PERANAN DAN KEWENANGAN PENGADILAN NEGERI DALAM MENGADILI TINDAK PIDANA KORUPSI

dokumen-dokumen yang mirip
PENEGAKAN HUKUM. Bagian Keempat, Penyidikan Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) 3.4 Penyidikan Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2002 TENTANG KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI. UU No. 31 TAHUN 1999 jo UU No. 20 TAHUN 2001

ANOTASI UNDANG-UNDANG BERDASARKAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.155, 2009 (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5074)

MEMAHAMI UNTUK MEMBASMI BUKU SAKU UNTUK MEMAHAMI TINDAK PIDANA KORUPSI

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46 TAHUN 2009 TENTANG PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

NOMOR 30 TAHUN 2002 TENTANG KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46 TAHUN TENTANG PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46 TAHUN TENTANG PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2002 TENTANG KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Komisi Pemberantasan Korupsi. Peranan KPK Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

538 KOMPILASI KETENTUAN PIDANA DI LUAR KUHP

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2002 TENTANG KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI

PENEGAKAN HUKUM. Bagian Kelima, Penyidikan Oleh Badan Narkotika Nasional (BNN)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. istilah yang sering dipakai dalam bidang filsafat dan psikologi.(ensiklopedia

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERAMPASAN ASET TINDAK PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2002 TENTANG KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

GUBERNUR BANTEN PERATURAN GUBERNUR BANTEN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2002 TENTANG KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA

BAB II IDENTIFIKASI DATA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

2016, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, T

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2002 TENTANG KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Pidana Korupsi di Indonesia Oleh Frans Simangunsong, S.H., M.H. Dosen Fakultas Hukum Universitas Surakarta

POTENSI KORUPSI DANA DESA DAN SANKSI HUKUMNYA pada

II. TINJAUAN PUSTAKA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI [LN 1999/140, TLN 3874]

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA

PENEGAKAN HUKUM. Bagian Kesatu, Wewenang-Wewenang Khusus Dalam UU 8/2010

Matriks Perbandingan KUHAP-RUU KUHAP-UU TPK-UU KPK

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2002 TENTANG KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN Oleh DANIEL ARNOP HUTAPEA, S.Pd Materi Ke-2 Mencermati Peradilan di Indonesia

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 12 TAHUN 2006 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL

BAB IV KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Perbedaan Kewenangan Jaksa dengan KPK dalam Perkara Tindak

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

MEKANISME PENYELESAIAN KASUS KEJAHATAN KEHUTANAN

b. bahwa Komisi Yudisial mempunyai peranan penting dalam usaha mewujudkan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

I. PENDAHULUAN. Tindak pidana korupsi merupakan salah satu kejahatan yang merusak moral

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II KEWENANGAN JAKSA DALAM SISTEM PERADILAN DI INDONESIA. diatur secara eksplisit atau implisit dalam Undang-undang Dasar 1945, yang pasti

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

Peran PPNS Dalam Penyidikan Tindak Pidana Kehutanan. Oleh: Muhammad Karno dan Dahlia 1

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MEMAHAMI UNTUK MEMBASMI BUKU PANDUAN UNTUK MEMAHAMI TINDAK PIDANA KORUPSI. Komisi Pemberantasan Korupsi

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

INDONESIA CORRUPTION WATCH 1 Oktober 2013

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

BAB I PENDAHULUAN. Hukum adalah sesuatu yang sangat sulit untuk didefinisikan. Terdapat

RANCANGAN PENJELASAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2000 TENTANG TIM GABUNGAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI

DRAFT 16 SEPT 2009 PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR TAHUN 2009 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. Negara yang terbukti melakukan korupsi. Segala cara dilakukan untuk

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1997 TENTANG PERADILAN MILITER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MEDAN AREA

Transkripsi:

PERANAN DAN KEWENANGAN PENGADILAN NEGERI DALAM MENGADILI TINDAK PIDANA KORUPSI A. Latar Belakang dan Dasar Hukum Dijadikannya Pengadilan Negeri sebagai Lembaga yang Berwenang Dalam Mengadili Tindak Pidana Korupsi. Dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum disebutkan dalam ayat 2 bahwa Peradilan Umum adalah salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan pada umumnya dan pada ayat tiganya ( 3 ) juga dikatakan bahwa : (1) Kekuasaan Kehakiman di lingkungan Peradilan Umum dilaksanakan oleh : a. PengadilanNegeri; b. PengadilanTinggi. (2) Kekuasaan Kehakiman di lingkunganperadilan Umum berpuncak pada Mahkamah Agung sebagai Pengadilan NegaraTertinggi. Dimana kemudian Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tersebut diubah menjadi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 yang kemudian dirubah kembali menjadi Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 yang mana isinya tidak jauh berbeda dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 sebelumnya. Pengadilan negeri disini, sebagai pelaksana tugas kekuasaan kehakiman seperti yang terkandung dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, mempunyai tugas dan wewenang untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan demi

terciptanya masyarakat yang tertib, aman dan damai seperti yang diamanatkan dalam pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia. Sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman bahwa : 1) Peradilan dilakukan DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA. 2) Peradilan Negara menerapkan dan menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan pancasila. 3) Seluruh peradilan diseluruh wilayah Negara Republik Indonesia adalah peradilan Negara yang diatur dengan undang-undang. 4) Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan. Maka berdasarkan Undang-Undang Tersebut dimaksudkan bahwa Pengadilan Negeri mempunyai Tugas dan wewenang Untuk menyidik dan memeriksa perkara-perkara pidana yang berada dalam lingkungan kekuasaan mengadilinya dan tidak terkecuali dalam kasus korupsi yang dewasa ini semakin mengkhawatirkan. Jika diperhatikan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 dan Undangundang Nomor 20 Tahun 2001, tindak pidana korupsi itu dapat dilihat dari 2 ( dua ) segi, yakni korupsi aktif dan korupsi pasif. 20 Yang dimaksud dengan korupsi aktif adalah : 20 Evi Hartanti, Op. Cit Hal. 25

1) Secara melawan hukum memperkaya diri sendiri atau oranglain atau korporasi, yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara ( pasal 2 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999) 2) Dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau oranglain atau korporasi menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatannya atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara ( Pasal 3 Undang-Undang No.31 Tahun 1999) 3) Percobaan, pembantuan atau pemufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi ( Pasal 15 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999) 4) Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya ( Pasal 5 ayat ( 1 ) huruf a Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001) 5) Memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara karena atau terhubung dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajibannya dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya ( Pasal 5 ayat ( 2 ) huruf b Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 ) 6) Memberikan atau menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan maksud untuk mempengaruhi keputusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili ( Pasal 6 ayat ( 1 ) huruf a Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 7) Pemborong atau ahli bangunan yang pada waktu membuat bangunan, atau penjual bangunan yang pada waktu menyerahkan bahan bangunan, melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keamanan orang atau barang, untuk

keselamatan negara pada waktu perang ( Pasal 7 ayat ( 1 ) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 ) 8) Setiap orang yang bertugas mengawasi pembangunan atau penyerahan bahan bangunan, sengaja membiarkan perbuatan curangsebagaimana dimaksud dalam huruf a ( Pasal 7 ayat ( 1 ) huruf b Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 ) 9) Setiap orang yang pada waktu menyiapkan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia atau Kepolisian Negara Republik Indonesia melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keselamatan negara dalam keadaan perang ( Pasal 7 ayat ( 1 ) huruf c Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 ) 10) Setiap orang yang bertugas menguasai penyerahan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia atau Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan sengaja membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam huruf c ( Pasal 7 ayat ( 1 ) huruf d Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001) 11) Pegawai negeri atau oranglain selain pegawai negeri yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau sementara waktu, dengan sengaja menggelapkan uang atau surat berharga yang disimpan karena jabatannya, atau membiarkan uang atau surat berharga tersebut diambil atau digelapkan oleh oranglain, atau membantu dalam melakukan perbuatan tersebut ( Pasal 8 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 ) 12) Pegawai negeri atau selain pegawai negeri yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau sementara waktu, dengan memalsukan buku-buku atau daftar-daftar yang khusus untuk pemeriksaan administrasi ( Pasal 9 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 )

13) Pegawai negeri atau selain pegawai negeri yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau sementara waktu, dengan sengaja menggelapkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar yang digunakan untuk meyakinkan atau untuk membuktikan dimuka pejabat yang berwenang, yang dikuasai karena jabatannya, untuk membiarkan oranglain untuk menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, atau surat tersebut ( Pasal 10 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 ) 14) Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang a) Dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau oranglain secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu, atau menerima pembayaran, dengan pemotongan atau mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri ( Pasal 12 huruf e Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 ) b) Pada waktu menjalankan tugas meminta, menerima, atau memotong pembayaran bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang lain atau kas umum tersebut mempunyai utang kepadanya, padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan utang ( huruf f ) c) Pada waktu menjalankan tugas meminta atau menerima pekerjaan atas penyerahan barang seolah-olah merupakan utang kepada dirinya, padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan utang ( huruf h ) d) Pada waktu menjalankan tugas sudah menggunakan tanah negara yang diatasnya terdapat hak pakai, seolah-olah sesuai dengan peraturan

perundang-undangan, telah merugikan orang yang berhak, padahal diketahuinya bahwa perbuatan tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. e) Baik langsung maupun tidak langsung dengan sengaja turut serta dalam pemborongan, pengadaan, atau persewaan yang pada saat dilakukan perbuatan untuk seluruhnya atau sebagian ditugaskan untuk mengurus atau mengawasinya ( huruf i ). 15) Memberi hadiah kepada pegawai negeri dengan dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya, atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan itu ( Pasal 13 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 ). Adapun korupsi yang bersifat pasif adalah sebagai berikut : 1) Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima pemberian atau janji karena berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya yang 2) bertentangan dengan kewajibannya ( Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 ) 3) Hakim atau advocat yang menerima pemberian atau janji untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili atau untuk mempengaruhi nasehat atau pendapat yang diberikan berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili ( Pasal 6 ayat (2) Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2001 )

4) Orang yang menerima penyerahan bahan bangunan atau orang yang memerima penyerahan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia atau Kepolisian Negara Republik Indonesia yang membiarkan perbuatan curang sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) huruf a dan c, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 ( Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001). 5) Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahuinya atau patut diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji itu diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya ( Pasal 11 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 ) 6) Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahuinya atau patut diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji itu diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya; atau sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya ( Pasal 12 huruf a dan huruf b Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 ) 7) Hakim yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserarahkan kepadanya untuk diadili ( Pasal 12 huruf c Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 )

8) Advocat yang diberi hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji itu diberikan unntuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang diberikan berhubungan dengan perkara yang diberikan kepada pengadilan untuk diadili ( Pasal 12 huruf d Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 ) 9) Setiap pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima grafitasi yang diberikan berhubungan dengan jabatannya dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya ( Pasal 12 B Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 ) B. Tugas dan Kewenangan Pengadilan Negeri dalam Mengadili Tindak Pidana Korupsi. Sebagai suatu sistem dalam negara hukum, kinerja pengadilan sekarang ini berada pada titik nadir yang cukup mengkhawatirkan. Berbagai keluhan baik dari masyarakat dan para pencari keadilan menunjukkan bahwa pengadilan seolah-olah sudah tidak dapat lagi menjadi media kontrol bagi lembaga tersebut untuk kemudian melakukan berbagai perbaikan yang signifikan bagi terciptanya suatu sistem pengadilan yang ideal dan sesuai dengan harapan masyarakat. Secara teori, pelaksanaan peradilan harus dilaksanakan dengan asas sederhana, cepat, dan berbiaya ringan. Tujuannya dalah untuk menciptakan peradilan yang bersih, transparan, dan mengedepankan nilai-nilai keadilan.hanya saja secara praktik, hal tersebut sangat sulit untuk diterapkan oleh lembaga dan aparat pengadilan saat ini. Banyak laporan yang menyebutkan bahwa pengadilan yang seharusnya menjadi benteng terakhir bagi pencari keadilan untuk mendapatkan keadilan, ternyata tidak berdaya melawan ketidakadilan. Dalam hal

ini kriteria buruknya pelayanan lembaga peradilan dapat dilihat dan diukur dari lambatnya proses penyelidikan dan penyidikan terhadap suatu kasus. Padahal Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana ( KUHAP ) telah mengatur tentang kewenangan-kewenangan Pengadilan Negeri yang terkait dengan proses penyidikan dan penuntutan. Kewenangan tersebut antara lain adalah kewenangan untuk mengalihkan jenis tahanan ( Pasal 23 ), kewenangan untuk mengeluarkan surat perintah tahanan ( Pasal 26 ),dan kewenangan untuk mengeluarkan izin kepada penyidik melakukan penggeledahan serta penyitaan bagi keperluan penyidikan ( Pasal 33 dan Pasal 38 ). Kewenangan-kewenangan tersebut seharusnya dapat untuk mempercepat jalannya proses perkara secara keseluruhan. Selain itu, buruknya kinerja pengadilan ini juga dapat dilihat dari banyaknya persyaratan administratif yang harus ditempuh saat pendaftaran perkara di pengadilan, banyaknya pungutan diluar biaya tak resmi sampai pada prosedur penetapan putusan pengadilan yang dianggap tidak transparan oleh publik serta pelaksanaan eksekusi yang penuh dengan permasalahan. Kondisi diatas menyebabkan rasa hormat dan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan semakin menipis dari hari ke hari. Sedangkan di sisi lain, ada tuduhan bahwa lembaga peradilan dan kekuasaan kehakiman pada umumnya sudah tidak independen dan tiddak mandiri dalam menjalankan kinerja

serta mengeluarkan putusan-putusannya, terutama antara lain dalam kasus-kasus yang melibatkan penguasa seperti korupsi dan pembalakan hutan. 21 Dalam suatu penyelesaian tindak pidana korupsi ( yang tidak melalui jalur Komisi Pemberantasan Korupsi dan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi), terdapat beberapa lembaga penegakan hukum yang terlibat, yaitu : 1. Kepolisian, dengan tugas utama : a. Menerima laporan dan pengaduan dari publik manakala terjadi tindak pidana ; b. Melakukan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana ; c. Melakukan penyaringan terhadap kasus-kasus yang memenuhi syarat untuk diajukan ke kejaksaan; d. Melaporkan hasil penyidikan kepada kejaksaan; e. Melindungi para pihak yang terlibat dalam proses peradilan pidana. Berdasarkan Undang-undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, dalam pasal 14 huruf g ditegaskan Kepolisian Negara Republik Indonesia bertugas melakukan penyelidikan, penyidikan, terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya. 22 21 BPHN departemen hukum dan hak asasi manusia RI,analisis dan evaluasi hukum penuntutan dan pemeriksaan tindak pidana korupsi,( Jakarta : BPHN, 2008 ) Hal. 19 22 Evi hartanti, Op. Cit, Hal. 39

Wewenang kepolisian dalam proses pidana ( Pasal 16 ) adalah : Huruf a :Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan; Huruf b :Melarang setiap orang meninggalkan atau memasuki tempat kejadian perkara untuk kegiatan penyidikan; Huruf c :Membawa dan menghadapkan orang kepada penyidik dalam rangka penyidikan; Huruf d :Menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri; Huruf e :Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat; Huruf f :Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi; Huruf g :Mendatangkan orang yang ahli yang diperlukan dengan hubungannya dengan pemeriksaan perkara; Huruf h :Mengadakan pengengtian; Huruf i :Menyerahkan berkas perkara kepada Penuntut Umum; Huruf j :Mengajukan permintaan secara langsung kepada pejabat imigrasi yang berwenang di tempat pemeriksaan imigrasi dalam

keadaan mendesak atau mendadak untuk mencegah atau menangkal orang yang disangka untuk melakukan tindak pidana; Huruf k :Memberi petunjuk dan bantuan penyidikan kepada penyidik PNS serta menerima hasil penyidikan PNS untuk diserahkan kepada Penuntut Umum; Huruf l :Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggungjawab. 2. Kejaksaan, dengan tugas pokok : a. Menyaring kasus-kasus yang layak di ajukan ke pengadilan; b. Mempersiapkan berkas penuntutan; c. Melakukan penuntutan; d. Melaksanakan putusan pengadilan. 23 Pada pasal 1 butir 1 Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia ditentukan bahwa Jaksa adalah pejabat yang fungsional yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksana putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum serta wewenang lain berdasarkan undang-undang.kejaksaan Republik Indonesia sebagai lembaga negara pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara dibidang penuntutan harus bebas dari pengaruh kekuasaan pihak manapun, yakni dilaksanakan secara merdeka terlepas dari pengaruh 23 BPHN, Ibid,Hal. 21

kekuasaan pemerintah dan pengaruh kekuasaan lainnya. Kejaksaan sebagai salah satu lembaga penegak hukum dituntut lebih berperan dalam penegakan supremasi hukum,perlindungan kepentingan umum, penegakan hak asasi manusia, serta pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Sebagaimana telah dijelaskan bahwa wewenang jaksa adalah bertindak sebagai penuntut umum dan sebagai eksekutor. Sementara tugas penyidikan ditangan Polri, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 butir 1 KUHAP yang menyatakan Penyidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh Undangundang untuk melakukan penyidikan. Dan diatur lebih lanjut pada pasal 6 KUHAP adapun yang dimaksud dengan penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti ini membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya ( Pasal 1 butir 2 KUHAP ). Pasal 91 ayat ( 1 ) KUHAP mengatur tentang kewenangan jaksa ( Penuntut Umum ) untuk mengambil alih berita acara pemeriksaan.jika tidak ada kewenangan untuk melakukan penyidikan maka berita acara pemeriksaan itu, diambil alih dan dapat ditaksirkan tidak sah. Sesuai ketentuan pasal 284 ayat 2 KUHAP yang menyatakan : Dalam waktu dua tahun setelah undang-undang ini diundangkan, maka terhadap semua perkara diberlakukan ketentuan undang-undang ini, dengan

pengecualian untuk sementara mengenai ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada undang-undang tertentu, sampai ada perubahan dan atau dinyatakan tidak berlaku lagi. Dengan berlakunya KUHAP, dimana ditetapkan bahwa tugas-tugas penyidikan diserahkan sepenuhnya kepada pejabat penyidik sebagaimana diatur dalam pasal 6 KUHAP, maka kejaksaan tidak lagi berwenang untuk melakukan penyidikan terhadap perkara-perkara tindak pidana umum. Namun demikian, sesuai dengan ketentuan Pasal 284 ayat ( 2 ) KUHAP jo. Pasal 17 peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983, jaksa masih berwenang untuk melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu ( Tindak Pidana Khusus ). 3. Pengadilan, dengan kewajiban untuk : a. Menegakkan hukum dan keadilan; b. Melindungi hak-hak terdakwa, saksi dan korban dalam proses peradilan; c. Melakukan pemeriksaan kasus secara efisien dan efektif; d. Memberikan putusan yang adil dan berdasarkan hukum; e. Menyiapkan arena publik untuk persidangan sehingga publik dapat berpartisipasi dan melakukan penilaian terhadap proses peradilan 4. Lembaga Pemasyarakatan, dengan tugas untuk : a. Menjalankan putusan pengadilan yang merupakan pemenjaraan; b. Memastikan terlindunginya hak-hak narapidana; c. Menjaga agar kondisi LP memadai untuk penjalanan pidana; d. Melakukan upaya-upaya memperbaiki narapidana; e. Mempersiapkan narapidana untuk kembali ke masyarakat.

Berkaitan dengan proses pemeriksaan atas perkara Tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Pengadilan Negeri, berdasarkan KUHAP sebenarnya tidak terdapat perbedaan dengan proses pemeriksaan atas perkara pidana lainnya ( diluar korupsi ) yang dilakukan oleh Pengadilan Negeri, adalah : 24 1. Apabila terhadap suatu perkara pidana telah dilakukan penuntutan, maka perkara tersebut diajukan ke pengadilan. Tindak pidana tersebut untuk selanjutnya diperiksa, diadili, dan diputus oleh majelis hakim Pengadilan Negeri yang berjumlah ganjil dengan minimal 3 orang. 2. Pada saat majelis hakim telah ditetapkan, selanjutnya ditetapkan hari sidang. Pemberitahuan hari sidang disampaikan oleh penuntut umum kepada terdakwa di alamat tempat tinggalnya atau disampaikan ditempat kediaman terakhir apabila tempat tinggalnya tidak diketahui. Dalam hal ini surat panggilan memuat tanggal, hari serta jam dan untuk perkara apa dia dipanggil. Surat panggilan termaksud disampaikan selambat-lambatnya tiga hari sebelum sidang dimulai. Surat panggilan kepada terdakwa tersebut dilakukan dengan adanya surat tanda penerimaan. Hal ini penting untuk menentukan apakah terdakwa telah dipanggil secara sah atau tidak. 3. Dalam hal terdakwa telah dipanggil secara sah tetapi tidak hadir disidang tampa alasan yang sah, maka pemeriksaan tersebut dapat dilangsungkan dan hakin ketua sidang memerintahkan agar terdakwa dipanggil sekali lagi. Dalam hal terdakwa lebih dari seorang dan tidak semua hadir dalam persidangan, 24 Darwan Prinst, Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, ( Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2002 ) Hal. 66

maka pemeriksaan terhadap terdakwa yang hadir dapat dilangsungkan. Hakim ketua sidang dapat memerintahkan agar terdakwa dihadirkan secara paksa, dalam hal telah dua kali dipanggil secara sah akan tetapi tidak hadir. 4. Terdakwa atau penasihat hukum dapat mengajukan kebertan bahwa pengadilan tidak berwenang mengadili perkaranya atau dakwaan tidak dapat diterima atau surat dakwaan harus dibatalkan, kemudian setelah diberi kesempatan kepada penuntut umum untuk menyatakan pendapatnya, maka hakim mempertimbangkan keberatan tersebut untuk selanjutnya mengambil keputusan. Dalam hal keberatan diterima maka perkara tidak diperiksa lebih lanjut. Namun apabila keberatan tidak dapat diterima atau hakim berpendapat hal tersebut dapat diputus setelah selesai pemeriksaan, maka sidang dilanjutkan. 5. Terhadap keputusan tersebut dapat diajukan perlawanan kepada pengadilan tinggi melalui pengadilan negeri. Dalam hal perlawanan diterima oleh pengadilan tinggi maka dalam waktu 14 ( empat belas ) hari, dalam surat penetapannya harus tertulis adanya pembatalan putusan pengadilan negeri tersrbut dan memerintahkan agar pengadilan negeri yang berwenang untuk melakukan pemeriksaan perkara tersebut. Namun setelah keluarnya Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi yang telah dilakukan perubahan oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, terdapat beberapa perbedaan yang harus

dilakukan oleh Pengadilan Negeri apabila akan melakukan pemeriksaan atas suatu tindak pidana korupsi, yaitu : 25 a. Terdapat perluasan mengenai sumber perolehan alat bukti yang sah yang berupa petunjuk, yang mana dalam Undang-Undang tersebut dirumuskan bahwa mengenai petunjuk selain diperoleh dari keterangan saksi, surat dan keterangan terdakwa, juga diperoleh dari alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu tetapi tidak terbatas pada data penghubung elektronik, surat elektronik, telekgram, teleks dan faksimile. b. Terdapat ketentuan pembuktian terbalik yang bersifat terbatas, yakni terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi. c. Terdapat ketentuan pidana baru tentang grafitifikasi dan terhadap tuntutan perampasan harta benda terdakwa yang diduga berasal dari salah satu tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam undang-undang tersebut. d. Terdapat pula ketentuan bahwa tindak pidana korupsi dirumuskan secara tegas sebagai tindak pidana formil. Yang mana semua hal tersebut jelas berbeda dengan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang mempunyai sistem pembuktian berdasarkan undang-undang yang negatif( Negatif wettelijk ) 26. Hal ini dapat 25 Darwan Prinst, Ibid, Hal. 70 26 Ibid, Hal 24

disimpulkan dari pasal 183 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang menyatakan bahwa hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia peroleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. Selain itu alat bukti yang sah yang disebutkan dalam pasal 184 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, terdiri dari : 1. Keterangan saksi; 2. Keterangan Ahli; 3. Surat; 4. Petunjuk;dan 5. Keterangan Terdakwa. C. Latar Belakang dan Dasar Hukum Dijadikannya Pengadilan Tindak Pidana Korupsi sebagai Lembaga yang Berwenang Dalam Mengadili Tindak Pidana Korupsi. Berdasarkan Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 46 Tahun 2009 Tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pasal 2 menyatakan bahwa : Pengadilan Tindak Pidana Korupsi adalah merupakan Pengadilan Khusus yang berada dilingkungan Peradilan Umum 27 Dimana Pengadilan Tindak Pidana Korupsi ini berkedudukan disetiap ibukota kabupaten/kota yang daerah hukumnya meliputi daerah hukum pengadilan negeri 27 Indonesia, Undang-Undang Tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, UU Nomor 46 Tahun 2009, (Jakarta: CV Karya Gemilang, 2010).

yang bersangkutan. Pengadilan Tindak Pidana Korupsi merupakan satu-satunya pengadilan yang berwenang memeriksa, mengadili dan memutus perkara tindak pidana korupsi. Maka berdasarkan Pasal 25 Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dikatakan bahwa pemeriksaan disidang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang. Dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak pidana korupsi dilakukan dengan majelis hakim berjumlah ganjil sekurang-kurangnya 3 ( tiga ) orang hakim dan sebanyakbanyaknya 5 ( lima ) orang hakim, terdiri dari hakim Karier dan hakin ad hoc. Inisiatif pemberantasan korupsi menggunakan komisi independen di Indonesia bukanlah hal yang baru, sejak awal pemerintahan presiden Soeharto sudah membentuk beberapa komisi anti korupsi, diantaranya pada Tahun 1967, soeharto membentuk Tim Pemberantasan Korupsi yang berada dibawah Kejaksaan Agung dan Pada Tahun 1970 pemerintah juga membentuk Komisi Empat dimana komisi ini bertugas untuk menemukan penyimpangan di Pertamina, bulog, dan penebangan hutan. 28 Sejarah pembentukan lembaga negara yang bertugas untuk memberantantas korupsi ternyata dalam pelaksanaanya menuai kegagalan. Hingga akhirnya pada akhir Tahun 2002 tepatnya pada tanggal 27 Desember 2002 dibentuklah Komisi 28 Teten Masduki dan Danang Widoyoko, Menunggu gebrakan KPK, Jentera edisi 8 Tahun III ( maret 2005 ), Hal 42

Pemberantasan Korupsi untuk mengatasi kemacetan dan penanganan tindak pidana korupsi berdasarkan Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi ( KPK ). 29 Berdasarkan pasal 53 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus perkara tindak pidana korupsi yang penuntutannya diajukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, sehingga dengan demikian Pengadilan Tindak Pidana Korupsi tidak berwenang mengadili perkara tindak pidana korupsi yang diajukan penuntut umum kepada kejaksaan ( baik Kejaksaan Negeri, Kejaksaan Tinggi, maupun Kejaksaan Agung. Berdasarkan Pasal 56, Pasal 58, Pasal 59, dan Pasal 60 Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, hukum acara yang dijadikan Dasar pemeriksaan dalam Persidangan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi adalah didasarkan pada ketentuan : 1. hukum acara pidana yang termuat dalam Undang-Undang No.8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana ( KUHAP ); dan 2. hukum acara pidana yang juga terdapat dalam Undang-Undang No.31 Tahun 1999 sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang 29 Undang-undang ini disahkan di Jakarta pada tanggal 27 Desember 2002 oleh presiden Megawati Soekarno Putri, dan diundangkan melalui Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 No.137

No.20 Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi. Sebagaiman yang ditentukan dalam Pasal 62 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002. Tenggang waktu Pemeriksaan terdakwa dipengadilan Tindak Pidana Korupsi dibatasi, yaitu : a. untuk tingkat pertama, dibatasi paling lama 120 ( seratus dua puluh ) hari kerja terhitung sejak perkara dilimpahkan oleh jaksa penuntut umum dari komisi pemberantasan korupsi ke pengadilan Tindak Pidana Korupsi; b. untuk tingkat banding, dibatasi paling lama 60 ( enam puluh ) hari kerja terhitung sejak terdakwa atau penuntut umum menyatakan banding dengan akte banding; dan c. untuk tingkat kasasi, dibatasi paling lama 120 ( seratus dua puluh ) hari kerja terhitung sejak terdakwa atau penuntut umum menyatakan kasasi dengan akte kasasi. 30 Maka dengan berlakunya undang-undang ini, maka Pasal 10 sampai dengan Pasal 19 Undang-Undang Nomor. 28 Tahun 1999 tentang penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme dinyatakan tidak berlaku lagi. D. Tugas dan Kewenangan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dalam Mengadili Tindak Pidana Korupsi. 30 Ibid, Pasal 29

Berdasarkan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi menyatakan bahwa pengadilan tindak pidana korupsi merupakan sati-satunya pengadilan yang berwenang memeriksa, mengadili dan memutus perkara tindak pidana korupsi. Selain itu, dalam Pasal 6 juga di jelaskan bahwa selain hal-hal yang diatur dalam Pasal 5 diatas Pengadilan Tindak Pidana Korupsi juga berwenang memeriksa, mengadili, memutus perkara : a. Tindak pidana korusi b. Tindak pidana pencucian uang yang tindak pidana asalnya adalah tindak pidana korupsi; dan/atau c. Tindak pidana yang secara tegas dalam undang-undang lain ditentukan sebagai tindak pidana korupsi. Selain Pengadilan Tindak pidana korupsi, Komisi Pemberantasan Korupsi atau yang sering disebut dengan KPK juga sangat berperan dalam membantu tugas dan peranan dari Pengadilan Tindak Pidana Korupsi tersebut dalam melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi meliputi tindak pidana korupsi yang : a. Melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan oranglain yang ada kaitannya dengan tindak korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara, b. Mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat, dan c. Menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp. 1.000.000.000,00 ( satu miliar rupiah ) ( Pasal 11 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 ).

Dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, Komisi Pemberantasan Korupsi berasaskan pada : 1. Kepastian hukum adalah asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan, dan keadilan dalam setiap kebijakan menjalankan tugas dan wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi. 2. Keterbukaan adalah asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi dalam menjalankan tugas dan fungsinya. 3. Akuntabilitas adalah asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir kegiatan Komisi Pemberantasan Korupsi harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku; 4. kepentingan umum adalah asas yang mendahulukan kesejahteraan umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif, dan selektif; 5. proporsionalitas adalah asas yang mengutamakan keseimbangan antara tugas, wewenang, tanggungjawab, dan kewajiban Komisi Pemberantasan Korupsi. Berdasarkan Pasal 6 Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi mempunyai tugas melakukan : 31 a. Koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi. 31 Indonesia, Undang-Undang No.30 Tahun 2002

b. Supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi. c. Melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi. d. Melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi e. Melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara ( Pasal 6 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002). Berdasarkan tugas-tugas yang dimiliki oleh KPK seperti tersebut diatas, maka dapat dikatakan bahwa KPK bukanlah suatu lembaga yang hanya bertugas untuk melakukan penyelidiikan, penyidikan maupun penuntutan tindak pidana korupsi di Indonesia saja, melainkan Komisi Pemberantasan Korupsi juga bertugas melakukan koordinasi, suvervisi, melakukan tindakan pencegahan dan monitoring terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara. Dalam melaksanakan tugas koordinasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf ( a ), maka Komisi Pemberantasan Korupsi dapat : 32 a. Mengkoordinasikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi. b. Menetapkan sistem pelaporan dalam kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi. c. Meminta informasi tentang kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi kepada instansi yang terkait. d. Melaksanakan dengar pendapat atau pertemuan dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi. 32 Ibid, Pasal 7

e. Meminta laporan instansi terkait mengenai pencegahan tindak pidana korupsi ( Pasal 7 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 ) f. Wewenang lain bisa dilihat dalam pasal 12, 13, dan 14 Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 2. Kedudukan Komisi Pemberantasan Korupsi Komisi pemberantasan korupsi berkedudukan di ibukota negara Republik Indonesia dan wilayah kerjanya meliputi seluruh wilayah negara Republik Indonesia. Komisi Pemberantasan Korupsi dapat membentuk perwakilan didaerah provinsi. Komisi Pemberantasan Korupsi terdiri atas : a. Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi yang terdiri atas lima anggota Komisi Pemberantasan Korusi. b. Tim penasehat yang terdiri atas empat anggota; c. Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai pelaksana tugas ( Pasal 21 ayat ( 1 ) Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002. Segala kewenangan yang berkaitan dengan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana berlaku juga bagi penyelidik, penyidik, dan penuntut umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi Pasal 38 ayat ( 1 ).

Tugas yang dimiliki Komisi Pemberantasan Korupsi dalam melakukan supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan korupsi terdapat dalam Pasal 8 UU KPK, yaitu : 1) Dalam melaksanakan tugas supervisi sebagaiman dimaksud dalam Pasal 6 huruf b, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang melakukan pengawasan, penelitian, atau penelaahan terhadap instansi yang menjalankan tugas dan wewenangnya yang berkaitan dengan pemberantasan tindak pidana korupsi, dan instansi yang melaksanakan pelayanan publik. 2) Dalam melaksanakan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat ( 1 ), Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang juga mengambil alih penyidikan atau penuntutan terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang sedang dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan. Selain hal tersebut diatas dalam rangka melakukan tugas melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 huruf c KPK juga berwenang melakukan : 33 a. Melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan; b. Memerintahkan kepada instansi yang terkait untuk melarang seseorang bepergian ke luar negeri; c. Meminta keterangan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya tentang keadaan keuangan tersangka atau terdakwa yang sedang diperiksa; 33 Ibid, Pasal 12

d. Memerintahkan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya untuk memblokir rekening yang diduga hasil dari korupsi milik tersangka, terdakwa atau pihak lain yang terkait; e. Memerintahkan kepada pimpinan atau atasan tersangka untuk memberhentikan sementara tersangka dari jabatannya; f. Meminta data kekayaan dan data perpajakan tersangka atau terdakwa kepada instansi terkait; g. Menghentikan sementara suatu transaksi perdagangan, dan perjanjian lainnya atau pencabutan sementara perizinan, lisensi serta konsensi yang dilakukan atau dimiliki oleh tersangka atau terdakwa yang diduga berdasarkan bukti awal yang cukup ada hubungannya dengan tindak pidana korupsi yang sedang diperiksa; h. Menerima bantuan Interpol Indonesia atau instansi penegak hukum negara lain untuk melakukan pencarian, penangkapan, dan penyitaan barang bukti diluar negeri; i. Meminta bantuan kepolisian atau instansi lain yang terkait untuk melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan dalam perkara tindak pidana korupsi yang sedang ditangani. Komisi Pemberantasan Korupsi juga berwenang melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi dalam rangka melaksanakan tugas sebagaimana dimaksudkan Pasal 6 huruf d, yakni : 34 34 Evi Hartanti, Op. Cit, Hal 69

a. Melakukan pendaftaran dan pemeriksaan terhadap laporan harta kekayaan penyelenggaraan negara; b. Menerima laporan dan menetapkan status gratifikasi; c. Menyelenggarakan program pendidikan anti korupsi pada setiap jenjang pendidikan; d. Merancang dan mendorong terlaksananya program sosialisasi pemberantasan tindak pidana korupsi; e. Melakukan kampanye anti korupsi kepada masyarakat umum; dan f. Melakukan kerja sama bilateral atau multilateral dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Dalam melaksanakan tugas monitoring sebagaimana dimaksud Pasal 6 huruf ( c ) maka komisi pemberantasan korupsi berwenang melakukan : 35 a. Melakukan pengkajian terhadap sistem pengelolaan administrasi di semua lembaga negara dan pemerintahan; b. Memberi saran kepada pimpinan lembaga negara dan pemerintahan untuk melakukan perubahan jika berdasarkan hasil pengkajian, sistem pengelolaan administrasi tersebut berpotensi korupsi; c. Melaporkan kepada presiden Republik Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, dan Badan Pemeriksa Keuangan, jika saran Komisi Pemberantasan Korupsi mengenai susulan usulan perubahan tersebut tidak di indahkan. 35 Ibid, Pasal 14