BAB I PENDAHULUAN. untuk kebahagiaan dirinya dan memikirkan wali untuk anaknya jika kelak

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. bahkan kalau bisa untuk selama-lamanya dan bertahan dalam menjalin suatu

BAB I PENDAHULUAN. tugas perkembangannya (Havighurst dalam Hurlock, 1996). dalam Hurlock, 1996). Di masa senjanya, lansia akan mengalami penurunan

PERBEDAAN PENYESUAIAN SOSIAL PASCA PERCERAIAN ANTARA WANITA BEKERJA DAN WANITA TIDAK BEKERJA

KECEMASAN PADA WANITA YANG HENDAK MENIKAH KEMBALI

BAB II LANDASAN TEORI. yang dimiliki individu untuk menghasilkan jalur mencapai tujuan yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Konteks Penelitian (Latar Belakang Masalah) Perkawinan merupakan salah satu titik permulaan dari misteri

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pada dasarnya setiap manusia diciptakan secara berpasang-pasangan. Hal

BAB I PENDAHULUAN. orang disepanjang hidup mereka pasti mempunyai tujuan untuk. harmonis mengarah pada kesatuan yang stabil (Hall, Lindzey dan

BAB I PENDAHULUAN. Hampir semua penduduk di dunia ini hidup dalam unit-unit keluarga. Setiap

BAB I PENDAHULUAN. berketetapan untuk tidak menjalankan tugas dan kewajiban sebagai suami-istri. Pasangan

BAB I PENDAHULUAN. Santrock, 2000) yang menyatakan bahwa tugas perkembangan yang menjadi

HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI TERHADAP PERCERAIAN ORANG TUA DENGAN OPTIMISME MASA DEPAN PADA REMAJA KORBAN PERCERAIAN. Skripsi

BAB I PENDAHULUAN. mereka kelak. Salah satu bentuk hubungan yang paling kuat tingkat. cinta, kasih sayang, dan saling menghormati (Kertamuda, 2009).

BAB I PENDAHULUAN. pada masa remaja, salah satunya adalah problematika seksual. Sebagian besar

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. merasa senang, lebih bebas, lebih terbuka dalam menanyakan sesuatu jika berkomunikasi

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Santrock (dalam Dariyo, 2003) masa dewasa awal ditandai dengan adanya transisi

PEMECAHAN MASALAH PADA WANITA SEBAGAI ORANG TUA TUNGGAL S K R I P S I

BAB I PENDAHULUAN. Ibu memiliki lebih banyak peranan dan kesempatan dalam. mengembangkan anak-anaknya, karena lebih banyak waktu yang digunakan

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Duvall & Miller (1985) pernikahan bukan semata-mata legalisasi,

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. (Santrock,2003). Hall menyebut masa ini sebagai periode Storm and Stress atau

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa dewasa adalah masa awal individu dalam menyesuaikan diri terhadap

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dewasa dikatakan waktu yang paling tepat untuk melangsungkan pernikahan. Hal

BABI PENDAHULUAN. Setiap individu memiliki tugas-tugas perkembangan yang menyertai dalam

BAB 1 PENDAHULUAN. Sepanjang sejarah kehidupan manusia, pernikahan merupakan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori subjective well-being

BAB I PENDAHULUAN. Manusia merupakan mahluk sosial yang tidak pernah terlepas dari

BAB I PENDAHULUAN. terlepas dari proses interaksi sosial. Soerjono Soekanto (1986) mengutip

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Dukungan sosial merupakan keberadaan, kesediaan, keperdulian dari

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kebutuhan mencari pasangan hidup untuk melanjutkan keturunan akan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. langgeng hingga akhir hayat mereka. Namun, dalam kenyataannya harapan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia memiliki fitrah untuk saling tertarik antara laki-laki dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. berdasarkan agama dan kepercayaan masing-masing untuk menjalani hidup bersama.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Setiap individu di dalam hidupnya selalu berusaha untuk mencari

BAB I PENDAHULUAN. cinta, seiring dengan perkembangan dan pertumbuhan individu dewasa.

BAB I PENDAHULUAN. Para individu lanjut usia atau lansia telah pensiun dari pekerjaan yang

5. KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. sosial yang disebut keluarga. Dalam keluarga yang baru terbentuk inilah

BAB I PENDAHULUAN. 104).Secara historis keluarga terbentuk paling tidak dari satuan yang merupakan

BAB I PENDAHULUAN. melainkan juga mengikat janji dihadapan Tuhan Yang Maha Esa untuk hidup

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Di era sekarang perceraian seolah-olah menjadi. langsung oleh Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Setiap manusia dalam perkembangan hidupnya akan mengalami banyak

BAB I PENDAHULUAN. diandalkan pada saat individu mengalami kesulitan (Orford, 1992). Dukungan

BAB I PENDAHULUAN. keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan

BAB I PENDAHULUAN. Masa dewasa awal merupakan periode penyesuaian diri terhadap pola-pola kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. pernikahan (Papalia, et. la., 2007). Setelah menikah laki-laki dan perempuan akan

PENGANTAR. kebiasaan, visi hidup, maupun strata pendidikan. Perbedaan dan keunikan masingmasing

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Sebagai unit terkecil dalam masyarakat, keluarga memiliki

BAB I PENDAHULUAN. akan meningkat menjadi 80 juta jiwa (Menkokesra). Data statistik tersebut

BAB I PENDAHULUAN. sepasang suami istri namun juga keinginan setiap anak di dunia ini, tidak seorang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Purwadarminta (dalam Walgito, 2004, h. 11) menjelaskan

BAB I PENDAHULUAN. Tabel 1. Hasil Presentase Pernikahan Dini di Pedesaan dan Perkotaan. Angka Pernikahan di Indonesia BKKBN (2012)

BAB I PENDAHULUAN. ini adalah bagian dari jenjang atau hierarki kebutuhan hidup dari Abraham Maslow, yang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Tri Fina Cahyani,2013

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang. Seiring dengan berkembangnya zaman manusia untuk mempertahankan

2016 FENOMENA CERAI GUGAT PADA PASANGAN KELUARGA SUNDA

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Manusia sebagai makhluk sosial tidak terlepas dari individu lain,

BAB I PENDAHULUAN. perceraian. Dalam kenyataannya di masyarakat mereka lebih memilih bercerai karena

A. LATAR BELAKANG Perselingkuhan dalam rumah tangga adalah sesuatu yang sangat tabu dan menyakitkan sehingga wajib dihindari akan tetapi, anehnya hal

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pernikahan merupakan salah satu tahapan dalam kehidupan manusia. Hal ini

BAB I PENDAHULUAN. dengan gejala-gejala lain dari berbagai gangguan emosi.

BAB I PENDAHULUAN. Masa dewasa awal, merupakan periode selanjutnya dari masa remaja. Sama

BAB 1 PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan suatu hal yang penting dalam kehidupan manusia.

BAB I PENDAHULUAN. istri, tetapi juga menyangkut urusan keluarga dan masyarakat. Perkawinan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. menempuh berbagai tahapan, antara lain pendekatan dengan seseorang atau

BAB I PENDAHULUAN. perkawinan pria dan wanita. Menurut data statistik yang didapat dari BKKBN,

BAB I PENDAHULUAN. penting. Keputusan yang dibuat individu untuk menikah dan berada dalam

BAB I PENDAHULUAN. Pada setiap tahap perkembangan terdapat tugas-tugas perkembangan yang

BAB I PENDAHULUAN. kompleks. Semakin maju peradaban manusia, maka masalah-masalah yang

BAB I PENDAHULUAN. matang dari segi fisik, kognitif, sosial, dan juga psikologis. Menurut Hurlock

BAB I PENDAHULUAN. masing-masing tahap perkembangannya adalah pada masa kanak-kanak, masa

STRATEGI COPING IBU DALAM MENJALANI PERAN SEBAGAI ORANG TUA TUNGGAL SKRIPSI

BAB II KAJIAN PUSTAKA

LAMPIRAN I GUIDANCE INTERVIEW Pertanyaan-pertanyaan : I. Latar Belakang Subjek a. Latar Belakang Keluarga 1. Bagaimana anda menggambarkan sosok ayah

BAB 1 PENDAHULUAN. terbatas berinteraksi dengan orang-orang seusia dengannya, tetapi lebih tua,

BAB I PENDAHULUAN. Abad 21 yang sedang berlangsung menjadikan kehidupan berubah dengan

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja adalah masa transisi dari anak-anak ke fase remaja. Menurut

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini seringkali ditemukan seorang ibu yang menjadi orang tua

BAB I PENDAHULUAN. manusia yang terlahir di dunia ini pasti akan mengalami pertumbuhan dan proses

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Keluarga memiliki tanggung jawab terbesar dalam pengaturan fungsi

BABI PENDAHULUAN. Setiap pasangan suami isteri tentu berharap perkawinan mereka bisa

BAB I PENDAHULUAN. diri sendiri dan tidak tergantung pada orang lain. Menurut Reber (dalam Fatimah, 2008,h.143) kemandirian adalah

BAB I PENDAHULUAN. ). Sedangkan Semua agama ( yang diakui ) di Indonesia tidak ada yang. menganjurkan untuk menceraikan istri atau suami kita.

KEPUASAN PERNIKAHAN DITINJAU DARI KEMATANGAN PRIBADI DAN KUALITAS KOMUNIKASI

I. PENDAHULUAN. Perkawinan didefinisikan sebagai suatu ikatan hubungan yang diakui secara

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

Bab I Pendahuluan. Mahasiswa masuk pada tahapan perkembangan remaja akhir karena berada pada usia 17-

BAB I PENDAHULUAN. setiap orang, sedangkan penting maksudnya bahwa ilmu pengetahuan itu besar

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia merupakan makhluk hidup yang lebih sempurna dari

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. penurunan kondisi fisik, mereka juga harus menghadapi masalah psikologis.

BAB I PENDAHULUAN. (laki-laki dan perempuan), secara alamiah mempunyai daya tarik menarik. perkawinan antara manusia yang berlaian jenis itu.

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Permasalahan

SUSI RACHMAWATI F

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan dan pertumbuhan tersebut, salah satu fase penting dan menjadi pusat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Remaja adalah masa peralihan diantara masa kanak-kanak dan dewasa.

BAB 1 PENDAHULUAN. terjadinya aktivitas-aktivitas sosial. Interaksi sosial tidak akan mungkin terjadi

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Selama 10 tahun saya menjanda, tidak ada pikiran untuk menikah lagi, karena pengalaman yang tidak menyenangkan dengan perkawinan saya. Tapi anak sudah besar, saya memikirkan hidup tua nanti. Saya juga berpikiran kalo nanti anak perempuan saya menikah, saya ingin ada bapak yang menjadi walinya walaupun ayah kandungnya masih hidup ato sudah mati, kami tak menganggapnya lagi. (Komunikasi Personal, 10 Mei 2011) Dari kutipan cerita di atas, dapat dilihat bahwa seorang wanita yang telah bercerai pada awalnya merasa takut untuk menikah lagi. Namun seiring dengan waktu, wanita bercerai ini memiliki keinginan untuk menikah lagi dengan tujuan untuk kebahagiaan dirinya dan memikirkan wali untuk anaknya jika kelak anaknya menikah. Saat ini, perceraian memang tidak lagi dipandang sebagi sesuatu hal yang memalukan namun sudah menjadi hal yang biasa dalam masyarakat. Penelitian pada masyarakat Minangkabau yang didukung dengan data BPS (2002) bahkan menunjukkan bahwa kecenderungan gugatan cerai lebih banyak dilakukan oleh wanita di Sumatera Barat. Hal ini dapat disebabkan karena pasangan atau wanita yang melakukan gugatan cerai melihat perceraian sebagai solusi untuk mengatasi masalah-masalah yang timbul dalam pernikahan yang tidak dapat diatasi lagi oleh kedua pasangan. Meskipun demikian, perceraian seringkali diartikan sebagai

kegagalan yang dialami suatu keluarga (Holmes dan Rahe dalam DeGenova, 2008). Suatu perceraian yang ditandai dengan adanya proses kehilangan secara tiba-tiba tentu menimbulkan konsekuensi-konsekuensi bagi kedua belah pihak. Di satu sisi, dengan bercerai individu dapat bebas dari tekanan, mengurangi konflik batin yang dialami selama pernikahan serta membuka kesempatan untuk membangun kehidupan baru yang lebih baik. Di sisi lain, perceraian juga menimbulkan konsekuensi berupa timbulnya masalah-masalah pasca perceraian seperti masalah ekonomi, masalah praktis kegiatan rumahtangga sehari-hari, masalah psikologis, masalah emosional, masalah sosial, masalah kesepian, masalah pembagian tanggung jawab pengasuhan anak, masalah seksual, dan masalah perubahan konsep diri (DeGenova, 2008). Melihat pada konsekuensi-konsekuensi yang muncul dari perceraian, maka masalah utama yang perlu dihadapi setelah perceraian dapat berupa penyesuaian kembali (readjustment) dengan status hidup sendiri tanpa pasangan, atau yang disebut dengan duda atau janda. Dengan status baru sebagai janda apalagi yang memiliki anak, wanita harus berperan sebagai orangtua tunggal dan harus bisa mengatur ekonomi keluarga secara mandiri. Sebagai orangtua tunggal, wanita harus bisa berperan ganda yaitu sebagai ayah yang fungsinya mencari nafkah dan sebagai ibu yang berperan membesarkan dan mendidik anak. Hal ini dikarenakan bahwa kondisi keuangan wanita hampir selalu memburuk setelah perceraian, terutama jika dia memiliki anak (Rice dalam Matlin, 2008).

Selain itu, setelah perceraian individu akan mulai menyadari bahwa kini mereka hidup seorang diri dan kesepian (DeGenova, 2008). Hidup seorang diri, dalam arti, dulu semua hal dikerjakan dan dibahas bersama pasangan, namun setelah perceraian semua hal dikerjakan dan dipikirkan sendiri. Hal ini sesuai dengan penuturan salah seorang wanita bercerai yang mengungkapkan keinginannya untuk menikah lagi karena membutuhkan pasangan untuk menjalani hidup. Gue pasti pengen nikah lagi tapi dengan alasan yang tepat, gue pengen nikah lagi karena gue menyadari bahwa hidup ini terlalu berat untuk dijalani sendirian, gue pengen nikah lagi karena gue menyadari gue membutuhkan seseorang yang bisa saling mendukung dalam segi spiritual dan material, gue pengen nikah lagi karena gue butuh menyayangi seseorang dan butuh untuk disayangi, dan masih banyak lagi tapi yang jelas gak bisa ditentuin kapan waktunya, bisa cepet bisa juga lama, kalo soal waktu kan terserah sama Tuhan, yang penting gue tetap usaha kok. (dari artikel http://umum.kompasiana.com/2010/04/30/menikahlahdengan-ku-vie-mau-donkhmmaybe-aja-dehtapiga-ah-lain-kali-aja/) Menikah lagi menjadi solusi yang dapat membantu individu untuk menyesuaikan diri, tidak hanya untuk mendapatkan teman yang bisa dipercaya dan diajak berbagi serta pasangan dalam hubungan seksual, tetapi menikah lagi juga dapat meningkatkan kesejahteraan ekonomi (A.D. Shapiro dalam DeGenova, 2008). Menikah lagi dapat mengarahkan individu pada penyesuaian diri yang lebih baik dan mendapatkan makna hidup yang lebih positif (Marks dan Lambert, Wang dan Amato dalam DeGenova, 2008). Beberapa alasan yang mendorong individu untuk menikah lagi antara lain untuk mendapatkan cinta dan persahabatan, pemenuhan kebutuhan biologis, faktor kebutuhan ekonomi/keuangan, etika, moral, dan norma sosial, faktor

pemeliharaan atau pendidikan anak serta untuk memperoleh status sosial (Dariyo, 2002). Dari segi pemenuhan faktor biologis, menikah lagi dianggap sebagai jalan terbaik untuk menyalurkan kebutuhan seksual secara sah dengan pasangan hidup yang baru apalagi untuk individu yang masih berada dalam usia reproduktif. Dengan menikah lagi, individu dapat memenuhi kebutuhan biologisnya dengan tetap memenuhi norma sosial. Seseorang juga memilih untuk menikah lagi untuk memenuhi kebutuhan ekonomi baik untuk diri sendiri maupun untuk anakanaknya. Selain itu, bagi individu yang memiliki anak dari pernikahan sebelumnya akan mendapatkan bantuan dalam mengurus, memelihara ataupun mendidik anak-anaknya dengan menikah lagi. Wanita bercerai yang memiliki status baru sebagai janda dapat mengurangi tekanan sosial yang dialaminya dengan menikah lagi dengan pasangan baru (Dariyo, 2002). Menikah lagi sebagai solusi untuk menyesuaikan diri setelah perceraian dan segala manfaat atau hal yang dirasakan dengan menikah lagi menumbuhkan harapan individu untuk menikah lagi. Harapan muncul karena mereka menginginkan suatu perubahan yang lebih baik. Individu yang bercerai, tanpa melihat bagaimana perceraian yang dialaminya tentu memiliki harapan untuk bisa membangun pernikahan yang lebih baik dari sebelumnya. Harapan untuk menikah lagi juga dapat menjadi dasar untuk perubahan kehidupannya ke arah yang lebih baik. Berdasarkan teori harapan Snyder (1994), harapan adalah sesuatu yang dapat dibentuk dan dapat digunakan sebagai langkah untuk perubahan. Perubahan yang menguntungkan dapat mendorong individu mencapai hidup yang lebih baik.

Perubahan tersebut membutuhkan pembentukan dan pemeliharaan kekuatan pribadi dalam konteks hubungan yang suportif. Snyder (2002) mengemukakan harapan sebagai sebuah pola pemikiran yang dipelajari, seperangkat kepercayaan dan pemikiran mencakup agentic thinking yaitu pemikiran mengenai tujuan: mengenai keberhasilan seseorang mencapai tujuan (misalnya saya mencapai tujuan yang saya buat sendiri ), dan pathway thinking yaitu pemikiran mengenai kemampuan efektif seseorang untuk mengusahakan berbagai cara untuk mencapai tujuan (misalnya saya dapat memikirkan banyak cara untuk mendapatkan apa yang saya inginkan ). Harapan juga merupakan kepercayaan seseorang terhadap kemampuannya untuk mencapai tujuan. Kepercayaan ini mengarah langsung pada perilaku hopeful, yang kemudian memperkuat pemikiran hopeful (Shorey, Snyder, dkk, 2002). Setiap individu memiliki kemampuan untuk membentuk harapan karena mereka memiliki komponen dasar dalam kemampuan kognitif yang diperlukan untuk menghasilkan pemikiran-pemikiran yang berhubungan dengan harapan. Parsons (dalam Hollander, 1981) menambahkan bahwa harapan berperan untuk mengarahkan tingkah laku dan mencakup dua aspek, yaitu tindakan antisipasi atau ramalan sederhana dan tuntutan seseorang terhadap orang lain untuk melakukan suatu tindakan tertentu. Dalam hal ini, individu yang memiliki harapan menikah lagi akan mengembangkan usahanya untuk mencapai tujuannya yaitu untuk membangun pernikahan yang lebih baik daripada pernikahan sebelumnya. Usaha yang dilakukan dapat berupa membangun jalinan hubungan dengan orang lain atau melibatkan diri dalam jaringan sosial dengan orang lain.

Harapan dapat meningkatkan timbulnya keinginan untuk bertahan mengatasi masalah yang dihadapi. Dalam hal ini, individu yang memiliki harapan menikah lagi dapat bertahan menghadapi masalah-masalah yang timbul pasca perceraian. Selain itu, individu yang memiliki harapan menikah lagi akan lebih merasakan emosi atau afek positif dan lebih dapat menyesuaikan diri dengan kehidupan setelah perceraian. Hal ini dikarenakan harapan selalu berkaitan dengan afek positif dan perceived control (Curry, Snyder dkk, 1997). Harapan juga berperan sebagai energi pada situasi yang penuh dengan tekanan dan merupakan salah satu cara yang efektif untuk menghadapai situasi tersebut. Penelitian Guisinger, Cowan, & Schuldberg (dalam Santrock, 2003) menunjukkan bahwa wanita yang lebih muda, menikah lagi lebih cepat daripada wanita yang lebih tua, dan wanita tanpa anak yang bercerai sebelum usia 25 tahun, mempunyai tingkat pernikahan kembali yang lebih tinggi dibandingkan wanita yang punya anak. Selain itu, semakin banyak uang yang dimiliki laki-laki yang bercerai, semakin cenderung dia menikah lagi, tapi bagi wanita berlaku kebalikannya. Paparan di atas menunjukkan bahwa tingkat harapan wanita untuk menikah lagi dipengaruhi oleh faktor usia, anak, dan status ekonomi. Walaupun harapan telah ada dalam diri individu, namun kadangkala hambatan-hambatan yang menghalangi pencapaian tujuan individu dapat mempengaruhi harapan yang terbentuk dalam diri individu. Tantangan-tantangan yang muncul dari pernikahan kedua dapat menjadi hambatan bagi harapan menikah lagi pada individu. Snyder (dalam Carr, 2004) menyatakan bahwa orang dewasa yang memiliki harapan tinggi, mampu berpikir optimis dan

mengembangkan kepercayaan bahwa mereka dapat beradaptasi terhadap tantangan dan mengatasi masalah. Sebaliknya, orang dengan harapan rendah ketika menghadapi hambatan, emosi mereka dapat diprediksikan berpindah dari harapan menjadi rasa marah, dari rasa marah menjadi putus asa, dan dari putus asa menjadi apathy. Tantangan atau hambatan yang dapat mempengaruhi harapan individu untuk menikah lagi antara lain adanya ketakutan akan kegagalan seperti pada pernikahan sebelumnya. Hal ini sesuai dengan kutipan cerita dari seorang wanita bercerai yang ingin menikah lagi yang mengungkapkan ketakutannya membayangkan bila dia menikah lagi. Kadang-kadang saya masih takut untuk berpikir menikah lagi. Ketakutan akan perceraian yang kedua mungkin saja membuat saya berpikir ulang kembali. Saya takut nantinya pasangan saya tidak dapat menjadi ayah tiri yang baik buat anak saya, atau apakah pernikahan saya nanti bahagia, direstui oleh keluarga dan masyarakat, ato dapat membahagiakan anak saya. (Komunikasi Personal 15 Mei 2011) Individu yang berhasil mengatasi tantangan atau hambatan-hambatan ini dapat diprediksikan memiliki harapan yang tinggi untuk menikah lagi. Harapan mencerminkan kemampuan individu untuk merencanakan jalur untuk mencapai tujuan terutama merencanakan jalur-jalur lain ketika menjumpai hambatan dan untuk memotivasi individu tersebut untuk menggunakan jalur tersebut. Ketika individu memiliki harapan untuk menikah lagi maka individu akan berusaha memikirkan dan merencanakan usaha-usaha untuk mencapai tujuannya (dalam hal

ini untuk menikah lagi) dan serta-merta akan memotivasi diri sendiri untuk menjalankan usaha-usaha tersebut. Selain itu, individu yang memiliki harapan menikah lagi lebih mungkin memanfaatkan dukungan sosial dari lingkungan dan keluarga untuk kehidupannya. Snyder (2002) mengatakan bahwa individu dengan tingkat harapan yang tinggi biasanya memiliki dukungan sosial ketika mereka mengalami kegagalan, sehingga mereka bisa mendapatkan feedback positif atau alternatif cara lain untuk mencapai tujuan mereka. Dukungan sosial juga memungkinkan untuk membantu menemukan tujuan lain apabila tujuan yang diinginkan memang sudah tidak mungkin tercapai. Pemikiran hopeful mencerminkan keyakinan bahwa seseorang mampu mencari atau mengembangkan jalur menuju tujuan yang diinginkannya dan menjadi termotivasi untuk menggunakan jalur-jalur tersebut (dalam Snyder, Rand & Sigmon, 2002). Harapan juga mempengaruhi emosi dan well-being seseorang. Snyder menekankan konsep harapan sebagai proses pikiran atau kognitif, dan pemikiran mengenai keberhasilan pencapaian tujuan akan menghasilkan emosi. Persepsi mengenai keberhasilan mencapai tujuan akan menghasilkan emosi positif, sebaliknya emosi negatif dihasilkan dari persepsi seseorang mengenai ketidakberhasilan mencapai tujuan atau ketidakmampuannya melaksanakan jalurjalur yang dikembangkannya dan mengatasi hambatan yang timbul dalam proses mencapai tujuan tersebut.

B. RUMUSAN MASALAH Adapun perumusan masalah pada penelitian ini adalah bagaimana gambaran harapan menikah lagi pada wanita bercerai. C. TUJUAN PENELITIAN Penelitian ini bertujuan untuk melihat gambaran harapan menikah lagi pada wanita bercerai. D. MANFAAT PENELITIAN 1. Manfaat Teoritis Secara teoritis, diharapkan penelitian ini dapat menambah pengetahuan kita dalam ilmu psikologi, terutama dalam bidang psikologi klinis. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan kepada kita mengenai gambaran pembentukan harapan sebagai bagian dari positive psychology. 2. Manfaat Praktis Memahami makna dari harapan menikah lagi untuk wanita bercerai. Memahami pentingnya pembentukan harapan dalam diri individu. Memahami dampak psikologis perceraian bagi wanita dewasa. Bagi keluarga dan masyarakat, dapat memberikan dukungan sosial kepada wanita bercerai untuk dapat menumbuhkan harapan menikah lagi dalam kehidupannya.

E. Sistematika Penulisan BAB I : Pendahuluan Berisikan latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat peneltian dan sistematika penulisan. Bab II : Landasan Teori Berisikan tinjauan teoritis yang menjadi landasan dalam penelitan, yaitu teori mengenai harapan termasuk di dalamnya definisi harapan, komponen harapan, dan faktor-faktor yang mempengaruhi harapan. Disertai teori mengenai perceraian dan pernikahan lagi (remarriage). Bab III : Metode Penelitian Berisikan mengenai metode penelitian yang digunakan yaitu metode kualitatif, karakteristik responden, metode pengambilan responden, metode pengumpulan data, alat bantu pengumpulan data, kredibilitas penelitian, prosedur penelitian dan prosedur analisa data. Bab IV : Analisa Data dan Pembahasan Berisikan deskripsi data meliputi riwayat responden, rangkuman hasil observasi, analisa data dan pembahasan masing-masing responden berdasarkan teori yang berkaitan, serta analisa antar responden. Bab V : Kesimpulan dan Saran Berisikan kesimpulan penelitian serta saran metodologis dan saran praktis untuk penelitian selanjutnya.