BAB I PENDAHULUAN. untuk tempat tinggal dan berlindung. Namun seiring dengan perkembangan

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. Siklus pengelolaan keuangan daerah merupakan tahapan-tahapan yang

BAB I PENDAHULUAN. kerja pengelolaan pemerintahan, Indonesia dibagi menjadi daerah kabupaten dan. sendiri urusan pemerintahan dan pelayanan publik.

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Perencanaan pembangunan ekonomi yang berorientasi pada pertumbuhan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia memiliki 34 provinsi yang kini telah tumbuh menjadi beberapa wacana

BAB I PENDAHULUAN. Tujuan Pembangunan Nasional, sebagaimana diamanatkan dalam. Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan

BAB I PENDAHULUAN. Kegiatan penganggaran pada dasarnya mempunyai manfaat yang sama

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan

pemerintahan lokal yang bersifat otonomi (local outonomous government) sebagai

BAB I PENDAHULUAN. menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Pemberian otonomi luas

BAB I PENDAHULUAN. penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk

BAB I PENDAHULUAN. Tap MPR Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaran Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan perundangundangan.

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia. Pembangunan di bidang ekonomi ini sangat penting karena dengan

BAB I PENDAHULUAN. Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah di Indonesia telah membawa

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, melalui pengeluaran-pengeluaran rutin dan pembangunan yang

BAB I PENDAHULUAN. untuk diselesaikan oleh pemerintah daerah. Salah satu urusan yang diserahkan

BAB I PENDAHULUAN. Pajak merupakan sumber penerimaan penting bagi negara untuk terus

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi sehingga dapat menggambarkan bagaimana kemajuan atau kemunduran yang

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan Desentralisasi di Indonesia ditandai dengan adanya Undangundang

BAB 2 TINJAUAN TEORETIS DAN PERUMUSAN HIPOTESIS

BAB I PENDAHULUAN. mengeluarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG. Dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan nasional,

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Peran pemerintah daerah semakin meningkat dengan adanya kebijakan otonomi

BAB I PENDAHULUAN. Dalam rangka menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan, pembangunan di

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan peluang dan sekaligus juga sebagai tantangan.

BAB I PENDAHULUAN. mengatur tentang otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Dalam

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. undang-undang di bidang otonomi daerah tersebut telah menetapkan

BAB I PENDAHULUAN. pemerintah dan pelaksanaan pembangunan nasional. Keberhasilan suatu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan salah satu instrumen kebijakan yang dipakai sebagai alat untuk

BAB I PENDAHULUAN. yang digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan prinsip

BAB I PENDAHULUAN. Daerah, dapat disimpulkan bahwa Pemerintah Daerah (Pemda) memiliki hak,

BAB I PENDAHULUAN. UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No 25 tahun 1999

I. PENDAHULUAN. tantangan, menyesuaikan diri dalam pola dan struktur produksi terhadap

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah dan desentralisasi fiskal bukan konsep baru di Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. suatu bentuk apresiasi pelaksanaan otonomi daerah yang memberikan. kewenangan yang semakin besar kepada daerah dalam rangka

BAB I PENDAHULUAN. Reformasi yang terjadi pada bidang politik mulai merambah pada bidang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Kemandirian Keuangan Daerah. Sebagaimana yang tercantum dalam Undang-undang Nomor 32 tahun

I. PENDAHULUAN. Apabila kita membicarakan tentang pembangunan daerah maka akan erat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. APBN/APBD. Menurut Erlina dan Rasdianto (2013) Belanja Modal adalah

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. pemeliharaan hubungan yang serasi antara pemerintah pusat dan daerah.

BAB I PENDAHULUAN. Umum dan Tata Cara Perpajakan pasal 1 ayat 1 mendefinisikan pajak dengan

BAB I PENDAHULUAN. era baru dalam pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Pembiayaan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Tuntutan reformasi disegala bidang membawa dampak terhadap hubungan

I. PENDAHULUAN. adanya otonomi daerah maka masing-masing daerah yang terdapat di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi suatu daerah pada dasarnya merupakan kegiatan yang

BAB I PENDAHULUAN. Konsekuensi dari pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi tersebut yakni

BAB I LATAR BELAKANG. Perkembangan akuntansi sektor publik di Indonesia saat ini semakin

I. PENDAHULUAN. Kemajuan dan perkembangan ekonomi Kota Bandar Lampung menunjukkan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. baik berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan kekayaan daerah

BAB I PENDAHULUAN. didalam Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan

Provinsi Sumatera Utara: Demografi

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan Jangka Panjang tahun merupakan kelanjutan

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan dari Orde Baru ke Orde Reformasi telah membuat beberapa perubahan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam rangka mewujudkan pembangunan nasional sebagaimana. mandiri menghidupi dan menyediakan dana guna membiayai kegiatan

BAB I PENDAHULUAN. otonomi daerah merupakan wujud reformasi yang mengharapkan suatu tata kelola

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Indonesia sedang berada di tengah masa transformasi dalam hubungan antara

I. PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan serangkaian kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan dan

BAB I PENDAHULUAN. Menurut UU No. 22 Tahun 1999 yang telah diganti dengan UU No. 34 Tahun 2004

A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN. Lahirnya kebijakan ekonomi daerah yang mengatur hubungan pemerintah

BAB I PENDAHULUAN. keuangan negara. Hal ini diindikasikan dengan telah diterbitkannya Undangundang

BAB I. Kebijakan tentang otonomi daerah di Indonesia, yang dikukuhkan dengan

BAB I PENDAHULUAN. setiap anggaran tahunan jumlahnya semestinya relatif besar. publik. Beberapa proyek fisik menghasilkan output berupa bangunan yang

BAB I PENDAHULUAN. kabupaten dan kota memasuki era baru sejalan dengan dikeluarkannya UU No.

BAB I PENDAHULUAN. Kebijakan Pemerintah Indonesia tentang otonomi daerah sudah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. melancarkan jalannya roda pemerintahan. Oleh karena itu tiap-tiap daerah

BAB I PENDAHULUAN. mewarnai perekonomian Indonesia sehingga beberapa sektor ekonomi yang. menjadi indikator PDB mengalami pertumbuhan negatif.

BAB I PENDAHULUAN. mayoritas bersumber dari penerimaan pajak. Tidak hanya itu sumber

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

Lampiran 1 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Per Kapita Menurut Kabupaten/Kota Atas Dasar Harga Konstan (Rupiah)

BAB I PENDAHULUAN. 2001, maka setiap daerah mempunyai kewenangan yang lebih luas dalam

Sejak tahun 2008, tingkat kemiskinan terus menurun. Pada 2 tahun terakhir, laju penurunan tingkat kemiskinan cukup signifikan.

BAB I PENDAHULUAN. Kegiatan ekonomi yang bervariasi, mendorong setiap daerah Kabupaten

I. PENDAHULUAN. Di era Otonomi Daerah sasaran dan tujuan pembangunan salah satu diantaranya

BAB I PENDAHULUAN. pengelolaan keuangan negara maupun daerah. sumber daya alamnya sendiri. Sumber dana bagi daerah antara lain terdiri dari

I. PENDAHULUAN. pemerintahan termasuk kewenangan daerah. Salah satu bukti adalah Undang-undang

BAB I PENDAHULUAN. pertumbuhan ekonomi ini menandakan pemerataan pembangunan di Indonesia

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Dalam landasan teori, akan dibahas lebih jauh mengenai Pertumbuhan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Teori Federalisme Fiskal (Fiscal Federalism)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. kapasitas fiskal yaitu pendapatan asli daerah (PAD) (Sidik, 2002)

BAB I PENDAHULUAN. Pada umumnya pembangunan nasional di negara-negara berkembang. difokuskan pada pembangunan ekonomi dalam rangka upaya pertumbuhan

PENDAHULUAN. daerah yang saat ini telah berlangsung di Indonesia. Dulunya, sistem

BAB I PENDAHULUAN. otonomi daerah. Pelaksanaan otonomi daerah didasarkan atas pertimbangan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)

BAB I PENDAHULUAN. pemerataan adalah hal yang sangat penting. Pada tahun 1950an, orientasi

BAB I PENDAHULUAN. perekonomian negara juga mengenal sumber-sumber penerimaan dan pos-pos

PENDAHULUAN. Belanja daerah, atau yang dikenal dengan pengeluaran. pemerintah daerah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Undang-Undang Nomor No.12 tahun 2008 (revisi UU no.32 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. oleh setiap daerah di Indonesia, terutama Kabupaten dan Kota sebagai unit pelaksana

BAB I PENDAHULUAN. sektor publik yang nantinya diharapkan dapat mendongkrak perekonomian rakyat

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Pemerintah daerah sesuai dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 13

BAB I PENDAHULUAN. 1994). Proses pembangunan memerlukan Gross National Product (GNP) yang tinggi

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Tuntutan reformasi disegala bidang membawa dampak terhadap

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kebutuhan pokok (primer) manusia adalah sandang, pangan dan papan. Ketiga hal tersebut memegang peranan penting dalam kehidupan manusia. Pada awalnya kebutuhan akan papan yaitu rumah (tanah dan bangunan) hanya sekedar untuk tempat tinggal dan berlindung. Namun seiring dengan perkembangan zaman, fungsi rumah semakin bergeser. Rumah yang terdiri dari tanah dan bangunan juga difungsikan sebagai alat investasi. Untuk memenuhi kebutuhan terhadap tanah dan bangunan, maka timbulah proses jual beli. Dengan demikian, pengalihan hak pun akan terjadi. Pengalihan hak terjadi dari pihak pemilik kepada pihak pembeli yaitu pihak yang membutuhkan. Kedua belah pihak yang melakukan pengalihan hak atas tanah dan bangunan akan mendapatkan nilai ekonomis dan manfaat. Bagi negara, hal ini merupakan potensi pajak yang dapat digunakan untuk membiayai pelaksanaan pembangunan. Hal ini sesuai dengan pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar (UUD) 194 bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Dahulu, terhadap setiap perjanjian hak atas harta tetap yang ada di wilayah Indonesia dan peralihan harta karena hibah atau wasiat yang ditinggalkan oleh orang-orang yang bertempat tinggal terakhir di Indonesia, dikenakan pungutan Bea Balik Nama (BBN). Pada tahun 196 diberlakukan Undang-Undang (UU) Nomor tahun 196 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, yang tidak

lagi mengakui hak- hak kebendaan sebagaimana diatur dalam Ordonansi Balik Nama Staatsblad 1834 Nomor 27. Sejalan dengan hal tersebut, Bea Balik Nama atas harta tetap berupa hak atas tanah tidak dipungut lagi. Sebagai pengganti Bea Balik Nama atas harta tetap berupa hak atas tanah, diberlakukan pungutan pajak atas pihak yang memperoleh hak atas tanah dan bangunan dengan nama Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) berdasarkan UU Nomor 21 Tahun 1997. Setelah tahun 21, BPHTB sudah tidak menjadi komponen penerimaan pemerintah pusat. Hal ini sesuai dengan UU No. 28 Tahun 29 mengenai Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang disahkan pada tanggal 1 September 29, menggantikan Undang-Undang sebelumnya yaitu UU No. 34 Tahun 2 yang menyatakan bahwa Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dialihkan menjadi Pajak Daerah. Diserahkannya pengelolaan BPHTB kepada pemerintah daerah adalah wujud dari pelaksanaan kebijakan desentralisasi fiskal. Kebijakan ini memberi kesempatan kepada pemerintah daerah untuk menggali potensi pendapatannya sendiri agar lebih optimal. Adapun prinsip dan tujuan kebijakan desentralisasi fiskal adalah (Mardiasmo, 22): 1. Mengurangi kesenjangan fiskal antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah (vertical fiscal imbalance) dan antar daerah (horizontal fiscal imbalance). 2. Meningkatkan kualitas pelayanan publik di daerah dan mengurangi kesenjangan pelayanan publik antar daerah. 3. Meningkatkan efisiensi peningkatan sumber daya nasional

4. Tata kelola, transparan dan akuntabel, dalam pelaksanaan kegiatan pengalokasian transfer ke daerah yang tepat sasaran.. Mendukung kesinambungan fiskal dalam kebijakan ekonomi makro. Sebagai bagian dari pajak daerah, BPHTB merupakan salah satu sumber pendapatan potensial bagi pemerintah daerah. Untuk mengetahui kontribusi BPHTB terhadap penerimaan pajak daerah di lima kabupaten/kota di Sumatera Utara, maka perlu diketahui kondisi umum penerimaan BPHTB di lima kabupaten/kota tersebut. Karena BPHTB mulai dikelola oleh pemerintah daerah sejak tahun 211, maka kita perlu melihat kondisi pajak daerah pada tahun 211 hingga tahun 213 seperti terlihat pada tabel 1.1. Tabel.1.1. Kondisi BPHTB di lima kabupaten/kota di Sumatera Utara Tahun 211-213 Kab/Kot 211 212 213 a BPHT Pajak % BPHT Pajak % BPHT Pajak % B Daerah B Daerah B Daerah Asahan 2. 12.27,62 2,3 7 2. 13.8, 18,4 3.23,6 8 2.778, 2 12, Tanah Karo 2. 13773,7 14, 2 2.83 17.2, 12,1 2.83 18.77, 11, 9 Toba 4.266, 11,7 1 4.2,6 2,22 1 4.623,8 2,16 Samosir 2 8 Binjai.4 18.13,2 29,7 8.4 18.691,2 8 28,8 9.4 24.424,3 22,1 Pematan g Siantar.376,2 18.316,2 4 29,3 6. 21.62, 27,7 4 6. 3.381,8 2 19,7 4 Sumber: Statistik Keuangan Daerah Tahun 211-213, djpk (diolah) Dari tabel diatas, dapat dilihat bahwa persentase pertumbuhan penerimaan BPHTB mengalami penurunan. Penerimaan BPHTB merupakan salah satu pajak daerah yang penting untuk meningkatkan pendapatan asli daerah. Oleh karena itu,

pemerintah kabupaten/kota di Sumatera Utara diharapkan dapat membuat strategistrategi yang dapat lebih meningkatkan penerimaan BPHTB. Meskipun penerimaan BPHTB sangat dibutuhkan dalam meningkatkan pendapatan daerah, tetapi masih terdapat beberapa kabupaten/kota yang belum memungut BPHTB. Pada tahun 211 saja ada beberapa Kabupaten/kota yang belum melakukan pemungutan terhadap BPHTB antara lain Nias, Tapanuli Selatan, Tapanuli Tengah, Tapanuli Utara, Pakpak Barat, Samosir, Padang Lawas, Labuhan Batu Selatan, Nias Barat, Tanjung Balai, dan Gunung Sitoli (sumber: DJPK). Hal ini disebabkan karena kabupaten/kota tersebut belum memiliki peraturan daerah yang mengatur BPHTB. Sesuai amanat UU, perda BPHTB adalah dasar hukum untuk memungut BPHTB. Sebagai pajak atas properti, pendapatan dari sektor BPHTB sangat tergantung pada jumlah transaksi jual beli tanah dan bangunan dalam setahun. Artinya, kondisi demikian sulit diprediksi atau dibuatkan target perolehan. Oleh karena itu perlu dikaji faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi penerimaan BPHTB. Hal ini diperlukan karena kewenangan pemerintah daerah yang semakin besar dalam meningkatkan fungsi pajak sebagai instrumen penganggaran dan pengaturan pada daerah. Umumnya kondisi perekonomian yang baik sangat berpengaruh terhadap optimalisasi pendapatan pajak. Jika kondisi perekonomian sedang baik, maka penerimaan pajak dapat meningkat. PDRB merupakan gambaran umum kondisi perekonomian suatu daerah. PDRB juga dapat didefinisikan sebagai jumlah nilai tambah yang dihasilkan oleh seluruh unit usaha dalam suatu wilayah. Dalam hal ini, Pertumbuhan PDRB tentunya mengarah kepada pertumbuhan pendapatan

masyarakat seiring dengan berkembangnya perekonomian. Jika pendapatan meningkat, maka kemampuan masyarakat untuk membayar pajak juga meningkat. Hal ini sesuai dengan teori perpajakan, Musgrave, dikatakan bahwa besar kecilnya penerimaan dari sektor pajak dipengaruhi oleh (1) pendapatan per kapita dan (2) jumlah penduduk. Semakin tinggi pendapatan seseorang maka kemampuannya untuk membeli barang dan jasa juga akan meningkat. Hal ini sekaligus juga meningkatkan kemampuannya untuk membayar pajak disamping memenuhi kebutuhan pokoknya yang semakin meningkat. Sebagai pusat dari berbagai kegiatan, baik itu pemerintahan, perekonomian dan pendidikan, kabupaten/kota mengalami kemajuan yang pesat. Hal ini membawa perubahan di segala bidang, baik secara fisik maupun gaya hidup masyarakatnya. Perubahan ini juga mempengaruhi pola konsumsi masyarakat. Dari waktu ke waktu masyarakat berusaha untuk memperbaiki kualitas hidup nya. Dengan gaya hidup yang semakin modern, maka konsumsi masyarakat juga semakin bertambah besar. Setelah kebutuhan primer dan sekunder terpenuhi, masyarakat mulai memikirkan untuk memenuhi kebutuhan tersier, terutama kebutuhan akan rumah/tanah. Selain itu, Perubahan ini juga berdampak terhadap meningkatnya jumlah penduduk yang tinggal di kabupaten/kota. Banyaknya jumlah penduduk yang bermukim di sebuah daerah akan berakibat kepada tingkat kepadatan penduduk di daerah tersebut. Semakin padat penduduk di sebuah daerah maka permintaan terhadap tanah dan bangunan juga semakin tinggi. Padatnya penduduk juga menggambarkan tingginya persaingan untuk mendapatkan tanah dan bangunan. Meningkatnya

permintaan tidak diiringi dengan bertambahnya jumlah tanah dan bangunan. Sesuai teori permintaan yang menyatakan bahwa permintaan berbanding lurus dengan harga, maka nilai jual tanah dan bangunan akan meningkat. Hal ini akan berdampak terhadap penerimaan BPHTB. Indeks Kemahalan Konstruksi merupakan cerminan dari suatu nilai bangunan/konstruksi yaitu biaya yang dibutuhkan untuk satu unit bangunan. Indikator yang digunakan untuk menghitung nilai IKK adalah data harga konstruksi yaitu harga bahan bangunan, harga sewa alat berat dan upah jasa konstruksi. Perubahan IKK berdampak negatif terhadap penerimaan BPHTB. Hal ini disebabkan karena IKK menunjukkan kondisi infrastruktur di suatu daerah. IKK yang tinggi menggambarkan buruknya kondisi infrastruktur didaerah tersebut. Kondisi infrastruktur yang buruk mengakibatkan rendahnya transaksi jual beli tanah dan bangunan. Maka dapat dikatakan bahwa IKK berpengaruh negatif terhadap penerimaan BPHTB. Semakin tinggi IKK maka semakin rendah penerimaan BPHTB, begitu pula sebaliknya. Dengan semakin meningkatnya peranan pajak sebagai sumber pendapatan pemerintah daerah, maka kajian mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat penerimaan pajak sangatlah penting. Khususnya terhadap penerimaan BPHTB, yang secara umum dapat dipengaruhi oleh PDRB, Kepadatan Penduduk (Density), Indeks Kemahalan Konstruksi (IKK), dan konsumsi. Hal ini demi menjaga agar target penerimaan BPHTB dapat terealisasi sesuai dengan potensi yang ada setiap tahunnya. Untuk itu, pemerintah daerah harus terus berupaya mencari solusi dan terobosan baru dalam meningkatkan penerimaan BPHTB.

Dilatarbelakangi oleh pemikiran-pemikiran tersebut diatas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul Analisis Faktor-Faktor yang mempengaruhi Penerimaan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) sebagai Pajak Daerah dengan PDRB Sebagai Variabel Moderating Pada Kabupaten/Kota di Sumatera Utara. 1.2. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah di atas, adapun yang menjadi rumusan masalah adalah : 1. Apakah Konsumsi, Kepadatan Penduduk dan Indeks Kemahalan Konstruksi berpengaruh secara simultan terhadap Penerimaan BPHTB pada kabupaten/kota di Sumatera Utara? 2. Apakah Variabel Konsumsi berpengaruh secara parsial terhadap Penerimaan BPHTB pada kabupaten/kota di Sumatera Utara? 3. Apakah Variabel Kepadatan Penduduk berpengaruh secara parsial terhadap Penerimaan BPHTB pada kabupaten/kota di Sumatera Utara? 4. Apakah Variabel Indeks Kemahalan Konstruksi berpengaruh secara parsial terhadap Penerimaan BPHTB pada kabupaten/kota di Sumatera Utara?. Apakah PDRB dapat memoderasi hubungan antara Konsumsi, Kepadatan Penduduk dan Indeks Kemahalan Konstruksi dengan Penerimaan BPHTB pada kabupaten/kota di Sumatera Utara?

1.3. Tujuan Penelitian Adapun yang menjadi tujuan penelitian dalam penulisan penelitian ini adalah : 1. Untuk mengetahui dan menganalisis pengaruh Konsumsi, Kepadatan Penduduk dan Indeks Kemahalan Konstruksi secara simultan maupun parsial terhadap Penerimaan BPHTB Pada kabupaten/kota di Sumatera Utara. 2. Untuk mengetahui dan menganalisis pengaruh PDRB sebagai variabel moderating dapat memperkuat atau memperlemah hubungan antara Konsumsi, Kepadatan Penduduk dan Indeks Kemahalan Konstruksi terhadap Penerimaan BPHTB Pada kabupaten/kota di Sumatera Utara. 1.4. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat antara lain : 1. Bagi pembaca, untuk menambah ilmu pengetahuan dan wawasan dalam melihat kebijakan pemerintah daerah terutama dalam hal peningkatan penerimaan BPHTB 2. Sebagai bahan masukan bagi Pemerintah dalam hal ini Pemerintah Kota/Kabupaten (Pemko/Pemkab) di Provinsi Sumatera Utara, mengenai pengaruh Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), Tingkat Kepadatan Penduduk (Density), Indeks Kemahalan Konstruksi dan konsumsi terhadap penerimaan BPHTB.

3. Bagi diri sendiri, untuk dapat menyelesaikan tulisan ilmiah ini dan menambah pengetahuan saya terutama dalam bidang perpajakan. 1. Originalitas Penelitian Penelitian ini merupakan pengembangan dari penelitian yang dilakukan oleh Tim Asistensi Kementerian Keuangan, Bidang Desentralisasi Fiskal (212). Penelitian dilakukan pada awal BPHTB dialihkan ke pemda yaitu tahun 211 dan dilakukan pada 6 daerah saja. Selain itu, alat analisis data yang digunakan untuk menjawab tujuan penelitian menggunakan Focus Group Discussion dan in-depth interview, Model Regresi serta Uji Beda berpasangan. Variabel dependen nya adalah kondisi fiskal daerah dan variabel independennya adalah penerimaan BPHTB. Hal itulah yang menyebabkan peneliti ingin melanjutkan penelitian tersebut mengingat betapa pentingnya untuk diketahui bagaimana kondisi penerimaan BPHTB saat ini setelah hampir empat tahun dikelola oleh pemda. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan variabel independen antara lain konsumsi, kepadatan penduduk, indeks kemahalan konstruksi dan PDRB sebagai variabel moderating dan variabel dependennya penerimaan BPHTB. Alat analisis yang digunakan memakai regresi berganda dan uji nilai selisih mutlak untuk menguji variabel moderatingnya. Tahun penelitian yang dilakukan mulai dari tahun 211 hingga tahun 213 dengan populasi diseluruh kabupaten/kota di Sumatera Utara yang telah memiliki UU pemungutan BPHTB.