BAB II TINJAUAN PUSTAKA

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pada tahun 2013 jumlah kasus baru filariasis ditemukan sebanyak 24 kasus,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pada anggota badan terutama pada tungkai atau tangan. apabila terkena pemaparan larva infektif secara intensif dalam jangka

Proses Penularan Penyakit

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan yang disebabkan oleh berjangkitnya penyakit-penyakit tropis. Salah satu

BAB 1 PENDAHULUAN. Filariasis atau yang dikenal juga dengan sebutan elephantiasis atau yang

BAB I PENDAHULUAN. penyakit yang disebabkan oleh infeksi cacing filaria yang penularannya melalui

BAB 1 PENDAHULUAN. Deklarasi Milenium yang merupakan kesepakatan para kepala negara dan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Filariasis (penyakit kaki gajah) adalah penyakit menular yang

BAB I PENDAHULUAN. menular (emerging infection diseases) dengan munculnya kembali penyakit menular

BAB 1 : PENDAHULUAN. Filariasis adalah penyakit yang disebabkan oleh cacing filaria yang

BAB I PENDAHULUAN. Akibat yang paling fatal bagi penderita yaitu kecacatan permanen yang sangat. mengganggu produktivitas (Widoyono, 2008).

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 RANGKUMAN Judul Penelitian yang Diusulkan Penelitian yang akan diusulkan ini berjudul Model Penyebaran Penyakit Kaki Gajah.

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penyakit Filariasis Limfatik atau penyakit Kaki Gajah merupakan salah

Analisis Spasial Distribusi Kasus Filariasis di Provinsi Nusa Tenggara Timur Tahun

BAB 1 PENDAHULUAN. disebabkan oleh infeksi cacing filaria dan ditularkan oleh berbagai jenis nyamuk.

IDENTIFIKASI FILARIASIS YANG DISEBABKAN OLEH CACING NEMATODA WHECERERIA

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh cacing filaria dan ditularkan oleh nyamuk Mansonia, Anopheles,

GAMBARAN PEMBERIAN OBAT MASAL PENCEGAHAN KAKI GAJAH DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS WELAMOSA KECAMATAN WEWARIA KABUPATEN ENDE TAHUN ABSTRAK

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PENYAKIT-PENYAKIT DITULARKAN VEKTOR

Bab I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN.

BERITA DAERAH KABUPATEN KULON PROGO

TUGAS PERENCANAAN PUSKESMAS UNTUK MENURUNKAN ANGKA KESAKITAN FILARIASIS KELOMPOK 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Prioritas pembangunan kesehatan dalam rencana strategis kementerian

BAB 1 PENDAHULUAN. kaki gajah, dan di beberapa daerah menyebutnya untut adalah penyakit yang

2017, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 116,

FAKTOR DOMINAN YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN FILARIASIS DI KOTA PADANG TAHUN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. penyakit menular menahun yang disebabkan oleh infeksi cacing filaria dan ditularkan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. yang disebabkan infeksi cacing filaria yang ditularkan melalui gigitan

Gambaran Pengobatan Massal Filariasis ( Studi Di Desa Sababilah Kabupaten Barito Selatan Kalimantan Tengah )

Filariasis cases In Tanta Subdistrict, Tabalong District on 2009 After 5 Years Of Treatment

Rencana Nasional Program Akselerasi Eliminasi Filariasis di Indonesia. No ISBN :

BAB I PENDAHULUAN. menetap dan berjangka lama terbesar kedua di dunia setelah kecacatan mental (WHO,

BUKU PEDOMAN PENGOBATAN MASAL FILARIASIS BAGI BIDAN DESA DAN TENAGA PEMBANTU ELIMINASI

BAB 1 PENDAHULUAN. dari genus Plasmodium dan mudah dikenali dari gejala meriang (panas dingin

BAB I PENDAHULUAN. distribusinya kosmopolit, jumlahnya lebih dari spesies, stadium larva

Prevalensi pre_treatment

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

ABSTRAK. Pembimbing I : Rita Tjokropranoto, dr., M.Sc Pembimbing II : Hartini Tiono, dr.,m. Kes

BAB XX FILARIASIS. Hospes Reservoir

BAB I. Pendahuluan. A. latar belakang. Di indonesia yang memiliki iklim tropis. memungkinkan nyamuk untuk berkembang biak dengan baik

SISTIM SURVEILANS. dr. I Nengah Darna MKes

DESCRIPTION OF KNOWLEDGE, ATTITUDE AND BEHAVIOR OF THE PEOPLE AT NANJUNG VILLAGE RW 1 MARGAASIH DISTRICT BANDUNG REGENCY WEST JAVA ABOUT FILARIASIS

KERANGKA ACUAN KERJA ( KAK ) KEGIATAN POMP FILARIASIS PUSKESMAS KAWUA

ABSTRAK GAMBARAN PENYAKIT FILARIASIS DI KABUPATEN BEKASI, PROVINSI JAWA BARAT PERIODE

BUPATI LOMBOK UTARA PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT PERATURAN BUPATI LOMBOK UTARA NOMOR 10 TAHUN 2016 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. 1

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Filariasis limfatik merupakan penyakit tular vektor dengan manifestasi

FAKTO-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN FILARIASIS DI PUSKESMAS TIRTO I KABUPATEN PEKALONGAN

KERANGKA ACUAN PROGRAM P2 DBD

CAKUPAN PENGOBATAN MASSAL FILARIASIS DI KABUPATEN SUMBA BARAT DAYA TAHUN 2011 FILARIASIS MASS TREATMENT COVERAGE IN DISTRICT SOUTHWEST SUMBA 2011

BUPATI POLEWALI MANDAR

Cakupan Pemberian Obat Pencegahan Massal Filariasis di Kabupaten Sumba Barat Daya Tahun

PERATURAN WALIKOTA TASIKMALAYA

Pedoman Wawancara Mendalam Analisis Pelaksanaan Program Eliminasi Filariasis di Kabupaten Bengkalis Tahun 2013

BAB I PENDAHULUAN. Malaria adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh plasmodium yang

PENYELIDIKAN KEJADIAN LUAR BIASA DI GIANYAR. Oleh I MADE SUTARGA PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA 2015

URIC ACID RELATIONSHIP WITH BLOOD SUGAR PATIENTS TYPE 2 DIABETES MELLITUS THE EXPERIENCE OF OBESITY

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. klinis, penyakit ini menunjukkan gejala akut dan kronis. Gejala akut berupa

BUPATI SITUBONDO PERATURAN BUPATI SITUBONDO NOMOR 15 TAHUN 2007 TENTANG STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) BIDANG KESEHATAN DI KABUPATEN SITUBONDO

BUPATI JEMBRANA PERATURAN BUPATI JEMBRANA NOMOR 23 TAHUN 2014 TENTANG ELIMINASI MALARIA DI KABUPATEN JEMBRANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

SOP POMP FILARIASIS. Diposting pada Oktober 7th 2014 pukul oleh kesehatan

BUPATI BANGKA BARAT PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA BARAT NOMOR 13 TAHUN 2015 TENTANG

ABSTRAK STUDI KASUS PENENTUAN DAERAH ENDEMIS FILARIASIS DI DESA RANCAKALONG KABUPATEN SUMEDANG JAWA BARAT TAHUN 2008

5. Manifestasi Klinis

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Filariasis merupakan penyakit zoonosis menular yang banyak

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

KEEFEKTIFAN MODEL PENDAMPINGAN DALAM MENINGKATKAN CAKUPAN OBAT PADA PENGOBATAN MASSAL FILARIASIS

Rancangan KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TENTANG

PENGOBATAN FILARIASIS DI DESA BURU KAGHU KECAMATAN WEWEWA SELATAN KABUPATEN SUMBA BARAT DAYA

PERATURAN GUBERNUR PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA TENTANG. ELiMINASI MALARIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI BELITUNG PERATURAN BUPATI BELITUNG NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG ELIMINASI MALARIA DI KABUPATEN BELITUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. harus dipenuhi oleh setiap bangsa dan negara. Termasuk kewajiban negara untuk

ARTIKEL PENINGKATAN PERAN SERTA MASYARARAT DALAM PENGOBATAN FILARIASIS LIMFATIK DI KECAMATAN TIRTO KABUPATEN PEKALONGAN. Tri Ramadhani *, M.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Infeksi Trichuris trichiura adalah salah satu penyakit cacingan yang banyak

ANALISIS PRAKTIK PENCEGAHAN FILARIASIS DAN MF-RATE DI KOTA PEKALONGAN

BAB 1 PENDAHULUAN. terhadap ketahanan nasional, resiko Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) pada ibu

WALIKOTA LANGSA PERATURAN WALIKOTA LANGSA NOMOR 77 TAHUN 2013 TENTANG PEDOMAN ELIMINASI MALARIA DI KOTA LANGSA

BAB I PENDAHULUAN. gigitan nyamuk dari genus aedes misalnya Aedes aegypti atau Aedes albovictus.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

RISIKO KEJADIAN FILARIASIS PADA MASYARAKAT DENGAN AKSES PELAYANAN KESEHATAN YANG SULIT

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Malaria merupakan salah satu penyakit menular yang tersebar hampir di beberapa Negara tropis dan subtropis saat

BUPATI BANGKA TENGAH PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA TENGAH NOMOR 4 TAHUN 2014 TENTANG ELIMINASI MALARIA

MEDIA BRIEFING KEMENTERIAN KESEHATAN RI PERINGATAN HARI LUPUS SEDUNIA TAHUN 2018

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KESEHATAN. Wabah. Penyakit. Penanggulangannya.

BUPATI LUWU UTARA PROVINSI SULAWESI SELATAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan salah satu

BAB 4 HASIL PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. Pendahuluan Pada awal tahun 2004 kita dikejutkan kembali dengan merebaknya penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD), dengan jumlah kasus yang cukup

BAB I PENDAHULUAN. meningkatkan kesejahteraan rakyat secara menyeluruh. Pemberantasan penyakit. berperanan penting dalam menurunkan angka kesakitan

GUBERNUR JAWA TIMUR KEPUTUSAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 27 TAHUN 2004 TENTANG STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) BIDANG KESEHATAN KABUPATEN / KOTA

Juli Desember Abstract

KERANGKA ACUAN PROGRAM PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN PENYAKIT UPT. PUSKESMAS SOTEK

Transkripsi:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Filariasis 2.1.1 Definisi Filariasis atau yang lebih dikenal juga dengan penyakit kaki gajah merupakan penyakit menular menahun yang disebabkan oleh infeksi cacing filaria, yang hidup di saluran dan kelenjar getah bening (sistem limfatik) dan dapat menyebabkan gejala klinis akut dan atau kronis. Penyakit ini ditularkan oleh berbagai jenis nyamuk (Depkes RI, 2005). 2.1.2 Penyebab Filariasis di Indonesia disebabkan oleh 3 spesies cacing filaria yaitu : a. Wuchereria bancrofti Penyakit filariasis akibat Wuchereria bancrofti disebut Wuchereriasis atau Filariasis bancrofti. Hospesnya adalah manusia dan vektornya adalah nyamuk Culex pipianfatigans, di perkotaan nyamuk Aedes, dan Anopheles di daerah pedesaan. Cara infeksi yaitu melalui gigitan nyamuk yang mengandung larva stadium 3. Morfologi cacing dewasa bentuknya seperti benang, warna putih susu. Cacing jantan panjangnya 40 mm, ekor melingkar mempunyai 2 spikula, warna putih, sedangkan cacing betina panjangnya 65 100 mm, ekor lurus, ujung tumpul. b. Brugia malayi Penyakit filariasis akibat Brugia malayi disebut Brugiasis atau Filariasis malayi. Hospesnya adalah manusia, anjing, kucing dan kera. Vektornya adalah 9

10 nyamuk Anopheles. Cara infeksi yaitu melalui gigitan nyamuk yang mengandung larva stadium 3. Morfologi cacing dewasa bentuknya halus seperti benang, warnanya putih susu, cacing betina panjangnya 55 mm, ekor lurus, sedangkan cacing jantan ukurannya lebih kecil dari cacing betina (23 mm) dan ekornya melengkung ke arah ventral. c. Brugia timori Penyakit filariasis akibat Brugia timori disebut Brugiasis atau Filariasis timori. Hospesnya adalah manusia dan vektornya adalah nyamuk Anopheles barbirostis. Cara infeksi yaitu melalui gigitan nyamuk yang mengandung larva stadium 3. Morfologi cacing dewasa bentuknya halus seperti benang berwarna putih susu. Cacing betina panjangnya 40 mm dan ekornya lurus sedangkan cacing jantan ukurannya lebih kecil dari cacing betina (23 mm) dan ekornya melengkung ke arah ventral. 2.1.3 Daur Hidup Gambar 2.1 Siklus Hidup Cacing Filaria

11 Daur hidup cacing filaria yaitu ketika insekta (nyamuk) menghisap darah yang mengandung mikrofilaria, dalam beberapa jam kemudian mikrofilaria menembus dinding usus tengah nyamuk mencari jalan ke otot toraks dan mengalami metamorfosis dari bentuk larva ke bentuk filarial. Beberapa minggu kemudian mikrofilaria memasuki tahap infeksius. Ketika nyamuk kembali menggigit manusia, terjadi pemindahan larva yang infeksius melalui kulit ke hospes yang baru. Di sini larva tumbuh jadi dewasa. Periodisitas mikrofilaria dalam darah bervariasi tergantung pada spesiesnya. Periodisitas nokturna adalah karakteristik pada mikrofilaria Wuchereria bancrofti di belahan bumi sebelah barat. Mikrofilaria umumnya ditemukan di malam hari, jumlahnya bertambah mencapai maksimum di malam hari dan kemudian bersarang sampai minimum pada tengah hari. Mikrofilaria berada pada siang hari dalam pembuluh darah paru-paru, jantung dan otot, dalam aorta dan karotid. Pada malam hari mikrofilaria bermigrasi ke saluran darah perifer. 2.1.4 Patologi dan Simptomatologi Simptom filarial disebabkan oleh cacing dewasa, baik yang hidup, mati dan mengalami degenerasi. Mikrofilaria yang berada sekitar satu tahun setelah infeksi tidak memperlihatkan patologi atau sedikit sekali. Cacing dewasa berada dalam saluran limfe yang berdilatasi atau dalam sinus jaringan limfe.

12 Kemungkinan hasil infeksi filariasis dapat diklasifikasikan menjadi 3 bentuk : a. Filariasis Asimptomatik Di daerah endemik, anak-anak mudah terserang. Mereka mempunyai mikrofilaria dalam darahnya tanpa simptom. Pada waktu cacing dewasa mati dan mikrofilaria menghilang maka pasien bebas dari infeksi. b. Filariasis Inflammatory Infeksi filaria inflammatory adalah suatu fenomena alergi yang disebabkan karena sensitivitas terhadap produk cacing-cacing hidup atau mati. Kelenjar limfe genetalis yang terutama menderita efeknya. Pada pria umumnya terjadi limfangitis akut dari korda spermatika (funikulitis) dengan penebalan atau pembesaran korda dan lembut, epididimis, orokhitis dan oedem skrotum. Kadang-kadang terjadi serangan akut yang serupa dan berlangsung dalam interval beberapa bulan atau lebih lama pada pasien, dengan atau tanpa terjadinya elephantiasis. Biasanya efeknya menunjukkan anggota badan jadi merah, panas dan sakit. c. Filariasis Obstruktif (penyumbatan) Elephantiasis adalah hasil akhir yang dramatis pada filariasis. Filariasis obstruktif tumbuh perlahan-lahan biasanya berlangsung bertahun-tahun dengan infeksi yang terus menerus. Pada stadium kronis reaksi seluler dan oedem ditempati kembali oleh hyperplasia fibroblastic, absorpsi dan pergantian tempat parasit oleh jaringan granulasi proliferatif dan menyebabkan berbagai pelebaran limfe. Protein tinggi (high protein) mengisi limfe, karena stimulasi pertumbuhan kulit dan jaringan

13 ikat kolagen dan secara berangsur-angsur dalam periode beberapa tahun. Efek pembengkakan bertambah keras dan terjadi elephantiasis kronis. Penyumbatan duktus torasikus atau saluran limfe median abdominal dapat membawa efek terhadap skrotum dan penis dari pasien pria dan genita luar dari wanita. Elephantiasis umumnya memengaruhi atau memberi efek pada kaki dan genitalia. Berat elephantiasis pada skrotum dapat mencapai 25 kg. 2.1.5 Gejala dan Diagnosis Klinis Apabila seseorang terserang filariasis akut, maka gejala yang tampak adalah : a. Demam berulang-ulang selama 3-5 hari, demam dapat hilang bila si penderita istirahat dan muncul lagi setelah si penderita bekerja berat. b. Pembengkakan kelenjar getah bening sehingga terlihat bengkak di daerah lipatan paha, ketiak yang tampak kemerahan, panas dan sakit. c. Pembesaran tungkai, lengan, buah dada, buah zakar yang terlihat agak kemerahan dan merasa panas. Gejala klinis filariasis kronis yaitu berupa pembesaran yang menetap (Elephantiasis) pada tungkai, lengan, buah dada, dan buah zakar (elephantiasis skroti). Diagnosis klinis dapat dilakukan dengan pemeriksaan mikroskopis darah yang diambil malam hari. Menurut metode ini akan ditemukan mikrofilaria. 2.1.6 Pencegahan dan Pengobatan Prinsip pencegahan filariasis adalah melakukan pengobatan massal pada penduduk yang hidup di daerah endemis filariasis, pengobatan terhadap pendatang yang berasal dari daerah non endemik filariasis dan pengendalian nyamuk yang

14 menjadi vektor penularnya sesuai dengan daerah targetnya. Selain itu, memperbaiki lingkungan agar bebas vektor serta mencegah gigitan nyamuk, menggunakan repellent atau kelambu waktu tidur juga dapat meningkatkan upaya pencegahan penyebaran penyakit ini. Untuk pengobatan, obat yang pada saat ini banyak digunakan untuk filariasis bancrofti adalah DEC dengan dosis 3x2mg/kg berat badan/hari, selama 4 minggu. Pemberian DEC hanya ditujukan untuk mengobati tahap mikrofilaria, tahap filariasis akut, untuk mengobati kiluria, limfedema, dan tahap awal elephantiasis. Pengobatan dengan antihistamin serta pemberian obat-obat simptomatik, analgetik dan antipretik dapat diberikan sesuai dengan keluhan penderita dan gejala penyakit yang terjadi. Apabila telah terjadi hidrokel atau elephantiasis yang lanjut, penanganan filariasis hanya dapat dilakukan melalui pembedahan. 2.2 Program Eliminasi Filariasis (Depkes RI, 2005) Eliminasi filariasis adalah tercapainya keadaan dimana penularan filariasis sedemikian rendahnya sehingga penyakit ini tidak menjadi masalah kesehatan masyarakat. Program eliminasi filariasis di Indonesia dilaksanakan dengan pengobatan massal filariasis dan penatalaksanaan kasus filariasis. Pengobatan massal filariasis adalah pemberian obat kepada semua penduduk di daerah endemis filariasis dengan DEC, Albendazole dan Paracetamol sesuai takaran, setiap tahun sekali minimal selama 5 tahun berturut-turut, yang bertujuan untuk menghilangkan sumber penularan dan memutuskan mata rantai penularan filariasis, sedangkan tatalaksana kasus filariasis adalah pengobatan dan perawatan

15 penderita klinis yang bertujuan untuk mematikan cacing filaria serta mencegah dan membatasi kecacatan. Perawatan penderita lebih ditekankan pada perawatan mandiri dan seumur hidup. Adapun tujuan umum dari program eliminasi filariasis adalah filariasis tidak menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia pada tahun 2020, sedangkan tujuan khusus dari program eliminasi filariasis adalah menurunnya angka mikrofilaria (Mf rate) menjadi kurang dari 1% dan mencegah serta membatasi kecacatan karena filariasis. 2.2.1 Kebijakan Eliminasi filariasis merupakan salah satu prioritas nasional program pemberantasan penyakit menular. Pelaksanakan eliminasi filariasis di Indonesia dilaksanakan dengan menerapkan Program Eliminasi Filariasis Limfatik Global dari WHO, yaitu memutuskan rantai penularan filariasis serta mencegah dan membatasi kecacatan serta mencegah penyebaran filariasis antar kabupaten, provinsi dan negara. Adapun satuan lokasi pelaksanaan (Implementation Unit) eliminasi filariasis adalah kabupaten/kota. 2.2.2 Strategi Stategi yang digunakan yaitu (1) Memutuskan rantai penularan filariasis melalui pengobatan massal di daerah endemis filariasis; (2) Mencegah dan membatasi kecacatan melalui penatalaksanaan kasus klinis filariasis; (3) Pengendalian vektor secara terpadu; (4) Memperkuat kerjasama lintas batas daerah dan negara; (5) Memperkuat surveilans dan mengembangkan penelitian.

16 2.2.3 Kegiatan Pokok Meningkatkan Promosi, yaitu (1) Meningkatkan pengetahuan, sikap dan prilaku masyarakat, perorangan atau lembaga kemasyarakatan, agar berperan aktif dalam upaya eliminasi filariasis dan (2) Pengembangan pesan promosi yang mendukung peningkatan pengetahuan, sikap dan perilaku masyarakat dalam upaya eliminasi filariasis Pengembangan Sumber Daya Manusia Filariasis, yaitu (1) Memperkuat kemampuan sumber daya manusia dalam penyelenggaraan program eliminasi filariasis, baik melalui pendidikan, pelatihan, sosialisasi, distribusi informasi dan penyelenggaraan seminar eliminasi filariasis dan (2) Prioritas pendidikan dan pelatihan tenaga profesional adalah tenaga pelaksana eliminasi filariasis, tenaga epidemiologi, tenaga entomologi, serta tenaga mikroskopis di pusat dan daerah. Menyempurnakan Tata Organisasi, yaitu (1) Pembentukan Task Force Eliminasi Filariasis dan Kelompok Kerja Eliminasi Filariasis di pusat dan daerah; (2) Pengembangan jejaring kerja lintas program dan lintas sektor; (3) Penyempurnaan pedoman pelaksanaan program eliminasi filariasis; (4) Mendorong terbentuknya lembaga sosial kemasyarakatan (LSM) peduli filariasis. Meningkatkan Kemitraan, yaitu dengan (1) Inventarisasi dan merumuskan kerjasama lembaga mitra; (2) Prioritas kerjasama antara program eliminasi filariasis dengan program pemberantasan kecacingan, kusta, pengendalian vektor dan program lain yang dapat meningkatkan efisiensi dan efektivitas program eliminasi filariasis; (3) Prioritas kerjasama antar sektor adalah program Usaha Kesehatan Sekolah

17 terutama dalam rangka penemuan kasus dan pengobatan massal, serta lembaga mitra pemerintah, lembaga sosial kemasyarakatan, media massa, dan lain sebagainya; (4) Kerjasama dengan lembaga donor nasional dan internasional serta dunia usaha. Meningkatkan Advokasi, yaitu (1) Meningkatkan advokasi para penentu kebijakan untuk mendapatkan dukungan komitmen, tersusunnya peraturan perundangan, serta terlaksananya program eliminasi filariasis dengan dukungan anggaran, sumber daya manusia, dan sarana penunjang lainnya yang memadai serta penggerakan semua potensi yang ada di pusat dan daerah; (2) Prioritas advokasi adalah para menteri dan pimpinan lembaga pemerintahan terkait, Gubernur, Bupati, Walikota, DPR, DPRD Provinsi dan DPRD kabupaten/kota, badan dan dinas terkait di provinsi dan kabupaten/kota, Komisi Kesehatan di provinsi dan kabupaten/kota, pimpinan lembaga sosial kemasyarakatan, dunia usaha, media massa dan lembaga donor. Pemberdayaan Masyarakat, yaitu (1) Menumbuhkembangkan norma kemasyarakatan yang berdaya guna dan mandiri dalam upaya eliminasi filariasis; (2) Pemberdayaan masyarakat diutamakan dalam penemuan dan perawatan penderita klinis filariasis serta pelaksanaan pengobatan massal filariasis dengan sasaran prioritas pemberdayaan adalah penderita dan keluarganya, tokoh masyarakat, guru, tenaga kesehatan (medis dan paramedis praktek swasta), penyandang dana lokal dan masyarakat luas. Memperluas Jangkauan Program, yaitu (1) Melaksanakan tahapan kegiatan eliminasi filariasis agar tercapai tujuan eliminasi filariasis tahun 2020; (2) Perluasan

18 jangkauan program eliminasi filariasis dengan pendekatan kepulauan, pendekatan lintas batas administrasi pemerintahan, dan pendekatan kawasan epidemiologi filariasis; (3) Melaksanakan upaya pengendalian vektor secara terpadu, terutama dengan program pemberantasan malaria dan demam berdarah dengue. Memperkuat Sistem Informasi Strategis, yaitu (1) Mengembangkan sistem surveilans eliminasi filariasis yang mampu mendukung perencanaan, pengendalian dan evaluasi program eliminasi filariasis; (2) Mengembangkan sistem surveilans eliminasi filariasis kabupaten/kota yang terintegrasi dalam sistem surveilans eliminasi filariasis provinsi dan nasional serta dalam sistem surveilans epidemiologi kesehatan; (3) Peningkatan pemanfaatan teknologi komunikasi informasi elektromedia. 2.2.4 Pengorganisasian Pengorganisasian dilaksanakan agar semakin memperkuat kemampuan unitunit pelaksana program eliminasi filariasis di pusat dan daerah dengan tugas pokok dan fungsi yang jelas. Pada pengorganisasian di pusat, Kementerian Kesehatan merupakan pengendali utama program eliminasi filariasis di pusat yang mempunyai tugas sebagai berikut (1) Menetapkan kebijakan nasional eliminasi filariasis; (2) Menetapkan tujuan dan strategi nasional eliminasis; (3) Melaksanakan pengendalian pelaksanaan, monitoring dan evaluasi program eliminasi filariasis dengan memperkuat komitmen dan mobilisasi sumber daya yang ada; (4) Memperkuat kerjasama antar program di lingkungan Kementerian Kesehatan, kerjasama antar Departemen/Kementerian serta kerjasama lembaga mitra lainnya secara nasional,

19 juga bilateral antar negara dan lembaga internasional; (5) Menyediakan obat yang dibutuhkan dalam rangka pengobatan massal filariasis, terutama DEC, Albendazole dan Paracetamol; (6) Menyusun dan menetapkan pedoman umum dan teknis program eliminasi filariasis nasional; (7) Melaksanakan pelatihan nasional eliminasi filariasis, terutama pelatihan fasilitator pelatihan teknis operasional eliminasi filariasis; (8) Melaksanakan pembinaan dan asistensi teknis program eliminasi filariasis di provinsi; (9) Melaksanakan penelitian dalam pengembangan metode eliminasi filariasis yang lebih efektif dan efesien; (10) Membentuk National Task Force (NTF) eliminasi filariasis yang bertugas memberi masukan kepada pemerintah terhadap aspek kebijakan dan aspek teknis eliminasi, monitoring dan evaluasi pelaksanaan eliminasi filariasis serta advokasi dan sosialisasi para penentu kebijakan di pusat maupun daerah; (11) Membentuk Kelompok Kerja Eliminasi Filariasis; (11) Unit Pelaksana Teknis Balai Teknis Kesehatan Lingkungan dan Pemberantasan Penyakit Menular (BTKL-PPM) melaksanakan tugas surveilans epidemiologi dan laboratorium eliminasi filariasis regional. Pada pengorganisasian di provinsi, Dinas Kesehatan Provinsi merupakan pengendali utama program eliminasi filariasis di tingkat provinsi yang mempunyai kewenangan tugas sebagai berikut (1) Menetapkan kebijakan eliminasi filariasis provinsi; (2) Menetapkan tujuan dan strategi eliminasi filariasis di tingkat provinsi; (3) Melaksanakan pengendalian pelaksanaan, monitoring dan evaluasi program eliminasi filariasis dengan memperkuat komitmen, mobilisasi sumber daya provinsi; (4) Memperkuat kerjasama lintas program dan lintas sektor serta kerjasama lembaga

20 mitra kerja lainnya di provinsi; (5) Melaksanakan pembinaan dan asistensi teknis program eliminasi filariasis di kabupaten/kota; (6) Melaksanakan pelatihan eliminasi filariasis di provinsi, terutama pelatihan fasilitator pelatihan teknis operasional eliminasi filariasis; (7) Melaksanakan pemetaan dan penetapan daerah endemis filariasis serta survei evaluasi pengobatan masal filariasis; (8) Membentuk Provincial Task Force eliminasi Filariasis. Pada pengorganisasian di kabupaten/kota, Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota merupakan pengendali utama program eliminasi filariasis di tingkat kabupaten/kota yang mempunyai tugas dan kewenangan sebagai berikut (1) Menetapkan kebijakan eliminasi filariasis di kabupaten/kota; (2) Menetapkan tujuan dan strategi eliminasi filariasis di tingkat kabupaten/kota (3) Melaksanakan pengendalian pelaksanaan, monitoring dan evaluasi program eliminasi filariasis dengan memperkuat komitmen, mobilisasi sumber daya kabupaten/kota; (4) Memperkuat kerjasama lintas program dan lintas sektor serta kerjasama lembaga mitra kerja lainnya di kabupaten/kota; (5) Melaksanakan pembinaan dan asistensi teknis program eliminasi filariasis di puskesmas, rumah sakit dan laboratorium daerah; (6) Melaksanakan pelatihan eliminasi filariasis di kabupaten/kota; (7) Melaksanakan evaluasi cakupan POMP filariasis dan penatalaksanaan kasus klinis kronis filariasis di daerahnya; (8) Membentuk District Task Force eliminasi filariasis; (9) Mengalokasikan anggaran biaya operasional dan melaksanakan POMP filariasis; (10) Mengalokasikan anggaran dan melaksanakan pengobatan selektif, penatalaksanaan kasus reaksi pengobatan, dan penatalaksanaan kasus klinis filariasis; (11) Mengkoordinir dan memastikan

21 pelaksanaan tugas puskesmas sebagai pelaksana operasional program eliminasi filariasis kabupaten/kota. 2.2.5 Langkah-langkah Eliminasi a. Pentahapan Kabupaten/Kota 1. Penemuan Kasus Klinis Filariasis Setiap kabupaten/kota mengumpulkan data kasus klinis filariasis yang dilakukan pemutakhiran secara teratur setiap akhir tahun. Data ini merupakan data dasar penetapan endemisitas daerah, lokasi survei data dasar (baseline survey), penetapan prioritas daerah, pelaksana kegiatan penatalaksanaan kasus klinis filariasis dan evaluasi program eliminasi filariasis. Secara operasional, penemuan kasus klinis filariasis dilaksanakan oleh puskesmas dengan melaksanakan kegiatan (1) Kampanye penemuan dan penatalaksanaan kasus klinis filariasis; (2) Mendorong penemuan dan pelaporan kasus oleh masyarakat, kepala desa, PKK, guru dan pusat-pusat pelayanan kesehatan; (3) Pemeriksaan dan penetapan kasus klinis filariasis; (4) Perekaman dan pelaporan data kasus klinis filariasis. 2. Penentuan Endemisitas Filariasis di Kabupaten/Kota Daerah endemis filariasis menjadi prioritas penyelenggaraan eliminasi filariasis di kabupaten/kota, provinsi dan nasional. Penentuan endemisitas filariasis di kabupaten/kota dapat dilakukan dengan tahapan sebagai berikut (1) Kabupaten/kota yang memiliki kasus klinis filariasis melaksanakan survei mikrofilaria (Survei Darah Jari) di desa dengan jumlah kasus klinis filariasis terbanyak. Mf rate 1% atau lebih

22 merupakan indikator kabupaten/kota endemis filariasis; (2) Kabupaten/kota yang terdapat kasus klinis filariasis, berdekatan atau berada di antara dua daerah endemis filariasis dan memiliki geografi serta budaya masyarakat yang kurang lebih sama dengan daerah endemis filariasis ditetapkan sebagai kabupaten/kota endemis filariasis; (3) Penentuan kabupaten/kota endemis ditetapkan dengan Keputusan Gubernur. 3. Survei Data Dasar Sebelum Pengobatan Massal Filariasis Kabupaten/kota yang telah ditetapkan sebagai kabupaten/kota endemis filariasis dan akan melaksanakan pengobatan massal perlu melakukan survei data dasar di minimal 2 desa berdasarkan jumlah kasus klinis terbanyak. 4. Pengobatan Massal Filariasis Pengobatan massal dilakukan pada semua penduduk kabupaten/kota, sekali setahun selama minimal 5 tahun berturut-turut. Pengobatan massal dapat dilakukan serentak pada seluruh wilayah kabupaten/kota atau secara bertahap per kecamatan sesuai dengan kemampuan daerah dalam mengalokasikan anggaran daerah untuk kegiatan pengobatan massal. Pengobatan massal secara bertahap harus dapat diselesaikan di seluruh wilayah kabupaten/kota dalam waktu 5-7 tahun agar infeksi tidak terjadi. 5. Monitoring dan Evaluasi Monitoring cakupan pengobatan massal dilaksanakan setiap tahun setelah pengobatan massal dan survei evaluasi prevalensi mikrofilaria dilaksanakan sebelum pengobatan massal tahun ketiga dan kelima.

23 6. Sertifikasi Eliminasi Filariasis Setifikasi dilakukan setelah pengobatan massal tahun kelima. Sertifikasi adalah penilaian untuk menentukan apakah kabupaten/kota telah berhasil mengeliminasi filariasis. 7. Penatalaksanaan Kasus Klinis Penatalaksanaan kasus klinis dilakukan terhadap semua kasus klinis ditemukan untuk mencegah dan membatasi kecacatan. Penatalaksanaan kasus dilakukan dengan pemberian obat dan perawatan. 8. Penatalaksanaan Kasus Asimptomatis Setiap orang sehat yang ditemukan mikrofilaria dalam darahnya mendapat pengobatan yang memadai agar tidak menderita klinis filariasis dan tidak menjadi sumber penularan terhadap masyarakat sekitarnya. 9. Pengendalian Vektor Pengendalian nyamuk sebagai vektor penular filariasis dilaksanakan untuk memutus rantai penularan. Dilaksanakan secara terpadu dengan pengendalian vektor penyakit malaria, demam berdarah dan pengendalian vektor lainnya.

24 Gambar 2.2 Skema Proses Eliminasi Filariasis di Kabupaten/Kota Kabupaten/kota endemis rendah filariasis adalah kabupaten/kota yang terdapat penderita filariasis, tetapi dengan Mf rate <1%. b. Pentahapan Provinsi 1. Provinsi bertugas untuk menentukan endemisitas filarias is semua kabupaten/kota yang ada diwilayahnya yang diharapkan selesai tahun 2006. 2. Provinsi mendorong perluasan pelaksanaan eliminasi semua kabupaten/kota endemis filariasis melaksanakan filariasis sehingga program eliminasi. Pada tahun 2014, semua kabupaten/kota endemis filariasis telah selesai melaksanakann pengobatan massal. 3. Melaksanakann kerjasama lintas batas kabupaten/kota.

25 c. Pentahapan Nasional 1. Mendorong perluasan jangkauan program ke seluruh provinsi. 2. Mendorong kerjasama lintas batas antar provinsi. 3. Mendorong kerjasama lintas batas dengan negara lain. 4. Pada tahun 2014, semua kabupaten/kota endemis filariasis telah melaksanakan pengobatan massal filariasis tahun kelima. 5. Prasertifikasi eliminasi filariasis dilakukan tahun 2015 2020. Secara skematis, agenda eliminasi filariasis Indonesia dapat dilihat pada tabel berikut : Tabel 2.1 Agenda Eliminasi Filariasis Indonesia d. Pendekatan Perluasan Program Pendekatan ini perlu diterapkan untuk mencegah terjadinya reinfeksi daerah yang sudah eliminasi.

26 1. Pendekatan kepulauan. Perluasan jangkauan program eliminasi filariasis dilakukan dengan mengutamakan pelaksanaan pengobatan massal secara serentak pulau per pulau. 2. Pendekatan lintas batas. Perluasan jangkauan program dengan mengutamakan daerah yang berbatasan langsung dengan daerah yang sedang melaksanakan pengobatan massal. 3. Pendekatan blok. Perluasan jangkauan program dengan mengutamakan blok per blok daerah yang mempunyai kesamaan geografis, budaya, mobilitas penduduk atau secara epidemiologi mudah terjadi penularan. 2.2.6 Sumber Dana dan Sarana Pemerintah pusat dan daerah menggalang setiap sumber pendanaan pemerintah, lembaga kemasyarakatan, kerjasama antarnegara dan lembaga internasional. Adapun sumber dana dan sarana dalam program eliminasi filariasis yaitu : a. Biaya operasional pelaksanaan pengobatan massal filariasis di kabupaten/kota, puskesmas dan penggerakan masyarakat bersumber dari alokasi anggaran di kabupaten/kota dan kerjasama di kabupaten/kota. b. Pengadaan obat-obatan dalam pelaksanaan pengobatan massal filariasis bersumber dari pemerintah (Departemen Kesehatan) untuk obat DEC dan Paracetamol, dan Badan Kesehatan Dunia (WHO) untuk obat Albendazole.

27 c. Alokasi anggaran dan pelaksanaan pengobatan selektif, penatalaksanaan reaksi pengobatan massal filariasis bersumber dari anggaran pemerintah kabupaten/kota. d. Pemetaan, survei cakupan pengobatan massal dan survei evaluasi prevalensi mikrofilaria bersumber dari alokasi anggaran pemerintah provinsi. e. Untuk penatalaksanaan kasus klinis filariasis, biaya operasional dan logistik obat serta sarana penunjang lainnya bersumber dari alokasi anggaran pemerintah kabupaten/kota. 2.2.7 Indikator Kinerja Indikator kinerja program eliminasi filariasis adalah sebagai berikut : a. Persentase kabupaten endemis menjadi tidak endemis. b. Persentase kasus yang ditangani per tahun (> 90%). 2.3 Pengobatan Massal Filariasis (Depkes RI, 2005) Dalam rangka eliminasi filariasis, tujuan pengobatan massal adalah untuk memutus transmisi filariasis dengan menurunkan Mf rate menjadi <1% dan menurunkan kepadatan rata-rata mikrofilaria. Sasaran pengobatan massal dilaksanakan serentak terhadap semua penduduk yang tinggal di daerah endemis filariasis, tetapi pengobatan untuk sementara ditunda bagi (1) anak-anak berusia kurang 2 tahun; (2) Ibu hamil; (3) Orang yang sedang sakit berat; (4) Penderita kasus kronis filariasis sedang dalam serangan akut; (5) Balita dengan marasmus atau kwashiorkor.

28 2.3.1 Jenis Obat dan Cara Pemberian Jenis obat yang diberikan dalam pengobatan massal filariasis yaitu : a. Diethyl Carbamazine Citrate (DEC) DEC mempunyai pengaruh yang cepat terhadap mikrofilaria. Dalam beberapa jam mikrofilaria di sirkulasi darah mati. Cara kerja DEC adalah melumpuhkan otot mikrofilaria sehingga tidak dapat bertahan di tempat hidupnya dan mengubah komposisi dinding mikrofilaria menjadi lebih mudah dihancurkan oleh sistem pertahanan tubuh hospes. DEC juga dapat menyebabkan matinya sebagian cacing dewasa. Cacing dewasa yang masih hidup dapat dihambat perkembangbiakannya selama 9 12 bulan. Setelah diminum, DEC dengan cepat diserap oleh saluran cerna dan mencapai kadar maksimal dalam plasma darah setelah 4 jam dan akan dieksresikan seluruhnya melalui urin dalam waktu 48 jam. b. Albendazole Albendazole dikenal sebagai obat yang digunakan dalam pengobatan cacing usus (cacing gelang, cacing kremi, cacing cambuk dan cacing tambang). Albendazole juga dapat meningkatkan efek DEC dalam mematikan cacing filaria dewasa dan microfilaria tanpa menambah reaksi yang tidak dikehendaki. Di daerah endemis filariasis, seringkali prevalensi cacing usus cukup tinggi, sehingga penggunaan Albendazole dalam pengobatan massal filariasis juga akan efektif mengendalikan prevalensi cacing usus.

29 c. Obat Reaksi Pengobatan Untuk mengatasi adanya reaksi pengobatan digunakan Parasetamol, CTM, Antasida doen, salep antibiotika, infus set, cairan infus ringer laktat, antibiotika oral, vitamin B6, kortikosteroid injeksi, adrenalin injeksi. Cara pemberian obat massal menggunakan obat DEC, Albendazole dan Paracetamol diberikan sekali setahun selama minimal 5 tahun. DEC diberikan 6 mg/kgbb, Albendazole 400 mg untuk semua golongan umur dan Paracetamol 10 mg/kgbb sekali pemberian. Sebaiknya obat diminum sesudah makan dan di depan petugas. 2.3.2 Perencanaan Pengobatan Massal di Kabupaten/Kota a. Menyiapkan Data Dasar dan Menghitung Kebutuhan Obat Serta Logistik Lainnya Persiapan yang perlu dilakukan yaitu (1) Melaksanakan survei data dasar sebelum pengobatan massal di dua desa dengan jumlah kasus terbanyak. Survei ini dilaksanakan sesuai dengan metode survei darah jari; (2) Menyiapkan data jumlah penduduk di tiap desa menurut golongan umur; (3) Menghitung kebutuhan obat dan logistik lainnya. b. Pertemuan Koordinasi Kabupaten/Kota Tujuan pertemuan koordinasi kabupaten/kota yaitu mendapatkan kesepakatan dengan puskesmas untuk melaksanakan pengobatan massal. Peserta terdiri dari kepala dinas kesehatan kabupaten/kota dan program terkait serta kepala puskesmas dan pengelola program filariasis puskesmas. Materi bahasan yaitu tinjauan ulang

30 program eliminasi filariasis dan rencana pengobatan massal filariasis, meliputi jumlah sasaran, jumlah TPE, kebutuhan obat dan bahan serta sarana, pendanaan pengobatan massal. Waktu pelaksanaan adalah dua bulan sebelum pengobatan massal. c. Advokasi Kabupaten Tujuannya adalah memperoleh dukungan pelaksanaan pengobatan massal serta menjelaskan reaksi pengobatan dan memperoleh dukungan politis dan dana pengobatan massal tahun berikutnya. Sasaran adalah Bupati/walikota, Bappeda, DPRD, Dinas terkait, Camat, PKK, Ormas dan pengelola media massa. Waktu pelaksanaan dua bulan sebelum pengobatan massal di kabupaten/kota. Metode yang digunakan yaitu (1) Pertemuan dengan bupati/walikota dan camat untuk melaporkan rencana kegiatan pengobatan massal filariasis; (2) Rapat koordinasi kabupaten/kota dan kecamatan dan pertemuan-pertemuan lainnya yang dapat dimanfaatkan untuk kegiatan advokasi dan sosialisasi tersebut; (3) Membuat surat instruksi bupati/walikota tentang pelaksanaan pengobatan massal kepada camat dan dinas terkait (dinas pendidikan, dinas informasi, badan pemberdayaan masyarakat, dan lain-lain). d. Pertemuan Koordinasi Kecamatan Peserta terdiri dari camat, lintas sektor terkait, kepala puskesmas, kepala desa/lurah, Toma, Toga, LSM dan Ormas. Bahan yang diperlukan yaitu kit media penyuluhan filariasis. Waktu pertemuan koordinasi dilaksanakan selama satu hari, 1-2 minggu sebelum pelatihan TPE (Tenaga Pelaksana Eliminasi).

31 e. Sosialisasi Tujuan yaitu meningkatkan pengetahuan, sikap, dan perilaku masyarakat tentang pengobatan massal filariasis sehingga semua penduduk melaksanakan pengobatan (cakupan pengobatan massal tinggi) dan menyikapi dengan benar apabila apabila terjadi reaksi pengobatan. Waktu yaitu selama satu bulan terus menerus menjelang pengobatan massal. Sasaran adalah tokoh masyarakat, tokoh agama, guru, LSM, dan masyarakat umum, dengan metode (1) Menyelenggarakan pertemuan sosialisasi pengobatan massal; (2) Penyuluhan langsung; (3) Sosialisasi di tempat-tempat umum, institusi pendidikan, tempat kerja, posyandu; (4) Penyuluhan tidak langsung; (5) Media elektronik (radio, tv, film, vcd, dll); (6) Media cetak (poster, leaflet, stiker, koran, dll). f. Tenaga Pelaksana Eliminasi (TPE) Filariasis Setiap TPE bertanggung jawab untuk 20-30 KK (100-150 orang) tergantung kondisi daerah masing-masing. Setiap TPE mendapat 1 paket bahan pelatihan yang terdiri dari buku pedoman TPE, kit media penyuluhan filariasis, kartu pengobatan, formulir pelaporan pengobatan massal TPE dan alat tulis. Penyelenggaraan pelatihan diadakan 1 minggu sebelum pelaksanaan pengobatan selama 1 hari. Pelatihan dilaksanakan berkelompok, dengan peserta 30 TPE per kelompok. Pelatih adalah petugas puskesmas terlatih. Adapun materi pelatihan yaitu (1) Pengertian filariasis yang meliputi gejala dan tanda filariasis, penyebab dan cara penularan filariasis, pengobatan massal filariasis, pengenalan

32 reaksi pengobatan, pencegahan filariasis; (2) Kegiatan TPE dalam pelatihan eliminasi filariasis antara lain pengisian kartu pengobatan, praktek pengisian formulir, pelaporan pengobatan massal, menyusun rencana kegiatan. Adapun rencana kegiatan TPE yaitu (1) Menetapkan wilayah kerja TPE; (2) Menetapkan lokasi dan waktu pemberian obat; (3) Sensus penduduk, pendataan kasus kronis filariasis; (3) Penyuluhan pengobatan massal; (4) Menyiapkan obat-obatan; (5) Menyiapkan pelaksanaan pengobatan massal, misalnya menyiapkan ruangan, bahan administrasi, dan lain-lain. 2.3.3 Pelaksanaan Pengobatan Massal a. Persiapan Persiapan pelaksanaan pengobatan massal dilaksanakan oleh Tenaga Pelaksana Eliminasi (TPE). Adapun kegiatan penyiapan masyarakat dilaksanakan dengan penyediaan bahan, alat dan obat dan mengunjungi warga dari rumah ke rumah di wilayah binaan TPE untuk (1) Memberikan informasi kepada masyarakat tentang tempat, waktu dan berbagai hal (antara lain makan dulu sebelum minum obat) mengenai filariasis dan pengobatan massal; (2) Mengisi kartu pengobatan dan formulir sensus penduduk binaan; (3) Menyeleksi dan mencatat penduduk yang ditunda pengobatannya; (4) Pendataan kasus kronis filariasis. b. Pelaksanaan Pelaksanaan pengobatan massal dilakukan oleh TPE dibawah pengawasan petugas kesehatan di pos-pos pengobatan massal. Adapun kegiatan yang dilakukan yaitu (1) Menyiapkan pos pengobatan massal, obat, kartu pengobatan dan air minum

33 (masing-masing penduduk dapat membawa air minum); (2) Mengundang penduduk untuk datang ke pos pengobatan yang telah ditentukan; (3) Memberikan obat yang harus diminum di depan TPE dengan dosis yang telah ditentukan dan mencatatnya di kartu pengobatan; (4) Mengunjungi penduduk yang tidak datang dari rumah ke rumah; (5) Mencatat jenis efek samping pengobatan massal di kartu pengobatan dan melaporkannya kepada petugas kesehatan; (6) Membuat laporan. Obat DEC dan Albendazole adalah obat yang aman dan memiliki toleransi yang baik tetapi kadang-kadang dapat terjadi reaksi pengobatan terutama pada infeksi Brugia malayi dan Brugia timori. Reaksi yang terjadi dapat berupa reaksi umum dan reaksi lokal. Reaksi umum terjadi akibat respon imunitas individu terhadap matinya mikrofilaria, makin banyak mikrofilaria mati makin besar reaksi yang dapat terjadi. Reaksi umum terdiri dari sakit kepala, pusing, demam, mual, menurunnya nafsu makan, muntah, sakit otot, sakit sendi, lesu, gatal-gatal, keluar cacing usus, dan asma bronkial. Reaksi umum hanya terjadi pada 3 hari pertama setelah pengobatan massal. Reaksi yang ringan biasanya dapat sembuh sendiri tanpa harus diobati. Reaksi lokal disebabkan oleh matinya cacing dewasa yang dapat timbul sampai 3 minggu setelah pengobatan massal. Reaksi yang terjadi berupa nodul di kulit skrotum, limfadenitis, limfangitis, epididimitis, abses, ulkus. Hal yang paling penting dalam pengobatan massal adalah penjelasan dan pemahaman mengenai reaksi kepada penduduk agar penduduk tidak merasa takut dan tidak menolak untuk diobati pada tahap selanjutnya. Penatalaksanaan reaksi yang

34 tidak tepat akan memberikan dampak yang lebih buruk terhadap masyarakat di daerah endemis sehingga dapat mengganggu jalannya Program Eliminasi Filariasis. Dalam pelaksanaan pengobatan massal filariasis perlu dilakukan antisipasi menghadapi kemungkinan terjadinya reaksi pengobatan dengan mengadakan (1) Pemberitahuan kepada masyarakat bahwa reaksi pengobatan dapat terjadi namun persentasenya kecil; (2) Tempat memperoleh pertolongan yang diperlukan bila terjadi reaksi pengobatan; (3) Puskesmas tempat dilaksanakannya pengobatan massal memiliki stok obat reaksi pengobatan yang cukup; (4) Persiapan para dokter praktek dan petugas paramedis lainnya di daerah dimana pengobatan massal dilaksanakan agar mampu mengobati reaksi pengobatan dan memberikan penjelasan yang tepat seperti penjelasan bahwa obat diminum sesudah makan dan peringatan untuk tidak memberikan obat pada sasaran yang ditunda pengobatannya. Adapun jenis obat reaksi pengobatan massal filariasis yaitu (1) Paracetamol 500 mg untuk mengatasi demam, sakit kepala, pusing, sakit otot; (2) CTM 4 mg untuk mengatasi alergi dan gatal-gatal; (3) Antasida Doen untuk mengatasi gejala mual dan muntah-muntah; (4) Salep antibiotika untuk mengobati abses dan ulkus; (5) Amoksilin 500 mg untuk mengobati abses dan ulkus. Untuk mengantisipasi terjadinya reaksi pengobatan massal filariasis, maka perlu dibentuk Komite Reaksi Pengobatan. Anggota Komite Reaksi Pengobatan disesuaikan dengan kebutuhan, antara lain dapat terdiri dari dokter, ahli penyakit dalam, ahli farmako klinik, ahli farmasi, epidemiologi, ahli parasit, ahli program eliminasi filariasis, dan ahli hukum kesehatan.

35 Tugas Komite Reaksi Pengobatan yaitu (1) Memberikan rekomendasi penggunaan obat dalam rangka pengobatan massal filariasis; (2) Menetapkan adanya reaksi pengobatan pada suatu pengobatan massal filariasis; (3) Rekomendasi tindakan yang perlu dilakukan dan antisipasinya. Setiap pelaksanaan pengobatan massal, kadang-kadang terjadi kejadian yang tidak diinginkan yang berakibat fatal, mengancam jiwa, menyebabkan kecacatan, atau pasien menderita kelainan kongenital, kanker atau dosis yang diberikan berlebihan sehingga pasien harus segera dirujuk ke rumah sakit, keadaan ini disebut Serious Adverse Experience (SAE). Bila terjadi SAE, pasien harus segera dirujuk, dilakukan tindakan yang diperlukan serta dicari penyebab terjadinya SAE. Kejadian ini harus pula segera dilaporkan langsung ke pusat, sehingga dapat segera dilakukan penyelidikan SAE lebih lanjut. c. Pengorganisasian Adapun tugas dan tanggung jawab pusat (Ditjen PPM&PL, Kemenkes RI) yaitu : (1) Pengadaan dan pendistribusian obat pengobatan massal filariasis; (2) Menyusun pedoman dan penggandaan master buku pedoman; (3) Pelatihan teknis tenaga pelatih provinsi; (4) Bimbingan teknis; (5) Menggalang kemitraan nasional dan internasional: (6) Memonitor dan mengevaluasi pengobatan massal. Tugas dan tanggung jawab Dinas Kesehatan Provinsi yaitu (1) Penggandaan buku pedoman dan bahan KIE; (2) Pelatihan teknis tenaga pelatih kabupaten/kota; (3) Bimbingan teknis; (4) Menggalang kemitraan provinsi: (5) Memonitor dan mengevaluasi pengobatan massal.

36 Tugas dan tanggung jawab Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota yaitu (1) Menganggarkan biaya operasional; (2) Penggandaan buku pedoman dan bahan KIE; (3) Pelatihan teknis tenaga pengelola filariasis puskesmas; (4) Bimbingan teknis; (5) Mendistribusikan logistik; (6) Menggalang kemitraan kabupaten/kota; (7) Memonitor dan mengevaluasi pengobatan massal; (8) Penggerakan unit terkait dalam pelaksanaan operasional pengobatan massal di kabupaten/kota (puskesmas, rumah sakit, dan sebagainya). Tugas dan tanggung jawab puskesmas yaitu (1) Pelatihan TPE; (2) Bimbingan teknis; (3) Menggalang kemitraan kecamatan; (4) Melaksanakan pengobatan massal dan tata laksana kasus; (5) Memonitor dan evaluasi hasil-hasil pengobatan massal dan reaksi pengobatan; (6) Koordinasi dan penggerakan petugas puskesmas, terutama tugas supervisi, pengawasan dan monitoring pengobatan massal dan reaksi pengobatan. d. Koordinasi Pelaksanaan Pengobatan Dalam melaksanakan kegiatan pengobatan harus melibatkan program dan sektor terkait di masing-masing jenjang administrasi. e. Monitoring Monitoring yang dilaksanakan oleh puskesmas yaitu (1) Memonitor pelaksanaan pengobatan massal dan kejadian reaksi pengobatan; (2) Menghitung persediaan, pemakaian, dan sisa obat.

37 Monitoring yang dilaksanakan oleh kabupaten/kota yaitu (1) Memonitor hasil pengobatan massal berdasarkan laporan puskesmas; (2) Menghitung persediaan, pemakaian, dan sisa obat; (3) Menindaklanjuti rujukan puskesmas. Monitoring yang dilaksanakan oleh provinsi yaitu (1) Memonitor pelaksanaan pengobatan massal; (2) Memonitor hasil pengobatan massal bedasarkan laporan kabupaten/kota; (3) Melaksanakan survei cakupan pengobatan massal; (4) Menindaklanjuti reaksi pengobatan. Monitoring yang dilaksanakan oleh pusat yaitu (1) Memonitor pelaksanaan pengobatan massal; (2) Memonitor hasil pengobatan massal berdasarkan laporan kabupaten/kota dan provinsi; (3) Melaksanakan survei cakupan pengobatan sesuai kebutuhan pusat; (4) Merekapitulasi laporan hasil pelaksanaan eliminasi filariasis. f. Evaluasi Evaluasi pengobatan massal adalah bagian yang paling penting dalam program eliminasi filariasis. Ada dua hal yang harus diperhatikan dalam mengevaluasi pengobatan massal, yaitu (1) jumlah penduduk yang minum obat (cakupan pengobatan) dan (2) Menurunnya prevalensi mikrofilaria. Untuk mengevaluasi keberhasilan pengobatan massal di kabupaten/kota, ada beberapa hal yang harus diperhatikan yaitu : 1. Cakupan geografis. Cakupan geografis adalah persentase desa atau kelurahan yang diobati dalam satu kabupaten/kota di setiap tahun pengobatan. Cakupan ini dipergunakan untuk menilai apakah pengobatan massal telah dilaksanakan di seluruh desa/kelurahan di kabupaten/kota yang endemis tersebut.

38 Cakupan ini dihitung dengan rumus : Jumlah desa/kelurahan yang diobati x 100 Jumlah seluruh desa/kelurahan 2. Cakupan pengobatan. Cakupan pengobatan dapat menjelaskan jumlah penduduk yang beresiko untuk diobati dan aspek epidemiologinya dibuat setiap tahun, dengan perhitungan angka pencapaian pengobatan : Jumlah penduduk yang meminum obatnya x 100 Jumlah seluruh penduduk di kabupaten 3. Angka keberhasilan pengobatan. Cakupan ini dapat menjelaskan efektivitas pengobatan massal, dihitung dengan rumus : Jumlah penduduk yang meminum obatnya x 100 Jumlah penduduk sasaran pengobatan massal 4. Survei cakupan. Tujuannya yaitu untuk menilai kebenaran cakupan pengobatan massal berdasarkan laporan di kabupaten. Pelaksana survei adalah provinsi atau badan yang independen dan dilaksanakan satu bulan setelah pengobatan massal. Survei ini dilaksanakan satu kali setelah siklus pertama pengobatan massal dengan metode kuesioner cluster survey.

39 Tabel 2.2 Penilaian Hasil Cakupan Pengobatan Massal & Survei Cakupan di Implementation Unit (IU) Penemuan Yang harus diperhatikan Tindak Lanjut Cakupan pengobatan massal dan cakupan survei keduanya rendah Cakupan pengobatan massal lebih tinggi dari cakupan survei Cakupan pengobatan massal lebih rendah dari cakupan survei Cakupan pengobatan massal dan cakupan survei keduanya tinggi Cakupan geografis adalah desa yang tidak diobati Cakupan pengobatan massal pada tiap kelompok umur (<2th, 2-5th, 6-14th, dan >14th) adakah kelompok umur yang tidak diobati Alasan penduduk sasaran pengobatan yang tidak meminum obatnya Survei pengetahuan, sikap dan perilaku untuk menilai permasalahan yang ada Kader tidak betul melaporkan angka penduduk yang minum obat Jumlah penduduk di IU dan jumlah sasaran pengobatan massal tidak betul atau telah berubah, atau penduduk dari luar IU juga meminum obat dan dicatat sebagai penduduk di IU Jumlah penduduk di luar IU dan jumlah sasaran pengobatan massal tidak betul atau sudah berubah Sistem pencatatan sudah baik Masyarakat dan kader telah termotivasi dengan baik Semua aparat yang terlibat dalam pengobatan massal berada di tempat dan bekerja dengan baik Tergantung dari masalahnya, mungkin dibutuhkan pengobatan massal di wilayah yang belum diobati Memperbaharui penggerakan di masyarakat agar mau minum obat filariasis Memperbaharui motivasi dan kemampuan kader dalam memberikan obat filariasis melalui training dan supervisi Memperbaharui motivasi dan kemampuan kader dalam memberikan obat filariasis melalui training dan supervisi Tanyakan kepada kader apakah benar ada penduduk di luar IU yang tercatat sebagai sasaran pengobatan massal di IU yang dilaporkan kemudian keluarkan penduduk tersebut dari pencatatan Perbaiki data jumlah penduduk tersebut Pertahankan hasil pengobatan massal yang sudah baik tersebut sampai pengobatan tahun berikutnya

40 g. Pencatatan dan Pelaporan Dalam pelaksanaan pengobatan massal, perlu dilakukan pencatatan dan pelaporan yang berguna untuk memberikan informasi hasil kegiatan sebagai bahan masukan dalam mengambil kebijakan selanjutnya. Alur pelaksanaan pencatatan dan pelaporan dalam pelaksanaan pengobatan massal dapat digambarkan sebagai berikut : Gambar 2.3 Alur Pencatatan dan Pelaporan Pelaksanaan Pengobatan Massal Filariasis

41 h. Penjadwalan Kegiatan POMP filariasis Adapun penjadwalan kegiatan Pemberian Obat Massal Pencegahan filariasis dapat dilihat pada tabel berikut : Tabel 2.3 Jadwal Kegiatan POMP Filariasis No Jenis Kegiatan Waktu Penanggungjawab Desa Kecamatan Kabupaten /Pelaksana 1 Koordinasi H 2 bulan Dinkes Kab 2 Advokasi H 1 bulan H 2 bulan Puskesmas, Dinkes Kab 3 Sosialisasi 4 5 6 7 8 9 10 Persiapan TPE a. Pemilihan TPE b. Pelatihan TPE Distribusi a. Bahan dan Peralatan b. Obat Penyiapan Masyarakat Pelaksanaan POMP Filariasis Monitoring Reaksi POMP Filariasis Pemberian Obat Kepada Penduduk yang Tidak Hadir Pencatatan dan Pelaporan a. Cakupan Pengobatan b. Reaksi H 2 s/d 7 hari H 1 minggu H 3 hari H 5 hari H 1 minggu H 1 bulan H 7 hari H 2 minggu H 2 minggu H 1 bulan H 1 bulan H 1 bulan Kades, Puskesmas, Dinkes Kab Puskesmas Puskesmas Masing-masing Puskesmas H H Puskesmas H + 4 jam s/d 3 hari H + 1 minggu H + 10 hari H + 3 minggu H + 4 jam s/d 3 minggu H + 2 minggu H + 1 bulan H + 1 bulan H + 1 bulan H + 1 bulan H + 1 bulan Puskesmas Masing-masing Masing-masing

42 2.4 Fokus Penelitian Berdasarkan teori yang telah diuraikan, maka fokus dalam penelitian ini adalah : Gambar 2.4 Fokus Penelitian

43 Berdasarkan fokus penelitian diatas, maka dapat dirumuskan definisi fokus penelitian sebagai berikut : 1. Kebijakan adalah kebijakan yang ditetapkan sebagai dasar/pedoman pelaksanaan program eliminasi filariasis di Kabupaten Bengkalis. 2. Sumberdaya adalah sumberdaya yang dibutuhkan untuk melaksanakan program eliminasi filariasis di Kabupaten Bengkalis. 3. Advokasi adalah advokasi kepada Bupati Bengkalis, Bappeda, DPRD Kabupaten Bengkalis, Camat, Pengelola Media Massa untuk memperoleh dukungan pelaksanaan POMP filariasis. 4. Koordinasi adalah pertemuan koordinasi di setiap jenjang pemerintahan di tingkat kabupaten, kecamatan dan desa untuk mendapatkan kesepakatan dan persiapan pelaksanaan pengobatan massal filariasis. 5. Distribusi Logistik adalah pendistribusian obat, bahan dan peralatan yang diperlukan dalam pelaksanaan POMP filariasis di Kabupaten Bengkalis. 6. Sosialisasi adalah penyebaran informasi kepada masyarakat tentang pelaksanaan POMP filariasis di Kabupaten Bengkalis. 7. Persiapan TPE adalah persiapan Tenaga Pelaksana Eliminasi dalam pelaksanaan POMP filariasis. 8. Penyiapan Masyarakat adalah pendataan dan penyiapan masyarakat sasaran sebelum pelaksanaan POMP filariasis. 9. Pelaksanaan POMP filariasis adalah pelaksanaan pemberian obat serta antisipasi reaksi pengobatan massal filariasis.

44 10. Monitoring Reaksi POMP filariasis adalah pengawasan terhadap reaksi POMP filariasis di Kabupaten Bengkalis. 11. Pemberian Obat Kepada Penduduk yang Tidak Hadir adalah upaya lanjutan untuk memberikan obat kepada peduduk yang tidak hadir pada saat pelaksanaan POMP filariasis untuk memaksimalkan cakupan pengobatan. 12. Pencatatan dan Pelaporan adalah pencatatan dan pelaporan untuk memberikan informasi hasil kegiatan POMP filariasis. 13. Hambatan adalah masalah yang mengganggu pelaksanaan POMP filariasis. 14. Evaluasi cakupan POMP filariasis adalah evaluasi jumlah masyarakat Kabupaten Bengkalis yang telah mendapatkan pengobatan pencegahan filariasis setelah pelaksanaan POMP filariasis di Kabupaten Bengkalis tahun 2013.