IDENTIFIKASI KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG DAN KEARIFAN TRADISIONAL MASYARAKAT DALAM UPAYA KONSERVASI DI PULAU RAMBUT KEPULAUAN SERIBU

dokumen-dokumen yang mirip
V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Hutan mangrove desa Margasari memiliki luas 700 ha dengan ketebalan hutan

PENGARUH VEGETASI MANGROVE TERHADAP KEBERADAAN DAN KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG AIR DI SUAKA MARGASATWA PULAU RAMBUT

Tugas Akhir. Kajian Bioekologi Famili Ardeidae di Wonorejo, Surabaya. Anindyah Tri A /

KAWASAN KONSERVASI UNTUK PELESTARIAN PRIMATA JURUSAN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BAB I PENDAHULUAN. perubahan iklim (Dudley, 2008). International Union for Conservation of Nature

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.14/Menhut-II/2007 TENTANG TATACARA EVALUASI FUNGSI KAWASAN SUAKA ALAM, KAWASAN PELESTARIAN ALAM DAN TAMAN BURU

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Hutan sebagai karunia dan amanah Tuhan Yang Maha Esa yang

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini akan dilakukan pada bulan Maret 2012 di Rawa Bujung Raman

I. PENDAHULUAN. Burung merupakan salah satu jenis satwa liar yang banyak dimanfaatkan oleh

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Seluruh jenis rangkong (Bucerotidae) di Indonesia merupakan satwa yang

KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG DI LAMPUNG MANGROVE CENTER DESA MARGASARI KECAMATAN LABUHAN MARINGGAI KABUPATEN LAMPUNG TIMUR

3. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Agustus 2015 di Hutan Mangrove KPHL Gunung

BAB I PENDAHULUAN. ekosistemnya. Pada Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi

Lampiran 1 Foto Dokumentasi Penelitian Keaneakaragaman Jenis Burung

III. METODE PENELITIAN

I. PENDAHULUAN. margasatwa, kawasan pelestarian alam seperti taman nasional, taman wisata alam,

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. A. Sejarah Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS)

3. METODOLOGI PENELITIAN. Rajawali Kecamatan Bandar Surabaya Kabupaten Lampung Tengah.

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : 100/Kpts-II/2003 TENTANG. PEDOMAN PEMANFAATAN SARANG BURUNG WALET (Collocalia spp) MENTERI KEHUTANAN,

BAB I PENDAHULUAN. merupakan modal dasar bagi pembangunan berkelanjutan untuk kesejahteraan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia memiliki tanah air yang kaya dengan sumber daya alam dan

KEANEKARAGAMAN JENIS DAN KEMELIMPAHAN BURUNG DI SEKITAR KAMPUS IKIP PGRI MADIUN SEBAGAI POTENSI LOKAL DAN SUMBER BELAJAR

BAB I PENDAHULUAN. oleh bangsa Indonesia dan tersebar di seluruh penjuru tanah air merupakan modal

SMP NEGERI 3 MENGGALA

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.19/Menhut-II/2004 TENTANG KOLABORASI PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM

PELESTARIAN BAB. Tujuan Pembelajaran:

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 1998 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN EKOSISTEM LEUSER PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

I. PENDAHULUAN. Kawasan lahan basah Bujung Raman yang terletak di Kampung Bujung Dewa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia dianugerahi oleh Tuhan Yang Maha Esa kekayaan sumber daya

BERWISATA BAHARI MENYUSURI SEGARA ANAKAN

I. PENDAHULUAN. paling tinggi di dunia. Menurut World Wildlife Fund (2007), keanekaragaman

BAB I PENDAHULUAN. dan fauna yang tersebar diberbagai wilayah di DIY. Banyak tempat tempat

sebagai Kawasan Ekosistem Esensial)

BAB I PENDAHULUAN. atraksi-atraksi yang memikat sebagai tujuan kunjungan wisata. Terdapat

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1990 TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA

I. PENDAHULUAN. tinggi adalah Taman Hutan Raya Wan Abdurahman. (Tahura WAR), merupakan

KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG DI TAMAN HUTAN RAYA IR. H. DJUANDA, BANDUNG

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Jurnal Sylva Lestari ISSN Vol. 4 No. 2, April 2016 ( )

ANCAMAN KELESTARIAN SUAKA MARGASATWA PULAU RAMBUT DAN ALTERNATIF REHABILITASINYA. Oleh: Onrizal

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 1998 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN EKOSISTEM LEUSER PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

I. PENDAHULUAN. Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan salah satu jenis primata penghuni

ABSTRAK. Kata kunci : masyarakat adat, Suku Dayak Limbai, Goa Kelasi, aturan adat, perlindungan sumberdaya hutan

RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI TAHUN

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Suhartini Jurusan Pendidikan Biologi FMIPA UNY

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Bagi manusia, lahan sangat dibutuhkan dalam menjamin kelangsungan hidup

BAB I PENDAHULUAN. Cagar lam merupakan sebuah kawasan suaka alam yang berarti terdapat

Laporan Kegiatan Pengendali Ekosistem Hutan

KONSEP MODERN KAWASAN DILINDUNGI

BAB I. PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Pariwisata secara luas adalah kegiatan rekreasi di luar domisili untuk

Keberadaan Burung Gosong Kaki-Oranye (Megapodius reinwardt) di Gili Trawangan, Kabupaten Lombok Utara

BAB I PENDAHULUAN. penunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi. Taman Nasional Kerinci Seblat

IV. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Secara Geografis Pantai Sari Ringgung (PSR) terletak di posisi LS dan

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat dilakukan secara tradisional untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

BAB III. METODE PENELITIAN

I. PENDAHULUAN. lebih dari jenis tumbuhan terdistribusi di Indonesia, sehingga Indonesia

Hutan di Indonesia memiliki peran terhadap aspek ekonomi, sosial maupun. (Reksohadiprodjo dan Brodjonegoro 2000).

Peranan Jenis-Jenis Tumbuhan Mangrove Terhadap Keberadaan Jenis-Jenis Burung Air di Suaka Margasatwa Pulau Rambut, Jakarta

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di kawasan hutan mangrove Desa Margasari

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. sedangkan kegiatan koleksi dan penangkaran satwa liar di daerah diatur dalam PP

BAB I PENDAHULUAN. plasma nutfah serta fungsi sosial budaya bagi masyarakat di sekitarnya dengan

Peta Jalan Penyelamatan Ekosistem Sumatera 2020 Dalam RTR Pulau Sumatera

TINJAUAN PUSTAKA. Ecotouris, dalam bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi ekowisata. Ada

KEPADATAN INDIVIDU KLAMPIAU (Hylobates muelleri) DI JALUR INTERPRETASI BUKIT BAKA DALAM KAWASAN TAMAN NASIONAL BUKIT BAKA BUKIT RAYA KABUPATEN MELAWI

SMP kelas 7 - BIOLOGI BAB 4. KEANEKARAGAMAN MAKHLUK HIDUP DALAM PELESTARIAN EKOSISTEMLatihan Soal 4.3

BUKU CERITA DAN MEWARNAI PONGKI YANG LUCU

IV APLIKASI PERMASALAHAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM DAN EKOSISTEM

Konservasi Lingkungan. Lely Riawati

WANDA KUSWANDA, S.HUT, MSC

BAB I PENDAHULUAN. dijumpai disetiap tempat dan mempunyai posisi penting sebagai salah satu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB. I. PENDAHULUAN A.

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan keadaan aslinya (Hairiah, 2003). Hutan menjadi sangat penting

VII PRIORITAS STRATEGI PENGEMBANGAN EKOWISATA TN KARIMUNJAWA

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Undang-Undang Kehutanan Nomor 41 tahun 1999, hutan adalah

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan yang terbentang antara

Penyelamatan Ekosistem Sumatera Dalam RTR Pulau Sumatera

ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga BAB I PENDAHULUAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DIREKTUR JENDERAL PERLINDUNGAN DAN KONSERVASI ALAM,

INTENSITAS DAMPAK LINGKUNGAN DALAM PENGEMBANGAN EKOWISATA (Studi Kasus Pulau Karimunjawa, Taman Nasional Karimunjawa)

ASSALAMU ALAIKUM WR. WB. SELAMAT PAGI DAN SALAM SEJAHTERA UNTUK KITA SEKALIAN

I. PENDAHULUAN. dijadikan sebagai salah satu habitat alami bagi satwa liar. Habitat alami di

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

SMP kelas 7 - BIOLOGI BAB 4. KEANEKARAGAMAN MAKHLUK HIDUP DALAM PELESTARIAN EKOSISTEMLatihan Soal 4.2

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan Negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri

C. BIDANG KEHUTANAN SUB SUB BIDANG SUB BIDANG URAIAN

C. BIDANG KEHUTANAN SUB SUB BIDANG SUB BIDANG URAIAN

Pembangunan KSDAE di Eko-Region Papua Jakarta, 2 Desember 2015

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PENAJAM PASER UTARA NOMOR 13 TAHUN 2010 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

VI. PERATURAN PERUNDANGAN DALAM PELESTARIAN ELANG JAWA

alami maupun buatan. Perancangan wisata alam memerlukan ketelitian dalam memilih objek wisata yang akan dikembangkan.

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

LAPORAN IDENTIFIKASI DAN INVENTARISASI OBYEK WISATA ALAM DI KARANGTEKOK BLOK JEDING ATAS. Oleh : Pengendali EkosistemHutan

Transkripsi:

IDENTIFIKASI KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG DAN KEARIFAN TRADISIONAL MASYARAKAT DALAM UPAYA KONSERVASI DI PULAU RAMBUT KEPULAUAN SERIBU MASHUDI A. mashudi.alamsyah@gmail.com GIRY MARHENTO girymarhento@gmail.com Program Studi Pendidikan Biologi, Fakultas Teknik, Matematika dan IPA Universitas Indraprasta PGRI Jakarta Abstrak. Tujuan penelitian ini adalah untuk: (1) Menganalisis keanekaragaman jenis burung di Pulau Rambut Kepulauan Seribu menggunakan metode encounter rates (tingkat pertemuan) yaitu pengamatan langsung dengan cara menjelajah dan menghitung setiap individu yang ditemui, (2) Menjelaskan bentuk kearifan tradisional masyarakat Pulau Untung Jawa Kepulauan Seribu, dan (3) Menjelaskan ancaman terhadap kearifan serta menganalisis cara menangkal ancaman dalam upaya melestarikan burung. Pencarian data menggunakan observasi langsung berupa eksplorasi dan wawancara pada narasumber yang dapat dipercaya. Pengamatan dilakukan dengan teropong binokuler merk carton dengan ukuran 8 x 30 tipe 430 FT/1000 YDS made in Japan. Setiap burung yang dijumpai diperhatikan ukuran, warna, dan suaranya sera ciriciri khasnya, kemudian diidentifikasi. Masyarakat Pulau Untung Jawa menganggap burung yang ada di Pulau Rambut merupakan anugerah dan berkah yang harus dilestarikan. Keanekaragaman jenis burung di Pulau Rambut Kepulauan Seribu cukup tinggi yaitu ditunjukkan dengan 24 jenis burung. Adanya aktivitas masyarakat Pulau Untung Jawa diduga memberikan pengaruh terhadap keanekaragaman jenis burung yang terdapat di Pulau rambut Kepulauan Seribu. Kata Kunci: Identifikasi Keanekaragaman, Jenis Burung, Kearifan Tradisional, Pulau Rambut, Kepulauan Seribu. PENDAHULUAN Indonesia merupakan salah satu negara prioritas utama dalam upaya pelestarian keanekaragaman hayati karena memiliki biodiversity yang paling besar di dunia. Ancaman utama terhadap keanekaragaman hayati adalah rusaknya atau hilangnya habitat, dan cara yang paling baik untuk melindungi keanekaragaman hayati adalah dengan menjaga dan memelihara habitat. Pada masa ini kerusakan habitat umumnya merupakan akibat dari pemenuhan kebutuhan hidup manusia. Berbagai program telah dijalankan pemerintah untuk melakukan konservasi baik secara insitu maupun exsitu akan tetapi kenyataan menunjukkan bahwa populasi burung semakin berkurang. Kepentingan manusia yang berkaitan dengan alam juga seringkali menimbulkan adanya budaya yang mampu mempertahankan kelestarian alam itu sendiri. Keberadaan spesies kunci yang bernilai budaya tidak jarang memberikan pengaruh yang baik terhadap konservasi jenis yang bersangkutan (Garibaldi and Turner, 2004: 87). Salah satu pulau yang ada di bawah pengawasan Balai Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu (BTNLKpS) adalah Pulau Rambut, yang juga dikenal sebagai surga burung laut. Luas pulau ini sekitar 90 hektar, 45 hektar di antaranya adalah daratan. Pulau yang sejak 1999 ditetapkan sebagai kawasan suaka margasatwa ini memiliki - 119 -

keanekaragaman hayati yang luar biasa, baik flora maupun fauna. Pulau Rambut pertama kali diusulkan penetapannya sebagai kawasan konservasi oleh Direktur Kebun Raya Bogor kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda Jakarta dengan status berupa cagar alam. Alasan penting yang mendasari usulan tersebut adalah untuk melindungi berbagai jenis burung air yang banyak terdapat di pulau tersebut. Secara resmi, Pulau Rambut ditetapkan sebagai cagar alam pada 1937 melalui Surat Keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda No. 7 tanggal 3 Mei 1937. Selanjutnya keputusan tersebut dimuat dalam Lembar Negara (Staatblat) No. 245 Tahun 1939. Sedangkan pelaksanaannya diatur dalam Peraturan (Ordonansi) Perlindungan Alam tahun 1941 yang dimuat dalam Lembar Negara No. 167 tahun 1941. Pada saat itu, Pulau Rambut dinyatakan seluas 20 hektar. Berdasarkan pertimbangan tersebut, Pulau Rambut ditetapkan sebagai Suaka Margasatwa oleh Menteri Kehutanan dan Perkebunan melalui Surat Keputusan Nomor 275/Kpts-II/1999 tanggal 7 Mei 1999 seluas 90 hektar, yang terdiri dari 45 hektar daratan dan 45 hektar perairan. Secara geografis, kawasan Suaka Margasatwa Pulau Rambut terletak di antara 106⁰41 14-106⁰41 46 BT dan 5⁰56 47 5⁰ 56 57 LS, yaitu ke arah barat laut dari Pelabuhan Tanjung Priok. Sedangkan menurut administrasi pemerintah, Pulau Rambut termasuk wilayah Kelurahan Pulau Untung Jawa, Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu. Sebagian besar fauna penghuni Pulau Rambut adalah burung, sekitar 22 jenis burung merandai (burung air) dan 39 jenis burung darat. Sebagian besar burung air atau burung laut adalah burung penetap yang menghuni Pulau Rambut sepanjang tahun. Yang menarik, burung-burung ini memiliki perilaku migrasi ke Pulau Jawa atau pulau lain di Kepulauan Seribu untuk mencari makan pada pagi hari dan kembali ke Pulau Rambut pada sore hari untuk beristirahat. (BTNLKpS, 2010). Pulau lain yang dekat dengan Pulau Rambut adalah Pulau Untung Jawa. Penduduk pulau ini menyediakan penginapan bagi pengunjung yang ingin menuju ke Pulau Rambut, berjarak kurang dari 2 Km dari Pulau Rambut, Pulau Untung Jawa merupakan zona penyangga konservasi. Kearifan tradisional masyarakat sekitar sangat berpengaruh terhadap aktifitas keanekaragaman jenis flora dan fauna yang ada di Pulau Rambut. Dalam pengelolaan Suaka Margasatwa Pulau Rambut, Pulau Untug Jawa telah ditetapkan sebagai daerah penyangga (buffer zone) untuk menunjang kegiatan pengawasan dan pengamanan kawasan tersebut. Masyarakat turut berpartisipasi dalam kegiatan pembangunan di Pulau Rambut, serta dengan menginformasikan potensi Pulau Rambut kepada wisatawan yang datang. Tingkat ketergantungan masyarakat adat yang tinggi terhadap sumberdaya alam akan memiliki pengaruh yang besar terhadap kondisi alam salah satunya keanekaragaman burung serta kondisi sosial budaya masyarakat itu sendiri. Sehubungan dengan perkembangan eksploitasi fauna dan flora secara besar-besaran akan mengubah kearifan dalam pemanfaatan burung. Berdasarkan permasalahan tersebut di atas, maka tujuan penulisan ini adalah untuk menganalisis keanekaragaman jenis burung di Pulau Rambut Kepulauan Seribu, menjelaskan bentuk kearifan tradisional masyarakat Pulau Untung Jawa Kepulauan Seribu dan menjelaskan ancaman terhadap kearifan serta menganalisis cara menangkal ancaman dalam upaya melestarikan burung. METODE Penelitian ini dilakukan dengan sistem encounter rates (tingkat pertemuan) dengan menjelajahi dan menghitung setiap burung yang dijumpai di Pulau Rambut Kepulauan Seribu. Penelitian dilakukan pada pagi hari dari pukul 06.00-09.00 dan sore hari pukul 15.30-17.30 selama 3 kali pengulangan pada bulan Maret 2016. Pengamatan - 120 -

dilakukan oleh 5 kelompok pengamat yang masing-masing menjelajah daerah yang berbeda disesuaikan dengan kondisi di Pulau Rambut Kepulauan Seribu. (Balen Van B, 1999: 105). Pengamatan dilakukan dengan teropong binokuler merk carton dengan ukuran 8 x 30 tipe 430 FT/1000 YDS made in Japan. Setiap burung yang dijumpai diperhatikan ukuran, warna, dan suaranya sera ciri-ciri khasnya, kemudian diidentifikasi dengan buku Mac Kinnon (1991), dan Mac Kinnon, dkk. (1998). Secara kualitatif struktur vegetasi habitat burung diidentifikasi dengan buku Botanica (1998) dan buku-buku lain yang diperlukan. Pencatatan data meliputi; jenis burung, jumlah burung, habitat, aktivitas. Untuk menentukan kelimpahan relatif dengan menghitung tingkat pertemuan setiap jenis dengan membagi jumlah burung yang tercatat dengan jumlah jam pengamatan, yang memberikan hasil jumlah burung perjam untuk setiap jenis. Kemelimpahan Relatif = Jumlah Individu tiap Jenis Burung Jumlah Jam Pengamatan Data yang di dapat ditabulasikan dalam skala urutan kemelimpahan sederhana dari Lowen dkk. (Collin Bibby, 2000). Tabel 1. Penggunaan Tingkat Pertemuan Untuk Memperlihatkan Skala Urutan Kelimpahan Sederhana Dari Lowen Dkk. (Colin Bibby, 2000). Kategori kelimpahan (jumlah individu per 100 jam Nilai kelimpahan Skala urutan pengamatan) < 0,1 1 Jarang 0,1 2,0 2 Tidak Umum 2,1 10,0 3 Sering 10,1 40,0 4 Umum 40,0 + 5 Melipah HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian yang telah dilaksanakan pada bulan Maret 2016, dengan total pengamatan selama 75 jam didapatkan hasil sebagai berikut: Tabel 2. Keanekaragaman spesies burung yang ditemukan di Pulau Rambut No Spesies Burung Jumlah Individu/ Skala Urutan 10 jam 1 Cagak Merah (Ardea purpurea) 30,2 Umum 2 Cagak Abu (Ardea cinerea) 2,8 Sering 3 Kuntul Besar (Egretta alba) 234,2 Melimpah 4 Kuntul Kecil (Egretta garzetta) 93,3 Melimpah 5 Kuntul Karang (Egretta sacra) 126,5 Melimpah 6 Bluwok (Mycteria cinerea) 55,26 Melimpah 7 Roko-Roko (Plegadis falcinellus) 40,5 Melimpah 8 Pecuk Ular (Anhinga melanogaster) 10,4 Umum 9 Kuntul Sedang (Egretta intermedia) 10,3 Umum 10 Kuntul Kerbau (Bubulcus ibis) 0,5 Tidak Umum 11 Jalak Kerbau (Acridotheres javanicus) 2,3 Sering 12 Walet Linchi (Collocalia linchi) 2,7 Sering 13 Elang Laut Perut Putih (Haliaeetus Leucogaster) 2,1 Sering - 121 -

14 Pergam Laut (Ducula bicolor) 90,65 Melimpah 15 Tekukur (Streptopelia chinensis) 2,55 Sering 16 Asian Koel (Eudynamys scolopacea) 1,83 Tidak Umum 17 Raja Udang Biru (Alcedo coerulescens) 0,25 Tidak Umum 18 Cekakak Sungai (Todirhamphus chloris) 0,43 Tidak Umum 19 Kepudang Kuduk hitam (Oriolus chinensis) 1,75 Tidak Umum 20 Kucica Kampung (Copsychus saularis) 230 Melimpah 21 Kekep Babi (Artamus leucorhynchus) 10,2 Umum 22 Madu Kelapa (Anthreptes malaccensis) 10,7 Umum 23 Madu Sriganti (Nectarinia jugularis) 108 Melimpah 24 Emprit (Lonchura punctata) 10,5 Umum Data mengenai kearifan tradisional masyarakat Pulau Untung Jawa diambil dengan cara wawancara, yaitu dengan cara mengunjungi secara langsung orang-orang yang dituakan (Lurah, Ketua Adat dan Ketua RT) dan anggota masyarakat yang dianggap mengetahui kondisi sosial budaya masyarakat (informan). Jumlah responden yang diwawancarai sebanyak 30 orang dengan umur diatas 25 tahun dari dua tempat yang berada di wilayah utara dan selatan (Tabel 3). Wawancara dilaksanakan pada sore hari (pukul 15.00-17.00 WIB) dan malam hari (pukul 20.00-22.00 WIB), dengan cara semi terstruktur. Tabel 3. Rincian Jumlah Responden Menurut Umur, Jenis Kelamin dan Jabatan/Status dalam Masyarakat Lokasi Umur (Tahun) Jenis Kelamin Jabatan (Status) 25-35 > 35 L P Lurah Kepala Ketua Lainlain Adat RT Utara 15 7 16 6 0 1 1 20 Selatan 5 3 6 2 1 0 0 7 Total 20 10 22 8 1 1 1 27 Kearifan Tradisional Masyarakat Pulau Untung Jawa Kepulauan Seribu Masyarakat Pulau Untung Jawa mewujudkan kepercayaannya bahwa dengan menjaga kelestarian di lingkungan sekitar maka lingkungan sekitarpun akan ikut menjaga mereka. Mereka menganggap bahwa lingkungan melambangkan kegagahan, kemakmuran, kejayaan dan alat komunikasi dengan para leluhur. Selain lingkungan sekitar, terdapat pula burung-burung penanda yang apabila terdengar suaranya satu kali menandakan musibah, sedangkan lebih dari dua kali menandakan kesenangan dan berguna saat mereka bepergian. Ancaman Terhadap Kearifan dan Cara Menangkalnya Ancaman terbesar yang paling mengancam kearifan tradisional masyarakat Pulau Untung Jawa terhadap kekayaan burung di alam adalah keadaan ekonomi masyarakat. Hal ini dipacu oleh kebiasaan atau mata pencaharian masyarakat Pulau Untung Jawa yang menggantungkan sebagian hidupnya pada alam. Keadaan masyarakat masyarakat Pulau Untung Jawa saat ini mengalami kemunduran akibat tekanan masyarakat luar yang melakukan eksplorasi liar sehingga menghilangkan mata pencaharian masyarakat Pulau Untung Jawa selama ini dijadikan pegangan hidup mereka. Selain itu masyarakat Pulau Untung Jawa mengandalkan mata pencarian dengan mencari ikan sebagai nelayan dan membuka pariwisata yang menguntungkan bagi mereka. - 122 -

Sering terlihatnya para pemburu burung dari luar kawasan diduga akan menimbulkan minat berburu yang serupa pada masyarakat masyarakat Pulau Untung Jawa. Adanya desakan ekonomi dan tekanan serta pengaruh masyarakat luar akan mengubah mata pencaharian utama masyarakat Pulau Untung Jawa. Kenyataan seperti itu akan menyebabkan keanekaragaman jenis burung di Pulau Rambut terancam dan cenderung menurun. Keanekaragaman jenis burung di Pulau Rambut akan terjaga apabila kearifan masyarakat Pulau Untung Jawa terhadap alam tetap dipertahankan, terutama menjaga kekayaan jenis burung dan dapat dilestarikan. Oleh karenanya, pihak pengelola BTNLKpS perlu mengikutsertakan masyarakat Pulau Untung Jawa dalam seluruh kegiatan yang berhubungan dengan pelestarian alam guna memelihara lingkungan terutama keanekaragaman jenis burung yang ada di Pulau Rambut. Selain itu juga perlu diadakan penyuluhan maupun lokakarya yang mengingatkan bahwa kehidupan manusia tidak akan lepas dari alam. PENUTUP Simpulan Keanekaragaman jenis burung di Pulau Rambut Kepulauan Seribu cukup tinggi yaitu ditunjukkan dengan 24 jenis burung. Adanya aktivitas masyarakat Pulau Untung Jawa diduga memberikan pengaruh terhadap keanekaragaman jenis burung yang terdapat di Pulau rambut Kepulauan Seribu. Ancaman terbesar dalam kehidupan arif masyarakat masyarakat Pulau Untung Jawa adalah ekonomi. Oleh karenanya dibutuhkan peran pengelola BTNLKpS untuk mengikutsertakan masyarakat Pulau Untung Jawa dalam seluruh kegiatan terutama dalam menjaga kelestarian dan keanekaragaman jenis burung yang terdapat di Pulau Rambut Kepulauan Seribu. Saran a. Perlunya penelitian lebih lanjut untuk menghitung kelimpahan absolut atau populasi mutlak dari masing-masing jenis yang ditemukan. b. Di dalam penghijaun yang dilakukan perlu dipilih tanaman yang mendukung untuk pelestarian kehidupan berbagai jenis burung yang terdapat di Pulau Rambut Kepulauan Seribu. c. Perlunya ada himbauan kepada masyarakat Pulau Untung Jawa agar tidak melakukan perburuan terhadap berbagai jenis burung yang terdapat di Pulau Rambut Kepulauan Seribu. DAFTAR PUSTAKA Balen, van B. 1984. Bird Counts And Bird Observation in The Neighbourhood of Bogor. Nature Conservation Dept. Agriculture University Wageningan.Wageningen The Netherlands: Bibby Press. BTNKP. 2010. Makna dan Kekuatan Simbol Adat Pada Masyarakat Pulau Seribu: Di Kepulauan Seribu Ditinjau Dari Pengelompokan Budaya. Pulau 1000 Press. Collin Bibby. 2000. Teknik-Teknik Survei Burung. Birdlife International Indonesia. Garibaldi and Turner. 2004. Expedition Field Techniques Birds Surveys Expedition Advisor Centre. London: UK.HIMAKOVA. John Mac Kinnon, Karen phillips, bas Van balen. 1998. Burung-burung di sumatra, Jawa, bali, dan Kalimantan. Puslitbang Biologi LIPI. John mac Kinnon. 1991. Panduan Lapangan Pengenalan Burung-Burung Di Jawa Dan Bali.Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. - 123 -

Laporan Kegiatan Studi Konservasi Lingkungan[SURILI]: Eksplorasi Ilmiah Keanekaragaman Hayati Satwa Indikator Kesehatan Lingkungan Hutan dan Tumbuhan di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, Lampung. Putussibau.Wisnubudi, G. 2004. Keanekaragaman Dan Kelimpahan Jenis Avifauna Untuk Pengembangan Ekowisata Birdwatching di Taman Nasional Gunung Halimun Jawa Barat. Tesis tidak dipublikasikan. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor. Rencana Pengelolaan Taman Nasional (RPTN): Kepulauan Seribu Periode 2000-2015 (Buku I) Balai Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu. Seri Panduan Lapangan Burung-Burung di Sumatera, Jawa, Bali dan Kalimantan. Birdlife International-Indonesia Program Pusat Penelitian dan Pengembangan Biologi LIPI, Cibinong. Muslim, I.A. dan Frans, S.J.E. (1994). Sudaryanto. 1997. Keanekaragaman Burung di Kampus Udayana Badung Bali. Jurnal Ilmiah. Berkala Ilmiah. - 124 -