbuatannya. 6 Upaya pembuktian adalah menjadi tugas Jaksa Penuntut Umum untuk membuktikan terdakwa bersalah melakukan tindak pidana penganiyaan yang menyebabkan luka berat. Jaksa dapat menggunakan alat-alat bukti yang diatur dalam Pasal 184 KUHP yaitu: (a) keterangan saksi; (b) keterangan ahli; (c) surat; (d) petunjuk; (e) keterangan terdakwa. Ditinjau dari segi urutan alat bukti, keterangan saksi ditempatkan pada urutan pertama. Ini menunjukkan bahwa keterangan saksi merupakan alat bukti paling penting dalam hukum acara pidana. Agar supaya keterangan yang diberikan seorang saksi dapat bernilai serta memiliki kekuatan pembuktian, perlu diperhatikan beberapa ketentuan yang harus dipenuhi oleh seorang saksi. Artinya, agar keterangan saksi dapat dianggap sah sebagai alat bukti yang memiliki nilai kekuatan pembuktian, harus dipenuhi beberapa ketentuan, yakni saksi harus mengucapkan sumpah atau janji, keterangan saksi harus diberikan di sidang pengadilan, dan hanya menilai keterangan saksi yang bernilai sebagai alat bukti. 7 Keterangannya adalah sebagai berikut: Saksi harus mengucapkan sumpah atau janji. Merujuk pada Pasal 160 ayat (3) KUHAP menerangkan bahwa sebelum saksi memberikan keterangan wajib mengucapkan sumpah atau janji yang dilakukan menurut cara sesuai agamanya masing-masing dan lafaz sumpah atau janji berisi bahwa saksi akan memberikan keterangan yang sebenar-benarnya dan tidak lain dari pada yang sebenarnya. Selanjutnya Pasal 160 ayat (3) KUHAP, pada prinsipnya sumpah atau janji diucapkan oleh saksi sebelum memberikan keterangan, akan tetapi dalam redaksi Pasal 160 ayat (4) KUHAP memberikan kemungkinan kepada saksi untuk mengucapkan sumpah atau janji setelah saksi memberikan keterangan. Cara penyumpahan sebelum memberikan keterangan di depan sidang pengadilan disebut promissoris, artinya sanggup berkata benar. 6 Sutarno, Jaksa Penuntut di Kejaksaan Negeri Surakarta, Wawancara Pribadi, Surakarta, 9 Mei 2016 di Kejaksaan Negeri Surakarta. 7 Sutarno, Jaksa Penuntut di Kejaksaan Negeri Surakarta, Wawancara Pribadi, Surakarta, 9 Mei 2016 di Kejaksaan Negeri Surakarta. 5

Keterangan saksi harus diberikan di sidang pengadilan. Keterangan saksi yang dinyatakan di luar sidang pengadilan bukan alat bukti dan tidak dapat dipergunakan untuk membuktikan kesalahan terdakwa, meskipun misalnya hakim, penuntut umum, terdakwa atau penasehat hukum, mendengar bahwa keterangan seorang yang berhubungan dengan peristiwa pidana yang sedang diperiksa, dan keterangan tersebut mereka mendengarnya di halaman kantor pengadilan atau disampaikan oleh seseorang kepada hakim di rumah tempat tinggalnya. Keterangan yang demikian tidak dapat dinilai sebagai alat bukti karena keterangan tersebut tidak dinyatakan di sidang pengadilan. Demikian juga, keterangan saksi yang diberikan di depan penyidik bukan merupakan alat bukti, keterangan tersebut hanya sebagai pedoman hakim untuk memeriksa perkara di dalam sidang pengadilan. 8 Hanya menilai keterangan saksi yang bernilai sebagai alat bukti. Tidak semua keterangan saksi yang diberikan di depan sidang pengadilan mempunyai nilai sebagai alat bukti. Keterangan saksi yang mempunyai nilai sebagai alat bukti adalah sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 angka 27 KUHAP yang pada dasarnya menyatakan bahwa keterangan saksi adalah keterangan yang bersumber dari apa yang saksi lihat sendiri, dengar sendiri dan saksi alami sendiri. Artinya bahwa fakta-fakta yang diperoleh dari keterangan saksi haruslah bersumber dari pribadinya sendiri. Nilai kekuatan pembuktian keterangan saksi sebagai alat bukti yang sah tergantung pada hal-hal sebagai berikut: Pertama, mempunyai kekuatan pembuktian bebas, artinya bahwa tidak melekat sifat pembuktian yang sempurna (volledig bewijskracht) dan juga tidak melekat di dalamnya pembuktian yang mengikat dan menentukan (beslissende bewijskracht). Dengan demikian, alat bukti keterangan saksi yang mempunyai nilai kekuatan pembuktian bebas, dapat dilumpuhkan terdakwa dengan alat bukti yang lain berupa saksi a decharge maupun dengan keterangan ahli atau alibi; Kedua, nilai kekuatan pembuktiannya 8 Sutarno, Jaksa Penuntut di Kejaksaan Negeri Surakarta, Wawancara Pribadi, Surakarta, 9 Mei 2015 di Kejaksaan Negeri Surakarta. 6

tergantung pada penilaian hakim, artinya hakim bebas menilai kekuatan atau kebenaran yang melekat pada keterangan saksi. 9 Berdasarkan uraian di atas dapat dinyatakan bahwa kriteria alat bukti keterangan saksi yang dinilai sah oleh hakim adalah keterangan saksi yang diberikan di bawah sumpah, keterangan saksi diberikan di depan persidangan, dan hakim hanya menilai keterangan saksi yang bernilai sebagai alat bukti. Keterangan saksi yang dinilai sah adalah keterangan saksi yang diberikan di bawah sumpah (Pasal 160 ayat (3) KUHAP), fungsi sumpah ini adalah agar keterangan yang diberikan adalah yang sebenar-benarnya. Makna sumpah atau janji yang diucapkan oleh saksi sesudah memberikan keterangan di depan sidang pengadilan ialah bahwa sumpah tersebut bersifat menguatkan keterangannya. Keterangan saksi yang dinilai sah adalah keterangan saksi yang diberikan di depan sidang pengadilan. Adapun keterangan saksi yang diberikan di depan penyidik bukan merupakan alat bukti, keterangan tersebut hanya sebagai pedoman hakim untuk memeriksa perkara di dalam sidang pengadilan. Apabila terdapat perbedaan antara keterangan seorang saksi yang dinyatakan di depan sidang pengadilan dengan keterangan yang diterangkan atau dinyatakan saksi dihadapan pemeriksaan oleh penyidik, maka hakim wajib menanyakan hal tersebut dan keterangan tersebut dicatat (Pasal 163 KUHAP). Hakim lebih mengutamakan keterangan saksi di depan persidangan, namun jika keterangan saksi yang berbeda tersebut berlawanan dengan saksi-saksi lainnya dan atau berlawanan dengan logika secara umum, Hakim dapat mengingatkan saksi bahwa jika keterangan yang disampaikan tidak benar maka saksi dapat dipidana karena telah memberikan keterangan atau sumpah palsu.. Hakim hanya menilai keterangan saksi yang bernilai sebagai alat bukti. Hakim dalam menilai dan mengkonstruksikan kebenaran keterangan para saksi maka harus memperhatikan Pasal 185 ayat (6) KUHAP yaitu persesuaian keterangan para saksi, persesuaian keterangan saksi dengan alat bukti lain, alasan saksi memberikan keterangan tertentu, serta cara hidup dan kesusilaan saksi serta 9 M. Yahya, Harahap a, 2000, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Penyidikan dan Penuntutan), Jakarta: Sinar Garfika, hal. 299 7

segala sesuatu yang pada umumnya dapat mempengaruhi kepercayaan terhadap keterangan saksi. 3.2. Hambatan-hambatan Yang Dihadapi Kejaksaan dalam Upaya Pembuktian Melalui Keterangan Saksi pada Tindak Pidana Penganiayaan yang Menyebabkan Luka Berat Upaya menggunakan alat bukti keterangan saksi sebagai sarana pembuktian dalam perkara penganiayaan diakui penuntut umum banyak mengalami hambatan yang berarti. Hambatan-hambatan sebagaimana yang dijelaskan oleh Sutarno sebagai Jaksa Penuntut Umum di Kejaksaan Negeri Surakarta dalam menangani perkara penganiayaan dalam wawancara sebagai berikut: 10 Kurangnya partisipasi saksi dalam persidangan. Umumnya hal yang paling sering ditemukan adalah bahwa saksi tidak hadir dalam persidangan, ini menjadi kendala atau hambatan bagi penuntut umum dalam melakukan penuntutan pada proses persidangan. Keterangan saksi tidak sesuai dengan keterangan saksi lainnya. Jika keterangan saksi yang berbeda tersebut berlawanan dengan saksi-saksi lainnya dan atau berlawanan dengan logika secara umum, Hakim dapat mengingatkan saksi bahwa jika keterangan yang disampaikan tidak benar maka saksi dapat dipidana karena telah memberikan keterangan/sumpah palsu. Hal ini karena pengucapan sumpah juga dilakukan oleh para saksi sebelum dilaksanakannya persidangan. Pertimbangan tersebut sejalan dengan ketentuan Pasal 163 KUHAP yang menyatakan: Jika keterangan saksi di sidang berbeda dengan keterangannya yang terdapat dalam berita acara, hakim ketua sidang mengingatkan saksi tentang hal itu serta minta keterangan mengenai perbedaan yang ada dan dicatat dalam berita acâra pemeriksaan sidang Saksi mencabut keterangan di BAP. Hal ini dapat terjadi jika saksi adalah kerabat, bawahan, ataupun orang yang kedudukannya di bawah pelaku, sehingga 10 Sutarno, Jaksa Penuntut di Kejaksaan Negeri Surakarta, Wawancara Pribadi, Surakarta, 9 Mei 2016 di Kejaksaan Negeri Surakarta. 8

terkadang dalam persidangan saksi enggan memberikan kesaksian yang sebenarnya, dan mengatakan lupa atau tidak ingat lagi, bahkan mencabut keterangan yang pernah diberikan pada tahap penyidikan, apakah karena sudah dipengaruhi atau mendapat sesuatu dari pelaku berupa imbalan atau tekanan/ancaman, sehingga mengaburkan alat bukti dan dapat melemahkan pembuktian. Bilamana seorang saksi menarik atau mencabut keterangannya dalam Berita Acara Pemeriksaan yang dibuat penyidik, maka berlakulah ketentuan pasal 185 ayat 1 KUHAP bahwa Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di sidang pengadilan. Dengan demikian, fungsi keterangan saksi pada Berita Acara Pemeriksaan yang dibuat di penyidik hanyalah sebagai alat bukti petunjuk yang diatur dalam pasal 188 ayat 2 KUHAP dan tidak mempunyai kekuatan pembuktian. 3.3. Upaya Kejaksaan Mengatasi Hambatan-hambatan dalam Upaya Pembuktian Melalui Keterangan Saksi pada Tindak Pidana Penganiayaan yang Menyebabkan Luka Berat Hambatan-hambatan yang muncul dalam upaya pembuktian melalui keterangan saksi pada tindak pidana penganiayaan yang menyebabkan luka berat adalah kurangnya partisipasi saksi, keterangan saksi yang berbeda, dan saksi mencabut keterangan di BAP. Adapun upaya-upaya kejaksaan untuk mengatasi hambatan-hambatan tersebut sebagaimana yang dijelaskan oleh Sutarno sebagai Jaksa Penuntut Umum di Kejaksaan Negeri Surakarta adalah sebagai berikut: 11 Mengatasi hambatan kurangnya partisipasi saksi di persidangan. Jaksa penuntut umum dapat meminta kepada hakim untuk menghadirkan paksa saksi di persidangan. Hal ini sejalan dengan Pasal 159 ayat (2) KUHAP yang menyatakan bahwa: 11 Sutarno, Jaksa Penuntut di Kejaksaan Negeri Surakarta, Wawancara Pribadi, Surakarta, 9 Mei 2016 di Kejaksaan Negeri Surakarta. 9

Dalam hal saksi tidak hadir, meskipun telah dipanggil dengan sah dan hakim ketua sidang mempunyai cukup alasan untuk menyangka bahwa saksi itu tidak akan mau hadir, maka hakim ketua sidang dapat memerintahkan supaya saksi tersebut dihadapkan ke persidangan. Jika seseorang tidak datang pada hari yang ditetapkan dalam surat panggilan, meskipun telah dipanggil secara sah, dan hakim ketua sidang mempunyai cukup alasan untuk menyangka bahwa saksi itu tidak akan mau hadir, maka hakim ketua sidang dapat memerintahkan supaya saksi tersebut dihadapkan ke persidangan (Pasal 159 KUHAP). Mengenai berapa lama waktu datangnya surat panggilan kedua jika seseorang menghadiri panggilan yang pertama tidak diatur dalam KUHAP. Yang diatur hanya bahwa hakim berwenang untuk memerintahkan supaya saksi dihadapkan ke persidangan. Mengatasi hambatan keterangan yang berbeda. Upaya jaksa penuntut dalam menyikapi adanya keterangan saksi yang berbeda antara BAP dengan di depan persidangan, maka jaksa penunut dapat meminta peran hakim untuk mencari kebenaran materiil. Ketika terjadi perbedaan keterangan yang diberikan saksi, maka hakim harus melihat apakah keterangan atau alasan yang diberikan saksi secara logika dan masuk akal dapat mendukung terjadinya perbedaan keterangan tersebut. Mengatasi hambatan saksi mencabut keterangan di BAP. Seorang saksi ketika memberikan keterangan di depan persidangan, dapat menarik/mencabut keterangannya yang telah dia berikan di dalam berita acara pemeriksaan saksi (BAP Saksi) yang dibuat oleh penyidik. Tidak ada pengaturan di KUHAP mengenai hal keterangan saksi yang ditarik atau dicabut di muka persidangan. Jika seorang saksi menarik atau mencabut keterangannya dalam berita acara pemeriksaan saksi yang dibuat penyidik, maka berlakulah ketentuan Pasal 185 ayat (1) KUHAP: Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi memberikan di sidang pengadilan. Dengan demikian Berita Acara Pemeriksaan sebagai hasil pemeriksaan pihak penyidik, baik terhadap saksi maupun tersangka, tidak lebih dari sekedar pedoman bagi hakim untuk menjalankan pemeriksaan. Dengan demikian, fungsi keterangan saksi tersebut pada berita acara pemeriksaan saksi yang dibuat penyidik hanya menjadi alat bukti petunjuk. 10

4. PENUTUP 4.1. Kesimpulan Pertama, upaya jaksa dalam penuntutan tindak pidana penganiayaan yang menyebabkan luka berat adalah dengan memberikan dakwaan berlapis yaitu dakwaan primair dan subsaider, mengajukan saksi yang memberatkan (a charge). Agar keterangan saksi tersebut dinilai sah oleh hakim maka harus diberikan di bawah sumpah, diberikan di depan persidangan, dan hanya memberikan keterangan yang bernilai sebagai alat bukti. Kedua, hambatan-hambatan yang dihadapi kejaksaan dalam upaya pembuktian melalui keterangan saksi pada tindak pidana penganiayaan yang menyebabkan luka berat adalah kurangnya partisipasi saksi dalam persidangan, keterangan saksi tidak sesuai dengan keterangan saksi lainnya, dan saksi mencabut keterangan di BAP. Ketiga, upaya kejaksaan mengatasi hambatan adalah dengan meminta kepada hakim untuk menghadirkan paksa saksi di persidangan, meminta peran hakim untuk mencari kebenaran materiil, dan menggunakan keterangan saksi di depan pengadilan sebagai alat bukti. 4.2. Saran Pertama, Jaksa penuntut umum dalam proses penuntutan terhadap terdakwa sebaiknya mempersiapkan dengan matang segala sesuatu yang berhubungan dengan proses persidangan diantaranya adalah berkas tuntutan, saksi-saksi dan bukti-bukti. Hal ini agar terdakwa tidak terlepas dari dakwaan/tuntutan dari Jaksa Penuntut Umum. Kedua, Jaksa penuntut umum dalam melakukan penuntutan perlu melihat hubungan antara korban dan pelaku tindak pidana penganiayaan, agar dalam melakukan penuntutan tercapai kebenaran materiil dalam suatu tindak pidana, dan terciptanya keadilan dan kepastian hukum yang diharapkan oleh seluruh mayarakat. 11

Ketiga, Jaksa penuntut umum harus mencari saksi yang baik, harus ada kesesuaian keterangan saksi korban dan saksi-saksi lainnya agar nilai pembuktian lebih relevan. Keempat, Jaksa Penuntut Umum memberikan petunjuk yang jelas dan terperinci terhadap penyidik sehingga penyidik lebih mengetahui kekurangannya dalam melakukan kelengkapan barang-barang bukti sehingga pengadilan singkat, sederhana dan biaya ringan dapat terwujudkan. Kelima, Penelitian berikutnya dapat menggunakan hasil penelitian ini sebagai bahan referensi untuk menggali lebih dalam permasalahan hukum pembuktian dalam hukum acara pidana. DAFTAR PUSTAKA Chazawi, Adam. 2002, Pelajaran Hukum Pidana 2, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Hamzah, Andi. 2002. Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta. Sinar Grafika. Iksan, Muchamad. 2012. Hukum Perlindungan Saksi dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia. Surakarta: UMS Press Marpaung. Leden. 2012, Asas, Teori, Praktik Hukum Pidana. Jakarta: Sinar Grafika Moleong, Lexy J. 2007. Metode Penelitian Kualitatif, Edisi Revisi. Bandung: Remaja Rosda Karya. Nugroho, Hibnu. 2010. Bunga Rampai Penegakan Hukum di Indonesia, Semarang: Badan Penerbit Undip Rohrohmana, Basir. 2001. Tindak Pidana, Unsur Tindak Pidana, Pidana dan Pemidanaan, Jayapura: Fakutas Hukum Universitas Cenderawasih Soekanto, Soerjono. 2010. Pengantar Penelitian Hukum, Edisi 11. Jakarta: UI Pers Soerodibroto, R. Soenarto. 2003. KUHAP dan KUHP Dilengkapi Yurisprudensi Mahkamah Agung dan Hoge Raad. Edisi ke-5. Jakarta: Raja Grafindo Persada 12

Soesilo, R., 1985. Kriminologi (Pengetahuan Tentang Sebab-Sebab Kejahatan, Bogor: Politeia. Sudarto. 1995. Hukum Pidana I. Semarang: Yayasan Sudarto d/a Fakultas Hukum UNDIP Semarang. Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Terjemahan Moeljatno, 1999, Jakarta: Bumi Aksara Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana). Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan 13