BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Matematika menjadi salah satu mata pelajaran pokok yang diajarkan di setiap jenjang pendidikan.

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB III METODE PENELITIAN A.

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Ada kecenderungan perbedaan kemampuan antara pria dan wanita dalam

PROSES BERPIKIR DENGAN KECERDASAN LINGUISTIK DAN KECERDASAN LOGIS- MATEMATIS

DESKRIPSI KEMAMPUAN SPASIAL SISWA SMP DITINJAU BERDASARKAN PERBEDAAN GENDER DAN KEMAMPUAN MATEMATIKA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

Riwayat Artikel: Diterima: 15 Mei 2017 Direvisi: 1 Juni 2017 Diterbitkan: 31 Juli Kata Kunci: PemecahanMasaah Kemampuan Spasial Geometri

BAB II KAJIAN TEORETIK. 1. Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis

PROFIL BERPIKIR KRITIS SISWA SMP DALAM MENYELESAIKAN MASALAH MATEMATIKA DITINJAU DARI KECERDASAN MAJEMUK

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian Sheny Meylinda S, 2013

BAB I PENDAHULUAN. mungkin dalam peningkatan prestasi belajar siswa. Prestasi belajar merupakan

KORELASI KECERDASAN SPASIAL TERHADAP MATHEMATICAL PROFICIENCY SISWA SEKOLAH DASAR KOTA BANDA ACEH

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan manusia. Pendidikan dijadikan sebagai dasar manusia untuk. yang timbul dalam diri manusia. Pembelajaran matematika

Adakah anda memiliki siswa yang bisa menciptakan seni visual yang indah?,

KECERDASAN VISUAL-SPASIAL SISWA SMP DALAM MEMAHAMI BANGUN RUANG DITINJAU DARI PERBEDAAN KEMAMPUAN MATEMATIKA

BAB I PENDAHULUAN. diukur dengan test dan dinyatakan dalam bentuk nilai. Hasil belajar mempunyai

BAB I PENDAHULUAN. persoalan baru untuk diselesaikan, kemampuan untuk menciptakan sesuatu

BAB I PENDAHULUAN. Usia kanak-kanak yaitu 4-5 tahun anak menerima segala pengaruh yang diberikan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Riva Lesta Ariany, 2014

BAB I PENDAHULUAN. digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

BAB I PENDAHULUAN. Sungguh, Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya (Q.S. At-Tin/95: 5). 1

BAB II KAJIAN TEORITIK

BAB I PENDAHULUAN. sebagai bekal hidup di dunia untuk mengejar masa depan. Kata belajar bukan

BAB II LANDASAN TEORI

Abstrak. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui ada atau tidaknya hubungan

MATHEMATICAL CREATIVE THINKING ABILITY AND MULTIPLE INTELEGENCE BASED LEARNING

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Febby Achmad Suryadipura, 2015

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk multidimensional yang dapat ditelaah dari

PENERAPAN TEORI MULTIPLE INTELLIGENCES DALAM PEMBELAJARAN FISIKA UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR PESERTA DIDIK

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Matematika merupakan ilmu yang memiliki peranan yang sangat besar dalam

BAB I PENDAHULUAN. kemampuan berpikir tingkat tinggi adalah berpikir kritis. Menurut Maulana

BAB I PENDAHULUAN. Dalam pembelajaran di sekolah, peserta didik perlu memiliki kemampuan

PROSES BERPIKIR SISWA DENGAN KECERDASAN LINGUISTIK DAN LOGIS MATEMATIS DALAM MEMECAHKAN MASALAH MATEMATIKA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. mengikuti perkembangan tersebut. Berdasarkan perkembangan tersebut, baik

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Salah satu tujuan mata pelajaran matematika yang dimuat dalam Standar Isi

PROFIL KECERDASAN VISUAL-SPASIAL PADA SISWA KELAS IX SMPN 1 MOJOLABAN BERDASARKAN PERBEDAAN JENIS KELAMIN

BAB I PENDAHULUAN. tersebut adalah SMA (Sekolah Menengah Atas). menurunkan dan menggunakan rumus Matematika yang diperlukan dalam

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Seiring dengan perkembangan zaman akan diikuti oleh banyak perubahan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. bidang kehidupan dan teknologi, diperlukan adanya sumber daya manusia

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Siswa perlu mempersiapkan diri untuk memasuki era demokratisasi, suatu

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

(universal) sehingga dapat dipahami oleh orang lain.

EKSPLORASI KEMAMPUAN KOGNITIF SISWA TERHADAP KEMAMPUAN MEMPREDIKSI, MENGOBSERVASI DAN MENJELASKAN DITINJAU DARI GENDER

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN. Tabel 4.1 Jumlah Sampel. Jumlah. X MIPA X MIPA X MIPA X MIPA Jumlah 39 88

Proses Berpikir Kritis Siswa Sekolah Dasar pada Pembelajaran Geometri Melalui Pendekatan Matematika Realistik

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan memegang peranan penting dalam menciptakan manusiamanusia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

KECERDASAN VISUAL-SPASIALeL DALAM MENYELESAIKAN SOAL PISA SISWA KELAS X SMA NEGERI 1 JEMBER DITINJAU DARI GENDER

Dewi Ayu Kusumaningtias, Eko Setyadi Kurniawan, Ashari

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. Perempuan pada masa kini, abad ke-21, telah memiliki kesempatan yang

BAB I PENDAHULUAN. keinginan orang tua untuk memberikan bimbingan belajar kepada anak-anaknya

BAB I PENDAHULUAN. Hasil wawancara dengan beberapa siswa SMA kemala Bhayangkari Surabaya kelas XII pada tanggal 17 April

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

NASKAH PUBLIKASI. SKRIPSI Untuk memenuhi sebagian persyaratan Guna mencapai derajat Sarjana S-1 Program Studi Pendidikan Biologi

Umi Rochayati (Dosen Jurusan Pendidikan Teknik Elektronika FT-UNY)

BAB II KAJIAN TEORITIK. a. Pengertian Kemampuan Spasial

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. dalam kehidupan sehari-hari. Oleh sebab itu matematika mulai diajarkan ketika

BAB I PENDAHULUAN. (2015:7) yang menjelaskan pengertian dari pembelajaran sebagai berikut.

BAB I PENDAHULUAN. dalam matematika itu sendiri maupun dalam bidang-bidang yang lain.

BAB I PENDAHULUAN. No. Daftar 1 : 185/S/PGSD-Reg/8/Agustus/2014

BAB V PEMBAHASAN. Analisis Berpikir Visual Siswa Laki-laki Dalam

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. berlaku untuk semua, mulai usia dini sampai jenjang perguruan tinggi. Usia

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN TEORITIK. komunikasi matematika, multiple intillegences dan gender. a. Pengertian Kemampuan Komunikasi Matematis

BAB III METODE PENELITIAN

ANALISIS TINGKAT BERPIKIR SISWA SMP BERDASARKAN TEORI VAN HIELE DITINJAU DARI GENDER

PROSES BERPIKIR SISWA KELAS VII E DALAM MEMECAHKAN MASALAH MATEMATIKA PADA MATERI PECAHAN DITINJAU DARI KECERDASAN LOGIS-MATEMATIS ABSTRAK

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan dan pembaharuan pendidikan di Indonesia dewasa ini mengalami

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. dapat meningkatkan kualitas sumber daya manusia. pesan-pesan konstitusi serta suasana dalam membangun watak bangsa (nation

BAB I PENDAHULUAN. arah yang positif baik bagi dirinya maupun lingkungannya. Pendidikan bukan

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan proses pembangunan suatu negara ditentukan oleh banyak

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dedi Abdurozak, 2013

BAB I PENDAHULUAN. jenjang pendidikan di Indonesia mengindikasikan bahwa matematika sangatlah

2015 MENINGKATKAN KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS DAN LOGIS MATEMATIS SERTA KEMANDIRIAN BELAJAR SISWA SMP MELALUI LEARNING CYCLE 5E DAN DISCOVERY LEARNING

BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Materi biologi tidak hanya berhubungan dengan fakta-fakta ilmiah tentang fenomena alam yang konkrit,

BAB I PENDAHULUAN. mencapai tujuan tertentu. Agar siswa dapat mencapai tujuan pendidikan yang

I. PENDAHULUAN. penting dalam pembelajaran. Behrman, Kliegman, dan Arvin (2000: 130)

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Secara sederhana Flavell mengartikan metakognisi sebagai knowing

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ine Riani, 2013

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. matematika ini diperkenalkan pada siswa sejak tingkat sekolah dasar sampai

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Penalaran merupakan proses berpikir seseorang dalam mengambil

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Matematika menjadi salah satu mata pelajaran pokok yang diajarkan di setiap jenjang pendidikan. Matematika sebagai mata pelajaran yang bersifat adaptif mengajarkan bagaimana siswa dapat berpikir kritis, logis dan sistematis. PP nomor 32 Tahun 2013 pasal 77 tentang Standar Nasional Pendidikan menyatakan bahwa matematika menjadi muatan pembelajaran atau muatan pokok mata pelajaran dalam struktur kurikulum pendidikan dasar baik pada jenjang SD/ MI/ SDLB, SMP/ MTS/ SMPLB, SMA/ MA/ SMK/ MAK/ SMKLB maupun jenjang lain yang sederajat (Kemendikbud). Pentingnya matematika menjadikan keberhasilan belajar matematikan sebagai sesuatu hal yang penting pula. Keberhasilan seorang anak dalam mempelajari matematika dipengaruhi oleh berbagai faktor. Dimyati dan Mudjiono (2013 : 239-253) mengungkapkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan belajar siswa antara lain faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal diantaranya meliputi sikap siswa dalam belajar, motivasi belajar, konsentrasi belajar, mengolah bahan belajar, rasa percaya diri, kebiasaan belajar, minat atau cita-cita dan kecerdasan atau inteligensi, sedangkan faktor eksternal atau faktor yang berasal dari luar diri anak antara lain guru, sarana dan prasarana pembelajaran, kebijakan penilaian, kurikulum yang berlaku, metode pengajaran, lingkungan sosial, dukungan keluarga, pola asuh orang tua, dan kondisi ekonomi. Suhendri (2011) dalam penelitiannya mengungkapkan bahwa faktor internal menjadi faktor yang lebih dominan yang dapat mempengaruhi keberhasilan siswa dalam belajar matematika. Salah satu faktor internal yang dapat mempengaruhi keberhasilan siswa dalam belajar adalah kecerdasan. Kecerdasan atau inteligensi oleh Gadner (Suparno, 2004) didefinisikan sebagai kemampuan yang penting yang dimiliki manusia dalam memecahkan persoalan dan menghasilkan produk dalam suatu setting yang bermacam-macam dan dalam situasi yang nyata. Lewis Madiaso Terman (Ambarjaya, 2012:23) mengungkapkan bahwa inteligensi merupakan kemampuan seseorang untuk berpikir secara abstrak. Gadner dalam bukunya yang berjudul Intelligences Reframed membagi kecerdasan seseorang menjadi sembilan, yaitu Kecerdasan Lingustik (Linguistic Intelligences), Kecerdasan Matematis-Logis (Logical-mathematical Intelligences), Kecerdasan Ruang (Spatial 1

Intelligences), Kecerdasan Kinestik-badani (Bodily-kinesthetic Intelligences), Kecerdasan Musikal (Musical Intelligences), Kecerdasan Interpersonal (Interpersonal Intelligences), Kecerdasan Intrapersonal (Intrapersonal Intelligences), Kecerdasan Lingkungan/ naturalis (Naturalist Intelligences) dan Kecerdasan Eksistensial atau Existential Intelligences (Suparno, 2004). Diantara kesembilan kecerdasan tersebut, ada beberapa kecerdasan yang berperan dalam keberhasilan seorang anak dalam belajar matematika, diantaranya kecerdasan matematis - logis dan kecerdasan spasial. Matematika pada jenjang pendidikan menengah dibagi menjadi 4 aspek, yaitu aljabar, geometri, statistika dan peluang. Nurlatifah, dkk (2013) menyatakan bahwa kecerdasan spasial merupakan salah satu kecerdasan yang perlu dikuasai oleh seorang anak dalam mempelajari konsep matematika khususnya geometri. Geometri merupakan ilmu yang mempelajari tentang bentuk, garis, dan ruang yang ditempati. Adapun geometri mencakup bentuk dua dimensi dan tiga dimensi (Ismunamto, dkk. 2015 :15). Belajar geometri tidak telepas dari mengenal bentukbentuk, warna-warna, dan detail-detail, kepekaan merasakan dan membayangkan dunia gambar dan ruang secara akurat, menggunakan gambar visual sebagai alat bantu dalam mengingat informasi, membaca grafik, bagan, peta, dan diagram (Chatib dan Said, 2012:88). Hal ini menunjukkan bahwa untuk belajar geometri membutuhkan suatu kecerdasan spasial. Menurut Gadner (Suparno, 2004:31), kecerdasan spasial adalah kemampuan untuk menangkap dunia ruang-visual secara tepat, termasuk didalamnya mengenal bentuk dan benda secara tepat, melakukan perubahan suatu benda dalam pikirannya dan mengenali perubahan itu, menggambarkan suatu hal/ benda dalam pikiran kemudian mengubahnya ke dalam bentuk nyata, mengungkapkan data dalam suatu grafik, dan juga kepekaan terhadap keseimbangan, relasi, warna, garis, bentuk, dan ruang. Seseorang yang memiliki kecerdasan spasial yang baik akan dengan mudah membayangkan benda dalam ruang berdimensi tiga. Adapun kecerdasan spasial menurut Tambunan (2006), merupakan konsep abstrak yang meliputi persepsi spasial yang melibatkan hubungan spasial termasuk orientasi sampai pada kemampuan yang rumit yang melibatkan manipulasi sampai rotasi mental. Giaquinto mengemukakan bahwa persepsi dari suatu objek atau gambar dapat dipengaruhi oleh orientasi atau cara pandang terhadap objek itu sendiri, oleh 2

karena itu untuk dapat mengenali suatu objek atau gambar diperlukannya kecerdasan spasial (Syahputra, 2013). Kecerdasan spasial sebagai pengetahuan prasyarat dan landasan berpikir dalam mengembangkan suatu konsep tertentu, oleh karena itu seorang anak yang memiliki kecerdasan spasial yang baik akan mampu untuk memecahkan persoalan spasial serta mampu mendeteksi hubungan dan perubahan bentuk bangun geometri. Begitu pentingnya peran kecerdasan spasial dalam belajar geometri menjadi dasar perlu dilakukannya penelitian mengenai kecerdasan spasial. Kecerdasan spasial dapat diukur melalui tes yang disusun berdasarkan indikatorindikator spasial. Anzalos dan Bako (2004:3) dalam jurnalnya yang berjudul How We Can Improve the Spatial Intilligences? membagi indikator kecerdasan spasial menjadi lima indikator, yaitu Persepsi spasial (spatial perception), Visualisasi spasial (Vizualization spatial), Rotasi mental (Mental Rotation), Hubungan spasial (Spatial Relations), dan Orientasi spasial (spatial orientation). Persepsi spasial merupakan kemampuan menentukan arah horizontal atau vertikal dari suatu objek yang keberadaan atau posisinya diubah. Visualisasi spasial merupakan kemampuan untuk memvisualiasasi atau melihat objek dimana terdapat gerakan atau perpindahan diantara bagian dari objek tersebut. Rotasi mental merupakan kemampuan secara cepat dan akurat dalam menentukan hasil dari suatu rotasi gambar 2 dimensi atau 3 dimensi. Hubungan spasial merupakan kemampuan untuk mengenal bentuk spasial dari objek atau bagian dari objek serta hubungan atau keterkaitan antara satu dengan lainnya. Adapun Orientasi spasial merupakan kemampuan untuk masuk ke dalam situasi tertentu. Beberapa teori mengatakan bahwa terdapat perbedaan kecerdasan spasial antara laki-laki dan perempuan, antara lain teori Jensen (2007:149) dan McGee. Jensen dalam bukunya Brain-Based Learning menyebutkan bahwa laki-laki biasanya lebih unggul daripada perempuan dalam keterampilan-keterampilan atau tugas-tugas seperti navigasi bentuk-bentuk geometris ruang dan berbagai tugas spasial. McGee (Tambunan, 2006) menyatakan bahwa penyebab dari perbedaan pemecahan masalah matematika oleh siswa laki-laki dan perempuan disebabkan karena adanya perbedaan kecerdasan spasial antara keduanya. Lebih lanjut McGee mengungkapkan bahwa kemampuan spasial anak laki-laki lebih baik daripada anak perempuan. Beberapa penelitian tentang kecerdasan spasial juga menyimpulkan bahwa kecerdasan spasial laki-laki lebih baik dibandingkan kecerdasan spasial perempuan 3

ditinjau dari jenis kelamin, diantaranya penelitian Windratie (CNN Indonesia, 2014), Kompasnian (2015), dan Battista (1990). Windratie dalam artikelnya menyatakan bahwa sebuah penelitian di Swedia menemukan bahwa multitasking pada laki-laki sebenarnya lebih baik dari perempuan saat melibatkan tugas-tugas spasial (kemampuan mengenal hubungan berbagai bentuk gambar) hal ini berarti bahwa anak laki-laki dapat lebih baik melakukan berbagai pekerjaan sekaligus untuk pekerjaan yang berkaitan dengan tugas-tugas spasial (CNN Indonesia, 2014). Kompasnian (2015) dalam artikelnya menyatakan bahwa sekitar 50% perempuan tidak bisa menunjuk mana kanan dan mana kiri ketika ditanya secara mendadak, sementara itu laki-laki memiliki struktur otak yang membuatnya hebat dalam kemampuan spasial, seperti kemampuan navigasi dan menyetir mobil. Hanya sekitar 10% perempuan yang memiliki kemampuan ruang (spasial) sama baiknya dengan laki-laki. Springer & Deuthsch menyatakan bahwa: hypothesis posits that greater lateralization on function (i.e., specialization to one side of the brain) may be essential for high spatial performance but less lateralization more important for verbal performance, so male should be superior in spatial task and female in verbal task. Thus, gender differences in geometry performance performance that involves both spatial and logical thinking might productively be examined in terms of the balance of ability for these two types of though (Battista, 1990:48) Artinya, beberapa sumber menyebutkan bahwa semakin besar tingkat laterisasi (spesialisasi pada satu sisi otak kanan), maka semakin baik/ esensial pada tingginya kecerdasan spasial, sehingga berdasarkan fungsi salah satu bagian otak seorang lakilaki lebih unggul pada pekerjaan-pekerjaan spasial, dengan demikian kecerdasan anak laki-laki dan anak perempuan pada kemampuan geometri yang melibatkan kecerdasan spasial dan kemampuan berpikir logis, keduanya dapat diuji melalui kemampuan keseimbangan untuk dua tipe berpikir tersebut. Tidak semua penelitian menyimpulkan hal yang sejalan dengan ketiga penelitian yang diuraikan sebelumnya, contohnya penelitian Lean & Clemens (Tambunan, 2006) dan Asis, dkk (2015). Hasil penelitian Lean & Clemens menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara kecerdasan spasial dengan matematika, sedangkan hasil penelitian Asis, dkk (2015) menunjukkan bahwa tidak adanya perbedaan kecerdasan spasial antara anak laki-laki dan anak perempuan dalam hal menyelesaikan masalah geometri. Selain hasil kedua penelitian tersebut, jika dilihat pada realitas kehidupan maka beberapa kasus justru menunjukkan bahwa perempuan juga memiliki kecerdasan 4

spasial yang tidak kalah baik dibanding laki-laki. Hal ini dapat dilihat dari terdapatnya beberapa profesi yang memerlukan kecerdasan spasial namun dapat dilakukan oleh perempuan. Contohnya, pada tahun 1960-an Indonesia telah mempunyai insinyur sipil wanita dimana pekerjaan ini sangat memerlukan kecerdasan spasial yang tinggi. Padahal saat itu masih sangat sedikit negara-negara di dunia memiliki insinyur sipil wanita, termasuk negara Selandia Baru yang baru memilikinya pada tahun 1968 (Cerita Eingineer, 2015). Tidak hanya itu, terdapat pula arsitek perempuan asal Indonesia yang mampu membanggakan nama Indonesia di Australia yaitu Chintia Erlita, Veronica Soebarto, dan Yolanda Santosa. Chintia berhasil menyandang gelar S3 di bidang arsitektur di University of Adelaide Australia, Veronica Soebarto merupakan seorang professor arsitek asal Indonesia yang bekerja menjadi dosen di salah satu universitas di Australia dengan perolehan prestasi diantaranya menjadi seorang Post Doctoral Research Assosiate di Texas A&M University, menjadi pembina 15 mahasiswa di University of Adelaide dari negara berbeda untuk meraih gelar Ph.D, menjadi chief investor untuk sejumlah proyek penelitian bangunan berkelanjutann, menjadi anggota International Energy Agency Task 28, dan menjabat sebagai presiden Assosiasi Architectural Science atau ANZASca (Roang, 2015). Adapun Yolanda Santosa merupakan desainer grafis Indonesia yang sukses sebagai desainer di bidang branding dan motion graphic di Amerika Serikat, karyanya antara lain adalah mendesain sejumlah film box office, film title, main title, ataupun opening show (Idesainesia, 2012). Begitu pentingnya kecerdasan spasial bagi siswa dalam keberhasilannya belajar matematika khususnya geometri dan terdapatnya hasil penelitian yang tidak selalu sejalan dengan teori yang ada menjadi dasar pemilihan topik kecerdasan spasial ditinjau dari jenis kelamin untuk diteliti. Adapun penelitian ini dilaksanakan pada siswa kelas X SMA Negeri 1 Salatiga dengan tujuan mengetahui ada tidaknya perbedaan kecerdasan spasial antara siswa laki-laki dan siswa perempuan. B. Batasan Masalah Batasan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut 1. Inteligensi atau kecerdasan khususnya kecerdasan spasial yang dilihat dari perbedaan antara siswa laki-laki dan siswa perempuan yang diukur berdasarkan 5 komponen atau indikator kecerdasan spasial menurut Peter Hebert Maier. 2. Subyek yang diteliti adalah siswa kelas X SMA Negeri 1 Salatiga. 5

C. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah apakah terdapat perbedaan kecerdasan spasial yang dimiliki siswa laki-laki dan siswa perempuan kelas X SMA Negeri 1 Salatiga? D. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah, maka tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan kecerdasan spasial antara siswa laki-laki dan siswa perempuan kelas X SMA Negeri 1 Salatiga. E. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis a. Penelitian ini diharapkan mampu memberikan data empirik tentang ada tidaknya perbedaan kecerdasan spasial antara siswa laki-laki dan siswa perempuan b. Sebagai referensi untuk mendesain suatu pembelajaran matematika yang memperhatikan aspek kecerdasan spasial. 2. Manfaat Praktis Hasil dari penelitian ini diharapkan memiliki manfaat sebagai berikut : a. Bagi siswa Menjadi refleksi siswa untuk mengetahui tingkat kecerdasan spasial yang dimilikinya. b. Bagi guru Dapat dijadikan bahan guru sebagai : 1) Sebagai bahan refleksi guru menganalisis penyebab dari adanya perbedaan penguasaan siswa pada matematika. 2) Landasan guru untuk memilih secara efektif model atau metode pembelajaran yang sesuai untuk mengembangkan kecerdasan spasial siswa. c. Bagi sekolah 1) Meningkatkan kualitas pembelajaran di sekolah. 2) Memperbaiki mutu pendidikan di sekolah. d. Bagi peneliti lain, menjadi sumber referensi untuk penelitian lainnya terkait kecerdasan spasial. 6