BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tanah lempung mempunyai cadangan yang cukup besar di hampir seluruh wilayah Indonesia namum pemanfaatannya masih belum optimal. Tanah lempung merupakan bahan alam yang murah dan mudah diperoleh serta banyak mengandung bahan anorganik yang berisi kumpulan mineral-mineral berdiameter efektif <0,002 mm. Dari ukurannya lempung dapat dikelompokkan ke dalam koloid. Mineral lempung memiliki bentuk kristal yang bersifat liat jika basah, dan keras jika kering (Suhala dan Arifin 1997; Tan, 1991). Lempung tersusun dari mineral alumina silikat yang mempunyai struktur kristal berlapis dan berpori. Lempung bentonit merupakan mineral dengan kandungan utama monmorillonit kurang lebih 85%. Lempung bentonit mempunyai kemampuan mengembang (swellability) karena ruang antar lapis (interlayer) yang dimilikinya, dan dapat mengadsorpsi ion-ion atau molekul terhidrat dengan ukuran tertentu (Riyanto, 1994). Perlakuan fisika dan kimia dapat menyebabkan perubahan sifat fisika dan kimia lempung sehingga menyebabkan perbedaan pemanfaatannya. Kajian awal mengenai sifat-sifat fisika dan kimia menunjukan bahwa lempung dapat digunakan sebagai lempung peluntur (sebagai bahan mentah yang digunakan dalam pembuatan lempung teraktivasi asam). Selain itu kandungan alumina silikat dalam lempung dapat dimanfaatkan untuk memperoleh produk senyawa alumina silikat termodifikasi dengan sifat-sifat fisika dan kimia yang lebih baik dari sebelumnya. Sifat-sifat tersebut meliputi luas permukaan spesifik, porositas, dan 1
2 keasaman permukaan. Untuk itu pengolahan lempung alam dengan asam mineral merupakan salah satu teknik yang dapat meningkatkan beberapa sifat fisik dan kimia. Aktivasi lempung bentonit dengan asam mineral (asam sulfat) dapat melarutkan senyawa-senyawa yang dapat menurunkan kapasitas adsorbsinya. Pengaruh perlakuan dengan asam bergantung pada jenis asam dan logam yang teradsorpsi. Oleh karena itu, asam ini dipilih digunakan pada perlakuan tanah lempung (Sandra, 2004). Dengan memanfaatkan sifat khas montorillonit yang mudah mengembang dan memiliki kapasitas pertukaran ion yang tinggi, maka lempung ini dapat disisipi dengan suatu bahan lain untuk memperoleh sifat fisiko-kimianya lebih baik dibandingkan dengan lempung sebelum dimodifikasi. Metode untuk memodifikasi lempung yang sering digunakan adalah interkalasi. Interkalasi merupakan suatu proses penyisipan spesies kimia secara reversible ke dalam antarlapis suatu struktur yang mudah mengembang (antarlapis silikat montmorillonit) tanpa merusak strukturnya. Interkalasi didasari atas pertukaran kation yang terdapat pada antarlapis lempung, seperti Na +, K +, dan Ca 2+ (Tan, 1991). Interkalasi ke dalam struktur lempung mengakibatkan peningkatan luas permukaan, basal spacing (jarak dasar antarlapis silikat montmorillonit), dan keasaman permukaan yang berpengaruh terhadap daya adsorpsinya. Penelitian Sekarini (2005), menyatakan bahwa interkalasi garam ammonium kuartener dan asam palmitat ke dalam antarlapis lempung bentonit menyebabkan peningkatan basal spacing, keasaman permukaan dan kapasitas adsorpsinya terhadap Pb 2+. Lempung yang teraktivasi asam sulfat 1,5 M terpilar TiO2 memiliki luas
3 permukaan dan keasaman permukaan yang relatif tertinggi yaitu sebesr 275,5984 m 2 /g dan 1,5341 mmol/g, sedangkan lempung tanpa dimodifikasi memiliki luas permukaan 88,1316 m 2 /g dan keasaman permukaan sebesar 0,6844 mmol/g (Simpen, 2001). Penelitian Esati (2008), dinyatakan bahwa lempung yang terinterkalasi benzalkonium klorida (BKC) ke dalam montmorillonit teraktivasi asam sulfat 1,5 M memiliki luas permukaan yang tinggi yaitu sebesar 27,7885 m 2 /g dan mempunyai keasamam permukaan yang tinggi yaitu sebesar 1,0135 mmol/g, dibandingkan dengan lempung tanpa terinterkalasi BKC dan aktivasi asam sulfat 1,5 M memiliki luas permukaan sebesar 26,2239 m 2 /g dan mempunyai keasamam permukaan sebesar 0,5000 mmol/g. Uji adsorpsi lempung bentonit teraktivasi asam sulfat dan terinterkalasi BKC menghasilkan adsorpsi tertinggi pada konsentrasi BKC 0,1% (v/v) terhadap penyerapan pengotor minyak daun cengkeh sehingga meningkatan kualitas minyak daun cengkeh. Perkembangan sektor industri tekstil saat ini semakin pesat, akan tetapi hal tersebut juga berdampak negatif bagi kehidupan manusia seperti pencemaran ekosistem air oleh limbah zat warna dari industri tekstil tersebut. Limbah zat warna yang dihasilkan dari industri tekstil umumnya merupakan senyawa organik non-biodegradable, yang dapat menyebabkan pencemaran lingkungan terutama lingkungan perairan. (Wijaya, 2005). Limbah cair tekstil merupakan limbah zat warna organik yang termasuk dalam kategori B3 (Bahan Berbahaya Beracun). Penanganan limbah tekstil menjadi sangat rumit karena jenis bahan pewarna yang digunakan sangat beraneka ragam dan biasanya tidak terdiri dari satu jenis zat warna. Salah satu pewarna sintetik yang berbahaya adalah Rhodamine B karena
4 sifatnya yang toksik terhadap lingkungan. Oleh karena sifatnya yang beracun ini, maka diperlukan upaya untuk menghilangkan zat-zat warna dari air limbah industri agar benar-benar aman untuk lingkungan perairan (Wijaya dkk., 2005). Berbagai cara pengolahan konvensional yang diterapkan belum memberikan hasil yang diharapkan dalam proses penghilangan warna. Metode koagulasi kimia dan flokulasi yang telah banyak digunakan umumnya mampu menyerap warna dalam limbah hingga 80%. Metode biologi konvensional umumnya tidak berhasil menghilangkan zat warna dalam air limbah. Oleh karena itu perlu dicari metode alternatif untuk menghilangkan warna, sehingga dalam penelitian ini dikembangkan cara pengolahan limbah zat warna secara adsorpsi (Anonim, 2007). Pada penelitian ini akan dilakukan modifikasi lempung bentonit teraktivasi asam sulfat 1,5 M dengan benzalkonium klorida (BKC) dan pemanfaatannya sebagai adsorben zat warna rhodamine B. Surfaktan BKC dipilih sebagai spesies kimia yang akan diinterkalasikan ke dalam antarlapis lempung, karena merupakan surfaktan kationik, dimana muatan positif dari surfaktan akan berikatan dengan muatan negatif dari lempung. Keberhasilan interkalasi ke dalam struktur lempung montmorrilonit yang teraktivasi asam sulfat 1,5 M diharapkan dapat menjadikan lempung bentonit ini efektif sebagai adsorben dari zat pewarna rhodamine B sehingga dapat digunakan sebagai alternatif penyerap zat pewarna lainnya.
5 1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan suatu permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimana pengaruh interkalasi lempung bentonit teraktivasi asam sulfat 1,5 M dengan benzalkonium klorida (BKC) terhadap sifat kimia fisik lempung bentonit (kristalinitas, jarak antarlapis (d spacing), luas permukaan spesifik dan keasaman permukaanya). 2. Berapakah kapasitas adsorpsi lempung bentonit teraktivasi asam sulfat 1,5 M terinterkalasi BKC terhadap penyerapan zat perwarna rhodamine B. 1.3. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah: 1. Mengetahui pengaruh interkalasi lempung bentonit teraktivasi asam sulfat 1,5 M dengan BKC terhadap sifat sifat kimia fisik lempung bentonit seperti kristalinitas, jarak antarlapis (basal spacing), luas permukaan dan keasaman permukaannya. 2. Mengetahui kemampuan adsorpsi lempung bentonit teraktivasi asam sulfat dan terinterkalasi BKC terhadap penyerapan zat perwarna rhodamin B. 1.4. Manfaat Penelitian Manfaat yang hendak dicapai melalui penelitian ini yaitu dapat memberikan informasi ilmiah mengenai kemampuan adsorpsi lempung bentonit teraktivasi asam sulfat 1,5 M dengan terinterkalasi BKC terhadap penyerapan zat perwarna rhodamin B dan sebagai alternatif adsorben zat warna lainnya.