KOMPOSISI KARKAS DAN SIFAT FISIK DAGING KELINCI LOKAL JANTAN MUDA DENGAN PEMBERIAN PAKAN MENGANDUNG LIMBAH TAUGE SKRIPSI YOGI MUJI KURNIAWAN

dokumen-dokumen yang mirip
TINJAUAN PUSTAKA. Kelinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA Potensi Kelinci Sebagai Penghasil Daging Kelinci Rex

MATERI. Lokasi dan Waktu

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Materi Ternak Percobaan Kandang Bahan dan Alat Prosedur Persiapan Bahan Pakan

TINJAUAN PUSTAKA. (Sumber : Damron, 2003)

BAB III BAHAN DAN METODE PENELITIAN. Kandang Hewan Percobaan, Laboratorium fisiologi dan biokimia, Fakultas

MATERI DAN METODE. Materi

HASIL DAN PEMBAHASAN

MATERI DAN METODE. Gambar 4. Kelinci Peranakan New Zealand White Jantan Sumber : Dokumentasi penelitian (2011)

SIFAT-SIFAT FISIK DAN PARAMETER SPESIFIK KUALITAS DAGING

HASIL DAN PEMBAHASAN. Keadaan Umum Penelitian

METODE PENELITIAN. Gambar 2 Ternak dan Kandang Percobaan

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Bahan Metode

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Hewan

Gambar 1. Domba Penelitian.

MATERI DAN METODE. Materi

BAB III MATERI DAN METODE. Ransum terhadap Sifat Fisik Daging Puyuh Jantan dilaksanakan bulan Juni

BAB III MATERI DAN METODE. protein berbeda pada ayam lokal persilangan selama 2 10 minggu dilaksanakan

II. TINJAUAN PUSTAKA

MATERI DAN METODE. Materi. Tabel 2. Komposisi Zat Makanan Ransum Penelitian Zat Makanan Jumlah (%)

MATERI DAN METODE. Waktu dan Lokasi. Materi

MATERI DAN METODE. Materi

METODE. Materi. Pakan Pakan yang diberikan selama pemeliharaan yaitu rumput Brachiaria humidicola, kulit ubi jalar dan konsentrat.

BAB III MATERI DAN METODE. Fakultas Peternakan dan Pertanian Universitas Diponegoro, Semarang.

Gambar 2. (a) Kandang Individu (b) Ternak Domba

KOMPOSISI FISIK POTONGAN KOMERSIAL KARKAS DOMBA LOKAL JANTAN DENGAN RASIO PEMBERIAN PAKAN YANG BERBEDA SELAMA DUA BULAN PENGGEMUKAN

HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lokasi Konsumsi Pakan

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu. Materi

MATERI DAN METODE. Gambar 2. Contoh Domba Penelitian

BAB III MATERI DAN METODE. hijau terhadap bobot relatif dan panjang organ pencernaan itik Magelang jantan

MATERI DAN METODE. Penelitian ini telah dilakukan pada bulan Januari-Februari 2014 di

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kambing Kacang yang lebih banyak sehingga ciri-ciri kambing ini lebih menyerupai

BAB III METODE PENELITIAN

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dengan populasi yang cukup tinggi. Kambing Kacang mempunyai ukuran tubuh

TINJAUAN PUSTAKA. perkembangan di Inggris dan Amerika Serikat, itik ini menjadi popular. Itik peking

METODE. Materi 10,76 12,09 3,19 20,90 53,16

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu. Materi Ternak Percobaan. Kandang dan Perlengkapan

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Penelitian

PENDAHULUAN. Sebagian besar masyarakat Indonesia menyukai daging ayam karena. Sebagai sumber pangan, daging ayam mempunyai beberapa kelebihan lainnya

MATERI DAN METODE. Materi

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian kecernaan protein dan retensi nitrogen pakan komplit dengan

BOBOT POTONG, BOBOT KARKAS DAN NON KARKAS DOMBA LOKAL YANG DIGEMUKKAN DENGAN PEMBERIAN RANSUM KOMPLIT DAN HIJAUAN SKRIPSI AZIZ MEIARO H

HASIL DAN PEMBAHASAN

MATERI DAN METODE. Gambar 3. Domba Jonggol R1 (a) dan Domba Jonggol R2 (b) Gambar 4. Domba Garut R1 (a) dan Domba Garut R2 (b)

MATERI DAN METODE. Sumber : Label Pakan BR-611 PT. Charoen Pokphand Indonesia.

PROPORSI DAGING, TULANG DAN LEMAK KARKAS DOMBA EKOR TIPIS JANTAN AKIBAT PEMBERIAN AMPAS TAHU DENGAN ARAS YANG BERBEDA

MATERI DAN METODE. Materi

TINJAUAN PUSTAKA. Tabel 1. Kandungan Nutrien Daging pada Beberapa Ternak (per 100 gram daging) Protein (g) 21 19, ,5

MATERI DA METODE. Lokasi dan Waktu

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian tentang pengaruh penggunaan ampas kecap sebagai subsitusi

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB III MATERI DAN METODE. berbeda dilaksanakan mulai bulan Maret sampai Agustus 2016 di kandang domba

MATERI DAN METODE. Tabel 3. Komposisi Nutrisi Ransum Komersial.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 1. Pengaruh perlakuan terhadap Konsumsi Bahan Kering dan Konsumsi Protein Ransum

MATERI DAN METODE. Gambar 4. Ternak Kerbau yang Digunakan Dalam Penelitian

TINJAUAN PUSTAKA Konversi Otot Menjadi Daging

Pertumbuhan dan Komponen Fisik Karkas Domba Ekor Tipis Jantan yang Mendapat Dedak Padi dengan Aras Berbeda

I. PENDAHULUAN. Daging merupakan makanan yang kaya akan protein, mineral, vitamin, lemak

MATERI DAN METODE. Prosedur

MATERI DAN METODE. Materi

BAB III MATERI DAN METODE. Februari 2017 di kandang, Fakultas Peternakan dan Pertanian, Universitas

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Penelitian Konsumsi Pakan

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April - Juni 2016 dengan tiga

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ayam broiler atau yang juga disebut ayam pedaging merupakan salah satu

MATERI DAN METODE. Gambar 3. Domba yang Digunakan Dalam Penelitian

TINJAUAN PUSTAKA. masyarakat Indonesia. Domba merupakan ternak ruminansia kecil yang

MATERI DAN METODE. a b c Gambar 2. Jenis Lantai Kandang Kelinci a) Alas Kandang Bambu; b) Alas Kandang Sekam; c) Alas Kandang Kawat

I. TINJAUAN PUSTAKA. hingga diperoleh ayam yang paling cepat tumbuh disebut ayam ras pedaging,

BAB III MATERI DAN METODE. Laut (Gracilaria verrucosa) terhadapproduksi Karkas Puyuh (Cotunix cotunix

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian tentang Penggunaan Tepung Daun Mengkudu (Morinda

I. MATERI DAN METODE. Penelitian ini telah dilakukan pada bulan April sampai dengan Mei 2015 di

MATERI DAN METODE. Materi

III BAHAN DAN METODE PENELITIAN. adalah Day Old Duck (DOD) hasil pembibitan generasi ke-3 sebanyak 9 ekor itik

PERSENTASE KARKAS DAN KOMPONEN NON KARKAS KAMBING KACANG JANTAN AKIBAT PEMBERIAN PAKAN DENGAN KADAR PROTEIN DAN ENERGI YANG BERBEDA SKRIPSI.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Boer berasal dari Afrika Selatan, yang merupakan hasil persilangan

lagomorpha. Ordo ini dibedakan menjadi dua famili, yakni Ochtonidae (jenis

MATERI DAN METODE. Bahan Bahan yang digunakan untuk produksi biomineral yaitu cairan rumen dari sapi potong, HCl 1M, dan aquadest.

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian tentang pengaruh penggunaan ampas kecap dalam ransum

BAB III MATERI DAN METODE. Merah (Hylocereus polyrhizus) terhadap Performa Burung Puyuh Betina Umur 16

TINJAUAN PUSTAKA Kelinci Pertumbuhan Kelinci

RINGKASAN. Pembimbing Utama : Dr.Ir. Mohamad Yamin, MAgr.Sc. Pembimbing Anggota : Dr.Ir. Bram Brahmantiyo, M.Si.

BAB I PENDAHULUAN. semakin meningkat menuntut produksi lebih dan menjangkau banyak konsumen di. sehat, utuh dan halal saat dikonsumsi (Cicilia, 2008).

HASIL DAN PEMBAHASAN. Pakan Penelitian

Gambar 2. Domba didalam Kandang Individu

MATERI DAN METODE. Metode

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Domba merupakan salah satu jenis ternak ruminansia yang banyak

PENDAHULUAN. Daging ayam merupakan daging yang paling banyak dikonsumsi masyarakat

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian mengenai pengaruh frekuensi dan periode pemberian pakan

HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Brahman Cross Pertumbuhan Ternak

BAHAN DAN METODE PENELITIAN. Bahan utama yang digunakan dalam penelitian adalah daging paha Ayam

PENDAHULUAN. Daging unggas adalah salah jenis produk peternakan yang cukup disukai. Harga yang relatif terjangkau membuat masyarakat atau

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kemudian dikembangkan di penjuru dunia. Puyuh mulai dikenal dan diternakkan

SKRIPSI BUHARI MUSLIM

METODE. Materi. Gambar 2. Contoh Domba yang Digunakan dalam Penelitian Foto: Nur adhadinia (2011)

METODE PENELITIAN. Bahan dan Alat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Domba Ekor Gemuk. Domba Lokal memiliki bobot badan antara kg pada

Transkripsi:

KOMPOSISI KARKAS DAN SIFAT FISIK DAGING KELINCI LOKAL JANTAN MUDA DENGAN PEMBERIAN PAKAN MENGANDUNG LIMBAH TAUGE SKRIPSI YOGI MUJI KURNIAWAN DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2013

RINGKASAN YOGI MUJI KURNIAWAN. D14080074. 2013. Komposisi Karkas dan Sifat FisikDaging Kelinci Lokal Jantan Muda dengan Pemberian Pakan Mengandung Limbah Tauge. Skripsi. Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Petrnakan, Institut Pertanian Bogor. Pembimbing Utama : Ir. Sri Rahayu M.Si. Pembimbing Anggota : Muhamad Baihaqi, S.Pt, M.Sc. Kelinci merupakan hewan mamalia yang memiliki beberapa keunggulan dibanding ternak lainnya diantaranya kelinci mampu menghasilkan anak dalam jumlah yang banyak (prolific), menghasilkan daging dengan kadar asam lemak tak jenuh dan kolesterol yang rendah. Penelitian ini bertujuan untuk menguji karakteristik, komposisi karkas dan sifat fisik daging kelinci lokal jantan muda yang digemukkan dengan pakan mengandung limbah tauge sebagai dasar pengembangan potensi kelinci sebagai alternatif sumber protein hewani. Kelinci yang digunakan dalam penelitian ini adalah kelinci lokal yang berumur 12 minggu yang digemukkan selama 6 minggu. Pakan yang digunakan berupa campuran antara limbah tauge dengan konsentrat dalam bentuk pelet. Pemberian pakan dibagi menjadi empat perlakuan yaitu 100% konsentrat (P1), 85% konsentrat+15% limbah tauge (P2), 70% konsentrat + 30% limbah tauge (P3), 55% konsentrat + 45% limbah tauge (P4). Peubah yang diamati diantaranya adalah karakteristik karkas (bobot potong, bobot karkas, bobot tubuh kosong, persentase karkas panas) komposisi karkas (otot, tulang, lemak), bobot dan persentase potongan komersial, distribusi komposisi karkas pada potongan komersial, bobot danpersentase non-karkas, dan sifat fisik daging kelinci yang meliputi ph, susut masak, daya mengikat air (DMA), dan keempukan. Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan acak lengkap. Data untuk karakteristik karkas, komposisi karkas,bobot, persentase dan distribusi komposisi potongan komersial serta bobot dan persentase non-karkas diolah dengan Analysis of Covariance atau ANCOVA, sedangkan data sifat fisik daging kelinci diolah dengan Analysis of Varianceatau ANOVA. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa perlakuan pemberian limbah tauge tidak berpengaruh nyata terhadap karakteristik karkas (P>0,05). Hasil pada pengujian komposisi karkas juga tidak menunjukkan adanya perbedaan yang nyata (P>0,05). Bobot dan persentase potongan komersial kelinci tidak berbeda nyata (P>0,05) pada semua potongan (foreleg, rack, loin, dan hindleg). Distribusi komposisi karkas (otot, lemak dan tulang) tidak berbeda nyata (P>0,05) pada potongan komersial.bobot dan persentase non-karkas menunjukkan respon yang tidak berbeda nyata (P>0,05). Rataan nilai ph, DMA, keempukan dan susut masak berturut-turut adalah 5,92, 115,1 mg, 7.933,59 gf, 33,82%. Hasil penelitian pada daging kelinci menunjukkan bahwa perlakuan 0, 15, 30 dan 45 % limbah tauge pada pakan hanya berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap ph daging. Berdasarkan hasil penelitian ini, maka dapat dikatakan bahwa limbah tauge dapat menggantikan pelet komersil tanpa menurunkan kualitas daging kelinci yang dihasilkan. Kata-kata kunci : Kelinci, limbah tauge, komposisi karkas i

ABSTRACT Carcass Composition and Meat Physical Characteristic of Young Local Male Rabbit Fattened With Feed Containing of Sprout Waste Kurniawan, Y. M., S. Rahayu and M. Baihaqi The waste of mung bean sprouts are recidual bean sprouts production consisting of greenpeal and bean sprout fraction of sieving result for human consumption. This research was conducted to measure carcass composition and meat physical characteristic of the young local male rabbitfattened with feed containing of sprout waste. The carcass composition measurement consisted of the slaughter weight, carcass weight, commercial cut weight, non carcass weight, the weight of carcass component (meat, fat, bone), the percentage of carcass proportion and commercial cut. The physical characteristics of meat which be measure were ph, water holding capacity, drip loss, and meat tenderness. This research used 12 young local male rabbits with age about 12 weekswith treatments of feed100% as control (P1), 85% P1 with 15% waste of bean sprouts (P2), 70% P1 with 30% waste of bean sprouts (P3), and 55% P1 with 45% the waste of bean sprouts (P4). The animals were raised for 8 weeks. The study showed that the provision of sprouts waste treatment did not significantly affect (P>0.05) on carcass characteristic. Result of all treatment on carcass composition tested also showed no significant differences (P>0.05). Weight and percentage of commercial rabbit cut were not significantly differences (P>0.05) in all the commercial cut (foreleg, rack, loin and hindleg). Distributions of carcass components (muscle, fat and bone) were not significantly (P>0.05) different each commercial cuts. The weight and percentage of non carcass showed that not significantly (P>0.05). The physical characteristis of rabbit meat showed that significantly (P<0.05) different in ph variable. It was conclude that bean sprout waste could be used as rabbit feed without decreasing carcass and meat quality. Keywords: Rabbits, mung bean sprouts waste, carcass component ii

KOMPOSISI KARKAS DAN SIFAT FISIKDAGING KELINCI LOKAL JANTAN MUDA DENGAN PEMBERIAN PAKAN MENGANDUNG LIMBAH TAUGE YOGI MUJI KURNIAWAN D14080074 Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2013 iii

Judul : Komposisi Karkas dan Sifat Fisik Daging Kelinci Lokal Jantan Muda dengan Pemberian Pakan Mengandung Limbah Tauge Nama : Yogi Muji Kurniawan NIM : D14080074 Menyetujui, Pembimbng Utama Pembimbing Anggota (Ir. Sri Rahayu, M.Si) (Muhamad Baihaqi, S.Pt., M.Sc) NIP. 19570611 198703 2 001 NIP. 19800129 200501 1 005 Mengetahui, Ketua Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan (Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri, M.Agr.Sc) NIP. 195912121986031 004 Tanggal Ujian: 21 Desember 2012 Tanggal Lulus: iv

RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tanggal 21 Juni 1990 di Mojokerto, Jawa Timur. Penulis adalah anak ketiga dari tiga bersaudara pasangan Bapak Bambang Mujiono(Alm) dan Ibu Luthfi Rokhmawati. Pendidikan Sekolah Dasar diselesaikan pada tahun 2002 di SD Negeri I Mojosari, Mojokerto, Jawa Timur. Penulis mengikuti pendidikan lanjutan tingkat pertama di SLTP Negeri 1 Mojosari, Mojokerto, Jawa Timur yang diselesaikan pada tahun 2005 dan meneruskan pendidikan menegah umum di SMU Negeri 1 Mojosari, Mojokerto, Jawa Timur yang diselesaikan pada tahun 2008. Penulis diterima sebagai mahasiswa pada Program Studi Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada tahun 2008. Selama menjadi mahasiswa penulis aktif di beberapa organisasi seperti Organisasi Mahasiswa Daerah (OMDA) HIMASURYA+. Penulis juga pernah menjadi asisten praktikum mata kuliah Tingkah Laku dan Kesejahteraan Ternak semester genap tahun 2011/2012 dan asisten praktikum mata kuliah Teknik Pengolahan Limbah Peternakan semester ganjil 2012/2013. v

KATA PENGANTAR BismillahirrahmanirrahimAlhamdulillahhirabbilalamin, puji dan syukur penulis panjatkan Kehadirat Allah SWT, Rabb yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang karena berkat limpahan rizki dan karunia-nya yang tak terhingga sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Komposisi Karkas dan Sifat Fisik Daging Kelinci Lokal Jantan Muda dengan Pakan Mengandung Limbah Tauge. Shalawat dan salam tak lupa penulis ucapkan kepada junjungan kita Rasulullah Muhammad SAW sebagai sumber teladan hingga akhir zaman. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk kelulusan dan memperoleh gelar Sarjana Peternakan di Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Penyusunan skripsi ini diharapkan dapat memberi sumbangan bagi peternakan khususnya peternak kelinci dengan harapan dapat memberi informasi mengenai pentingnya kualitas pakan pada kelinci untuk meningkatkan produksi dan komposisi karkas kelinci seperti yang kita inginkan. Penulis berharap dengan penulisan skripsi ini, informasi mengenai komposisi karkas dan sifat fisik daging kelinci dapat diperoleh dengan baik. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih memiliki kekurangan, oleh sebab itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca. Semoga skripsi ini bermanfaat dalam dunia pendidikan dan peternakan. Bogor, Januari 2013 Penulis vi

DAFTAR ISI RINGKASAN... ABSTRACT... RIWAYAT HIDUP... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... Halaman PENDAHULUAN... 1 Latar Belakang... 1 Tujuan... 2 TINJAUAN PUSTAKA... 3 Kelinci... 3 Kelinci Lokal... 3 Pakan Kelinci... 4 Konsentrat... 5 Limbah Tauge... 5 Karkas dan Komposisi Karkas Kelinci... 5 Otot... 7 Tulang... 7 Lemak... 8 Sifat Fisik Daging... 8 Daya Mengikat Air (DMA) Daging... 8 Keempukan Daging... 9 Susut Masak Daging... 10 Nilai ph Daging... 11 MATERI METODE... 12 Lokasi dan Waktu... 12 Materi... 12 Kelinci... 12 Kandang dan Peralatan... 12 Pakan... 13 Prosedur... 13 Persiapan Bahan Pakan... 14 Pemeliharaan... 14 Pemuasaan... 14 Pemotongan... 14 Uji Fisik... 15 Nilai ph... 15 Susut Masak... 15 Keempukan Daging... 15 Daya Mengikat Air (DMA)... 16 i ii v ix x xi vii

Rancangan dan Analisis Data... 16 Rancangan... 16 Peubah... 17 HASIL DAN PEMBAHASAN... 19 Keadaan Umum Penelitian... 19 Karakteristik Karkas... 20 Bobot Potong... 21 Bobot Tubuh Kosong... 22 Bobot Karkas Panas dan Dingin... 23 Persentase Karkas... 23 Bobot Non-karkas... 24 Komposisi Karkas... 25 Potongan Komersial... 26 Bobot Potongan Komersial... 26 Distribusi Komposisi Karkas Pada Potongan Komersial... 28 Bagian Non-Karkas... 29 Bobot dan Bagian Non-karkas Kelinci Lokal... 29 Persentase Bagian Non-Karkas Kelinci Lokal... 30 Sifat Fisik Daging Kelinci... 31 Nilai ph Daging... 32 Daya Mengikat Air (DMA) Daging... 33 Keempukan Daging Kelinci... 33 Susut Masak Daging Kelinci... 35 KESIMPULAN DAN SARAN... 36 Kesimpulan... 36 Saran... 36 DAFTAR PUSTAKA... 38 LAMPIRAN... 42 viii

DAFTAR TABEL Nomor Halaman 1. Komposisi Nutrien Ransum Penelitian dan Limbah Tauge dalam 100% bahan kering... 13 2. Rataan Temperatur dan Kelembaban Relatif Kandang... 19 3. Karakteristik Karkas Kelinci Lokal pada Setiap Perlakuan... 21 4. Rataan Pertambahan Bobot Badan Harian Kelinci pada Setiap Perlakuan... 22 5. Komposisi Karkas Kelinci pada Setiap Perlakuan... 25 6. Bobot dan Persentase Potongan Komersial Kelinci... 27 7. Distribusi Komposisi Karkas pada Potongan Komersial... 28 8. Rataan Bobot Non-Karkas Kelinci Lokal pada Setiap Perlakuan 30 9. Rataan Persentase Non-Karkas Kelinci Lokal pada Setiap Perlakuan... 31 10. Rataan Sifat Fisik Daging Kelinci pada Setiap Perlakuan... 32 ix

DAFTAR GAMBAR Nomor Halaman 1. Pemeliharaan Ternak... 19 2. Kandang Pemeliharaan... 19 3. Grafik Hasil Tekstur Analyzer pada Perlakuan 1 (Kontrol)... 34 4. Grafik Hasil Tekstur Analyzer pada Perlakuan 2... 34 5. Grafik Hasil Tekstur Analyzer pada Perlakuan 3... 34 6. Grafik Hasil Tekstur Analyzer pada Perlakuan 4... 35 x

DAFTAR LAMPIRAN Nomor Halaman 1. Gambar Potongan Komersial pada Penelitian (a). Potongan Komersial, (b). Foreleg, (c). Rack, (d). Loin, (e). Hindleg... 43 2. Hasil Uji Analisis Peragam Bobot Potong Berdasarkan Bobot Awal... 44 3. Hasil Uji Analisis Peragam Bobot Tubuh Kosong Berdasarkan Bobot Awal... 44 4. Hasil Uji Analisis Peragam Karkas Panas Berdasarkan Bobot Awal 44 5. Hasil Uji Analisis Peragam Karkas Dingin Berdasarkan Bobot Awal... 44 6. Hasil Uji Analisis Peragam Non-Karkas Berdasarkan Bobot Awal 45 7. Hasil Uji Analisis Peragam Persentase Karkas Panas/Bobot Potong Berdasarkan Bobot Awal... 45 8. Hasil Uji Analisis Peragam Persentase Karkas Dingin/Bobot Potong Berdasarkan Bobot Awal... 45 9. Hasil Uji Analisis Peragam Karkas Panas/Bobot Tubuh Kosong Berdasarkan Bobot Awal. 45 10. Hasil UjiAnalisis Peragam Bobot Otot Berdasarkan Bobot Karkas Dingin... 45 11. Hasil UjiAnalisis Peragam Bobot Lemak Berdasarkan Bobot Karkas Dingin... 46 12. Hasil UjiAnalisis Peragam Bobot Tulang Berdasarkan Bobot Karkas Dingin... 46 13. Hasil UjiAnalisis Peragam Persentase Otot Berdasarkan Bobot Karkas Dingin... 46 14. Hasil UjiAnalisis Peragam Persentase Lemak Berdasarkan Bobot Karkas Dingin... 47 15. Hasil UjiAnalisis Peragam Persentase Tulang Berdasarkan Bobot Karkas Dingin... 47 16. Hasil UjiAnalisis Peragam Bobot Foreleg pada Potongan Komersial Berdasarkan Bobot Karkas Dingin... 47 17. Hasil UjiAnalisis Peragam Bobot Rack pada Potongan Komersial Berdasarkan Bobot Karkas Dingin.. 47 xi

18. Hasil UjiAnalisis Peragam Bobot Loin pada Potongan Komersial Berdasarkan Bobot Karkas Dingin.. 48 19. Hasil UjiAnalisis Peragam Bobot Hindleg pada Potongan Komersial Berdasarkan Bobot Karkas Dingin... 48 20. Hasil UjiAnalisis Peragam Persentase Foreleg pada Potongan Komersial Berdasarkan Bobot Karkas Dingin... 48 21. Hasil UjiAnalisis Peragam Persentase Rack pada Potongan Komersial Berdasarkan Bobot Karkas Dingin.... 48 22. Hasil UjiAnalisis Peragam Persentase Loin pada Potongan Komersial Berdasarkan Bobot Karkas Dingin.... 49 23. Hasil UjiAnalisis Peragam Persentase Hindleg pada Potongan Komersial Berdasarkan Bobot Karkas Dingin.... 49 24. Hasil UjiAnalisis Peragam Bobot Otot pada Potongan Foreleg Berdasarkan Bobot Karkas Dingin... 49 25. Hasil UjiAnalisis Peragam Bobot Otot pada Potongan Rack Berdasarkan Bobot Karkas Dingin... 49 26. Hasil UjiAnalisis Peragam Bobot Otot pada Potongan Loin Berdasarkan Bobot Karkas Dingin... 50 27. Hasil UjiAnalisis Peragam Bobot Otot pada Potongan Hindleg Berdasarkan Bobot Karkas Dingin... 50 28. Hasil UjiAnalisis Peragam Bobot Lemak pada Potongan Foreleg Berdasarkan Bobot Karkas Dingin... 50 29.Hasil UjiAnalisis Peragam Bobot Lemak pada Potongan Rack Berdasarkan Bobot Karkas Dingin... 50 30. Hasil UjiAnalisis Peragam Bobot Lemak pada Potongan Loin Berdasarkan Bobot Karkas Dingin... 51 31.Hasil UjiAnalisis Peragam Bobot Lemak pada Potongan Hindleg Berdasarkan Bobot Karkas Dingin.. 51 32.Hasil UjiAnalisis Peragam Bobot Tulang pada Potongan Foreleg Berdasarkan Bobot Karkas Dingin.. 51 33.Hasil UjiAnalisis Peragam Bobot Tulang pada Potongan Rack Berdasarkan Bobot Karkas Dingin... 51 34.Hasil UjiAnalisis Peragam Bobot Tulang pada Potongan Loin Berdasarkan Bobot Karkas Dingin... 52 35.Hasil UjiAnalisis Peragam Bobot Tulang pada Potongan Hindleg Berdasarkan Bobot Karkas Dingin.. 52 xii

36.Hasil UjiAnalisis Peragam Bobot Hati pada Bagian Non-Karkas Berdasarkan Bobot Potong... 52 37. Hasil UjiAnalisis Peragam Bobot Jantung pada Bagian Non-Karkas Berdasarkan Bobot Potong... 52 38. Hasil UjiAnalisis Peragam Bobot Paru pada Bagian Non-Karkas Berdasarkan Bobot Potong... 53 39. Hasil UjiAnalisis Peragam Bobot Ginjal pada Bagian Non-Karkas Berdasarkan Bobot Potong... 53 40. Hasil UjiAnalisis Peragam Bobot Lambung pada Bagian Non- Karkas Berdasarkan Bobot Potong... 53 41. Hasil UjiAnalisis Peragam Bobot Oesophagus pada Bagian Non- Karkas Berdasarkan Bobot Potong... 53 42. Hasil UjiAnalisis Peragam Bobot Usus Halus pada Bagian Non- Karkas Berdasarkan Bobot Potong.... 54 43.Hasil UjiAnalisis Peragam Bobot Sekum pada Bagian Non-Karkas Berdasarkan Bobot Potong... 54 44.Hasil UjiAnalisis Peragam Bobot Appendix pada Bagian Non- Karkas Berdasarkan Bobot Potong... 54 45.Hasil UjiAnalisis Peragam Bobot Colon pada Bagian Non-Karkas Berdasarkan Bobot Potong... 54 46.Hasil UjiAnalisis Peragam Bobot Rektum pada Bagian Non-Karkas Berdasarkan Bobot Potong... 55 47. Hasil UjiAnalisis Peragam Bobot Darah pada Bagian Non-Karkas erdasarkan Bobot Potong..... 55 48.Hasil UjiAnalisis Peragam Bobot Kepala pada Bagian Non-Karkas Berdasarkan Bobot Potong... 55 49.Hasil UjiAnalisis Peragam Bobot Kulit pada Bagian Non-Karkas Berdasarkan Bobot Potong... 55 50.Hasil UjiAnalisis Peragam Bobot Kaki Depan pada Bagian Non- Karkas Berdasarkan Bobot Potong... 56 51.Hasil UjiAnalisis Peragam Bobot Kaki Belakang pada Bagian Non- Karkas Berdasarkan Bobot Potong... 56 52.Hasil UjiAnalisis Peragam Bobot Ekor pada Bagian Non-Karkas Berdasarkan Bobot Potong... 56 53.Hasil UjiAnalisis Peragam Persentase Hati pada Bagian Non-Karkas Berdasarkan Bobot Potong... 56 xiii

54.Hasil UjiAnalisis Peragam Persentase Jantung pada Bagian Non- Karkas Berdasarkan Bobot Potong... 57 55.Hasil UjiAnalisis Peragam Persentase Paru pada Bagian Non-Karkas Berdasarkan Bobot Potong... 57 56. Hasil UjiAnalisis Peragam Persentase Ginjal pada Bagian Non- Karkas Berdasarkan Bobot Potong.... 57 57.Hasil UjiAnalisis Peragam Persentase Lambung pada Bagian Non- Karkas Berdasarkan Bobot Potong.... 57 58. Hasil UjiAnalisis Peragam Persentase Oesophagus pada Bagian Non-Karkas Berdasarkan Bobot Potong... 58 59.Hasil UjiAnalisis Peragam Persentase Usus Halus pada Bagian Non- Karkas Berdasarkan Bobot Potong...... 58 60.Hasil UjiAnalisis Peragam Persentase Sekum pada Bagian Non- Karkas Berdasarkan Bobot Potong.... 58 61.Hasil UjiAnalisis Peragam Persentase Appendix pada Bagian Non- Karkas Berdasarkan Bobot Potong... 58 62.Hasil UjiAnalisis Peragam Persentase Colon pada Bagian Non- Karkas Berdasarkan Bobot Potong.... 59 63.Hasil UjiAnalisis Peragam Persentase Rektum pada Bagian Non- Karkas Berdasarkan Bobot Potong... 59 64.Hasil UjiAnalisis Peragam Persentase Darah pada Bagian Non- Karkas Berdasarkan Bobot Potong.... 59 65.Hasil UjiAnalisis Peragam Persentase Kepala pada Bagian Non- Karkas Berdasarkan Bobot Potong.... 59 66.Hasil UjiAnalisis Peragam Persentase Kulit pada Bagian Non- Karkas Berdasarkan Bobot Potong.... 60 67.Hasil UjiAnalisis Peragam Persentase Kaki Depan pada Bagian Non-Karkas Berdasarkan Bobot Potong... 60 68.Hasil UjiAnalisis Peragam Persentase Kaki Belakang pada Bagian Non-Karkas Berdasarkan Bobot Potong..... 60 69.Hasil UjiAnalisis Peragam Persentase Ekor pada Bagian Non- Karkas Berdasarkan Bobot Potong... 60 70.HasilSidik Ragam ph Daging Kelinci pada Perlakuan Pakan yang Berbeda... 61 71.HasilSidik Ragam Daya Mengikat Air Daging Kelinci pada Perlakuan Pakan yang Berbeda... 61 xiv

72.HasilSidik Ragam Keempukan Daging Kelinci pada Perlakuan Pakan yang Berbeda... 61 73.Hasil Sidik Ragam Susut Masak Daging Kelinci pada Perlakuan Pakan yang Berbeda... 61 xv

PENDAHULUAN Latar Belakang Kebutuhan hidup manusia tidak pernah lepas dari pangan baik yang berasal dari hewan maupun tumbuhan. Pangan asal hewan seperti daging, susu dan telur merupakan salah satu sumber protein bagi manusia. Protein sangat penting manfaatnya, diantaranya untuk menggantikan sel-sel tubuh yang rusak dan membentuk jaringan tubuh. Kelinci merupakan hewan mamalia dari family Leporidae yangpenyebarannya cukup luas dari daerah temperate hingga daerah tropis, kelincimemiliki beberapa keunggulan dibanding ternak lainnya diantaranyamampu menghasilkan anak dalam jumlah yang banyak (prolific), menghasilkan daging yang rendah asam lemak tak jenuh dan rendah kolesterol. Kelinci mempunyai potensi yang besar untuk dipilihmasyarakat karena mempunyai resiko yang kecil untuk menimbulkan penyakit seperti kolesterol. Kelinci adalah salah satu ternak penghasil daging sehat yang dapat dijadikan sumber protein alternatif di negara berkembang (Khotijah, 2006). Hingga saat ini pemeliharaan kelinci lebih banyak digunakan sebagai hewan kesayangan atau hewan percobaan di laboratorium daripada sebagai ternak penghasil daging. Kelinci yang umum dipelihara oleh peternak sebagai penghasil daging adalah kelinci lokal yang dipelihara secara tradisional. Daging merupakan salah satu bagian penyusun karkas, sementara karkas yang ideal harus mengandung sejumlah maksimal otot, kandungan lemak yang optimal serta tulang yang minimum (Lovett, 1986). oleh karena itu untuk menentukan besarnya produksi daging dapat dilihat dari besarnya produksi karkas yang dihasilkan. Untuk memperoleh karkas yang berkualitas, diperlukan bahan pakan yang mempunyai kandungan energi yang tinggi untuk penggemukan serta protein diperlukan untuk pertumbuhan dan pembentukan jaringan otot. Pakan yang digunakan dalam penggemukan bisa berupa pakan konvensional (umum) atau pakan in-konvensional (tidak umum). Limbah hasil pertanian berpotensi sebagai bahan pakan penyusun ransum yang belum dimanfaatkan secara optimal dan diharapkan tidak berkompetisi dengan manusia. Salah satu bahan pakan yang dapat dimanfaatkan sebagai pakan alternatif yang dapat menggantikan hijauan adalah limbah tauge. Limbah tauge adalah sisa dari produksi tauge yang terdiri dari 1

kulit kacang hijau dan pecahan-pecahan tauge yang tidakdikonsumsi oleh manusia. Masyarakat Indonesia umumnya mengkonsumsi tauge sebagai bahan pangan hampir di setiap daerah, sehingga potensi limbah yang dihasilkan tauge itu sendiri sangat besar. Hasil survey Rahayu et al.(2010) menginformasikan bahwa total produksi tauge di daerah Bogor sekitar 6,5 ton/hari dan berpeluang menghasilkan limbah tauge sebesar 1,5 ton/hari. Potensi yang dihasilkan dari limbah tauge memungkinkan limbah tauge dapat dijadikan sebagai pakan ternak. Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk menguji karakteristik, komposisi karkas dan sifat fisik daging kelinci lokal jantan muda yang digemukkan dengan pakan mengandung limbah tauge sebagai dasar pengembangan potensi kelinci sebagai alternatif sumber protein hewani. 2

TINJAUAN PUSTAKA Kelinci Kelinci merupakan hewan yang mempunyai potensi sebagai penghasil daging yang baik. Hewan ini merupakan herbivore non ruminansia yang mempunyai system lambung sederhana (tunggal) dengan perkembangan sekum seperti alat pencernaan ruminansia, sehingga hewan ini dapat disebut ruminansia semu (pseudoruminant). Damron, (2003) mengklasifikasikan kelinci termasuk dalam Kingdom Animalia (hewan), Phylum Chordata (mempunyai notochord), Subphylum Vertebrata (bertulang belakang), Class Mammalia (memiliki kelenjar air susu), Ordo Lagomorpha (memiliki 2 pasang gigi seri di rahang atas), Family Leporidae (rumus gigi 8 pasang di atas dan 6 pasang di bawah), GenusOryctolagus (morfologi yang sama) dan Speciescuniculus forma domestica (nama spesies) Hewan ini dapat mencerna serat kasar, terutama selulosa, dengan bantuan bakteri yang hidup dalam sekumnya (Farrrel dan Rahardjo, 1984). Kelinci banyak digunakan sebagai hewan peliharaan, penghasil kulit bulu (fur) dan penghasil daging (fryer). Kelinci mampu mengubah hijaun berprotein rendah, yang berasal dari bahan makanan yang tidak dimanfaatkan oleh manusia sebaggai bahan makanan, menjadi protein hewani yang bernilai tinggi. Hewan ini mengembalikan 20% protein yang dikonsumsinya menjadi daging (Lebas et al., 1986). Farrel dan Rahardjo (1984) menyatakan bahwa secara teori seekor induk kelinci dengan bobot tiga hingga empat kilogram, dapat menghasilkan 80 kg karkas per tahun. Kelinci Lokal Bangsa kelinci lokal di Indonesia merupakan persilangan dari berbagai jenis kelinci yang tidak terdata, tetapi sebagian besar berasal dari persilangan jenis New Zealand White. Kelinci lokal yang berada di Indonesia mempunyai tubuh yang lebih kecil dari kelinci impor. Kelinci-kelinci lokal ini memiliki laju pertumbuhan yang lambat, sehingga sering dilakukan persilangan bangsa kelinci lokal ini dengan bangsa lain untuk mengembangkan kelinci yang tahan penyakit dan mempunyai toleransi terhadap panas serta berbadan besar (Farrel dan Rahardjo, 1984). Herman (1989) menyatakan bahwa kelinci lokal lebih toleran terhadap panas (suhu tinggi) dibandingkan kelinci impor. Hal ini disebabkan kelinci lokal telah 3

beradaptasi di daerah tropis sehingga lebih tahan terhadap lingkungan panas dibandingkan kelinci impor yang berasal dari daerah iklim sedang. Kelinci lokal diternakkan dengan tujuan sebagai penghasil daging. Daging yang dihasilkan juga mempunyai kualitas yang cukup baik. Pakan Kelinci Kelinci termasuk jenis ternak pseudo-ruminant, yaitu herbivora yang tidak dapat mencerna serat-serat kasar secara baik. Kelinci memfermentasi pakan di caecum, yang besarnya 50% dari seluruh kapasitas saluran pencernaannya. Walaupun memiliki caecum yang cukup besar, kelinci ternyata tidak mampu mencerna bahan-bahan organik dan serat kasar dari hijauan sebanyak yang dapat dicerna oleh ternak ruminansia murni. De Blass dan Wiseman (1998) menyatakan jumlah pemberian ransum kelinci adalah 8% dari bobot badan kelinci. Kelinci kurang efisien dalam mencerna serat kasar hijauan, karena gerak laju pakan yang cepat pada caecum,sehingga tidak mengalami penyerapan nutrien yang sempurna dan akan terus menuju anus dan keluar dalam bentuk lunak. Kotoran yang lunak ini akan dimakan dan dimanfaatkan kembali (coprophagy). Pakan yang dikonsumsi oleh ternak digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup pokok, yaitu menunjang proses dalam tubuh yang harus dilaksanakan walaupun tidak ada proses produksi ataupun pembentukan jaringan baru. Apabila jumlah pakan yang dikonsumsi melebihi kebutuhan tersebut di atas maka kelebihan nutrien yang ada digunakan untuk keperluan pertumbuhan, penggemukan atau keperluan produksi lainnya (Tillmanet al., 1991). Pemberian pakan pada kelinci diatur sebaik mungkin dengan tidak melupakan sifat alami kelinci sebagai binatang malam. Church dan Pond (1979) menyatakan bahwa palatabilitas merupakan faktor penting yang menentukan tingkat konsumsi, yang dipengaruhi oleh rasa, bau, dan tekstur makanan. Palatabilitas tiap-tiap bahan pakan bervariasi dan kelinci tidak akan menemukan pakan yang palatable ketika pertama kali diberi satu jenis bahan pakan dan bahan pakan yang dicampur akan lebih palatable daripada satu jenis bahan saja (Sandford dan Woodgates, 1979). 4

Konsentrat Konsentrat merupakan bahan pakan ternak yang mengandung energi relatif tinggi, serat kasar rendah, bahan ekstrak tanpa nitrogen (BETN) tinggi dan mudah dicerna oleh ternak (Tillman etal., 1991). Konsentrat dalam ransum kelinci berfungsi untuk meningkatkan nilai nutrien agar sesuai dengan kebutuhan pokok hidup kelinci dan disesuaikan dengan tujuan produksi yang diharapkan serta menjaga daya tahan tubuh terhadap lingkungan (Templeton dan Kellog, 1961). Konsentrat terdiri dari biji-bijian dan limbah hasil proses industri bahan pangan seperti jagung giling, tepung kedelai, menir, dedak, bekatul, bungkil kelapa, tetes dan umbi. Harris et al. (1983) menyatakan bahwa kelinci lebih menyukai ransum dalam bentuk pelet daripada dalam bentuk tepung atau butiran.pemberian pakan bentuk pelet dapat meningkatkan performa dan konversi pakan ternak bila dibandingkan dengan pakan bentuk mash (Behnke, 2001). Limbah Tauge Limbah tauge adalah sisa dari produksi tauge yang terdiri dari kulit kacang hijau dan pecahan-pecahan tauge hasil pengayakan untuk dikonsumsi. Limbah tauge biasanya dibuang begitu saja di pasar atau oleh para pedagang tauge, sehingga berpeluang untuk mencemari lingkungan. Potensi limbah tauge dalam sehari sangat banyak dilihat dari produksi tauge yang tidak mengenal musim terutama untuk petani tauge di daerah Bogor. Hasil survei Rahayu et al. (2010) menginformasikan bahwa total produksi tauge di daerah Bogor sekitar 6,5 ton/hari dan berpeluang menghasilkan limbah tauge sebesar 1,5 ton/hari. Limbah tauge juga memiliki nilai nutrisi yang cukup baik, yaitu kandungan air 63,35%, abu 7,35%, lemak 1,17%, protein 13,62%, serat kasar 49,44% dan kandungan TDN 64,65%. Karkas dan Komposisi Karkas Kelinci Karkas adalah bagian tubuh ternak tanpa kepala, kaki, ekor, darah dan organ dalam tubuh (jeroan) (Herman, 1989 ; Soeparno, 1992). Lebas et al. (1986) menyatakan bahwa di inggris dan kanada, pengertian karkas kelinci sama dengan pengertian karkas sapi. Karkas terdiri dari tiga jaringan utama yaitu tulang, daging, dan lemak (Soeparno, 1992). Tulang tumbuh paling awal membentuk kerangka, kemudian disusul oleh pertumbuhan urat yang membentuk daging yang menyelimuti 5

kerangkan dan lemak terakhir pada saat mendekati kemasakan tubuh (Mc Nitt dan Lukefahr, 1996). Karkas yang ideal harus mengandung sejumlah maksimal otot, kandungan lemak yang optimal serta tulang yang minimum (Lovett, 1986). Herman (1989) meyatakan bahwa kelinci yang dipelihara di daerah tropis mampu menghasilkan karkas sebesar 47,96% dari bobot hidup 1 2.1 kg. Bobot tulang karkas kelinci sekitar 15% dan 82% 85% dari karkasnya dapat dikonsumsi. Mutu produksi daging dipengaruhi oleh umur (Soeparno, 1992). Daging kelinci muda, berwarna putih, seratnya halus dan rasanya lebih enak dari daging ayam. Kelinci dewasa, dagingnya padat, kasar, berwarna merah tua dan kurang empuk (Herman, 1989). Soeparno (1992) menyatakan kualitas karkas dan daging dipengaruhi oleh faktor sebelum dan sesudah pemotongan. Faktor yang menentukan adalah bobot karkas, jumlah daging yang dihasilkan dan kualitas daging dari karkas yang bersangkutan. Pemotongan bagian karkas kelinci berdasarkan pada irisan komersial. Irisan komersial karkas kelinci terdiri atas empat potongan irisan. Irisan tersebut adalah potongan irisan paha depan (foreleg), potongan irisan dada (rack), potongan irisan piggang (loin), dan potongan irisan paha belakang (hindleg) (De Blass et al., 1977 ). Herman (1989) menyatakan bahwa hasil pengirisan menunjukkan proporsi yang konsisten dengan koefisien keragaman yang rendah. Proporsi irisan terhadap bobot tubuh secara terinci yaitu irisan kaki belakang 40%, pinggang 22,10%, dada 11,68%, dan kaki depan 29%. Persentase karkas atau bagian tubuh lainnya terhadap bobot tubuh sangat ditentukan oleh bobot tubuh dan kondisinya, seperti makanan dan pemuasaan sebelum pemotongan (Cheeke et al., 1987 ; Herman, 1989). Bobot potong yang meningkat akan meningkatkan persentase bobot tubuh kosong dan karkas (Herman, 1989). Lukefahr et al.(1982) menyatakan bahwa jenis kelamin tidak mempengaruhi sifat-sifat karkas. Muryanto dan Prawirodigdo (1993) menyatakan bahwa semakin tinggi bobot potong, maka semakin tinggi persentase bobot karkasnya. Hal ini disebabkan proporsi bagian-bagian tubuh yang menghasilkan daging akan bertambah selaras dengan ukuran bobot tubuh. 6

Otot Otot merupakan komponen utama karkas sebagai penentu kualitas yang memiliki nilai ekonomi yang tinggi. Otot mengandung 72% -73% air, 18% protein, 1%-20% lemak, 1% abu dan 1% karbohidrat yang merupakan sistem koloida (Zoborisky, 1969). Basuki et al. (1981) menyatakan bahwa kelinci lokal mempunyai persentase otot sebesar 35,2 ± 5,25% untuk kelinci betina berbobot badan 0,55-3,3 Kg dan untuk kelinci jantan dengan bobot badan 0,6-3,3 kg. Bobot badan kelinci yang diharapkan pada peternakan komersial adalah 1,8-2,7 kg dengan produksi daging karkas 0,9-1,4 kg yang persentase karkasnya sebesar 55% dan rasio otot dan tulang adalah 5:1. Persentase otot akan meningkat dengan meningkatnya bobot potong kaki belakang (hindleg) dan punggung (loin), sedangkan otot pada bagian kaki depan (foreleg) konstan (Eviaty, 1982). Djoenaedi (1972) menyatakan bahwa pada rataan bobot hidup sebesar 990 gr diperoleh rataan otot sebesar 36,7%. Tulang Tulang merupakan jaringan yang pasif atau inert. Perbedaan tulang dengan dengan jaringan yang lainnya adalah tulang merupakan jaringan padat yang keras dan mengandung 45% air, 25% abu, 20% protein, 10% lemak dan 99% kalsium serta 80% phosphor dalam tubuh yang umumnya terdapat di dalam tulang (Zoborsky, 1969). Tulang merupakan bentuk kerangka yang berfungsi sebagai pelindung jaringan lunak dan organ-organ vital serta sebagai pengungkit aktivitas otot. Tulang mempunyai arti penting dalam pertumbuhan ternak, karena perkembangan tulang akan menentukan ukuran dan bersama otot maupun lemak menentukan konformasi tubuh. Tulang dapat mencerminkan produksi daging suatu ternak dan diharapkan mempunyai proporsi yang sekecil mungkin (Berg dan Butterfield, 1976). Eviaty (1982) bahwa jaringan tulang dari semua potongan karkas mengalami pertumbuhan relative dini dan persentase bobot jaringa tulang akan berkurang dengan bertambahnya bobot masing-masing potongan karkas. Persentase bobot tulang karkas akan berkurang dengan meningkatnya bobot tubuh kosong maupun bobot karkas. 7

Lemak Perletakan dan distribusi lemak mempunyai arti ekonomi yang penting dalam produksi daging. Lemak menambah bobot daging karkas dan penyebarannya turut menentukan mutu daging. Depot lemak merupakan komponen karkas yang masak lambat. Persentase depot lemak akan meningkat seiring dengan bertambahnya bobot hidup. Depot lemak merupakan proses fisiologis ternak, dengan fungsinya yaitu sebagai cadangan untuk menjaga panas homeosasis tubuh (De Blass et al.,1977). Distribusi lemak sangat mempengaruhi proporsi jaringan otot karkas, sebab proporsi daging dan tulang akan berkurang sedangkan komponen lemak bertambah dengan meningkatnya bobot karkas (Seebeck dan Tulloh, 1968). Pertumbuhan lemak pada kelinci berlangsung bila berumur lebih dari dua bulan yaitu pada bobot sekitar 1,5 2,0 kg, tetapi lemak yang dikandungnya tetap lebih kecil bila dibandingkan ternak lainnya. Perletakan lemak pada tubuh kelinci terjadi di sekitar rusuk, sepanjang tulang belakang, daerah paha, sekitar leher, ginjal dan jantung (Bogart, 1981). Sifat Fisik Daging Daya Mengikat Air (DMA) Daging Daya mengikat air (DMA) oleh protein daging atau water-holding capacity atau water binding capacity (WHC dan WBC) adalah kemampuan daging untuk mengikat airnya atau air yang ditambahkan selama ada pengaruh kekuatan dari luar, misalnya pemotongan daging, pemanasan, penggilingan dan tekanan (Soeparno, 1992). Kapasitas mengikat air sangat mempengaruhi penampilan daging sebelum dimasak,sifat-sifatnya selama dimasak dan juiceness-nya pada saat dikunyah (Lawrie, 2003). Daya mengikat air (DMA) dipengaruhi oleh ph. Selain itu, daya mengikat air daging juga dipengaruhi oleh faktor yang mengakibatkan perbedaan daya mengikat air di antara otot, misalnya species, umur dan fungsi otot serta pakan, transportasi, temperature, kelembaban, penyimpanan dan preservasi, jenis kelamin, kesehatan, perlakuan sebelum pemotongan dan lemak intramuskuler. Kelembaban daging dipengaruhi oleh daya mengikat air, kandungan air dan kondisi perlemakan pada daging. Daging yang tidak memiliki lean atau lemak akan mengalami 8

kelembaban yang lebih tinggi apabila dibandingkan dengan daging yang berlemak (Soeparno, 1992). Air yang terikat di dalam otot dapat dibagi menjadi tiga kompartemen air, yaitu air yang terikat secara kimiawi oleh protein otot sebesar 4%-5% sebagai lapisan monomolekuler pertama; air terikat agak lemah sebagai lapisan kedua dari molekul air terhadap grup hidrofilik, sebesar 4% dan lapisan kedua ini akan terikat oleh protein bila tekanan uap air meningkat. Lapisan ketiga adalah molekul-molekul air bebas diantara molekul protein, berjumlah kira-kira 10%. Jumlah air terikat (lapisan pertama dan kedua) adalah bebas dari perubahan molekul yang disebabkan oleh denaturasi protein daging, sedangkan lapisan ketiga akan menurun apabila protein daging mengalami denaturasi (Soeparno, 1992). Periode pembentukan asam laktat yang menyebabkan penurunan ph otot postmortem, menurunkan DMA daging dan banyak air yang berasosiasi dengan protein otot akan bebas meninggalkan serabut otot. Pada titik isoelktrik (5,0-5,1) protein myofibril, filament myosin dan filament aktin akan saling mendekat sehingga ruang diantara filament-filamen ini akan menjadi lebih kecil. Pemecahan dan habisnya ATP (adipose Triphospat) serta pembentukan ikatan dianyara filament pada saat rigormortis menyebabkan penurunan daya mengikat air. Dua pertiga dari penurunan DMA otot sapi adalah karena pembenukan aktamiosin dan menjadi habisnya ATP pada saat rigor dan sepertiga lainnya disebabkan oleh penurunan ph (Soeparno, 1992). Keempukan Daging Teksur dan keempukan mempunyai tingkatan utama menurut konsumen dan rupanya dicari walaupun mengorbankan flavor dan warna (Lawrie, 2003). Keempukan daging banyak ditentukan sitidaknya oleh tiga kompenen daging, yaitu struktur miofibrilar dan status kontraksinya, kandungan jaringan ikat dan jaringan silangnya, daya ikat air oleh protein daging serta juiceness daging (Soeparno, 1992). Kesan secara keseluruhan keempukan daging meliputi tekstur dan melibatkan tiga aspek. Pertama, mudah tidaknya gigi berpenetrasi awal kedalam daging. Kedua, mudah tidaknya daging tersebut dipecah menjadi bagian-bagian yang lebih kecil. Ketiga, jumlah residu tertinggal setelah dikunyah (Lawrie, 2003). 9

Penyebab utama kealotan daging adalah pemendekan otot postmortem (Lawrie,2003). Jadi, pemendekan otot ini dapat dicegah dengan cara penggantungan karkas pre-rigor pada pelvic atau dengan cara pelayuan karkas, misalnya pada temperatur 10-20 C (Bouton et al.,1978). Aberle et al. (2001) menyatakan bahwa pengaturan ransum sebelum ternak dipotong mempengaruhi secara langsung variasi sifat urat daging setelah pemotongan dan ternak-ternak yang digemukkan di dalam kandang akan menghasilkan daging yang lebih empuk dibandingkan dengan ternak yang digembalakan. Bouton et al.(1978) menyatakan bahwa umur dalam kondisi tertentu tidak mempengaruhi keempukan daging yang dihasilkan. Ternak yang lebih tua namun mendapatkan ransum dengan nutrisi dan penanganan yang baik dapat menghasilkan daging yang lebih empuk dibandingkan dengan daging yang dihasilkan dari ternak muda namun mendapatkan nutrisi ransum dan penanganan yang kurang baik. Otot dapat tumbuh dan berkembang dengan baik jika mendapatkan nutrisi dan penanganan yang baik. Otot yang baik mempunyai jumlah kolagen per satuan luas otot yang lebih kecil dibandingkan dengan otot dari ternak yang mendapat nutrisi dan penanganan yang kurang baik, dengan demikian daging yang dihasilkan akan lebih empuk. Susut Masak Daging Susut Masak Daging ialah perbedaan antara bobot daging sebelum dan sesudah dimasak dan dinyatakan dalam persentase. Susut masak merupakan fungsi dari temperature dan lama dari pemasakan. Susut masakdapat dipengaruhi oleh ph, panjang sarkomer serabut otot, panjang potongan serabut otot, status kontraksi myofibril, ukuran dan berat sampel daging serta penampang lintang daging. Susut masak dapat meningkat dengan panjang serabut otot yang lebih pendek. Pemasakan yang relative lama akan menurunkan pengaruh panjang serabut otot terhadap susut masak. Susut masak menurun secara linier dengan bertambahnya umur ternak. Perbedaan bangsa ternak juga dapat menyebabkan perbedaan susut masak. Jenis kelamin mempunyai pengaruh yang kecil terhadap susut masak pada umur ternak yang sama. Bobot potong mempengaruhi susut masak terutama bila terdapat 10

perbedaan deposisi lemak intramuskuler. Konsumsi pakan dapat juga mempengaruhi besarnya susut masak (Soeparno, 1992) Nilai ph Daging Perubahan ph sesudah ternak mati pada dasarnya ditentukan oleh kandungan asam laktat yang tertimbun dalam otot, selanjutnya oleh kandungan glikogen dan penanganan sebelum penyembelihan (Buckle et al., 1987). Otot yang mengalami penurunan ph sangat cepat akan menjadi pucat, daya ikat protein daging terhadap cairannya menjadi rendah dan permukaannya tampak sangat basah. Disisi lain, otot yang mempunyai ph tinggi selama proses konversi otot menjadi daging dapat menjadi sangat gelap warnanya dan sangat kering di permukaan potongan yang tampak (Aberle et al., 2001). Penurunan ph otot postmortem banyak ditentukan oleh laju glikolisis postmortem serta cadangan glikogen otot dan ph daging ultimat, normalnya adalah 5,4 sampai 5,8. Stress sebelum pemotongan, pemberian suntikan hormon atau obatobatan tertentu, species, individu ternak, macam otot stimulasi listrik dan aktivitas enzim yang mempengaruhi glikolisis adalah faktor-faktor yang dapat menghasilkan variasi ph daging. Penurunan ph karkas postmortem mempunyai hubungan yang erat dengan temperatur lingkungan (penyimpanan). Temperatur tinggi akan meningkatkan laju penurunan ph, sedangkan temperatur rendah menghambat laju penurunan ph. Pengaruh temperatur terhadap perubahan ph postmortem ini adalah sebagai akibat pengaruh langsung dari temperatur terhadap laju glikolisis postmortem (Soeparno, 1992). Peningkatan ph akan menyebabkan meningkatnya daya mengikat air daging dan lapisan permukaan daging akan semakin kering, sehingga kualitas daging akan semakin menurun. Ternak yang mengalami cukup masa istirahat sesaat sebelum dipotong memiliki cadangan glikogen dalam otot yang cukup tinggi (Lawrie, 2003). Dikemukakan juga bahwa glikogen yang tinggi dalam otot akan diubah melalui proses glikolisis manjadi asam laktat. Tingginya asam laktat yang terbentuk akan membuat ph daging menjadi rendah. 11

MATERI METODE Lokasi dan Waktu Pemeliharaan dan pemotongan bertempat di Laboratorium Lapang Ilmu Produksi Ternak Ruminansia Kecil Blok B Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Lokasi pengujian sifat fisik dilakukan di Laboratorium Ruminansia Besar Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari sampai bulan April 2012. Materi Kelinci Kelinci yang digunakan dalam penelitian ini berjumlah 12 ekor kelinci jantan lokal berumur 12 minggudengan bobot badan awal rata-rata 972,08 ± 156,10 gram dengan koefisien keragaman 16,06%. Kelinci penelitian diperoleh dari peternak kelinci di wilayah Cibanteng, Bogor. Kelinci-kelinci ini dipelihara sesuai dengan perlakuan yang diberikan selama delapan minggu, terdiri dari dua minggu masa adaptasi dan enam minggu masa pengamatan. Kelinci akan dipotong pada umur 5 bulan. Kandang dan Peralatan Kandang yang digunakan adalah kandang individu berbentuk panggung yang terbuat dari bambu dan kayu dengan alas kandang yang terbuat dari bambu. Kandang yang dipakai sebanyak 12 buah dengan ukuran 50 cm x 50 cm x 50 cm. Setiap kandang terdapat tempat pakan dan air minum. Peralatan lain yang digunakan adalah timbangan untuk mengukur bobot badan kelinci dan pakan, alat kebersihan, thermo-hygrometer, kamera digital dan label. Sanitasi kandang pada persiapan awal penelitian dilakukan pencucian dengan cara membersihkan kotoran yang menempel di kandang dengan sikat dan deterjen. Setelah kandang kering dilakukan pengolesan desinfektan pada kandang, kemudian kandang didiamkan selama satu minggu. 12

Pakan Pakan yang diberikan yaitu 100% pellet ransum komplit dengan taraf perlakuan limbah tauge yang berbeda dan pellet komersil buatan pabrik untuk kelinci kontrol.pemberian pakan dan air minum diberikan secara ad libitum. Kandungan nutrien ransum yang digunakan pada penelitian ini disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Komposisi Nutrien Ransum Penelitian dan Limbah Tauge dalam 100% Bahan Kering Bahan Makanan Komposisi BK Abu PK SK LK Beta-N ---------------------------------%---------------------------------- Limbah Tauge 22,91 3,09 14,73 42,27 0,11 39,80 P1 88,12 9,66 19,13 20,09 3,37 47,75 P2 85,82 9,02 17,94 25,08 2,71 45,25 P3 85,83 7,92 16,54 26,89 2,81 45,84 P4 84,76 7,03 15,95 30,49 1,13 45,40 Sumber : Hasil Analisa Laboratorium Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan (2012) Keterangan: P0 = 100% ransum komplit komersil (kontrol) ; P1 = 85% ransum komplit komersil + 15% limbah tauge kering udara ; P2 = 70% ransum komplit komersil + 30% limbah tauge kering udara ; P3 = 55% ransum komplit komersil + 45% limbah tauge kering udara; BK = bahan kering ; SK = serat kasar ; PK = protein kasar ; LK = lemak kasar ; Beta-N = bahan ekstrak tanpa nitrogen. Ransum komplit komersil berasal dari PT Indofeed Bogor, sedangkan limbah tauge berasal dari Pasar Bogor. Limbah tauge dijemur hingga kering, kemudian digiling sampai halus di PT Indofeed Bogor. Ransum komplit komersil dan limbah tauge dicampur dan dicetak menjadi pelet dengan perbandingan yang telah ditentukan. Prosedur Bahan, peralatan dan kandang dipersiapkan seminggu sebelum penelitian. Kelinci jantan sebanyak 12 ekor dipilih berdasarkan keseragaman bobot badan dan yang berumur 12 minggu. Kelinci tersebut dimasukkan dalam kandang individu secara acak. Adaptasi pakan dilakukan sebelum pelaksanaan penelitian selama dua minggu dan air minum diberi vitamin pada masa adaptasi tersebut. Penimbangan bobot badan dilakukan pada akhir periode adaptasi dan digunakan sebagai data awal 13

penelitian. Setelah mencapai bobot potong, kelinci-kelinci tersebut dipotong untuk dilihat komposisi karkas dan sifat fisik dagingnya. Data yang diambil mencakup bobot potong, bobot karkas, bobot potong komersial, bobot non-karkas, bobot komposisi karkas, proporsi karkas dan sifat fisik daging. Persiapan Bahan Pakan Limbah tauge didapatkan dari pedagang-pedagang di pasar tradisional Bogor yang telah dikeringkan sebelumnya. Limbah tauge yang digunakan adalah sisa dari hasil pengayakan tauge. Limbah tauge selanjutnya dijemur di bawah sinar matahari selama satu sampai tiga hari, sehingga benar-benar kering dan dapat dipisahkan antara bagian kulit kacang hijau dengan akar tauge. Limbah tauge yang telah kering akan mempermudah dalam proses pembuatan pelet. Pemeliharaan Kelinci diberi pakan dua kali sehari yaitu pada pagi hari jam 06.00-07.00 WIB dan sore hari jam 17.00-18.00 WIB. Pemberian pakan diberikan dalam tempat pakan yang terbuat dari semen dan tempat minum terbuat dari semen juga. Pemberian pakan pada perlakuan pertama adalah pemberian pakan 100% pellet komersil buatan pabrik yang berfungsi sebagai kontrol. Perlakuan kedua adalah pemberian pakan 85% konsentrat ditambah 15% limbah tauge. Perlakuan ketiga pemberian pakan 70% konsentrat ditambah 30% limbah tauge. Perlakuan keempat pemberian pakan 55% konsentrat ditambah 45% limbah tauge. Air minum diberikan secara ad libitum. Pemuasaan Sebelum dipotong, kelinci terlebih dahulu dipuasakan selama 7 jam. Menurut Herman (1989), pemuasaan dilakukan selama 6-10 jam yang bertujuan untuk mengosongkan isi perut (usus) sehingga kulit dan otot-ototnya menjadi lemas karena peningkatan kandungan glikogen. Disamping itu, perlakuan ini akan meningkatkan proporsi daging terhadap bobot hidupnya (persentase karkas). Pemotongan Pemotongan dilakukan saat kelinci mencapai umur potong 20 minggu. Kelinci disembelih dengan cara memotong leher tepat pada trachea, vena 14

jugularis,arteri carotis dan esophagus. Setelah dipotong, kelinci digantung pada kedua kaki belakang, dengan membuat irisan pada kulit antara tulang dan tendon sendi kaki belakang. Kepala dipisahkan pada sendi occipito atlantis. Kemudian kaki depan bagian bawah dan kaki belakang bagian bawah dipotong pada sendi sikunya,ekor dilepaskan dari pangkalnya, lalu ditimbang. Setelah selesai dikuliti, semua isi rongga perut dan dada dikeluarkan dan ditimbang tiap bagian-bagiannya. Karkas kemudian ditimbang. Setelah itu, karkas dipotong menjadi 4 potongan komersial, yaitu foreleg, rack, loindan hindleg dan ditimbang (Herman, 1989). Potongan-potongan komersial kecuali hindleg dibungkus dengan plastik lalu disimpan di dalam alat pendingin. Hindleg dibawa ke laboratorium untuk digunakan sebagai bahan untuk uji fisik daging. Uji Fisik Nilai ph Nilai ph diukur dengan menggunakan ph meter. ph meter dikalibrasi terlebih dahulu pada ph 4 dan 7. ph meter ditusukkan kedalam daging hingga sensor phnya tertutupi semua. Nilai ph didapatkan setelah angka yang tertera di ph meter konstan. Susut Masak Susut masak daging adalah perbedaan berat daging sebelum dan sesudah dimasak dan dinyatakan dalam persentase (%). Sampel daging seberat 100 gram dengan panjang 7 cm ditusukkan dengan thermometer bimetal sampai menembus bagian dalam daging, lalu direbus dengan air hingga mencapai suhu 80-82 C. setelah itu, sampel daging diangkat dan didinginkan kemudian ditimbang. Selisih antara berat segar dan berat masak merupakan nilai susut masak yang dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut % Susut Masak = Bobot sampel awal bobot sampel akhir x 100% Bobot sampel awal Keempukan Daging Daging dipotong dari salah satu otot bagian paha belakang 100 g, kemudian dimasukkan dengan thermometer bimetal sampai menembus bagian dalam daging 15

lalu direbus dengan air hingga mencapai suhu 80-82 ºC. Setelah itu daging diangkat dan didinginkan. Daging yang telah dingin kemudian dilakukan uji keempukan dengan menggunakan alat Texture Analyzer di Laboratorium Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian. Daging dipotong secara melintang pada alattexture Analyzer dan hasil pengukuran keempukan dapat langsung dilihat pada puncak grafik yang dihasilkan dari pemotongan. Daya Mengikat Air (DMA) Daya mengikat air (DMA) dihitung dengan cara menghitung jumlah mg H 2 O pada daging. Kandungan mg H 2 O yang tinggi pada daging yang akan menyebabkan DMA yang semakin rendah dan sebaliknya. Daging segar dipotong dangan berat 0,3 g, kemudian disimpan diantara dua kertas saring Whatman 41 yang berdiameter 9 mm. Selanjutnya sampel daging tersebut dipres dengan menggunakan carver press dengan tekanan 35 kg/cm 2 selama 5 menit. Luas area basah yang tertera pada kertas saring diukur dengan menggunakan planimeter. Besarnya daya mengikat air ditentukan dengan cara menggunakan rumus Hamm (1972) dalam Soeparno (1992) adalah mg H 2 O = { luas area basah (cm 2 ) / 0,0948} 8,0 Kemudian mg H 2 O dikonversi dalam persen dengan rumus sebagai berikut % H 2 O = { mg H 2 O / berat sampel (mg) } X 100% Rancangan dan Analisis Data Penelitian ini menggunakan empat perlakuan pemberian pakan yang berbeda dengan empat ulangan yaitu: P1 = 100% konsentrat komersil (berupa pelet) sebagai kontrol P2 = 85% konsentrat + 15% limbah tauge P3 = 70% konsentrat + 30% limbah tauge P4 = 55% konsentrat + 45% limbah tauge Rancangan Perlakuan pada penelitian ini ialah jumlah pemberian pakan yang berbeda (P1, P2, P3, dan P4). Peubah yang diamati adalah bobot potong, bobot karkas, bobot potong komersial, bobot non-karkas, persentase non-karkas, bobot komposisikarkas, 16

proporsi karkas dan sifat fisik daging dari keempat perlakuan yang diberikan. Masing-masing taraf perlakuan terdiri atas empat kali ulangan. Rancangan percobaan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL). Adapun model matematika dari RAL, yaitu (Steel dan Torrie, 1993) : Keterangan : Y ij Y ij = µ + P i + ε ij = nilai pengamatan dari perlakuan jumlah pemberian pakan yang berbeda µ = rataan umum P i = pengaruh perlakuan jumlah pemberian pakan yang berbeda (P1, P2, P3, P4) ε ij i j = pengaruh galat percobaan perlakuan ke-i pada ulangan ke-j = perlakuan ke-i = ulangan ke-j Data sifat fisik diolah dengan Analysis of Variance atau ANOVAkemudian jika diperoleh hasil yang berbeda nyata, maka dilanjutkan dengan uji Tukey. Data karakteristik dan komposisi karkas diolah dengan Analysis of Covariance(ANCOVA) dengan covarian bobot awal, bobot potong dan karkas dingin menggunakan program SAS 9.1.3. Peubah 1. Bobot potong Bobot potong kelinci ditimbang pada saat kelinci sebelum dipotong (g). 2. Bobot karkas Bobot karkas ditimbang setelah kelinci dipotong, dikuliti lalu dikurangi darah, kepala, hati, ekor, saluran pencernaan dan isi rongga dada kecuali ginjal (g) (Rao et al., 1977). 3. Bobot potong komersial Bobot potongan komersial didapat dengan cara memotong karkas kelinci menjadi potongan komersialnya yang meliputi foreleg, rack, loindan hindleg (Blasco et al., 1992) lalu ditimbang dengan alat timbangan. 4. Bobot non-karkas (kulit, kepala, kaki dan offal) Bobot kulit segar didapat dengan cara menguliti kelinci yang telah dipotong lalu kulitnya tersebut segera ditimbang (g). 17

5. Bobot komposisi karkas meliputi bobot daging, lemak dan tulang (g) Bobot komposisi karkas ditimbang dengan cara memisahkan masing-masing komposisi karkas terlebih dahulu lalu bobotnya ditimbang dengan alat timbangan. 6. Proporsi karkas dan potongan komersial (%) Proporsi karkas dihitung dengan cara bobot karkas yang ditimbang sebelumnya dibagi dengan bobot potongnya lalu dikalikan dengan 100%. Proporsi potongan komersial dihitung dengan cara bobot masing-masing potongan komersial dibagi dengan bobot karkas lalu dikalikan dengan 100%. 7. Bobot dan persentase bagian non-karkas Bobot dan persentase bagian non-karkas didapatkan setelah pemotongan. Bagian non-karkas diuraikan per bagian kemudian ditimbang. 8. Uji fisik bahan segar (ph, daya mengikat air, susut masak dan keempukan) 18

HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Penelitian Penelitian ini dilaksanakan selama tiga bulan dengan lama pemeliharaan 6 minggu dan masa adaptasi 3 minggu. Penelitian ini dimulai pada akhir bulan Februari yang masih dalam musim hujan hingga bulan April. Kelinci yang digunakan berasal dari Cibanteng kemudian dimasukkan kandang dalam keadaan sehat. Masa adaptasi dilakukan selama 2 minggu karena perbedaan pakan yang diberikan yang telah mengakibatkan turunnya nafsu makan pada ternak. Menurunnya nafsu makan ini dikarenakan perbedaan makanan yang diberikan pada kelinci yang sebelumnya hanya diberi pakan hijauan.gambar kandang pemeliharaan kelinci dapat dilihat pada Gambar 1 dan Gambar 2. (1). Pemeliharaan Ternak (2). Kandang Pemeliharaan Gambar 1. Pemeliharaan Ternak.Gambar 2. Kandang Pemeliharaan Rataan temperatur dan kelembaban relatif kandang selama penelitian disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Rataan Temperatur dan Kelembaban Relatif Kandang Parameter Pagi Siang Sore Malam Temperatur (ºC) 25,2±0,89 30,98±2,74 28,17±1,71 26,2±0,17 Kelembaban Relatif (%) 98,2±2,53 74,1±10,58 80,1±13,97 92,67±5,51 Tabel 2 menunjukkan bahwa rataan suhu paling rendah di kandang penelitian adalah saat pagi hari sedangkan suhu paling tinggi adalah pada siang hari, sebaliknya pagi hari memiliki kelembaban yang paling tinggidan kelembaban paling rendah 19

terdapat saat siang hari. Berdasarkan Food and Agriculture Organization (1997), thermoneutral zone untuk kelinci berada pada suhu lingkungan 15-25 C. thermoneutral Zone (TNZ) adalah daerah kisaran suhu yang paling nyaman bagi ternak. Suhu yang mencapai di bawah 10 C akan membuat kelinci melingkarkan badannya untuk meminimalkan kehilangan panas dan jika suhu tinggi (25-30 C) maka kelinci akan meregangkan badan mereka sehingga dapat mengeluarkan panas sebanyak mungkin melalui radiasi dan konveksi. Iklim dan suhu lingkungan dapat mempengaruhi tingkat nafsu makan dan jumlah makanan yang dikonsumsi oleh ternak. Suhu kandang di pagi hari masih relatif nyaman bagi kehidupan kelinci, namun untuk sore hari suhu kandang mencapai 28 C yang berarti cukup jauh dari zona nyaman kehidupan kelinci. Hal ini dapat menjadi penyebab turunnya nafsu makan kelinci yang berakibat pada pertumbuhan kelinci yang kurang optimal. Kelinci sebenarnya sangat sensitif terhadap kelembaban yang rendah (di bawah 55%) namun juga tidak terlalu tinggi. Berdasarkan Food and Agriculture Organization (1997), peternak kelinci di Perancis mengemukakan bahwa pada kelembaban 60% 65% akan menghasilkan produksi yang optimal.kelembaban yang didapatkan pada penelitian ini pada pagi hari yaitu 94,53% dan pada sore hari yaitu 77,52%. Kelembaban ini berbeda cukup jauh dari literatur yang ada. Kelembaban yang tinggi ini dikarenakan hujan yang sering turun pada malam hari sehingga pada pagi hari masih lembab dan dapat menyebabkan turunnya nafsu makan pada kelinci karena kelinci merasa tidak nyaman. Saat temperatur dan kelembaban tinggi, tidak banyak panas dalam tubuh yang dapat dikeluarkan sebagai uap air melalui proses evaporasi. Hal ini akan menyebabkan ketidaknyamanan yang diikuti dengan kelemahan pada kelinci. Musim yang sangat panas dengan kelembaban yang tinggidapat menyebabkan masalah yang serius, hanya saja hal tersebut biasanya terjadi pada daerah beriklim tropis selama musim hujan (Food and Agriculture Organization, 1997). Karakteristik Karkas Karkas adalah bagian tubuh ternak tanpa kepala, kaki, ekor, darah dan organ dalam tubuh (jeroan) (Herman, 1989 ; Soeparno, 1992). Lebas et al., (1986) menyatakan bahwa di Inggris dan Kanada, pengertian karkas kelinci sama dengan pengertian karkas sapi. Karakteristik karkas yang diamati adalah bobot potong, 20

bobot karkas, bobot tubuh kosong, persentase karkas panas terhadap bobot potong, persentase karkas dingin terhadap bobot potong, karkas panas tehadap tubuh kosong, karkas segar, karkas dingin dan non-karkas dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Karakteristik Karkas Kelinci Lokal pada Setiap Perlakuan* Variabel Perlakuan P1 P2 P3 P4 Rata-rata Bobot potong (g) 1.682,04 ± 99,46 1.624,28 ± 99,54 1.819,28 ± 112,10 1.797,34 ± 111,86 1.780,83 ± 105,74 Bobot tubuh kosong (g) 1.401,20 ± 74,54 1.348,89 ± 74,59 1.532,04 ± 84,01 1.498,52 ± 83,83 1.445,17 ± 79,24 Karkas panas/bobot potong (%) 46,11 ± 2,51 49,15 ± 2,51 47,54 ± 2,83 50,39 ± 2,82 48,30 ± 2,67 Karkas dingin/bobot potong (%) 44,35 ± 2,47 47,91 ± 2,47 45,97 ± 2,79 48,89 ± 2,78 46,78 ± 2,63 Karkas kosong(%) panas/tubuh 55,37 ± 2,29 59,24 ± 2,29 56,37± 2,58 60,23 ± 2,57 57,80 ± 2,43 Karkas panas (g) 780,86 ± 51,38 803,25 ± 51,41 865,90 ± 57,90 900,30 ± 57,78 837,58 ± 54,62 Karkas dingin (g) 772,06 ± 65,26 750,97 ± 65,30 833,68 ± 73,55 798,93 ± 73,39 811,05 ± 69,38 Non-karkas (g) 751,07 ± 50,55 783,13 ± 50,59 836,61 ± 56,97 873,40 ± 56,85 788,91 ± 53,74 Keterangan : * = Data dikoreksi berdasarkan bobot badan awal rata-rata 1.058,42 g. Bobot Potong Bobot potong merupakan bobot hidup akhir seekor ternak sebelum dipotong/disembelih. Bobot potong yang tinggi akan menghasilkan persentase bobot karkas yang tinggi pula (Muryanto dan Prawirodigdo, 1993), ini dikarenakan proporsi bagian-bagian tubuh yang menghasilkan daging akan bertambah seiring dengan ukuran tubuh. Dari hasil penelitian diperoleh rataan bobot potong kelinci yang diberi ransum dengan tingkat campuran limbah tauge pada perlakuan P3(70% konsentrat dan 30% limbah tauge) sebesar 1.819,28 g/ekor, cenderung lebih tinggi sedangkan bobot potong terendah terdapat pada perlakuan P2(85% konsentrat dan 15% limbah tauge) sebesar 1.624,28 g/ekor meskipun secara statistik tidak berbeda nyata. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa rataan bobot potong yang diperoleh lebih rendah dibanding hasil Hutajulu dan Yunilas (2007), yang meneliti pemberian 21

tepung daun kelapa sawit yang difermentasi Aspergillus niger dengan hasil rataan tertinggi sebesar 1.934 g/ekor dan terendah sebesar 1.756 g/ekor, namun hasil penelitian ini masih lebih tinggi dibanding hasil Sitepu (2001) yang meneliti pemberian tepung kulit pisang raja dangan hasil rataan tertinggi sebesar 1.620 g/ekor dan terendah sebesar 975 g/ekor. Hasil analisis peragam menggunakan covariabel bobot badan awal menunjukkan bahwa kelinci yang dipelihara dengan ransum yang berbeda memilki respon yang relatif sama (P > 0,05) terhadap bobot potong. Bobot Tubuh Kosong Bobot tubuh kosong didapatkan dari selisih antara bobot potong dengan bobot isi rongga perut dan isi saluran pencernaan. Hasil analisis peragam dengan menggunakan covariabel bobot badan awal menunjukkan bahwa kelinci lokal yang dipelihara dengan pemberian pakan yang berbeda (P1, P2, P3 dan P4) memberikan respon yang tidak berbeda nyata (P>0,05) terhadap bobot tubuh kosong kelinci. Terdapat kecenderungan bobot tubuh kosong meningkat dengan peningkatan bobot potong. Hal ini juga dimungkinkan karena bobot potong kelinci yang tidak berbeda nyata, sehingga mengakibatkan bobot tubuh kosong yang tidak berbeda nyata. Hasil dari bobot potongdan bobot tubuh kosong yang tidak nyata juga dapat diakibatkan oleh pertumbuhan bobot hidup dari kelinci yang tidak berbeda nyata. Rataan pertumbuhan bobot hidup kelinci dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Rataan Pertambahan Bobot Badan Harian Kelinci pada Setiap Perlakuan Perlakuan PBBH (g/ekor/hari) P1 17,14 ± 1,45 P2 12,14 ± 5,16 P3 17,40 ± 0,70 P4 14,21± 4,62 Rataan total 15,22 ± 2,51 Keterangan : P0 = 100% ransum komplit komersil (kontrol); P1 = 85% ransum komplit komersil + 15% limbah tauge kering udara; P2 = 70% ransum komplit komersil + 30% limbah tauge kering udara; P3 = 55% ransum komplit komersil + 45% limbah tauge kering udara. Ransum komplit komersil dan ransum yang ditambah limbah tauge 15%, 30% dan 45% tidak memberikan pengaruh yang nyata (P>0,05) terhadap 22

pertambahan bobot badan harian kelinci pada penelitian ini.hal ini berarti bahwa ransum yang ditambah limbah tauge 15%, 30% dan 45% menghasilkan pertambahan bobot badan harian kelinci yang sama dengan ransum komplit komersil. Bobot Karkas Panas dan Dingin Bobot karkas menjadi salah satu hal yang menarik dalam karakteristik karkas, ini dikarenakan nilai ekonomis yaitu jumlah karkas yang dihasilkan akan menentukan harga dari karkas tersebut. Bobot karkas panas didapatkan dari penimbangan karkas sebelum proses chilling, sedangkan bobot karkas dingin didapatkan dari penimbangan karkas setelah proses chilling. Pemberian pakan yang berbeda tidak berpengaruh nyata terhadap bobot karkas panas dan dingin (P>0,05).Rataan bobot karkas panas dan dingin yang didapatkan dalam penelitian ini masing-masing adalah 837,58 g dan 811,05 g. Bobot karkas dingin lebih rendah dibandingkan bobot karkas panas karena adanya penyusutan saat pendinginan dalan cooler. Hasil ini masih lebih rendah dibandingkan dengan penelitian Hutajulu dan Yunilas (2007) yang menghasilkan rataan bobot karkas panas sebesar 935,32 g. Pengaruh yang tidak nyata pada penelitian ini disebabkan karena rataan bobot potong yang juga tidak bebeda nyata sehingga bobot karkas yang dihasilkan tidak berbeda nyata pula. Produksi karkas berhubungan dengan bobot badan karena peningkatan bobot badan akan diikuti dengan peningkatan bobot potong dan bobot karkas. Soeparno (2005) menyatakan bahwa bobot karkas dipengaruhi oleh bobot potong. Meningkatnya bobot potong sejalan dengan meningkatnya bobot karkas pula, sehingga diharapkan bagian dari karkas yang berupa daging menjadi lebih besar. Persentase Karkas Persentase karkas merupakan indikator nilai karkas yang biasanya digunakan sebagai indikator komersil paling awal setelah penyembelihan. Persentase karkas terhadap bobot potong didapatkan dengan cara membandingkan bobot karkas terhadap bobot potong. Persentase karkas terhadap bobot tubuh kosong didapatkan dengan cara membandingkan bobot karkas terhadap bobot tubuh kosong. Hasil anlisis peragam dengan menggunakan covariabel bobot badan awal menunjukkan bahwa kelinci lokal yang dipelihara dengan pemberian pakan yang berbeda (P1, P2, 23

P3 dan P4) memberikan respon yang tidak berbeda nyata (P>0,05) pada persentase karkas baik terhadap bobot potong maupun terhadap bobot tubuh kosong. Persentase karkas dipengaruhi oleh bobot karkas, bobot dan kondisi ternak, bangsa, proporsi bagian non-karkas, ransum, umur, jenis kelamin dan pengebirian (Davendra, 1977). Data rataan persentase karkas terhadap bobot potong yang didapatkan dalam penelitian ini adalah sebesar 48,30%, sedangkan rataan persentase karkas terhadap bobot tubuh kosong yang didapatkan dalam penelitian ini adalah sebesar 57,80%. Hasil penelitian ini sesuai dengan laporan Farell dan Rahardjo (1984) yang menyatakan bahwa rataan persentase bobot karkas yang diperoleh berkisar antara 43%-52%. Hasil ini lebih tinggi dibandingkan hasil penelitian Sitepu (2001) yang mendapatkan rataan persentase karkas sebesar 40,80% selain itu persentase karkas ini juga lebih tinggi dari hasil yang didapatkan oleh Laconi (1984) yang memperoleh hasil sebesar 56,88% dengan perlakuan pakan tepung daun singkong. Persentase karkas yang tidak berbeda nyata ini disebabkan oleh bobot karkas dan juga bobot potong pada tiap-tiap perlakuan yang juga tidak berbeda nyata, sehingga didapatkan persentase karkas yang tidak berbeda nyata pula. Persentase karkas dipengaruhi oleh bobot potong, sesuai dengan pendapat Eviaty (1982) yang menyatakan bahwa persentase karkas kelinci lokal akan bertambah seiring dengan peningkatan bobot potong. Karakteristik karkas yang tidak berbeda nyata ini menunjukkan bahwa dengan penggantian limbah tauge pada pakan tidak menurunkan kualitas karkas karena menunjukkan hasil yang relatif sama dengan pakan komersil. Bobot Non-karkas Bobot non-karkas didapatkan dari penjumlahan bagian-bagian tubuh yang tidak termasuk dalam karkas seperti kulit, kepala, keempat kaki, darah, isi rongga perut, isi rongga dada, saluran pencernaan dan ekor. Bagian non-karkas pada ternak yang lebih besar mempunyai nilai komersial yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan ternak kecil. Hasil analisis peragam menggunakan covariabel bobot badan awal menunjukkan bahwa perlakuan pemberian pakan yang berbeda pada kelinci lokal memiliki respon yang tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap bobot nonkarkas. Salah satu faktor yang mempengaruhi bobot non-karkas adalah nutrisi dari pakan. Soeparno (1998) menyatakan bahwa pola pertumbuhan organ seperti hati, ginjal, dan saluran pencernaan menunjukkan adanya variasi, sedangkan organ yang 24

berhubungan dengan digesti dan metabolisme menunjukkan perubahan berat yang besar sesuai dengan status nutrisional dan fisiologis ternak. Bobot non-karkas yang tidak berbeda nyata ini juga dapat disebabkan karena bobot potong yang juga tidak berbeda nyata. Komposisi Karkas Karkas dan potongan karkas dapat diuraikan secara fisik menjadi komposisi jaringan daging, lemak, tulang dan jaringan ikat (Devandra dan Mcleroy, 1992). Hasil analisis peragam dengan menggunakan covariabel bobot badan awal menunjukkan bahwa kelinci lokal yang dipelihara dengan pemberian pakan yang berbeda (P1, P2, P3 dan P4) memberikan respon yang tidak berbeda nyata (P>0,05) terhadap komposisi karkas. Data komposisikarkas dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Komposisi Karkas Kelinci pada Setiap Perlakuan Variabel Perlakuan P1 P2 P3 P4 Rata-rata ---------------------------------------------g------------------------------------------------ Otot 545,83±14,16 578,70±14,38 554,41±15,85 512,77±14,01 562,93±14,60 Lemak 44,01 ± 12,40 35,75 ± 12,59 39,62 ± 13,88 36,44± 12,28 38,95 ± 12,79 Tulang 163,57±10,74 153,30±10,90 148,68±12,02 173,70±10,63 159,08±11,07 ----------------------------------------------%----------------------------------------------- Otot 67,44 ± 1,60 71,47 ± 1,63 68,41 ± 1,80 70,61 ±1,59 69,48 ± 1,66 Lemak 4,85 ± 1,41 4,39 ± 1,43 4,55 ± 1,58 4,53 ± 1,40 4,58 ± 1,46 Tulang 20,58 ± 1,36 18,47 ± 1,38 18,82 ± 1,53 21,60 ± 1,35 19,87 ± 1,41 Data di atas menunjukkan bobot dan persentase komposisi karkas pada kelinci yang dipelihara dengan tingakat pemberian pakan limbah tauge yang berbeda. Data pada Tabel 5 menunjukkan bahwa komposisi karkas terbesar terdapat pada otot kemudian tulang dan diikuti oleh lemak. Hasil yang tidak berbeda nyata ini dikarenakan bobot potong, bobot tubuh kosong dan bobot karkas yang juga tidak berbeda nyata pada setiap perlakuan tingkat pemberian limbah tauge. Selain itu kemungkinan karena bangsadan umur ternak yang digunakan juga sama, sehingga laju pertumbuhankomposisi penyusun karkas juga pada tingkat yang sama, oleh 25

karena itu bobot daging, lemak dan tulang tidak berbeda nyata.dari Tabel di atas dapat dilihat bahwa komposisi penyusun karkas terbesar adalah otot (69,48%) kemudian tulang (19,87%) dan lemak (4,58%). Tabel 5 juga menerangkan bahwa kelinci yang diberi pakan dengan persentase penambahan limbah tauge cenderung menghasilkan otot yang lebih banyak dan lemak yang lebih sedikit. Proporsi salah satu variabel yang lebih tinggi, maka proporsi salah satu atau kedua variabel lainnya lebih randah (Soeparno, 2005). Eviaty (1982) menyatakan bahwa jaringan tulang dari semua potongan karkas mengalami pertumbuhan relatif dini dan persentase bobot jaringan tulang akan berkurang dengan bertambahnya bobot masing-masing potongan karkas. Genetik, iklim, makanan, penyakit dan lingkungan sosial ternak merupakan faktor yang cukup berpengaruh terhadap persentase daging, tulang dan lemak (Berg dan Butterfield, 1976). Parakkasi (1999) menyatakan bahwa pertambahan bobot karkas segera setelah lahir mengandung proporsi daging yang tinggi, relatif banyak mengandung tulang dan rendah kadar lemak. Ternak yang akan mencapai bobot badan dewasa, komposisi urat daging dalam pertambahan bobot badan sedikit menurun, komposisi tulang dari pertambahan bobot badan tidak bertambah sedangkan proporsi lemak dalam pertambahan bobot badan akan terus meningkat Potongan Komersial Bobot Potongan Komersial Pemotongan bagian karkas kelinci berdasarkan pada irisan komersial. Irisan komersial karkas kelinci terdiri atas empat potongan irisan. Irisan tersebut adalah potongan irisan paha depan (foreleg), potongan irisan dada (rack), potongan irisan pinggang (loin), dan potongan irisan paha belakang (hindleg) (De Blass et al., 1977 ). Brahmantiyo (1995) menyebutkan bahwa perdagingan pada potongan komersial ternak sapi tergantung pada intensitas kontraksi otot pada bagian komersial tersebut. Aktivitas yang semakin besar akan menyebabkan kontraksi otot yang semakin besar pula. Herman (1989) menyatakan bahwa proporsi irisan terhadap bobot tubuh secara terinci yaitu irisan kaki belakang 40%, pinggang 22,10%, dada 11,68%, dan kaki depan 29%.Hasil pengukuran potongan komersial kelinci dapat dilihat pada Tabel 6. 26

Tabel 6. Bobot dan Persentase Potongan Komersial Kelinci Variable Perlakuan P1 P2 P3 P4 Rata-rata ----------------------------------------------g------------------------------------------------ Foreleg 141,86±6,40 139,35±6,49 156,90±7,16 137,64±6,33 143,94±6,60 Rack 160,08±10,72 171,42±10,88 168,10±11,99 170,94±10,61 167,64±11,05 Loin 224,58±10,55 225,72±9,58 206,37±10,55 219,47±9,33 219,04±7,75 Hindleg 279,71±11,39 273,93±11,56 278,91±12,74 282,82±11,27 278,85±11,74 ----------------------------------------------%---------------------------------------------- Foreleg 17,47±0,80 17,07±0,81 19,08±0,89 17,14±0,79 17,69±0,82 Rack 19,82±1,25 21,45±1,27 20,93±1,40 20,93±1,24 20,78±1,29 Loin 27,21±1,14 27,71±1,16 25,19±1,28 26,84±1,13 26,74±1,18 Hindleg 34,81±1,34 33,73±1,36 34,62±1,50 35,07±1,32 34,56±1,38 Hasil bobot potongan komersial pada penelitian ini menunjukkan bahwa perlakuan tingkat pemberian pakan berbasis limbah tauge yang berbeda pada kelinci lokal memiliki respon yang tidak berpengaruh nyata terhadap bobot potong komersial. Hasil yang tidak nyata ini disebabkan karena bobot potong, bobot tubuh kosong dan bobot karkas yang juga tidak berbeda nyata. Persentase karkas atau bagian tubuh lainnya terhadap bobot tubuh sangat ditentukan oleh bobot tubuh dan kondisinya, seperti makanan dan pemuasaan sebelum pemotongan (Cheeke et al., 1987 ; Herman, 1989). Hasil persentase bobot potongan komersial ini berbeda dengan hasil penelitian Herman (1989). Persentase yang didapatkan oleh Herman (1989) yaitu hindleg sebesar 40%, loin sebesar 22,10%, rack sebesar 11,68% dan foreleg sebesar 29%, namun penelitian ini mendapatkan proporsi hasil yang sama yaitu potongan komersial terbesar adalah bagian hindleg, sedangkan pesentase yang terendah terdapat pada bagian foreleg. Hal ini karena bagian paha belakang merupakan bagian penghasil daging yang terbesar pada ternak kelinci. Penelitian Metzgeret al. (2005) menyatakan bahwa perbedaan pada bagian foreleg disebabkan bagian tersebut paling banyak memiliki tulang namun sedikit otot. 27

Distribusi Komposisi Karkas Pada Potongan Komersial Distribusi komposisi karkas pada potongan komersial dapat dilihat dari 3 komponen utama yaitu otot, lemak, dan tulang. Data distribusi komposisi karkas pada potongan komersial karkas dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Distribusi Komposisi Karkas pada Potongan Komersial Variabel Perlakuan P1 P2 P3 P4 Rata-rata ------------------------------------------g------------------------------------------- Foreleg Otot 88,11±5,64 89,95±5,73 95,07±6,31 90,28±5,58 90,85±5,81 Lemak 25,73±10,64 21,03±10,80 19,73±11,91 17,25±10,53 20,94±10,97 Tulang 20,19±2,52 20,06±2,56 21,62±2,82 25,21±2,50 21,77±2,60 Rack Otot 96,39±8,35 108,38±8,48 98,77±9,34 104,38±8,26 101,98±8,60 Lemak 6,47±3,59 7,55±4,02 3,16±4,02 12,66±3,56 7,46±3,79 Tulang 44,37±2,75 45,82±2,79 44,15±3,08 51,34±2,72 46,42±2,83 Loin Otot 163,79±5,69 173,64±5,78 150,12±6,37 161,46±5,63 162,25±5,86 Lemak 9,68±2,55 8,98±2,59 8,83±2,85 6,79±2,52 8,57±2,62 Tulang 29,03±2,16 25,89±2,19 29,63±2,42 29,92±2,14 28,62±2,22 Hindleg Otot 197,47±8,40 206,60±8,53 203,17±9,40 208,48±8,31 203,88±8,66 Lemak 5,37±1,30 2,11±1,32 2,98±1,46 2,35±1,29 3,20±1,34 Tulang 69,38±5,45 57,73±5,53 68,37±6,10 66,86±5,39 65,59±5,61 Potongan komersial pada karkas merupakan bagian karkas yang dipasarkan dalam bentuk potongan-potongan. Nilai komersial dari karkas umumnya tergantung pada ukuran, struktur dan komposisinya, dimana sifat struktural yang penting dalam potongan komersial adalah bobot, proporsi jaringan karkas, ketebalan lemak dan penampilan luar serta kualitas dagingnya. Hasil analisis peragam dengan covariabel bobot karkas menunjukkan bahwa kelinci lokal yang dipelihara dengan pemberian pakan yang berbeda (P1, P2, P3 dan P4) memberikan respon yang tidak berbeda nyata (P>0,05) terhadap distribusi jaringan karkas pada potongan komersialnya. Menurut Soeparno (2005) distribusi perdagingan lemak yang bervariasi disebabkan oleh beberapa faktor seperti spesies, bangsa, umur, nutrisi, jenis kelamin, aktivitas ternak dan cara pemeliharaan. 28

Hasil yang tidak berbeda nyata ini dimungkinkan karena ternak berasal dari spesies, bangsa, umur dan jenis kelamin yang sama, hanya perlakuan pakan yang berbeda. Berdasarkan Tabel 7dapat dilihat bahwa proporsi yang paling sedikit adalah lemak dan deposisi otot yang paling banyak terdapat pada daerah hindleg. Bagian foreleg merupakan bagian yang paling banyak memiliki deposisi lemak. Aktivitas dapat mempengaruhi jumlah energi yang dikeluarkan oleh kelinci. Deposisi energi yang tinggi akan digunakan tubuh untuk mempercepat laju metabolisme dan apabila berlebih akan dibentuk menjadi lemak. Tabel 7 juga menunjukkan bahwa pada potongan foreleg, hindleg, loin, dan rackkomposisi jaringan terbesarnya adalah otot, kemudian tulang dan komposisi yang terkecil adalah lemak. Hal ini berarti komposisi jaringan seperti otot, tulang dan lemak pada potongan komersial sesuai dengan komposisi jaringan yang terdapat pada karkas utuh. Komposisi karkas (otot, tulang dan lemak) baik secara keseluruhan karkas maupun pada setiap potongan komersil yang tidak berbeda nyata ini menunjukkan bahwa dengan penggantian limbah tauge pada pakan tidak menurunkan kualitas karkas karena menunjukkan hasil yang relatif sama dengan pakan komersil. Bagian Non-Karkas Bobot dan Bagian Non-karkas Kelinci Lokal Bagian non-karkas merupakan bagian-bagian tubuh yang tidak termasuk dalam karkas seperti kulit, kepala, keempat kaki, darah, isi rongga perut, isi rongga dada, saluran pencernaan dan ekor. Bagian non-karkas pada ternak yang lebih besar mempunyai nilai komersial yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan ternak kecil.salah satu faktor yang mempengaruhi bobot non-karkas adalah nutrisi dari pakan. Data rataan persentase bagian non-karkas dapat dilihat pada Tabel 8. Hasil analisis peragam dengan covariabel bobot potong menunjukkan bahwa kelinci lokal yang dipelihara dengan pemberian pakan yang berbeda (P1, P2, P3 dan P4) memberikan respon yang tidak berbeda nyata (P>0,05). Hasil yang tidak berbeda nyata ini dikarenakan bobot potong yang tidak berbeda nyata. Diwyanto et al. (1985) menyatakan bahwa bobot potong yang berbeda berpengaruh nyata terhadap total komposisi yang dapat dikonsumsi seperti saluran percernaan dan organ dalam kelinci. Hasil ini tidak sesuai dengan Effendi (1983) yang mengemukakan 29

bahwa bobot hati, ginjal dan saluran pencernaan semakin meningkat dengan meningkatnya protein ransum. Tabel 8. Rataan BobotNon-Karkas Kelinci Lokal pada Setiap Perlakuan Variabel Perlakuan P1 P2 P3 P4 Rata-rata ----------------------------------------g-------------------------------------------- Hati 69,24±10,87 50,49±11,80 59,50±12,35 52,09±10,82 57,83±11,46 Jantung 4,03±0,97 3,80±1,05 5,16±1,10 4,33±0,96 4,33±1,02 Paru-paru 6,85±1,78 8,35±1,93 10,82±2,02 7,64±1,77 8,41±1,88 Ginjal 10,73±0,75 10,96±0,82 10,61±0,85 10,01±0,75 16,58±0,79 Oesophagus 1,67±0,25 2,04±0,27 1,94±0,28 1,66±0,24 1,83±0,26 Lambung 89,21±7,07 98,73±7,67 60,12±8,03 80,58±7,03 82,16±7,45 Usus halus 63,07±7,14 59,78±7,57 62,73±8,12 64,40±7,11 62,50±7,49 Sekum 109,64±16,69 113,73±18,21 98,73±19,07 138,88±16,71 115,25±17,70 Appendix 5,65±0,77 8,59±0,84 7,41±0,88 7,66±0,77 7,33±0,82 Colon 6,41±1,83 9,67±1,99 7,90±2,08 9,01±1,82 8,25±1,93 Rectum 7,49±1,48 10,04±1,61 6,75±1,68 9,02±1,47 8,33±1,56 Darah 53,33±3,39 59,78±3,68 42,99±3,86 51,55±3,38 51,91±3,58 Kepala 160,32±4,30 173,79±4,66 165,82±4,88 163,71±4,28 165,91±4,53 Kulit 157,87±9,23 145,05±10,01 165,48±10,49 138,68±9,18 151,75±9,73 Kaki depan 9,97±1,22 11,90±1,32 12,78±1,39 13,66±1,21 12,08±1,29 Kaki belakang 21,85±6,21 29,50±6,74 33,26±7,06 30,36±6,18 28,75±6,55 Ekor 9,12±1,60 10,76±1,74 13,47±1,82 13,29±1,59 11,66±1,69 Persentase Bagian Non-Karkas Kelinci Lokal Hasil analisis peragam dengan covariabel bobot potong menunjukkan bahwa kelinci lokal yang dipelihara dengan pemberian pakan yang berbeda (P1, P2, P3 dan P4) mayoritas memberikan respon yang tidak berbeda nyata terhadap persentase bagian non-karkas. Hasil yang tidak berbeda nyata ini sesuai dengan hasil penelitian Salam (1983) yang menyatakan bahwa bagian tubuh yang tidak dapat dikonsumsi seperti tulang karkas, tulang kepala, kulit, ekor, darah dan tungkai kaki tidak nyata 30

terhadap bobot potong dengan perlakuan ransum yang berbeda. Hasil analisis peragam rataan persentase bagian non-karkas dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9. Rataan Persentase Non-Karkas Kelinci Lokal pada Setiap Perlakuan Variabel Perlakuan P1 P2 P3 P4 Rata-rata -----------------------------------------------%--------------------------------------------------- Hati 4,09±0,64 2,86±0,70 3,44±0,73 3,01±0,64 3,35±0,67 Jantung 0,23±0,05 0,21±0,06 0,29±0,06 0,24±0,05 0,25±0,05 Paru-paru 0,40±0,10 0,50±0,11 0,63±0,12 0,43±0,10 0,49±0,10 Ginjal 0,62±0,04 0,64±0,04 0,61±0,04 0,57±0,04 0,61±0,04 Oesophagus 0,09±0,01 0,12±0,01 0,11±0,01 0,09±0,01 0,10±0,01 Lambung 5,15±0,46 5,81±0,50 3,59±0,52 4,61±0,46 4,79±0,48 Usus halus 3,72±0,43 3,43±0,47 3,65±0,49 3,72±0,43 3,63±0,45 Sekum 6,40±0,93 6,51±1,01 5,69±1,06 7,91±0,93 6,63±0,98 Appendix 0,32±0,03 0,50±0,04 0,43±0,04 0,44±0,03 0,42±0,03 Colon 0,36±0,11 0,57±0,11 0,46±0,12 0,52±0,10 0,48±0,11 Rectum 0,42±0,08 0,59±0,09 0,40±0,10 0,52±0,08 0,48±0,08 Darah 3,07±0,19 3,46±0,21 2,50±0,22 2,97±0,19 3,00±0,20 Kepala 9,27±0,23 10,05±0,25 9,62±0,26 9,48±0,23 9,61±0,24 Kulit 9,09±0,51 8,27±0,56 9,43±0,58 8,01±0,51 8,70±0,54 Kaki depan 0,58±0,07 0,70±0,07 0,74±0,08 0,79±0,07 0,70±0,07 Kaki belakang 1,28±0,35 1,72±0,38 1,93±0,40 1,73±0,35 1,66±0,37 Ekor 0,54±0,09 0,64±0,10 0,79±0,10 0,76±0,09 0,68±0,09 Sifat Fisik Daging Kelinci Sifat fisik daging sangat penting untuk ditampilkan kepada pembeli atau konsumen, ataupun untuk kesesuaian pengolahan lebih lanjut. Hal yang paling penting diantaranya adalah daya mengikat air, warna, tekstur dan kealotan (Aberle et al., 2001). Data rataan sifat fisik daging kelinci tersaji dalam Tabel 10. 31

Nilai ph Daging Nilai ph merupakan singkatan dari pondus hydrogenii, yang artinya potensial hidrogen, yaitu kekuatan hidrogen sebagai penentu asam karena predominan ion-ion hidrogen (H + ). Perubahan nilai ph sangat penting diperhatikan dalam perubahan daging postmortem. Tabel 10. Rataan Sifat Fisik Daging Kelinci pada Setiap Perlakuan Variabel Perlakuan Rataan P1 P2 P3 P4 ph 5,61±0,15 a 5,87±0,09 b 6,07±0,08 c 6,11±0,02 c 5,92±0,22 DMA (mg) 102,0±17,34 123,8±11,71 119,9±2,96 114,9±7,64 115,1±12,9 Keempukan (gf) 8.131,66± 3.547,80 8.544,66± 645,54 8.584,33± 2.136,55 6.473,66± 639,45 7.933,58±2.. 019,39 Susut Masak (%) 35,12±5,90 33,87±2,36 32,40±0,88 33,98±1,97 33,82±3,03 Keterangan : Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05). Nilai ph juga dapat menunjukkan penyimpangan kualitas daging, karena berkaitan dengan warna, keempukan, cita rasa, daya mengikat air dan masa simpan (Lukman et al., 2007). Nilai rataan ph daging kelinci pada penelitian ini yaitu 5,92. Nilai ph daging kelinci ini lebih besar daripada hasil penelitian Setiawan (2009) dan Puspita (2010), namun masih dalam ph normal. Hasil penelitian Setiawan (2009) dan Puspita (2010) adalah sebesar 5,67. Hasil dari analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan pemberian pakan limbah tauge yang berbeda berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap nilai ph daging kelinci. Lawrie (2003) manyatakan penurunan ph daging disebabkan akumulasi dari asam laktat setelah pemotongan. Stress sebelum pemotongan, pemberian injeksi hormon atau obat-obatan (kimiawi) tertentu, spesies, individu ternak, macam otot, stimulasi listrik dan aktivitas enzim yang mempengaruhi glikolisis adalah faktorfaktor yang dapat menghasilkan variasi ph daging (Soeparno, 1992). Perbedaan yang nyata pada nilai ph ini dapat disebabkan oleh aktivitas masing-masing kelinci. Kelinci yang lebih aktif akan menghasilkan asam laktat yang lebih banyak sehingga ph akhir akan lebih asam. Menurut Buckle et al. (1987), perubahan ph sesudah 32

ternak mati pada dasarnya ditentukan oleh kandungan asam laktat yang tertimbun dalam otot, selanjutnya oleh kandungan glikogen dan penanganan sebelum penyembelihan. Daya Mengikat Air (DMA) Daging Daya mengikat air (DMA) atau water holding capacityadalah kemampuan daging untuk mengikat airnya atau air yang ditambahkan selama ada pengaruh kekuatan dari luar. Daya mengikat air merupakan salah satu faktor yang menentukan kualitas dan daya terima daging oleh konsumen. Nilai mgh 2 O menggambarkan DMA daging, semakin besar nilainya maka DMA semakin rendah. Rataan nilai daya mengikat air pada daging kelinci lokal pada penelitian ini adalah 115,1±12,9. Hasil daya mengikat air ini lebih tinggi daripada hasil penelitian yang didapatkan oleh Setiawan (2009) dan Puspita (2010) yang mendapatkan rataan daya megikat air sebesar 106,64±12,94 dan 90,32±24,76. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa perlakuan pemberian limbah tauge yang berbeda tidak berpengaruh nyata terhadap daya mengikat air pada daging kelinci.daya mengikat air daging juga dipengaruhi oleh faktor yang mengakibatkan perbedaan daya mengikat air di antara otot, misalnya species, umur dan fungsi otot serta pakan, transportasi, temperatur kelembaban, pemyimpanan dan preservasi, jenis kelamin, kesehatan, perlakuan sebelum pemotongan dan lemak intramuskuler (Soeparno, 1992). Keempukan Daging Kelinci Teksur dan keempukan mempunyai tingkatan utama menurut konsumen dan rupanya dicari walaupun mengorbankan flavor dan warna (Lawrie, 2003). Keempukan dan takstur daging merupakan penentu kualitas dari daging. Komponen utama yang menentukan keempukan adalah jaringan ikat, dan lemak yang berhubungan dengan otot. Keempukan pada penelitian ini diukur dengan menggunakan alat Texture Analyzer. Grafik hasil dari pengukuran keempukan dapat dilihat pada Gambar 3, Gambar 4, Gambar 5 dan Gambar 6. Semakin kecil nilai yang terdapat pada grafik (dalam satuan gram force) maka daging akan semakin empuk. Hasil analisis ragam yang didapatkan pada penelitian ini yaitu perbedaan kandungan limbah tauge pada pakan tidak berpengaruh nyata pada keempukan daging kelinci. Hasil rataan keempukan daging kelinci ini adalah sebesar 7.933,58 33

gf. Daging kelinci yang paling empuk adalah pada P4 dengan nilai 6.473,66 gf sedangkan yang paling alot adalah P3 dengan nilai 8.584,33 gf. Keterangan : Hitam Biru Merah : P1U1 : P1U2 : P1U3 Gambar 3. Grafik Hasil Tekstur Analyzer pada Perlakuan 1 (Kontrol) Keterangan : Hitam Biru Merah : P2U1 : P2U2 : P2U3 Gambar 4. Grafik Hasil Tekstur Analyzer pada Perlakuan 2 Keterangan : Hitam Biru Merah : P3U1 : P3U2 : P3U3 Gambar 5. Grafik Hasil Tekstur Analyzer pada Perlakuan 3 34

Keterangan : Hitam Biru Merah : P4U1 : P4U2 : P4U3 Gambar 6. Grafik Hasil Tekstur Analyzer pada Perlakuan 4 Susut Masak Daging Kelinci Susut Masak Daging ialah perbedaan antara bobot daging sebelum dan sesudah dimasak dan dinyatakan dalam persentase.susut masak adalah salah satu indikator nutrisi daging yang berhubungan dengan kadar air, yaitu banyaknya air yang terikat di dalam dan diantara otot.susut masak dipengaruhi oleh temperature dan lama pemasakan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa perlakuan pakan dengan kandungan limbah tauge yang berbeda, tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap susut masak daging kelinci.nilai susut masak yang tidak berbeda nyata ini dikarenakan nilai daya mengikat air yang juga tidak berbeda. Rataan susut masak daging kelinci pada penelitian ini adalah 33,82%. Nilai susut masak pada penelitian ini lebih rendah dari penelitian Setiawan (2009) dan Puspita (2010) yang mendapatkan nilai susut masak sebesar 40,77 dan 39,56%. Persentase susut masak yang rendah ini menunjukkan bahwa daging pada penelitian ini berkualitas baik. Daging dengan susut masak yang lebih rendah mempunyai kualitas yang relatif lebih baik daripada daging dengan susut masak yang lebih tinggi. Secara umum daging dengan susut masak yang rendah memiliki nutrisi yang baikkarena sedikit mengalami pengurangan nutrisi saat pemasakan. 35

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Karakteristik karkas kelinci lokal jantan muda yang digemukkan dengan pakan mengandung limbah taugedan konsentrat tidak mempunyai hasil yang berbeda terhadap bobot potong, bobot tubuh kosong, persentase karkas panas terhadap bobot potong, persentase karkas dingin terhadap bobot potong, karkas panas terhadap tubuh kosong, karkas panas, dan karkas dingin. Komposisi jaringan karkas kelinci lokal jantan muda yang meliputi otot, lemak dan tulang juga tidak berbeda, meskipun memiliki kecenderungan adanya penambahan limbah tauge menghasilkan otot yang tinggi dan lemak yang lebih rendah, terutama pada bagian hindleg.nonkarkas kelinci lokal jantan tidak menunjukkan adanya perbedaan pada semua variabel. Sifat fisik daging kelinci yang diberi pakan mengandung limbah tauge hanya memperlihatkan perbedaan pada variable ph. Berdasarkan hasil penelitian ini, maka dapat dikatakan bahwa limbah tauge dapat menggantikan pelet komersil tanpa menurunkan kualitas daging kelinci yang dihasilkan. Saran Penelitian selanjutnya perlu dilakukan pengujian sifat kimia daging agar data yang didapatkan lebih kompleks, perlu penggunaan pakan dan manajemen yang baik dan seragam, serta perlu fasilitas kandang yang sesuai dengan kebutuhan alami ternak tersebut. 36

UCAPAN TERIMA KASIH Alhamdulillah, segala puja dan puji bagi Allah SWT, Rabb yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, yang telah memberikan karunia tak terhingga sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi ini dalam ragka penyelesaian studi di Program Studi Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Ir. Sri Rahayu, M.Si dan Muhamad Baihaqi, S.Pt., M.Sc selaku dosen pembimbing yang dengan sabar memberikan bimbingan, dukungan dan arahan selama penelitian hingga selesainya penulisan skripsi ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Ir. Hj. Komariah, M.Si dan Dr. Ir. Didid Diapari, M.Si selaku dosen pembahas ujian akhir sarjana dan kepada Dr. Ir. Afton Atabany, M.Si sebagai panitia ujian akhir sarjana serta semua staf pengajar yang telah memberikan kesempatan dan bimbingan selama penulis menulis mengikuti pendidikan di Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor. Ucapan terima kasih panulis sampaikan kepada tim penelitian Huda, Meta dan Novya atas kerjasama dan bantuannya selama penelitian, tidak lupa penulis ucapkan terima kasih kepada tim Laboratorium Ilmu Produksi Ternak Ruminansia Besar. Terima kasih penulis ucapkan kepada kekasih tersayang Gerhana Kodrat Pradini yang selalu memberi doa, dorongan semangat dan kasih sayang. Ucapan terima kasih kepada sahabat terbaik (Sugma, Yudi, Tadot, Aldi, Catur, Furqon, Riza, Dina, Irul, Luthfi, Kobe, Chica, Hesti). Kepada seluruh teman-teman IPTP 45 yang telah memberikan semangat, keceriaan dan juga kenangan terindah selama masa kuliah di Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor. Penulis mengucapkan terima kasih yang sangat tulus kapada Ibunda tercinta Luthfi Rokhmawati yang selama ini telah memberikan doa, kasih sayang, motivasi, dan dukungan materi sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Ucapan terima kasih kepada Teguh Muji Lubiyanto dan Wahyu Muji Hartanto yang telah memberi doa, motivasi dan dukungan materi. 37

DAFTAR PUSTAKA Aberle, E.D.,J. C. Forrest, D. E. Gerrard, E. W. Mills, H. B. Hendrick, M. D. Judge & R.A. Merkel. 2001. Principles of Meat Science, 4 th Ed. Kendall/Hunt Publishing Company. Iowa. Basuki, P., N. Ngadiono & G. Murdjito. 1981. Estimasi produksi daging dan organ dalam pada kelinci berdasarkan penentuan bobot hidup. Makalah Seminar. Fakultas Peternakan, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Behnke, K. C. 2001. Processing factors influencing pellet quality. Feed Tech. 5: 1-7. Berg, R. T. & R. M. Butterfield. 1976. New Concepts of Cattle Growth. Sidney University Press. Sidney. Blasco, A., J. Ouhayoun & G. Masoero. 1992. Study of rabbit meat and carcass : Criteria and terminology. J. Appl. Rabbit Res. 15:775-786. Bogart, R. 1981. Reproductive ability and carcass merit of smart, intermediate and large breeds of rabbits. J. Appl. Rabbit Res. 4 (2) : 45-46. Bouton, P. E., A. L. Ford, P. V. Harris, & D. Ratcliff. 1978. Effect of low voltage stimulation on mucle. J. Food. sci. 43, 1392. Institut of Food Technologist, Chicago. Brahmantiyo, B. 1995. Karakteristik produksi sapi Brahman Cross, Angus dan Murray Grey : pertumbuhan dan karkas. Tesis. Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor. Buckle, K. A., R. A. Edwards, G. H. Fleet & M. Wootton. 1987. Ilmu Pangan. Terjemahan: Purnomo dan Adiono. Universitas Indonesia Press, Jakarta. Cheeke, P. R., N.M. Patton, S.D. Lukefahr & J.L. McNitt. 1987. Rabbit Production. 6 th Ed. The Interstate Printers and Publisher,Inc. Danvile. Illinois. Church, D. C. & W. G. Pond. 1979. Basic Animal Nutrition and Feeding. 3 rd Ed. John Wiley and Sons, New York. Damron, M. 2003. Klasifikasi Makhluk Hidup : Mamalia. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. De Blass, J. C., A. Tores, M. J. Fraga, E. Perez & J. Calves. 1977. Influence of weight and age on the body composition of young doe Rabbit. J. Anim Sci. 45 (1) : 48-53. De Blass, C. & J. Wiseman. 1998.The Nutrition of Rabbit. CABI Publishing. New York. Davendra, C. 1977. Carcass as a feed source for ruminants. In: Proceeding of workshop held at the university of Guelph. IDRC and University of Guelph, Ottawa. 38

Devandra, C. & D. H. Bade. 1992. Sheep Breads. Dalam: C. Devandra dan G. B. Mcleroy (Editor). Goat and Sheep Production in the Tropic. ELBS Longman Group Ltd. London. Diwyanto, K., T. Sartika, Moerfiah & Subandriyo. 1985. Evaluasi karkas kelinci keturunan Flemish Giant pada berbagai bobot potong. Ilmu dan peternakan. 1 (10) : 409-412. Djoenaedi, J. 1972. Pengaruh pemberian ransum dengan lima level protein terhadap produksi karkas kelinci potong muda (Fryer). Tesis. Fakultas Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Efendi, E. 1983. Pengaruh tingkat protein dalam ransum terhadap produksi bagian yang dikonsumsi pada kelinci jantan lokal. Sripsi. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Eviaty. 1982. Pertumbuhan perkembangan potongan karkas pada kelinci lokal. Skripsi. Fakultas peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Farrel, D.J. & Y.C. Raharjo. 1984. The Potential for Meat Production from Rabbit. Central Research Institut for Animal Science. Bogor. Food and Agriculture Organization. 1997. The Rabbit-Husbandry, Health and Production. Rome. Harris, D. J., P. R. Cheeke, & N. M. Patton. 1983. Feed preference and growth performance of rabbit feed pellet versus unpellet diet. J. Appl Rabbit Research 6 : 15-18. Hamm, R. 1972. Kolloidchemie des fleisches-des wasserbindungvermoegen des muskleiweisses in theory und praxis. Verlag Paul Parey, Berlin. Dalam: Soeparno. 2005. Ilmu dan Teknologi Daging. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Herman, R. 1989. Produksi kelinci (Tidak dipublikasikan). Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Hutajulu, W. L. & Yulinas. 2007. Pengaruh pemberian tepung daun kelapa sawit yang difermentasi Aspergillus niger terhadap karkas kelinci lokal jantan umur 16 minggu. J. Agribisnis Peternakan. 3(2): 75-79. Khotijah, L. 2006. Penambahan urea atau DL-metionina ke dalam ransum komplit biomassa ubi jalar pada kelinci. Med. Pet. 29: 89-95. Laconi, E. B. 1984. Pengaruh tingkat pemberian tepung daun singkong terhadap bobot tubuh kosong, bobot karkas dan potongan karkas komersil pada kelinci persilangan. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Lawrie, R. A. 2003. Meat Science. 5 th Ed. Perganon Press, Oxford. Lebas, F., P. Coudert, R. Rouvier & H. De Rachambeau. 1986. The Rabbits, Husbandry, Health and Production. Food Agriculture Organization of The United Nation, Rome. 39

Lovett, J. 1986. Animal Production I. The University New England, Australia. Lukefahr, S., W. D. Hohenboken, P. R. Cheeke, N. M. Patton & W. H. Kennick. 1982. Carcass and meat characteristics of Flemish Giant and New Zealand White purebred and Terminal-Cross Rabbits. J. Anim. R. Rex. 4 (3) : 66-70. Lukman, D. W., A. W. Sanjaya, M. Sudarwanto, R. R. Soejoedono, T. Purnawarman & H. Latif. 2007. Higiene Pangan. Fakultas Kedokteran Hewan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. McNitt, J. I., P. R Cheeke, N. M. Patton & S. D. Lukefahr. 1996. Rabbit Production.Insterstate Publisher, Inc. Danville. IL. Metzger, S. Z., Odermatt & Z. S. Szendro. 2005. Examination On The Carcass Traits of Different Rabbit Genotypess. 8 th World Rabbit Congress, Puebla City. Muryanto, & S. Prawirodigdo. 1993. Pengaruh jenis kelamin dan bobot potong terhadap persentase karkas dan non-karkas kelinci Rex. J. Ilmiah Penelitian Ternak 1:33-38. Parakkasi, A. 1999. Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Ruminan. Universitas Indonesia Press, Jakarta. Puspita, N. 2010. Sifat fisik daging kelinci pada lama postmortem yang berbeda. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Rahayu, S., D. S. Wandito, & W. W. Ifafah. 2010. Survei potensi limbah tauge di kota madya Bogor. Laporan Penelitian. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Rao, D. R., G. R. Sunki., W. M. Johnson & C. P. Chen. 1977. Postnatal growth of New Zealand White Rabbit. J. Anim. Sci. 44 (6): 1021-1025. Salam, S. A. 1983. Pengaruh pembatasan ransum terhadap organ dan bagian tubuh yang dapat dikonsumsi pada kelinci persilangan jantan. Skripsi. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Sandford, J. C. & F. C. Woodgates. 1979. The Domestic Rabbit. 3 rd Ed. Granada Publishing, London. Seebeck, R. M., & N. M. Tulloh. 1968. The representation of yield of dressed carcass. Anim. Prod. 8 : 281-288. Setiawan, M. A. 2009. Karakteristik karkas, sifat fisik dan kimia daging kelinci Rex dan lokal. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Sitepu, R. 2001. Pengaruh tepung kulit pisang raja terhadap karkas kelinci jantan lokal umur 16 minggu. Skripsi. Fakultas Peternakan. Universitas Sumatera Utara, Medan. Steel, R. G. D. & J. H. Torrie. 1993. Prinsip dan prosedur statistic suatu pendekatan biometri. Terjemahan: Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. 40

Soeparno. 2005. Ilmu dan Teknologi Daging. Cetakan Keempat. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Soeparno. 1998. Ilmu dan Teknologi DagingCetakan Ketiga. Gajah Mada University Press, Yogyakarta. Soeparno. 1992. Ilmu dan Teknologi Daging.Cet-1. Gajah Mada University Press, Yogyakarta. Templeton, G. S. & C. E. Kellog, 1961. Raising Rabbit. Famer Bulletin. No. 2131. USDA. Tillman, A. D., H. Hartadi, S. Reksohadiprodjo, S. Prawirokusumo, & S. Lebdosoekojo. 1991. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Zoborsky, S. E. 1969. Animal Growth and Nutrition. Lea and Febriger, Philadelphia. 41

LAMPIRAN 42

Lampiran 1. Gambar (a). Potongan Komersial, (b). Foreleg, (c). Rack, (d). Loin, (e). Hindleg a. Potongan Komersial b. Foreleg c. Rack d. Loin e. Hindleg 43