PENGOBATAN FILARIASIS DI DESA BURU KAGHU KECAMATAN WEWEWA SELATAN KABUPATEN SUMBA BARAT DAYA

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. kesehatan yang disebabkan oleh berjangkitnya penyakit-penyakit tropis. Salah satu

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

CAKUPAN PENGOBATAN MASSAL FILARIASIS DI KABUPATEN SUMBA BARAT DAYA TAHUN 2011 FILARIASIS MASS TREATMENT COVERAGE IN DISTRICT SOUTHWEST SUMBA 2011

BAB 1 PENDAHULUAN. Filariasis atau yang dikenal juga dengan sebutan elephantiasis atau yang

Filariasis cases In Tanta Subdistrict, Tabalong District on 2009 After 5 Years Of Treatment

Bab I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

Cakupan Pemberian Obat Pencegahan Massal Filariasis di Kabupaten Sumba Barat Daya Tahun

BAB I PENDAHULUAN. menular (emerging infection diseases) dengan munculnya kembali penyakit menular

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Filariasis (penyakit kaki gajah) adalah penyakit menular yang

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penyakit Filariasis Limfatik atau penyakit Kaki Gajah merupakan salah

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh cacing filaria dan ditularkan oleh nyamuk Mansonia, Anopheles,

BAB I PENDAHULUAN. penyakit yang disebabkan oleh infeksi cacing filaria yang penularannya melalui

BAB 1 PENDAHULUAN. Deklarasi Milenium yang merupakan kesepakatan para kepala negara dan

BAB 1 PENDAHULUAN. kaki gajah, dan di beberapa daerah menyebutnya untut adalah penyakit yang

BAB 1 : PENDAHULUAN. Filariasis adalah penyakit yang disebabkan oleh cacing filaria yang

BAB I PENDAHULUAN. Akibat yang paling fatal bagi penderita yaitu kecacatan permanen yang sangat. mengganggu produktivitas (Widoyono, 2008).

DESCRIPTION OF KNOWLEDGE, ATTITUDE AND BEHAVIOR OF THE PEOPLE AT NANJUNG VILLAGE RW 1 MARGAASIH DISTRICT BANDUNG REGENCY WEST JAVA ABOUT FILARIASIS

BAB I PENDAHULUAN. Prioritas pembangunan kesehatan dalam rencana strategis kementerian

Proses Penularan Penyakit

BAB I PENDAHULUAN.

BAB I PENDAHULUAN. yang disebabkan infeksi cacing filaria yang ditularkan melalui gigitan

Analisis Spasial Distribusi Kasus Filariasis di Provinsi Nusa Tenggara Timur Tahun

Prevalensi pre_treatment

BAB 4 HASIL PENELITIAN

Gambaran Pengobatan Massal Filariasis ( Studi Di Desa Sababilah Kabupaten Barito Selatan Kalimantan Tengah )

BAB 1 PENDAHULUAN. disebabkan oleh infeksi cacing filaria dan ditularkan oleh berbagai jenis nyamuk.

ABSTRAK STUDI KASUS PENENTUAN DAERAH ENDEMIS FILARIASIS DI DESA RANCAKALONG KABUPATEN SUMEDANG JAWA BARAT TAHUN 2008

GAMBARAN KARAKTERISTIK PENDERITA FILARIASIS DI DESA SANGGU KABUPATEN BARITO SELATAN KALIMANTAN TENGAH

ANALISIS SITUASI FILARIASIS LIMFATIK DI KELURAHAN SIMBANG KULON, KECAMATAN BUARAN, KABUPATEN PEKALONGAN Tri Wijayanti* ABSTRACT

ABSTRAK GAMBARAN PENYAKIT FILARIASIS DI KABUPATEN BEKASI, PROVINSI JAWA BARAT PERIODE

PERILAKU MINUM OBAT ANTI FILARIASIS DI KELURAHAN RAWA MAMBOK Anti-filariasis Medicine Drinking Behavior in Rawa Mambok Village

BAB I PENDAHULUAN. menetap dan berjangka lama terbesar kedua di dunia setelah kecacatan mental (WHO,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pada tahun 2013 jumlah kasus baru filariasis ditemukan sebanyak 24 kasus,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Filariasis limfatik merupakan penyakit tular vektor dengan manifestasi

GAMBARAN PEMBERIAN OBAT MASAL PENCEGAHAN KAKI GAJAH DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS WELAMOSA KECAMATAN WEWARIA KABUPATEN ENDE TAHUN ABSTRAK

Kondisi Filariasis Pasca Pengobatan Massal di Kelurahan Pabean Kecamatan Pekalongan Utara Kota Pekalongan

Rencana Nasional Program Akselerasi Eliminasi Filariasis di Indonesia. No ISBN :

SITUASI FILARIASIS DI KABUPATEN SUMBA TENGAH PROPINSI NUSA TENGGARA TIMUR TAHUN 2009

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN TINGKAT KEBERHASILAN PROGRAM PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN FILARIASIS DI PUSKESMAS SE-KOTA PEKALONGAN TAHUN 2016

Juli Desember Abstract

ABSTRAK. Pembimbing I : Rita Tjokropranoto, dr., M.Sc Pembimbing II : Hartini Tiono, dr.,m. Kes

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. penyakit menular menahun yang disebabkan oleh infeksi cacing filaria dan ditularkan

KERANGKA ACUAN KERJA ( KAK ) KEGIATAN POMP FILARIASIS PUSKESMAS KAWUA

UPAYA KELUARGA DALAM PENCEGAHAN PRIMER FILARIASIS DI DESA NANJUNG KECAMATAN MARGAASIH KABUPATEN BANDUNG

BAB I PENDAHULUAN. 1

FAKTO-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN FILARIASIS DI PUSKESMAS TIRTO I KABUPATEN PEKALONGAN

Kata kunci: filariasis; IgG4, antifilaria; status kependudukan; status ekonomi; status pendidikan; pekerjaan

FAKTOR DOMINAN YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN FILARIASIS DI KOTA PADANG TAHUN

LYMPHATIC FILARIASIS (LF) ELIMINATION USED A COMMUNITY DIRECTED APPROACH.

RISIKO KEJADIAN FILARIASIS PADA MASYARAKAT DENGAN AKSES PELAYANAN KESEHATAN YANG SULIT

ABSTRAK PREVALENSI FILARIASIS DI KOTA BEKASI PERIODE

BAB 1 RANGKUMAN Judul Penelitian yang Diusulkan Penelitian yang akan diusulkan ini berjudul Model Penyebaran Penyakit Kaki Gajah.

Faktor Risiko Kejadian Filarisis Limfatik di Kecamatan Maro Sebo Kabupaten Muaro Jambi

Keberhasilan Pengobatan Massal Filariasis di Kecamatan Kusan Hulu Kabupaten Tanah Bumbu Provinsi Kalimantan Selatan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

SOP POMP FILARIASIS. Diposting pada Oktober 7th 2014 pukul oleh kesehatan

BAB I. Pendahuluan. A. latar belakang. Di indonesia yang memiliki iklim tropis. memungkinkan nyamuk untuk berkembang biak dengan baik

SITUASI PASCA PENGOBATAN MASSAL FILARIASIS DI DESA BURU KAGHU, KECAMATAN WEWEWA SELATAN, SUMBA BARAT DAYA

Naskah masuk: 4 Januari 2016, Review 1: 7 Januari 2016, Review 2: 8 Januari 2016, Naskah layak terbit: 29 Februari 2016

BAB I PENDAHULUAN. distribusinya kosmopolit, jumlahnya lebih dari spesies, stadium larva

STUDI ENDEMISITAS FILARIASIS DI WILAYAH KECAMATAN PEMAYUNG, KABUPATEN BATANGHARI PASCA PENGOBATAN MASSAL TAHAP III. Yahya * dan Santoso

Gambaran Angka Prevalensi Mikrofilaria di Kabupaten Banyuasin Pasca Pengobatan Massal Tahap III

Kajian Epidemiologi Limfatikfilariasis Di Kabupaten Sumba Barat (Desa Gaura) dan Sumba Tengah (Desa Ole Ate) Tahun Hanani M.

URIC ACID RELATIONSHIP WITH BLOOD SUGAR PATIENTS TYPE 2 DIABETES MELLITUS THE EXPERIENCE OF OBESITY

PENGETAHUAN, SIKAP DAN PERILAKU MASYARAKAT KECAMATAN MADANG SUKU III KABUPATEN OKU TIMUR TENTANG FILARIASIS LIMFATIK

BAB 1 PENDAHULUAN. agar peningkatan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya dapat

GAMBARAN PENGETAHUAN, SIKAP DAN PERILAKU MASYARAKAT DI RW 1 DESA NANJUNG KECAMATAN MARGAASIH KABUPATEN BANDUNG JAWA BARAT TENTANG FILARIASIS TAHUN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

SURVEI DARAH JARI FILARIASIS DI DESA BATUMARTA X KEC. MADANG SUKU III KABUPATEN OGAN KOMERING ULU (OKU) TIMUR, SUMATERA SELATAN TAHUN 2012

BAB 1 PENDAHULUAN. Beberapa tahun terakhir, penyakit yang ditularkan oleh nyamuk cenderung

BAB I PENDAHULUAN. Infeksi parasit pada saluran cerna dapat disebabkan oleh protozoa usus dan

Filariasis Limfatik di Kelurahan Pabean Kota Pekalongan

TUGAS PERENCANAAN PUSKESMAS UNTUK MENURUNKAN ANGKA KESAKITAN FILARIASIS KELOMPOK 6

BAB 1 PENDAHULUAN. daerah tropis antara lain adalah malaria dan filariasis merupakan masalah

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang Masalah. Filariasis limfatik atau yang biasa disebut dengan kaki

SITUASI FILARIASIS SETELAH PENGOBATAN MASSAL DI KABUPATEN MUARO JAMBI, JAMBI Santoso 1, Yulian Taviv 1

ARTIKEL PENINGKATAN PERAN SERTA MASYARARAT DALAM PENGOBATAN FILARIASIS LIMFATIK DI KECAMATAN TIRTO KABUPATEN PEKALONGAN. Tri Ramadhani *, M.

PENGETAHUAN, SIKAP DAN PERILAKU MASYARAKAT TERHADAP FILARIASIS DI KABUPATEN MAMUJU UTARA, SULAWESI BARAT. Ni Nyoman Veridiana*, Sitti Chadijah, Ningsi

KEPATUHAN MASYARAKAT TERHADAP PENGOBATAN MASSAL FILARIASIS DI KABUPATEN BELITUNG TIMUR TAHUN 2008

TOPIK UTAMA Filariasis di Indonesia OPINI Analisis Epidemiologi Deskriptif Filariasis di Indonesia Oleh : dr. Tri Yunis Miko Wahyono, M.Sc...

IDENTIFIKASI FILARIASIS YANG DISEBABKAN OLEH CACING NEMATODA WHECERERIA

Distribusi Filariasis Brugia Timori dan Wuchereria Bancrofti di Desa Kahale, Kecamatan Kodi Balaghar, Kabupaten Sumba Barat Daya, Nusa Tenggara Timur

BAB I PENDAHULUAN. Malaria adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh plasmodium yang

UNIVERSITAS INDONESIA

Faktor Risiko Kejadian Penyakit Filariasis Pada Masyarakat di Indonesia. Santoso*, Aprioza Yenni*, Rika Mayasari*

BAB I PENDAHULUAN. Malaria merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh parasit protozoa UKDW

BAB I PENDAHULUAN. I.1.Latar Belakang. Filariasis limfatik atau Elephantiasis adalah. penyakit tropis yang disebabkan oleh parasit di mana

Yahya* *Loka Penelitian dan Pengembangan Pemberantasan Penyakit Bersumber Binatang, Baturaja Jl. A.Yani KM. 7 Kemelak Baturaja Sumatera Selatan 32111

PENGETAHUAN, SIKAP DAN PERILAKU MASYARAKAT PASCA PENGOBATAN DAN PENGARUHNYA TERHADAP ENDEMISITAS FILARIASIS DI KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Skripsi Ini Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Ijazah S1 Kesehatan Masyarakat. Disusun Oleh TIWIK SUSILOWATI J

Identification of vector and filariasis potential vector in Tanta Subdistrict, Tabalong District

Model Penyebaran Penyakit Kaki Gajah di Kelurahan Jati Sampurna

BAB I PENDAHULUAN. dijumpai adalah Plasmodium Falciparum dan Plasmodium. Vivax. Di Indonesia Timur yang terbanyak adalah Plasmodium

BAB I PENDAHULUAN UKDW. sebagai vektor penyakit seperti West Nile Virus, Filariasis, Japanese

Situasi Filariasis Di Kabupaten Tabalong-Kalimantan Selatan Tahun

KEEFEKTIFAN MODEL PENDAMPINGAN DALAM MENINGKATKAN CAKUPAN OBAT PADA PENGOBATAN MASSAL FILARIASIS

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Malaria merupakan salah satu penyakit menular yang tersebar hampir di beberapa Negara tropis dan subtropis saat

DAFTAR PUSTAKA. Brown, H.W., Dasar Parasitologi Klinis. Jakarta : Gramedia

Transkripsi:

PENGOBATAN FILARIASIS DI DESA BURU KAGHU KECAMATAN WEWEWA SELATAN KABUPATEN SUMBA BARAT DAYA Ira Indriaty P.B Sopi 1 *, Majematang Mading 1 1 Loka Penelitian dan Pengembangan Pemberantasan Penyakit Bersumber Binatang Waikabubak, Jln. Basuki Rahmat Km 5 Puu Weri, Waikabubak, Nusa Tenggara Timur Abstract Lymphatic filariasis is caused by filarial worm (W. bancrofti, B. malayi and B. timori) which infects the lymph tissue. The specific objective of filariasis elimination programme was to decrease microfilariae (Mf) rate by less than 1% in each district or city, preventing and limiting disability by using treatment Diethiylcarbamazine Citrate (DEC) and Albendazole. This study uses secondary data obtained from Health Departement of Southwest Sumba district and Tenateke health centers. This review aimed to evaluate lymphatic filariasis treatment in Buru Kughu Village, South Wewewa Subdistrict. Lymphatic filariasis mass drug administration dose is 100 mg DEC and albendazole 400 mg. Mass drug administration coverage in Buru Kaghu Village was 95,10% larger than Southwest Sumba Distric (48,87%), Mf rate of 0% in 2013, with the provision of individualized treatment dose DEC 100mg, three times daily for 10 days and Chronic Disease Rate (CDR) of 1.39%. Treatment of lymphatic filariasis in the village managed to decrease mf rate less than 1% thus declared as non endemic areas of lymphatic filariasis. Counseling was needed to alleviate the suffering caused by lymphatic filariasis through morbidity management and disability prevention. Keywords: Mass drug administration, Individual treatment, lymphatic filariasis, Buru Kaghu Village FILARIASIS TREATMENT IN BURU KAGHU VILLAGE, SOUTH WEWEWA SUBDISTRICT, SOUTHWEST SUMBA DISTRICT Abstrak Filariasis adalah penyakit parasit yang disebabkan oleh cacing filaria (W. bancrofti, B. malayi, B. timori) yang menginfeksi jaringan limfe. Tujuan khusus program eliminasi filariasis adalah menurunkan angka mikrofilaria menjadi kurang dari 1% dari setiap kabupaten/kota serta mencegah dan membatasi kecacatan melalui pemberian pengobatan Diethiylcarbamazine Citrat (DEC) dan albendazole. Kajian ini menggunakan data sekunder yang diperoleh dari hasil survei Dinas Kesehatan Kabupaten Sumba Barat Daya dan Puskesmas Tenateke. Tujuan penulisan adalah untuk mengetahui keberhasilan pelaksanaan pengobatan filariasis di Desa Buru Kaghu, Kecamatan Wewewa Selatan. Pada pengobatan massal filariasis dosis obat yang diberikan yaitu DEC 100 mg dan albendazole 400 mg. Angka pencapaian cakupan pengobatan massal filariasis dan keberhasilannya di desa Buru Kughu (95,10%) lebih besar dibandingkan dengan cakupan Kabupaten Sumba Barat Daya (48,87%), Mf rate tahun 2013 sebesar 0% dan Cronic Disease Rate (CDR) sebesar 1,39%. Pengobatan filariasis di desa tersebut berhasil menurunkan Mf rate <1% sehingga dinyatakan sebagai daerah non endemis filariasis. Perlunya pemberian penyuluhan untuk meringankan penderitaan yang disebabkan oleh filariasis limfatik melalui perawatan dan pencegahan kecacatan. Kata Kunci: Pengobatan Massal, Pengobatan Individual, Filariasis, Desa Buru Kaghu Naskah masuk: 24 Januari 2014; Review I: 27 Januari 2014; Review II: 23 Maret 2014; Layak Terbit: 1 Oktober 2014 Alamat korespondensi: e-mail: irasopi@yahoo.com, indriantibule@yahoo.co.id 1

PENDAHULUAN Penyakit kaki gajah (filariasis) adalah penyakit menular menahun yang tidak menimbulkan kematian tetapi menimbulkan kecacatan terbesar di dunia setelah kecacatan mental. Filariasis limfatik adalah penyakit parasit yang disebabkan oleh cacing filaria (Wuchereria bancrofti, Brugia malayi dan Brugia timori) yang menginfeksi jaringan limfe (getah bening). Parasit ini ditularkan pada manusia melalui gigitan nyamuk yang telah terinfeksi, dan kemudian menjadi cacing dewasa dan hidup di jaringan limfe. Orang yang terkena penyakit ini sering tidak dapat melakukan pekerjaan karena kecacatan mereka atau karena sebagian orang enggan berdekatan dengan mereka 1. Filariasis dapat ditularkan oleh beberapa jenis spesies nyamuk. Di Indonesia diperkirakan terdapat lebih dari 23 vektor nyamuk penular filariasis yang terdiri dari genus Anopheles, Aedes, Culex, Mansonia, dan Armigeres 2. Di Indonesia terdapat tiga Provinsi dengan kasus terbanyak berturut-turut adalah Nangroe Aceh Darussalam sebanyak 2.359 orang, Nusa Tenggara Timur 1.730 orang dan Papua sebanyak 1.158 orang. Di Indonesia penyakit tersebut lebih banyak ditemukan di pedesaan 3, sedangkan jumlah kasus kronis filariasis di Indonesia mengalami peningkatan dari tahun 2000 sebanyak 6.233 kasus meningkat menjadi 11.914 pada tahun 2009 4. Pemberian obat massal pencegahan (POMP) filariasis di seluruh dunia bertujuan mengeliminasi filariasis dengan cara menghilangkan kejadian penularan dari penderita kepada tetangga, keluarga, masyarakat di sekitar penderita. Penularan akan menurun atau bahkan tidak terjadi bila rendahnya jumlah mirofilaria dalam darah penderita 5. Di tingkat global, program eliminasi filariasis telah dicanangkan sejak 1999 dan WHO terus menggerakkan program eliminasi ini di negara endemis termasuk di Indonesia. Tujuan umum dari program eliminasi filariasis di Indonesia adalah agar filariasis tidak lagi menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia pada tahun 2020, sedangkan tujuan khusus program adalah menurunkan angka mikrofilaria menjadi kurang dari 1% di setiap kabupaten/kota serta mencegah dan membatasi kecacatan karena filariasis 4. Regimen yang dianjurkan WHO adalah kombinasi Diethiylcarbamazine Citrat (DEC) 6 mg/kg BB dan albendazole 400 mg sekali setahun selama 5 tahun 6. Sesuai dengan pilar kedua dalam program eliminasi filariasis maka kegiatan tatalaksana kasus klinis filariasis harus dilakukan pada semua penderita. Tujuan penanganan kasus klinis adalah mengurangi frekuensi serangan akut, menghentikan pembengkakan pada anggota tubuh, mencegah elephantiasis dan meningkatkan mutu hidup termasuk produktivitas 7. Jumlah kasus kronis filariasis yang terdapat di Desa Buru Kaghu sebanyak 7 orang penderita. Berdasarkan kondisi ekologi, desa tersebut masih merupakan daerah yang memungkinan berkembangbiaknya vektor yang menyebabkan penyebaran filariasis 8. Adapun tujuan dari penulisan artikel ini adalah untuk mengetahui pelaksanaan pengobatan filariasis yaitu pengobatan massal filariasis dan pengobatan individual di Desa Buru Kaghu Kecamatan Wewewa Selatan, Kabupaten Sumba Barat Daya. METODE Dalam kajian ini data yang digunakan adalah data sekunder yang diperoleh dari hasil survei Dinas Kesehatan Kabupaten Sumba Barat Daya meliputi data Survei Darah Jari (SDJ) tahun 2009, data pelaksanaan pengobatan massal filariasis di Kabupaten Sumba Barat Daya tahun 2011. Data pengobatan individual tahun 2013 diperoleh dari Puskesmas Tenateke, termasuk data dari hasil kegiatan SDJ di desa tersebut pada penelitian yang dilaksanakan pada tahun 2013 8. Analisis dimaksudkan untuk mengetahui pelaksanaan pengobatan 2

filariasis di Desa Buru Kaghu, Kecamatan Wewewa Selatan. HASIL Pelaksanaan Pengobatan Filariasis di Desa Buru Kaghu, Kecamatan Wewewa Selatan Pengobatan massal filariasis di Kabupaten Sumba Barat Daya telah dilaksanakan selama satu kali putaran pada tahun 2011. Pelaksanaan tersebut mencakup delapan kecamatan termasuk Kecamatan Wewewa Selatan dan salah satu desa di kecamatan tersebut yaitu Desa Buru Kaghu. Pemberian pengobatan massal di desa tersebut didasarkan pada umur dan dosis pemberian obat pada kegiatan POMP filariasis di Desa Buru Kaghu, Kecamatan Wewewa Selatan (Tabel 1). Cakupan pengobatan massal filariasis di Desa Buru Kaghu, Kecamatan Wewewa Selatan dapat dilihat pada Tabel 2, menunjukkan persentase pencapaian pengobatan massal filariasis sebesar 95,10% persentase tersebut di atas persentase Kabupaten Sumba Barat Daya, demikian pula dengan persentase keberhasilan pengobatan massal filariasis sebesar 89,86%. Kegiatan SDJ dilakukan sebelum dan sesudah kegiatan pengobatan massal. Hasil SDJ yang dilakukan sebelum kegiatan pengobatan tahun 2009 menunjukkan mf rate 1,32% dan setelah pengobatan menjadi 0% (Tabel 3). Tabel 1. Dosis Obat Diethiylcarbamazine Citrat (DEC) dan Albendazole pada Pengobatan Massal Filariasis di Desa Buru Kaghu, Kecamatan Wewewa Selatan Tahun 2011 Umur (tahun) Dosis DEC Dosis Albendazole 2-6 1 tablet 1 tablet 7-12 2 tablet 1 tablet 13-dewasa 3 tablet 1 tablet Tabel 2. Cakupan Pengobatan Massal Filariasis di Kabupaten Sumba Barat Daya dan Desa Buru Kaghu, Kecamatan Wewewa Selatan Tahun 2011 Sasaran dan Cakupan Pengobatan Kab. Sumba Barat Daya Desa Buru Kaghu Jumlah Penduduk 285.402 21.621 Jumlah Penduduk Ditunda Pengobatan 37.167 1.190 Sasaran Pengobatan 248.235 20.431 Jumlah Penduduk Mendapatkan pengobatan 121.322 19.430 Persentase Pencapaian Pengobatan 48,87% 95,10% Persentase Keberhasilan Pengobatan 42,50% 89,86% 3

Tabel 3. Hasil Pemeriksaan Darah Jari di Desa Buru Kaghu, Kecamatan Wewewa Selatan, Kabupaten Sumba Barat Daya Jumlah Slide Slide Positif Spesies Mf rate Tahun Keterangan Yang Diperiksa mikrofilaria (%) 2009 302 4 Brugia timori 1,32 1* 2013 501 0-0 2** Keterangan : *1 = Sebelum pengobatan massal filariasis **2 = Sesudah pengobatan massal filariasis Tabel di atas menunjukkan bahwa pada tahun 2013 tidak ditemukan mikrofiaria pada penduduk yang diperiksa sehingga mf rate yang diperoleh sebesar 0%. Selain pemberian pengobatan massal filariasis pada seluruh penduduk di Desa Buru Kaghu, kegiatan pengobatan tersebut dilanjutkan pula dengan pemberian pengobatan invidual bagi penderita kronis filariasis. Terdapat 7 orang penderita kronis terdiri dari 4 orang laki-laki dan 3 orang perempuan dengan jenis dan dosis obat yang diberikan dapat dilihat pada tabel 4 berikut ini. Dari 7 orang penderita kronis tersebut terdapat gejala pembengkakan yang tidak dapat berkurang dan adanya satu benjolan atau lebih sehingga dapat ditentukan Cronic Disease Rate (CDR) di Desa Buru Kaghu sebesar 1,39% yang ditentukan berdasarkan rumus di bawah ini : Tabel 4. Dosis Obat Diethiylcarbamazine Citrat (DEC) dan Albendazole pada Pengobatan Individual Filariasis di Desa Buru Kaghu, Kecamatan Wewewa Selatan Tahun 2013 Hari Pemberian Dosis DEC Dosis Albendazole I 50 mg, dosis tunggal 400 mg II 50mg, 3x sehari 400 mg III 100mg, 3xsehari 400 mg IV-XXI 2 mg, 3x sehari 400 mg BAHASAN Program eliminasi filariasis bertujuan untuk memutuskan rantai penularan filariasis melalui pengobatan massal sehingga terjadi pengurangan drastis mikrofilaria dalam darah tepi, dan dengan demikian mengurangi potensi penularan oleh nyamuk 9. Di Indonesia, sejak tahun 2002 pengobatan massal filariasis sudah dilakukan oleh beberapa kabupaten endemis filariasis dengan mf rate 1%. Unit implementasi pengobatan massal bervariasi dari kabupaten, kecamatan sampai desa. Demikian pula lama atau frekuensi pengobatan bervariasi antara tahun pertama sampai dengan kelima. Kabupaten yang telah melaksanakan pengobatan massal sampai putaran kelima adalah Kabupaten Alor 10,11. Desa Buru Kaghu, Kecamatan Wewewa Selatan merupakan salah satu desa yang memiliki mf rate tertinggi 1,32% setelah Desa Mata Kapore di Kecamatan Kodi Bangedo 12, sehingga ditetapkan untuk melakukan pengobatan massal di desa tersebut. Temuan-temuan di daerah endemis akan menentukan memulai pengobatan massal (MDA), pertama-tama pengobatan harus difokuskan pada kecamatan dengan tingkat mf rate tertinggi. Kriteria untuk pengobatan massal (MDA) adalah semua penduduk yang tinggal di unit pelaksana endemis dianggap sebagai berisiko terkena filariasis. Penduduk yang tidak boleh 4

minum obat adalah ibu hamil dan ibu menyusui, anak-anak dibawah umur 2 tahun dan orang-orang dalam kondisi sakit. Menurut Depkes RI bahwa untuk pemutusan rantai penularan filariasis dengan menggunakan Diethylcarbamazine Citrat (DEC) yang dikombinasikan dengan albendazole sekali setahun minimal 5 tahun 9. Jumlah penduduk yang tidak boleh minum obat di desa tersebut sebanyak 1.190 orang yaitu ibu hamil dan ibu menyusui, anak-anak dibawah umur 2 tahun dan orang-orang dalam kondisi sakit. Pengobatan kombinasi DEC dan albendazole selama lima tahun pengobatan penyakit sesungguhnya dapat membunuh cacingcacing. Semua pengobatan lain hanya dapat menghilangkan gejala-gejala lain yang berkaitan dengan filariasis tetapi tidak akan membunuh cacing-cacing 7. Bila dilihat dari cakupan obat yang dilaporkan terhadap penduduk yang minum obat di Desa Buru Kaghu yaitu sebesar 95,10% sebagaimana yang dicantumkan pada Tabel 2 dengan angka lebih besar bila dibandingkan dengan angka persentase di Kabupaten Sumba Barat Daya sebesar 48,87%, sedangkan cakupan obat yang dilaporkan terhadap penduduk seluruhnya diperoleh sebesar 89,86%, lebih besar pula bila dibandingkan dengan angka kabupaten yakni sebesar 42,50%. Angka persentase pencapaian pengobatan massal filariasis dan keberhasilan pengobatan di desa tersebut telah sesuai dengan target eliminasi yakni mencapai 80% dari jumlah penduduk yang telah ikut serta dalam pengobatan ini. Salah satu rencana aksi program eliminasi menyebutkan bahwa minimal 85% dari penduduk berisiko tertular filarisis di daerah yang terindentifikasi endemis filariasis harus mendapatkan pengobatan 13. Angka yang diperoleh di kabupaten Sumba Barat Daya lebih rendah, oleh karena terdapat penduduk yang berisiko yang belum dijangkau oleh pengobatan massal dan masih adanya penduduk yang tidak mau minum obat pada saat pelaksanaan pengobatan massal di kabupaten tersebut. Selain itu kemungkinan disebabkan pula kurangnya informasi yang sampai kepada masyarakat, sulitnya petugas kesehatan menjangkau tempat pemukiman masyarakat serta kemungkinan adanya masyarakat yang bepergian keluar daerah. Berdasarkan persentase cakupan pengobatan massal filariasis tersebut, pengobatan yang dilaksanakan di Desa Buru Kaghu telah berhasil menurunkan mf rate menjadi 0%, sehingga desa tersebut dapat dinyatakan sebagai desa non endemis filariasis karena mf rate <1%. Keberhasilan pengobatan massal di desa tersebut tidak terlepas dari pengetahuan, sikap dan perilaku masyarakat khususnya partisipasi masyarakat, kader kesehatan dan tokohtokoh masyarakat dalam upaya penemuan kasus filariasis di daerah endemis, kepatuhan dalam praktik minum obat, upaya pencegahan dan penanggulangan yang dilakukan oleh masyarakat setempat. Menurut Notoatmodjo (2007), partisipasi masyarakat dibidang kesehatan berarti keikutsertaan seluruh anggota masyarakat dalam memecahkan masalah kesehatan mereka sendiri 14. Pada penelitian Ambarita, menunjukkan bahwa mf rate filariasis di desa endemis wilayah kerja Puskesmas Betung berkisar 0-2,67%, dari hasil penelitian tersebut diperoleh pengetahuan masyarakat tentang gejala akut filariasis dan penularannya masih rendah, sikap masyarakat masih kurang dalam pemberantasan vektor filariasis dan tindakan masyarakat masih mendukung terjadinya penularan filariasis 15. Sesuai pula dengan hasil penelitian Paiting YS, dkk (2012), menunjukkan mf rate di Kepulauan Yapen sebesar 2,06%, dengan perilaku masyarakat dalam kelengkapan berpakaian saat menokok sagu meningkatkan risiko filariasis sebesar 7,000 kali 16. Begitu pula dengan penelitian yang dilakukan oleh Setiawan Budi, dkk di Kecamatan Kota Besi, Kabupaten Kotawaringin Timur, Kalimantan Timur tahun 2011 menunjukkan penurunan mf rate menjadi 5

sebesar 1,04% dan hanya ditemukan 4 kasus filariasis yang sebelumnya terdapat 51 kasus, pengobatan massal di daerah tersebut memberikan hasil yang positif terhadap angka mikrofilaremia 17. Keberhasilan pengobatan massal filariasis yang telah dilaksanakan tersebut selanjutnya diteruskan dengan pemberian pengobatan invidual tahun 2013 terhadap 7 orang penderita yang dapat dilihat pada tabel 4. Tanda-tanda penyakit kronis (menahun) dengan angka kesakitan kronis yang ditemukan di Desa Buru Kaghu sebesar 1,39%, oleh karena itu berdasarkan tahap limfodema di desa tersebut diperlukan beberapa komponen perawatan yang hendaknya dilakukan yaitu kebersihan diri terutama pada malam hari, menggerakan badan dan mengangkat kaki pada malam dan siang hari 9. Menurut Depkes (2005), beberapa langkah-langkah yang diperlukan dalam perawatan antara lain mencuci kaki secara cermat dengan sabun dan air bersih dapat menghilangkan kotoran kuman, mengeringkan bagian yang bengkak dengan cermat antara jari dan lipatan kulit, selalu memakai alas kaki, meninggikan kaki yang bengkak setiap hari, latihan menggerakkan telapak kaki ke belakang depan dan kemudian memutarnya 18. Penurunan prevalensi filariasis tersebut pada tahun 2013 tersebut telah diikuti dengan kenaikan pencapaian pengobatan dan keberhasilan pengobatan massal filariasis. Peningkatan cakupan tersebut menunjukkan kegiatan pengobatan massal di desa tersebut telah mengalami peningkatan dalam efisiensi program penanggulangan dan pemberantasan filariasis. KESIMPULAN Pengobatan filariasis yang dilaksanakan di Desa Buru Kaghu, Kecamatan Wewewa Selatan baik pengobatan massal maupun pengobatan individual pada penderita kronis melalui pemberian obat DEC dan Albendazole telah berhasil menurunkan prevalensi mf rate di desa tersebut menjadi <1%. Cakupan pengobatan massal filariasis di desa tersebut mencapai lebih dari 80%, sehingga sesuai dengan target mengeliminasi filariasis dengan menghilangkan kejadian penularan filariasis. SARAN Perlu adanya penyuluhan secara intensif kepada masyarakat sebelum pelaksanaan pengobatan massal filariasis selanjutnya, sehingga diharapkan dapat meningkatkan cakupan pengobatan massal filariasis di Kabupaten Sumba Barat Daya. Selain itu pemberian penyuluhan kesehatan kepada penderita dan keluarganya terkait cara penanganan kasus kronis filariasis sesuai dengan stadium limfodema, sehingga penderita diharapkan dapat bekerja optimal dan tidak tergantung pada orang lain, selain itu tidak merasa rendah diri dan mengasingkan diri dari masyarakat. UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih disampaikan kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Sumba Barat Daya beserta staf, Kepala Puskesmas Tenateke beserta staf yang telah mendukung dan memfasilitasi dalam kegiatan analisis hingga penulisan artikel ini. DAFTAR PUSTAKA 1. Urrahman Z. Gambaran Konsep Diri Penderita Filariasis Limfatik (ElepHantiasis) di Kota Tanggerang Selatan. Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan. Skripsi. 2010. 2. Kemenkes RI. Laporan Pemberian Obat Massal Pencegahan (POMP) Filariasis di Indonesia tahun 2000-2009. Jakarta. 2009. 3. Direktorat Jenderal PP & PL. Depkes RI. Filariasis di Indonesia. Buletin 6

Jendela Epidemiologi Volume 1. Jakarta. 2010. 4. Subdid Filariasis & Schistomiasis. Ditjen PP & PL. Depkes RI. Rencana Nasional Program Akselerasi Eliminasi Filariasis di Indonesia, Jakarta. 2010. Hal 2, 5, 10. 5. Purwantyastuti. Pemberian Obat Massal pencegahan (POMP) Filariasis. Buletin Jendela Epidemiologi 2010. Vol 1, Juli 2010. hal 15. 6. World Health Organization. The Global Goal of Eliminatiom of Lymphatic Filariasis as Publik Health Problem by the Year 2020. WHO. Geneva. 2000. 7. Dinas Kesehatan Kabupaten Alor. Modul Pelatihan Filariasis bagi Petugas Kesehatan. Alor. 2002. hal 26,27. 8. Bule Sopi, dkk. Penyebaran Filariasis di Desa Buru Kaghu, Kecamatan Wewewa Selatan, Kabubaten Sumba Barat Daya. Laporan Penelitian Loka Litbang P2B2 Waikabubak. 2013. 9. Dinas Kesehatan Provinsi NTT. Alat Bantu (Tool Kit) Untuk Eliminasi Filariasis, Panduan Pelaksanaan Bagi Petugas Kesehatan di Indonesia. Kupang. 2004. hal. 10, 30, 73. 10. Ompusunggu SM, Sekar Tuti & Hasugian AR. Endemisitas Filariasis Dengan Lama Pengobatan Massal Berbeda. Majalah Kedokteran Indonesia. 2008. Vol 58 no 11. hal. 413-420. 11. Tuti S, Armedy RH & Ryanti Ekowatiningsih. Masalah Filariasis di Kabupaten Sikka Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Buletin Penelitian Kesehatan. 2009. Vol. 37, No. 4. 12. Dinas Kesehatan Kabupaten Sumba Barat Daya. Laporan Bidang P2M Dinas Kesehatan Kabupaten Sumba Barat Daya. Laporan. 2011. 13. Subdit Filariasis & Schistomiasis. Ditjen PP & PL. Direktorat P2B2 Kemenkes RI. Rencana Nasional Program Akselerasi Eliminasi Filariasis di Indonesia. Jakarta. 2010. hal. 16. 14. Notoatmodjo S. Kesehatan Masyarakat Ilmu dan Seni. Jakarta. PT Rineka Cipta. Jakarta. 2007. hal. 180, 188. 15. Ambarita. Peran Serta Masyarakat (PSM) Dalam Upaya Penemuan Kasus Filariasis di Desa Endemis di Puskesmas Betung Kabupaten Banyuasin Tahun 2005. 2007. Vol 1, No 1. 16. Paiting YS, Onny S, Sulistiyani. Faktor Risiko Lingkungan dan Kebiasaan Penduduk Berhubungan Dengan Kejadian Filariasis di Distrik Windesi Kabupaten Kepulauan Yapen, Provinsi Papua. Jurnal Kesehatan Lingkungan Indonesia. 2012. Vol II/April 2012. 17. Setiawan B, Soeyoko, Tri Baskoro, Satoto. Epidemiologi Filariasis Limfatik di Kecamatan Kota Besi, Kabupaten Kotawaringin Timur, Provinsi Kalimantan Tengah. Buletin Spirakel. Edisi 2012. 18. Depkes RI. Direktorat Jenderal PP & PL. Harapan Baru Bagi Penderita Penyakit Kaki Gajah (Filariasis). Jakarta. 2005. hal 6-12 7