Prevalensi pre_treatment

dokumen-dokumen yang mirip
BAB 4 HASIL PENELITIAN

BAB 4 HASIL PENELITIAN

BAB 1 : PENDAHULUAN. Filariasis adalah penyakit yang disebabkan oleh cacing filaria yang

Bab I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN.

BAB I PENDAHULUAN. penyakit yang disebabkan oleh infeksi cacing filaria yang penularannya melalui

BAB 1 PENDAHULUAN. kaki gajah, dan di beberapa daerah menyebutnya untut adalah penyakit yang

BAB I PENDAHULUAN. menular (emerging infection diseases) dengan munculnya kembali penyakit menular

BAB I PENDAHULUAN. Akibat yang paling fatal bagi penderita yaitu kecacatan permanen yang sangat. mengganggu produktivitas (Widoyono, 2008).

BAB I PENDAHULUAN. 1

Analisis Spasial Distribusi Kasus Filariasis di Provinsi Nusa Tenggara Timur Tahun

UNIVERSITAS INDONESIA PERBANDINGAN PREVALENSI MIKROFILARIA ANTARA PEMERIKSAAN MIKROSKOPIK DENGAN BRUGIA RAPID SKRIPSI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pada tahun 2013 jumlah kasus baru filariasis ditemukan sebanyak 24 kasus,

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Filariasis (penyakit kaki gajah) adalah penyakit menular yang

Cakupan Pemberian Obat Pencegahan Massal Filariasis di Kabupaten Sumba Barat Daya Tahun

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan yang disebabkan oleh berjangkitnya penyakit-penyakit tropis. Salah satu

BAB I PENDAHULUAN. yang disebabkan infeksi cacing filaria yang ditularkan melalui gigitan

HUBUNGAN ANTARA FAKTOR PENDIDIKAN DENGAN KEJADIAN FILARIASIS YANG DITENTUKAN BERDASARKAN DISTRIBUSI IGG4 ANTIFILARIA. Biyan Maulana*, Heri Wibowo**

BAB I PENDAHULUAN. Prioritas pembangunan kesehatan dalam rencana strategis kementerian

UNIVERSITAS INDONESIA

Proses Penularan Penyakit

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penyakit Filariasis Limfatik atau penyakit Kaki Gajah merupakan salah

BAB 1 PENDAHULUAN. Filariasis atau yang dikenal juga dengan sebutan elephantiasis atau yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Filariasis limfatik merupakan penyakit tular vektor dengan manifestasi

Kata kunci: filariasis; IgG4, antifilaria; status kependudukan; status ekonomi; status pendidikan; pekerjaan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pada anggota badan terutama pada tungkai atau tangan. apabila terkena pemaparan larva infektif secara intensif dalam jangka

Filariasis cases In Tanta Subdistrict, Tabalong District on 2009 After 5 Years Of Treatment

BAB 1 PENDAHULUAN. Deklarasi Milenium yang merupakan kesepakatan para kepala negara dan

Kondisi Filariasis Pasca Pengobatan Massal di Kelurahan Pabean Kecamatan Pekalongan Utara Kota Pekalongan

DESCRIPTION OF KNOWLEDGE, ATTITUDE AND BEHAVIOR OF THE PEOPLE AT NANJUNG VILLAGE RW 1 MARGAASIH DISTRICT BANDUNG REGENCY WEST JAVA ABOUT FILARIASIS

DETEKSI ANTIBODI SPESIFIK FILARIA IgG4 DENGAN PAN LF PADA ANAK SEKOLAH DASAR UNTUK EVALUASI KEBERHASILAN PROGRAM ELIMINASI FILARIASIS

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh cacing filaria dan ditularkan oleh nyamuk Mansonia, Anopheles,

BAB I Infeksi dengue adalah suatu infeksi arbovirus yang ditularkan melalui

PREVALENSI MIKROFILARIA SETELAH PENGOBATAN MASAL 4 TAHUN DI WILAYAH KAMPUNG SAWAH, KECAMATAN CIPUTAT, TANGERANG SELATAN

Gambaran Pengobatan Massal Filariasis ( Studi Di Desa Sababilah Kabupaten Barito Selatan Kalimantan Tengah )

RISIKO KEJADIAN FILARIASIS PADA MASYARAKAT DENGAN AKSES PELAYANAN KESEHATAN YANG SULIT

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB XX FILARIASIS. Hospes Reservoir

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penyakit malaria masih merupakan masalah kesehatan bagi negara tropis/

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

PENGOBATAN FILARIASIS DI DESA BURU KAGHU KECAMATAN WEWEWA SELATAN KABUPATEN SUMBA BARAT DAYA

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan, dan kesejahteraan sosial ekonomi pada masyarakat. World Health Organization (WHO) pada berbagai negara terjadi

FAKTOR DOMINAN YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN FILARIASIS DI KOTA PADANG TAHUN

SITUASI FILARIASIS DI KABUPATEN SUMBA TENGAH PROPINSI NUSA TENGGARA TIMUR TAHUN 2009

BAB I PENDAHULUAN. Malaria adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh plasmodium yang

BAB I PENDAHULUAN. menetap dan berjangka lama terbesar kedua di dunia setelah kecacatan mental (WHO,

BAB I PENDAHULUAN. Dalam proses terjadinya penyakit terdapat tiga elemen yang saling berperan

UPAYA KELUARGA DALAM PENCEGAHAN PRIMER FILARIASIS DI DESA NANJUNG KECAMATAN MARGAASIH KABUPATEN BANDUNG

Faktor Risiko Kejadian Filarisis Limfatik di Kecamatan Maro Sebo Kabupaten Muaro Jambi

ABSTRAK PREVALENSI FILARIASIS DI KOTA BEKASI PERIODE

BAB I PENDAHULUAN. Separuh penduduk dunia berisiko tertular malaria karena hidup lebih dari 100

CAKUPAN PENGOBATAN MASSAL FILARIASIS DI KABUPATEN SUMBA BARAT DAYA TAHUN 2011 FILARIASIS MASS TREATMENT COVERAGE IN DISTRICT SOUTHWEST SUMBA 2011

BAB I PENDAHULUAN. Dengue adalah salah satu penyakit infeksi yang. dalam beberapa tahun terakhir ini menjadi masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. Malaria adalah penyakit infeksi yang disebabkan parasit Plasmodium yang

GAMBARAN KARAKTERISTIK PENDERITA FILARIASIS DI DESA SANGGU KABUPATEN BARITO SELATAN KALIMANTAN TENGAH

BAB I PENDAHULUAN. distribusinya kosmopolit, jumlahnya lebih dari spesies, stadium larva

KEPATUHAN MASYARAKAT TERHADAP PENGOBATAN MASSAL FILARIASIS DI KABUPATEN BELITUNG TIMUR TAHUN 2008

Filariasis Limfatik di Kelurahan Pabean Kota Pekalongan

BAB I. Pendahuluan. A. latar belakang. Di indonesia yang memiliki iklim tropis. memungkinkan nyamuk untuk berkembang biak dengan baik

SOP POMP FILARIASIS. Diposting pada Oktober 7th 2014 pukul oleh kesehatan

BAB I PENDAHULUAN. Infeksi parasit pada saluran cerna dapat disebabkan oleh protozoa usus dan

ABSTRAK. Pembimbing I : Rita Tjokropranoto, dr., M.Sc Pembimbing II : Hartini Tiono, dr.,m. Kes

DI DAERAH ENDEMIS FILARIASIS KECAMATAN PONDOK GEDE, KABUPATEN BEKASI, JAWA BARAT

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Diana Andriyani Pratamawati 1*, Siti Alfiah 1. Jl. Hasanudin No.123 Salatiga 50721

Juli Desember Abstract

BAB 1 RANGKUMAN Judul Penelitian yang Diusulkan Penelitian yang akan diusulkan ini berjudul Model Penyebaran Penyakit Kaki Gajah.

Rencana Nasional Program Akselerasi Eliminasi Filariasis di Indonesia. No ISBN :

BAB 1 PENDAHULUAN. disebabkan oleh infeksi cacing filaria dan ditularkan oleh berbagai jenis nyamuk.

ABSTRAK GAMBARAN PENYAKIT FILARIASIS DI KABUPATEN BEKASI, PROVINSI JAWA BARAT PERIODE

BAB I PENDAHULUAN. I.1.Latar Belakang. Filariasis limfatik atau Elephantiasis adalah. penyakit tropis yang disebabkan oleh parasit di mana

ANALISIS SITUASI FILARIASIS LIMFATIK DI KELURAHAN SIMBANG KULON, KECAMATAN BUARAN, KABUPATEN PEKALONGAN Tri Wijayanti* ABSTRACT

BAB 1 PENDAHULUAN. (Harijanto, 2014). Menurut World Malaria Report 2015, terdapat 212 juta kasus

GAMBARAN KEPATUHAN PENGOBATAN MASAL DI DAERAH ENDEMIS KOTA PEKALONGAN

GAMBARAN PEMBERIAN OBAT MASAL PENCEGAHAN KAKI GAJAH DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS WELAMOSA KECAMATAN WEWARIA KABUPATEN ENDE TAHUN ABSTRAK

PENDAHULUAN. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. penyakit menular menahun yang disebabkan oleh infeksi cacing filaria dan ditularkan

URIC ACID RELATIONSHIP WITH BLOOD SUGAR PATIENTS TYPE 2 DIABETES MELLITUS THE EXPERIENCE OF OBESITY

Faktor Risiko Kejadian Penyakit Filariasis Pada Masyarakat di Indonesia. Santoso*, Aprioza Yenni*, Rika Mayasari*

SURVEI DARAH JARI FILARIASIS DI DESA BATUMARTA X KEC. MADANG SUKU III KABUPATEN OGAN KOMERING ULU (OKU) TIMUR, SUMATERA SELATAN TAHUN 2012

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

TUGAS PERENCANAAN PUSKESMAS UNTUK MENURUNKAN ANGKA KESAKITAN FILARIASIS KELOMPOK 6

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN. Malaria adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh protozoa parasit yang

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Dirofilaria immitis (D. immitis) yang dikenal sebagai cacing jantung,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Penyakit infeksi dengue adalah penyakit yang disebabkan oleh virus

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan data dari World Health Organization (WHO) pada tahun 2012

Identification of vector and filariasis potential vector in Tanta Subdistrict, Tabalong District

JURNAL ILMU KESEHATAN MASYARAKAT. VOLUME 7 Nomor 02 Juli 2016 Artikel Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PERBEDAAN MANIFESTASI KLINIS DAN LABORATORIS ANTARA PASIEN DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD) DENGAN IgM+IgG+ DAN PASIEN DBD DENGAN IgM-IgG+ SKRIPSI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Keberhasilan Pengobatan Massal Filariasis di Kecamatan Kusan Hulu Kabupaten Tanah Bumbu Provinsi Kalimantan Selatan

LYMPHATIC FILARIASIS (LF) ELIMINATION USED A COMMUNITY DIRECTED APPROACH.

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN TINGKAT KEBERHASILAN PROGRAM PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN FILARIASIS DI PUSKESMAS SE-KOTA PEKALONGAN TAHUN 2016

Gambaran Angka Prevalensi Mikrofilaria di Kabupaten Banyuasin Pasca Pengobatan Massal Tahap III

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

Yahya* *Loka Penelitian dan Pengembangan Pemberantasan Penyakit Bersumber Binatang, Baturaja Jl. A.Yani KM. 7 Kemelak Baturaja Sumatera Selatan 32111

Transkripsi:

Prevalensi pre_treatment BAB 4 HASIL Sebanyak 757 responden berpartisipasi pada pemeriksaan darah sebelum pengobatan masal dan 301 responden berpartisipasi pada pemeriksaan darah setelah lima tahun pengobatan masal DEC-albendazol. 4.1. Prevalensi Filaria Sebelum Pengobatan Untuk mengetahui keberhasilan pengobatan filaria di Desa Mainang dengan menggunakan DEC dan albendazol selama lima tahun berturut-turut, sebelumnya dilakukan pemeriksaan prevalensi penderita filaria dengan dua teknik, yaitu teknik membran filtrasi dan uji serologi dengan menggunakan Brugia Rapid test. Penghitungan prevalensi filarial ini dilakukan pada sample yang melakukan kedua tes tersebut sebelum pengobatan, yaitu sejumlah 757 responden. 80 70 60 50 40 30 20 10 0 79.8 25.9 Prevalensi MF Prevalensi BR Metode pemeriksaan Gambar 4.1. Prevalensi Mikrofilaria dan BR Sebelum Pengobatan Masal. Pada Gambar 2.1., tampak bahwa sebelum dilakukan pengobatan, prevalensi penderita filaria berdasarkan teknik filtrasi mencapai 25,9%, sedangkan berdasarkan Brugia Rapid test, prevalensi penderita filaria mencapai 79,8%. Pada hasil uji statistik didapatkan nilai p= 0,000, yang menunjukkan adanya perbedaan 19

20 yang signifikan antara angka mikrofilaria teknik filtrasi dengan uji menggunakan Brugia Rapid test. 4.2. Perbandingan Prevalensi Penderita Filaria Berdasarkan Kelompok Umur dengan Teknik Mikroskopik dan BR Test Gambar 4.2. Distribusi Prevalensi Infeksi Filariasis Berdasarkan Mikrofilaria dan BR Berdasarkan Kelompok Umur Berdasarkan Gambar 4.2., tampak perbedaan prevalensi filaria berdasarkan kelompok umur dengan teknik filtrasi dan Brugia Rapid test. Dengan teknik filtrasi, prevalensi filaria cenderung meningkat pada usia yang semakin dewasa tetapi tidak signifikan (Q square test p = 0,08) dengan prevalensi tertinggi terdapat pada kelompok usia 41-50 tahun. Demikian pula pemeriksaan dengan menggunakan Brugia Rapid test yang tidak menunjukkan adanya perbedaan prevalensi yang signifikan dalam kelompok umur (Q square test p = 0,70) dengan prevalensi filaria tertinggi terdapat pada kelompok usia di atas 50 tahun.

Prevalensi filaria 21 4.3. Perbandingan Prevalensi Filaria Sebelum dan Sesudah Pengobatan 100 80 60 82.4 40 20 0 27.907 Pre 0.997 Post 14.3 MF BR Pengobatan masal filaria Gambar 4.3. Prevalensi Mikrofilaria dan BR Sebelum dan Sesudah Pengobatan Masal Pada Gambar 4.3., tampak bahwa prevalensi infeksi filaria di Desa Mainang telah menurun, baik berdasarkan teknik filtrasi, maupun dengan menggunakan Brugia Rapid test. Prevalensi mikrofilaria berdasarkan teknik filtrasi menunjukkan penurunan yang signifikan (p= 0.000), dari 27,9% menjadi kurang dari 1% (0,99%). Penurunan prevalensi mikrofilaria juga diikuti dengan penurunan prevalensi BR dari 82,4% menjadi 14,3%. (p= 0.000). Dari data diketahui bahwa ada 301 orang yang sama berpartisipasi pada pengambilan darah sebelum dan sesudah pengobatan masal 5 tahun. Sebelum pengobatan diketahui bahwa 84 orang dari 301 responden adalah penderita mikrofilaremi (positif mikrofilaria). Namun setelah pengobatan 5 tahun, hanya 3 orang dari 301 responden yang masih positif. Dari hasil analisis NcNemar diketahui adanya penurunan penderita mikrofilaremi yang signifikan setelah pengobatan masal 5 tahun. Dari tiga orang yang positif mikrofilaria setelah masa pengobatan, dua diantaranya merupakan individu yang positif mikrofilaria sebelum masa pengobatan, sedangkan satu orang lainnya dinyatakan negatif mikrofilaria sebelum masa pengobatan.

22 Tabel 4. Jumlah Penderita Mikrofilaremi Sebelum dan Sesudah Mf (sebelum pengobatan) Pengobatan Masal Mf (setelah pengobatan) Total Positif Negatif Total Positif (%) Negatif (%) 2 82 (0.66) (27,24) 1 216 (0.33) (71.76) 3 (0.99) 298 (99.01) 84 217 301 (100) 4.4. Perbandingan Prevalensi Penderita Filaria Setelah Pengobatan Berdasarkan Kelompok Umur dengan Teknik Mikroskopik dan BR Gambar 4.4. Distribusi Prevalensi Infeksi Filariasis Setelah Pengobatan Berdasarkan Mikrofilaria dan BR Berdasarkan Kelompok Umur Berdasarkan Gambar 4.4., tampak perbedaan prevalensi filaria setelah pengobatan berdasarkan kelompok umur dengan teknik filtrasi dan Brugia Rapid test. Dengan teknik filtrasi, prevalensi filaria cenderung meningkat pada usia yang semakin dewasa dengan perbedaan yang kurang signifikan (Q square test p = 0,46) dengan prevalensi tertinggi terdapat pada kelompok usia di atas 50 tahun. Hasil yang berbeda didapatkan dari pemeriksaan dengan menggunakan Brugia Rapid test.

23 Terdapat perbedaan prevalensi yang signifikan di antara kelompok umur (Q square test p = 0,04) dengan prevalensi filaria tertinggi terdapat pada kelompok usia di atas 21-30 tahun. 4.5. Perbandingan Prevalensi Penderita Filaria Setelah Pengobatan Berdasarkan Kelompok Umur Dengan Teknik Mikroskopik Gambar 4.5. Distribusi Prevalensi Infeksi Filariasis Sebelum dan Setelah Pengobatan Berdasarkan Mikrofilaria pada Berbagai Kelompok Umur. Pada Gambar 4.5. tampak bahwa telah terjadi penurunan prevalensi infeksi filariasis yang signifikan pada semua kelompok umur dengan teknik mikroskopik. Sebelum dilakukan pengobatan, prevalensi infeksi tertinggi terdapat pada kelompok umur 41-50 tahun. Sedangkan, setelah dilakukan pengobatan, tampak bahwa prevalensi tertinggi terdapat pada kelompok umur di atas 50 tahun.

24 4.6. Perbandingan Prevalensi Penderita Filaria Setelah Pengobatan Berdasarkan Kelompok Umur Dengan Teknik Brugia Rapid Test Gambar 4.6. Distribusi Prevalensi Infeksi Filariasis Sebelum dan Setelah Pengobatan Berdasarkan BR pada Berbagai Kelompok Umur Berdasarkan Gambar 4.6., sama seperti hasil pemeriksaan mikrofilaria, tampak bahwa telah terjadi penurunan yang signifikan infeksi filariasis pada semua kelompok umur dengan menggunakan pemeriksaan BR. Jika sebelum dilakukan pengobatan prevalensi tertinggi terdapat pada kelompok umur di atas 50 tahun, maka setelah dilakukan pengobatan, prevalensi tertinggi terdapat pada kelompok umur 21-30 tahun.

BAB 5 PEMBAHASAN Program global untuk mengeliminasi filariasis limfatik telah dicanangkan oleh World Health Organization (WHO) dengan target bebas filariasis di daerahdaerah endemis filariasis pada tahun 2020 melalui Global Program for the Elimination of Lymphatic Filariasis (GPELF). Strategi dari GPELF adalah melakukan pengobatan tahunan berbasis komunitas pada populasi yang berisiko menggunakan dietilkarbamazin sitrat (DEC) atau ivermectin, sendiri atau dalam kombinasi dengan albendazol. 4 Indonesia sendiri merupakan salah satu negara endemis filaria yang menjadi target GPELF. 5 Progam tersebut sudah dimulai di Indonesia sejak tahun 2002. Pengobatan yang diberikan berupa kombinasi antara DEC 6 mg/kg berat badan dan albendazol 400 mg setiap tahun selama lima tahun (tahun 2002 2007). Target dari program eliminasi filaria ini adalah menurunkan prevalensi mf (microfilaria rate) hingga < 1% dengan menemukan mikrofilaria dalam darah malam (teknik mikroskopik). Bila angka mikrofilaria 1% maka pengobatan masal akan diteruskan, sedangkan bila <1% maka dikatakan program eliminasi filariasis telah berhasil dan dapat dilakukan pengobatan secara selektif (pengobatan hanya pada penderita). 19 Sampai saat ini, keberadaan mikrofilaria di darah tepi masih menjadi gold standard untuk mendiagnosis infeksi filariasis limfatik karena spesifisitasnya yang tinggi. Selain diagnosis melalui mikroskop, infeksi filaria Brugia juga dapat ditentukan secara serologis, yaitu dengan menggunakan Brugia Rapid test yang menguji adanya imunoglobulin anti-filaria, IgG4. 5 Penelitian dilakukan di Pulau Alor, NTT karena daerah ini merupakan daerah endemik filariasis timori yang disebabkan oleh Brugia timori. Sebelum dilakukan pengobatan, dilakukan penelitian untuk mengetahui prevalensi penderita filaria, baik dengan menggunakan teknik mikroskopik, maupun dengan Brugia Rapid test. Dari 757 responden, 25,9% terbukti terinfeksi filaria dengan menggunakan teknik mikroskopik. Presentasi mikrofilaria cenderung meningkat seiring bertambahnya usia dan mencapai jumlah terbanyak pada dekade keempat 25

26 lalu menurun. Sedangkan, sebanyak 79,8% responden terbukti mengandung titer IgG4 yang tinggi, sebagai indikasi terinfeksi filaria dengan menggunakan Brugia Rapid test. Hal yang sama hasil Brugia Rapid test, presentasi IgG4 positif cenderung meningkat seiring bertambahnya usia dan jumlah terbanyak ditemukan pada dekade kelima. Tidak terdapat perbedaan yang signifikan prevalensi filaria baik berdasarkan teknik filtrasi maupun BR pada masing-masing kelompok usia menunjukkan bahwa besarnya risiko penularan filaria pada masyarakat dari usia di atas 10 tahun sama. Perbedaan yang signifikan antara prevalensi penderita filaria berdasarkan kedua teknik tersebut menunjukkan bahwa banyak responden yang dengan teknik mikroskop darahnya tidak mengandung mikrofilaria (amikrofilaremia), ternyata tetap mengandung antibodi IgG4. Hal ini dapat disebabkan oleh, antara lain: 5 Adanya cryptic infection yaitu responden terinfeksi parasit, tetapi memiliki jumlah mikrofilaria yang sangat sedikit atau hanya terinfeksi cacing dengan 1 macam sex (jantan saja atau betina saja) sehingga tidak dihasilkan mikrofilaria Infeksi di masa lampau Baru saja terpajan oleh larva infektif Secara umum, setelah masa pengobatan, telah terjadi penurunan prevalensi infeksi filariasis yang cukup signifikan, baik secara mikroskopik maupun BR, pada semua kelompor umur. Berdasarkan hasil mikroskopik, sebelum masa pengobatan, prevalensi tertinggi terdapat pada kelompok umur 41-50 tahun, sedangkan setelah masa pengobatan, prevalensi tertinggi terdapat pada kelompok umur di atas 50 tahun. Hasil yang sedikit berbeda tampak pada pemeriksaan BR. Sebelum masa pengobatan, prevalensi tertinggi terdapat pada kelompok usia di atas 50 tahun. Sedangkan setelah masa pengobatan, prevalensi tertinggi terdapat pada kelompok usia 21-30 tahun. Hal ini diduga terjadi karena kelompok umur tersebut merupakan usia produktif, dimana masyarakat pada usia tersebut banyak beraktivitas di luar rumah untuk bekerja dan meningkatkan kemungkinan untuk tergigit oleh nyamuk vektor filaria. Dari 757 responden yang awalnya mengikuti pengobatan, setelah lima tahun pengobatan, hanya 301 responden yang sama berpartisipasi pada evaluasi pemeriksaan darah setelah 5 tahun pengobatan masal. Pada pemeriksaan

27 mikrofilaria diketahui dari 84 orang penderita mikrofilaremi sebelum pengobatan masal menjadi hanya 3 orang saja setelah pengobatan masal 5 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa pengobatan DEC-albendazol sekali setahun selama 5 tahun mampu menurun prevalensi mikrofilaria di dalam populasi. Dari pemeriksaan prevalensi dengan Brugia rapid test sebelum dan sesudah pengobatan masal didapatkan penurunan yang signifikan (p=0.000) dari 82,4% menjadi 14,3%. Deteksi antibodi anti-filaria,igg4, merupakan pemeriksaan yang sensitif untuk mendeteksi paparan atau infeksi terhadap parasit filaria. Selain itu, pemeriksaan ini juga dapat dilakukan pada siang hari, berbeda dengan pemeriksaan mikroskopik yang harus menggunakan darah malam. Namun, walaupun pemeriksaan antibodi dengan menggunakan Brugia Rapid test ini menunjukkan penurunan yang signifikan pada hasil sebelum dan sesudah pengobatan, tes ini belum menunjukkan hasil yang memuaskan untuk menunjukkan eliminasi infeksi filaria. Hal ini sesuai dengan beberapa penelitian yang membuktikan bahwa dampak penggunaan DEC sangat dramatis untuk menurunkan mikrofilaria, tetapi tidak memberikan penurunan prevalensi antibodi yang sama dramatisnya dengan mikrofilaria. 20 Dampak penggunaan DEC dalam mengeliminasi mikrofilaria telah menunjukkan hasil yang signifikan sejak pengobatan pada tahun pertama, namun memberikan waktu yang lebih lama untuk menurunkan kadar IgG4 (3-4 tahun). Di samping hasil pemeriksaan dengan Brugia Rapid yang menurun signifikan, prevalensi penderita filaria yang diperiksa dengan menggunakan teknik mikroskopik juga memperlihatkan penurunan signifikan (p=0.000) dari 27,9% menjadi kurang dari 1% (0,997%). Hal ini menunjukkan bahwa pengobatan dengan menggunakan kombinasi DEC dan albendazol selama lima tahun di Desa Mainang, Pulau Alor, NTT telah berhasil mencapai target eliminasi dari WHO. Namun, walaupun telah berhasil menurunkan prevalensi mikrofilaria hingga <1%, berdasarkan pemeriksaan dengan teknik mikroskopik pada akhir masa pengobatan, masih ditemukan tiga orang yang positif memiliki mikrofilaria pada pemeriksaan darah tepi, satu diantaranya tidak mengandung mikrofilaria sebelum pengobatan. Pemeriksaan darah yang negatif sebelum pengobatan

28 mungkin disebabkan orang tersebut memiliki jumlah mikrofilaria yang sangat rendah atau cacing dewasa belum memproduksi mikrofilaria. Pada dua orang lainnya, meskipun pemeriksaan darah masih menunjukkan adanya mikrofilaria tapi jumlah mikrofilaria sudah jauh menurun setelah 5 kali pengobatan masal. Selain itu tidak menurunnya jumlah mikrofilaria disebabkan ketiga orang tersebut tidak patuh meminum obat setiap tahun. Berdasarkan pemeriksaan serologis dengan Brugia Rapid test, masih ditemukan 52 orang dengan antibodi IgG4 yang positif yang tiga orang diantaranya tidak memiliki antibodi tersebut sebelum pengobatan. Namun demikian, pengobatan filariasis dengan menggunakan kombinasi DEC dan albendazol telah terbukti mampu menurunkan prevalensi filariasis hingga <1%, sehingga diharapkan agar metode ini dapat digunakan pada daerah endemis filariasis lainnya. Pada orang-orang dengan mf positif dengan teknik mikroskopik setelah masa pengobatan lima tahun akan dilanjutkan pengobatannya secara selektif.