BAB II. Tinjauan Pustaka. jiwa yaitu cipta, karsa dan karya. Pengembangan manusia seutuhnya menuntut

dokumen-dokumen yang mirip
BAB V PENUTUP. memberikan bimbingan atau pertolongan yang diberikan dengan sengaja oleh

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan memegang peranan penting dalam kehidupan manusia.

BAB V PEMBAHASAN. A. Nilai-Nilai Pendidikan Agama Islam (PAI) Perspektif Ki Hadjar

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan sejatinya adalah untuk membangun dan mengembangkan

MAKNA PENDIDIKAN KI HAJAR DEWANTARA

BAB I PENDAHULUAN. Mitra Pustaka, 2006), hlm 165. Rhineka Cipta,2008), hlm 5. 1 Imam Musbikiin, Mendidik Anak Kreatif ala Einstein, (Yogyakarta:

BAB IV PAPARAN DATA DAN TEMUAN PENELITIAN. dari hasil wawancara dengan informan, observasi di lapangan maupun datadata

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2013 NOMOR 23 SERI E

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB V SIMPULAN DAN REKOMENDASI

Pendidik. Pengertian. Pendidik. Hakekat PAUD-KBK PAUD-SPN AKD-NON. Oleh: Dra. OCIH SETIASIH, M.Pd

Tugas Individu. Manajemen strategik pendidikan. 1. Simpulkan bagaimana pendapatmu tentang Pendidikan Indonesia?

BAB IV ANALISIS PERSAMAAN DAN PERBEDAAN KONSEP PENDIDIKAN KARAKTER KI HADJAR DEWANTARA DENGAN AL- GHAZALI

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BE AMAZING TEACHERS. Lokakarya Yayasan Suaka Insan Suster SPC Jl. Danau Agung 13, Sunter, Jakarta, 22 Juli 2015 Paul Suparno, S.J.

SEKOLAH KEREN, SEKOLAH RAMAH ANAK

BAB I PENDAHULUAN. sekolah selain memberi sejumlah ilmu pengetahuan, guru juga bertugas menanamkan nilainilai

BAB I PENDAHULUAN. zaman yang semakin berkembang. Berhasilnya pendidikan tergantung pada

BAB I PENDAHULUAN. memiliki peranan penting bagi keberlangsungan hidup dan masa depan seseorang.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Ketamansiswaan merupakan kekhususan pendidikan di lingkungan

RANGKUMAN Penggolongan Filsafat Pendidikan menurut Theodore Brameld: 1. Tradisi filsafat klasik yang dikembangkan oleh tokoh-tokoh dari teori Plato,

BAB V SIMPULAN DAN SARAN

BULETIN ORGANISASI DAN APARATUR

SKRIPSI Untuk memenuhi sebagian prasyarat Guna mencapai derajat Sarjana S- 1. Pendidikan Kewarganegaraan ROSY HANDAYANI A.

PERSEPSI MAHASISWA PGSD TERHADAP KONSEP PENDIDIKAN KI HADJAR DEWANTARA

REKONSTRUKSI PENDIDIKAN INDONESIA: Berguru pada Ki Hajar Dewantara

PENGURANGAN JAM KERJA BAGI PEREMPUAN: PROBLEM ATAU SOLUSI PERSPEKTIF PENDIDIKAN OLEH NURLENA RIFAI

RELASI GURU-MURID-BIDANG STUDI BAGI GURU SEJATI

BAB 1 PENDAHULUAN. pendidikan yang bermutu. Berkat pendidikan, orang terbebaskan dari

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. menjadi orang yang bermanfaat bagi bangsa dan negara. Setiap manusia harus

BAB I PENDAHULUAN. I.1.Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

MENJADI KONSELOR PROFESIONAL : SUATU PENGHARAPAN Oleh : Eva Imania Eliasa, M.Pd

PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2008 TENTANG STANDAR KUALIFIKASI AKADEMIK DAN KOMPETENSI KONSELOR

BAB I PENDAHULUAN. Kenyataan bahwa keunggulan suatu bangsa bertumpu pada keunggulan

KONSEP PENDIDIKAN. Imam Gunawan

BAB I PENDAHULUAN. kesiapan dalam memasuki pendidikan yang lebih tinggi. yang di selenggarakan di lingkungan keluarga.

BAB I PENDAHULUAN. pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Pemerintah kabupaten dan kota di

BAB IV PANCASILA SEBAGAI ETIKA (MORAL)POLITIK

Widyaiswara Berkarakter

BAB I PENDAHULUAN. pribadi dalam menciptakan budaya sekolah yang penuh makna. Undangundang

Oleh: Prof. Dr. Unti Ludigdo, Ak., CA.

BAB I PENDAHULUAN. dan norma-norma yang diakui. Dalam pernyataan tadi tersurat dan

I. PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan kebutuhan mutlak bagi kehidupan manusia sejalan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pendidikan merupakan salah satu kunci utama dalam perkembangan

LANDASAN SEJARAH. Imam Gunawan

BAB I PENDAHULUAN. siswa, Departemen Pendidikan Nasional yang tertuang dalam rencana srategis

GURU DAN PENDIDIKAN KARAKTER (Konsep Ki Hadjar Dewantara dan Relevansinya Saat ini)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sejarah mengungkapkan Pancasila sebagai jiwa seluruh rakyat Indonesia,

PERTEMUAN KE 6 POKOK BAHASAN

BAB IV KONTRIBUSI PENDIDIKAN KARAKTER PRESPEKTIF KI HADJAR DEWANTARA. akhlak anak didik yang nyaris kehilangan karakter di era globalisasi ini, maka

BAB II SISTEM AMONG DALAM GERAKAN PRAMUKA

Pengertian dan Unsur-unsur Pendidikan

BAB II GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN. 2.1 Sejarah Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Timur

BUPATI LUWU PROPINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUWU NOMOR : TENTANG PENDALAMAN MATERI PENDIDIKAN AGAMA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB IV ANALISIS UPAYA GURU PAI DALAM MEMBINA MORAL SISWA SMP NEGERI 1 KANDEMAN BATANG

MATA KULIAH PENDIDIKAN PANCASILA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 200 TENTANG GERAKAN PRAMUKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KLUNGKUNG NOMOR 3 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN PELAYANAN BIDANG PENDIDIKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. bidang pendidikan menempati posisi yang sangat penting. Seiring dengan

Pendidikan Vokasi Bercirikan Keunggulan Lokal Oleh: Istanto W. Djatmiko Fakultas Teknik Universitas Negeri Yogyakarta

Kelompok Sosial dan Organisasi Sosialisasi

Pendidikan Agama Islam Bab : 8

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi terutama teknologi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Era globalisasi semakin menyuguhkan dinamika perubahan yang

PEDOMAN ETIKA DOSEN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SIDOARJO

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pendidikan ditujukan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia,

BAB I PENDAHULUAN. yang paling berperan dalam menentukan proses demokratisasi di berbagai daerah.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. Bangsa Indonesia sejak awal kemerdekaannya telah mencanangkan programprogram

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Sebagaimana digariskan dalam Pasal 3 Undang-Undang Republik. RI No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas).

Standar Proses Pembelajaran. Standar Isi. Lulusan. Peserta didik. Lingkungan. Standar Pembiayaan. Standar Sar. & Pras.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Saat ini globalisasi berkembang begitu pesat, globalisasi mempengaruhi

BAB I PENDAHULUAN. hanya manusia yang berkualitas saja yang mampu hidup di masa depan

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan nasional bertujuan untuk mencerdaskan dan usaha untuk

BAB I PENDAHULUAN. Dengan pendidikan manusia menjadi lebih mampu beradaptasi dengan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dan Pembukaan UUD 1945 dilatarbelakangi oleh realita permasalahan kebangsaan

BAB I PENDAHULUAN. produktif. Di sisi lain, pendidikan dipercayai sebagai wahana perluasan akses.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Anak adalah titipan Yang Mahakuasa. Seorang anak bisa menjadi anugerah

TUGAS AKHIR PENDIDIKAN PANCASILA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Menurut Undang-Undang RI No.20 tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan. Nasional, yang dimaksud dengan Pendidikan adalah usaha sadar dan

Soal Pemahaman Nilai-Nilai Pancasila. 2) Bacalah dengan seksama setiap butir pertanyaan

BAB I PENDAHULUAN. cinta kasih, dan penghargaan terhadap masing-masing anggotanya. Dengan

BAB I PENDAHULUAN. pekerti (kekuatan batin), pikiran (intelek), dan jasmani anak-anak, selaras. membantu peserta didik agar nantinya mampu

KETUA SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NURUL JADID

BAB I PENDAHULUAN. anggota suatu kelompok masyarakat maupun bangsa sekalipun. Peradaban suatu

RESPON GURU TERHADAP VISI SUPERVISI

BUPATI SINJAI PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN BUPATI SINJAI NOMOR 17 TAHUN 2016 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan merupakan suatu hal yang penting bagi setiap manusia.

MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

PEMBELAJAR YANG MENDIDIK DAN BERKARAKTER

PROFESIONALISME GURU SEKOLAH DASAR DALAM PEMBENTUKAN AKHLAK SISWA

BAB I PENDAHULUAN. kualitas kepribadian serta kesadaran sebagai warga negara yang baik.

Delapan Fungsi Keluarga dalam Membentuk Generasi Penerus Bangsa

PROFESI. Pekerjaan yang dilakukan sebagai kegiatan pokok untuk menghasilkan nafkah hidup dan yang mengandalkan suatu keahlian.

PEDOMAN POKOK NILAI-NILAI PERJUANGAN YAYASAN LBH INDONESIA DAN KODE ETIK PENGABDI BANTUAN HUKUM INDONESIA

Transkripsi:

BAB II Tinjauan Pustaka 2.1 Sistem Pendidikan Among Ki Hajar Dewantara Ki Hajar Dewantara, pendidik asli Indonesia melihat manusia memiliki daya jiwa yaitu cipta, karsa dan karya. Pengembangan manusia seutuhnya menuntut pengembangan semua daya secara seimbang. Pengembangan yang terlalu menitikberatkan pada satu daya saja akan menghasilkan ketidakutuhan perkembangan sebagai manusia. Beliau mengatakan bahwa pendidikan yang menekankan pada aspek intelektual belaka hanya akan menjauhkan peserta didik dari masyarakatnya. Menurut Ki Hajar Dewantara (Tilaar, H.A.R, 2008 Kebijakan Pendidikan Hal. 51) pendidikan adalah tuntunan di dalam hidup tumbuhnya anak- anak. Adapun tujuannya adalah menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu agar mereka sebagai manusia dan anggota masyarakat dapatlah mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya. Batasan atau rumusan di atas adalah batasan atau rumusan menurut ahli ilmu pengetahuan yang membahas perilaku manusia terhadap manusia. Pada dasarnya rumusan-rumusan itu ada yang memberi tekanan pada kegiatan orang dewasa dan ada yang memberi tekanan pada kehidupan setiap orang dewasa, dan ada yang member tekanan pada kehidupan setia orang. Namun dengan berkembangnya Teori Pendidikan Seumur Hidup sejak tahun 1960-an, dan pemahaman akan kegiatann fundamental manusia dalam mengembangkan dirinya, maka arti atau makna pendidikan terikat pada waktu sekarang dan dapat dilihat dari tiga sudut. Adapun ketiga sudut itu adalah :

1. Sudut orang dewasa susila: Pendidikan adalah bantuan, pengaruh orang dewasa susila kepada orang belum dewasa susila tertuju ke pendewasaan diri orang belum dewasa susila. 2. Sudut orang belum dewasa susila: Pendidikan adalah penggunaan bantuan dari orang dewasa susila oleh belum dewasa susila demi pendewasan dirinya 3. Sudut interaksi keduanya : Pendidikan adalah kegiatan interaksi orang dewasa susila dan orang belum dewasa susila demi pendewasaan orang yang belum dewasa susila Ki Hadjar Dewantara juga membedakan antara sistem Pengajaran dan Pendidikan. Menurutnya pengajaran bersifat memerdekakan manusia dari aspek hidup lahiriah (kemiskinan dan kebodohan). Sedangkan pendidikan lebih memerdekakan manusia dari aspek hidup batin (otonomi berpikir dan mengambil keputusan, martabat, mentalitas demokratik). Manusia merdeka itu adalah manusia yang hidupnya secara lahir dan batin tidak tergantung kepada orang lain, akan tetapi ia mampu bersandar dan berdiri di atas kakinya sendiri. Artinya sistem pendidikan itu mampu menjadikan setiap individu hidup mandiri dan berani berpikir sendiri atau memakai istilah Kant, sapere aude (Muhammad Nur Wangid, 135 Sistem Among Pada Masa Kini: Kajian Konsep dan Praktik Pendidikan ). Dalam arti luas maksud pendidikan dan pengajaran adalah bagaimana memerdekakan manusia sebagai anggota dari sebuah persatuan (rakyat). Kemerdekaan yang dimaksud adalah kemerdekaan yang bersifat dewasa dan menjunjung tinggi nilai-nilai hidup bersama. Oleh karena itu, setiap orang merdeka harus memperhatikan dan menyesuaikan diri dengan lingkungan di mana ia hidup. Dalam hal ini harus menyadari bahwa setiap

individu juga memiliki hak yang sama seperti dirinya yang juga berhak menuntut kemerdekaannya. Dalam masyarakat, pimpinan kebijaksanaan dengan laku Tutwuri Handayani. Among (mengemong) berarti memberi kebebasan kepada anak didik dan guru akan bertindak bila tindakan anak didik membahayakan keselamatan dirinya. Dalam keadaan biasa pimpinan harus tegas, anak didik harus tunduk pada pimpinan yang berlaku, kedudukan pimpinan diatas peraturan yang berlaku. Sistem among adalah cara pendidikan yang dilakukan Tamansiswa yaitu mewajibkan para pamong agar mengikuti dan mementingkan kodrat pribadi anak didik dengan tidak melupakan pengaruh-pengaruh yang melingkunginya (hand out Taman Siswa). Metode pengajaran dan pendidikan yang berdasarkan pada asih, asah dan asuh (care and dedication based on love). Yang dimaksud dengan manusia merdeka adalah seseorang yang mampu berkembang secara utuh dan selaras dari segala aspek kemanusiaannya dan yang mampu menghargai dan menghormati kemanusiaan setiap orang. Oleh karena itu bagi Ki Hajar Dewantara pepatah ini sangat tepat yaitu Educatethe head, the heart, and the hand. Guru yang efektif memiliki keunggulan dalam mengajar (fasilitator); dalam hubungan (relasi dan komunikasi) dengan peserta didik dan anggota komunitas sekolah; dan juga relasi dan komunikasinya dengan pihak lain (orang tua, komite sekolah, pihak terkait); segi administrasi sebagai guru; dan sikap profesionalitasnya. Sikap-sikap profesional itu meliputi antara lain: keinginan untuk memperbaiki diri dan keinginan untuk mengikuti perkembangan zaman. Maka penting pula membangun suatu etos kerja yang positif yaitu: menjunjung tinggi pekerjaan;

menjaga harga diri dalam melaksanakan pekerjaan, dan keinginan untuk melayani masyarakat. Dalam kaitan dengan ini penting juga performance/penampilan seorang profesional: secara fisik, intelektual, relasi sosial, kepribadian, nilai-nilai dan kerohanian serta mampu menjadi motivator. Singkatnya perlu adanya peningkatan mutu kinerja yang profesional, produktif dan kolaboratif demi pemanusiaan secara utuh setiap peserta didik.) Oleh karena itu boleh dapat disimpulkan bahwa sistem among adalah suatu sistem yang berjiwa kekeluargaan dan bersendikan dua asas yaitu: a. Kodrat alam, sebagai syarat mencapai kemajuan dengan secepat-cepatnya dan sebaik-baiknya. b. Kemerdekaan, sebagai syarat untuk menghidupkan dan menggerakkan kekuatan lahir-batin anak, agar dapat memiliki pribadi yang kuat. Menurut Ki Hajar Dewantara Pendidikan berlangsung dalam tiga lingkungan yang disebut Tri pusat Pendidikan yaitu: 1. Lingkungan keluarga: terutama mengenai budi pekerti, keagamaan dan kemasyarakatan secara informal. 2. Lingkungan sekolah: mengenai ilmu pengetahuan, kecerdasan dan pengembangan budi pekerti secara formal. 3. Lingkungan masyarakat: pengembangan keterampilan, latihan kecakapan, dan pengembangan bakat secara non formal. (hand out Tamansiswa).http://www.scribd.com/doc/16804489/ki-hajardewantara.

2.2 Peran Yayasan Peduli Karakter Bangsa dalam pemberdayaan masyarakat pinggiran Menurut Horton dan Hunt, peran (role) adalah perilaku yang diharapkan dari seseorang yang memiliki suatu status. Berbagai peran yang tergabung dan terkait pada satu status ini oleh Merton dinamakan perangkat peran (role set). Dalam kerangka besar, organisasi masyarakat, atau yang disebut sebagai struktur sosial, ditentukan oleh hakekat (nature) dari peran-peran ini, hubungan antara peran-peran tersebut, serta distribusi sumberdaya yang langka di antara orang-orang yang memainkannya. Masyarakat yang berbeda merumuskan, mengorganisasikan, dan memberi imbalan (reward) terhadap aktivitas-aktivitas mereka dengan cara yang berbeda, sehingga setiap masyarakat memiliki struktur sosial yang berbeda pula. Bila yang diartikan dengan peran adalah perilaku yang diharapkan dari seseorang dalam suatu status tertentu, maka perilaku peran adalah perilaku yang sesungguhnya dari orang yang melakukan peran tersebut. Perilaku peran mungkin berbeda dari perilaku yang diharapkan karena beberapa alasan. (Janah, Lailia Fatkul. 2009. Teori Peran (Online). Tersedia: http://bidanlia.blogspot.com/2009/07/teori-peran.html ) Teori peran adalah perspektif dalam sosiologi dan psikologi sosial yang menganggap sebagian besar kegiatan sehari-hari menjadi pemeran dalam kategori sosial (misalnya ibu, manajer, guru). Setiap peran sosial adalah seperangkat hak, kewajiban, harapan, norma dan perilaku seseorang untuk menghadapi dan memenuhi. Model ini didasarkan pada pengamatan bahwa orang berperilaku dengan cara yang

dapat diprediksi, dan bahwa perilaku individu adalah konteks tertentu, berdasarkan posisi sosial dan faktor lainnya. Dalam penelitian ini, untuk mencapai tujuannya sebagai agen sosial, maka Yayasan Peduli Karakter Bangsa melakukan pendekatan bertahap untuk menarik simpati masyarakat terhadap pemberdayaan masyarakat yang sedang mereka bentuk melalui peran- peran sosial yang dapat membuka diri masyarakat ataupun kepercayaan masyarakat terhadap pemberdayaan yang mereka lakukan. Sehingga peran yang mereka lakukan mampu membendung resistensi masyarakat yang sudah kehilangan kepercayaan terhadap peran- peran lembaga apapun yang bertujuan untuk menolong kehidupan mereka yang berada di bawah garis kemiskinan. 2.3 Tahap Perkembangan Anak oleh Herbert Mead Mead sangat tertarik pada asal- usul diri. Ia melihat percakapan isyarat sebagai latar belakang bagi diri, tetapi hal itu tidak menyangkut diri, karena dalam percakapan semacam itu orang tidak menempatkan dirinya sebagai objek. Mead menurut asal- usul diri melalui dua tahap dalam perkembangan masa kanak- kanak. 1. Tahap Bermain ( Play Stage ) Dalam tahap ini anak- anak mengambil sikap orang lain tertentu untuk dijadikan sikapnya sendiri. Mead memberikan contoh seorang anak yang bermain India- Indianan : ini berarti bahwa anak itu mempunyai sekumpulan stimuli tertentu yang dalam dirinya sendiri muncul respon yang juga muncul dalam diri orang lain,

dan mempunyai stimuli untuk menjawab Indian. Akibat dari permainan ini, sang anak menjadi subjek dan objek dan mulai mampu membangun diri. Tetapi, itu adalah diri terbatas karena anak hanya dapat mengambil peran orang lain yang berbeda dan terpisah. Di dalam tahap ini mereka belum memahami pengertian yang lebih umum dan terorganisir mengenai diri mereka sendiri. 2. Tahap Permainan ( Game Stage ) Ini diperlukan agar manusia dapat mengembangkan diri menurut makna istilah itu sepenuhnya. Dalam tahap ini anak harus mengambil peran orang lain manapun yang terlibat dalam permainan. Lebih lanjut, peran yang berlainan ini harus mempunyai hubungan nyata satu sama- lain. Dengan kata lain, dalam permainan ini anak telah berani mengambil peran, mereka berani bersaing dan terlibat dalam suatu permainan. 3. Generalized Other Orang lain yang digeneralisir adalah sikap seluruh komunitas atau, dalam contoh permainan baseball di atas, adalah sikap tim secara keseluruhan. Kemampuan untuk mengambil peran umun orang lain adalah penting bagi diri sendiri. Dimana orang mampu untuk mengevaluasi diri mereka sendiri dari sudut pandang orang lain yang digeneralisir dan bukan sekedar dari sudut pandang orang lain yang terpisahpisah, sehingga memungkinkan adanya pemikiran abstrak dan objektivitas. ( George Rirzer 2008: 282)

Dalam penelitian Guru harus benar- benar memahani kehidupan anak. Sehingga peran guru sebagai pendidik karakter dapat terpenuhi dengan baik. Oleh sebab itu guru harus memahami tahap perkembangan anak didiknya. Sudahkah mereka benar- benar melewati ketiga tahap ini dengan baik. Sehingga pendidikan karakter yang diajarkan dan diterapkan dapat berjalan dengan seimbang. Tidak sekedar berlangsung di dalam lingkungan sekolah saja tetapi juga lingkungan di luar sekolah. 2. 4 Pendidikan Nilai atau Karakter Tujuan pendidikan adalah pembentukan sikap ataupun tingkah laku seseorang. Pemikir seperti Smith ( 1996) dan Spranger (1928) menyebutkan bahwa nilai- nilai mewarnai sikap dan tindakan individu. Di samping itu, nilai juga erat kaitannya dengan perhatian akan hidup serta kebudayaan, karena sistem ini merupakan kumpulan dari nilai- nilai kebudayaan. Oleh sebab itu, pendidikan harus membantu peserta didik untuk mengalami nilai- nilai dan menempatkannya secara integral dalam keseluruhan hidup mereka. Di samping itu, perlu disadari bersama bahwa pendidikan nilai itu bukan sesuatu yang hanya ditambahkan melainkan justru merupakan sesuatu yang hakiki dalam seluruh proses pendidikan. Terlebih lagi bila diingat bahwa arus materialisme dan konsumerisme secara global terus mengikis nilai- nilai luhur dari kehidupan manusia, tidak hanya tinggal di kota- kota besar, bahkan sudah menyentuh desa- desa yang terplosok sekalipun. Oleh sebab itu, pendidikan, dewasa ini sungguh menghadapi tantangan yang luar biasa berat. Ada empat langkah yang harus

ditempuh agar pendidikan nilai berdaya guna, yaitu: 1. Para pendidik terlebih dahulu harus tahu dan jelas dengan akal budinya memahami dengan hatinya nilai- nilai apa saja yang akan diajarkan ( entah yang tersembunyi di balik setiap bidang studi atau nilai-nilai kemanusian lainnya). 2. Para pendidik mentransformasikan nilai-nilai tersebut kepada peserta didik dengan sentuhan hati dan perasaan, melalui contoh-contoh konkret dan sedapat mungkin teladan si pendidik sehingga peserta didik dapat melihat dengan mata kepala sendiri alangkah baiknya nilai itu. Metode yang dapat ditempuh misalnya Problem solving, metode VCT ( Value Clarification Technique), dan lain-lain. 3. Langkah selanjutnya adalah membantu peserta didik untuk menginternalisasikan nilai-nilai tersebut tidak hanya dalam akal budinya, tetapi terutama dalam hati sanubari si peserta didik sehingga nilai-nilai yang dipahaminya menjadi bagian dari seluruh hidupnya. Dalam tahap ini diharapkan peserta didik merasa memiliki dan menjadikan nilai tersebut sebagai sifat dan sikap hidupnya. 4. Peserta didik yang telah memiliki sifat-sifat atau sikap hidup sesuai dengan nilainilai tersebut didorong dan dibantu untuk mewujudkan atau mengungkapkannya dalam tingkah laku hidup sehari-hari. Proses atau langkah- langkah di atas memang membawa konsekuensi bahwa seorang pendidik betul- betul harus dapat diteladani, baik kata- kata maupun perbuatan dan tingkah lakunya. Keteladanan akan meyakinkan peserta didik bahwa nilai- nilai yang disampaikan memang baik dan benar untuk dhayati dan diamalkan, Memberi teladan atau contoh apa yang diajarkan dalam kehidupan sehari- hari

bukanlah soal yang mudah bagi para pendidik. Namun, tanpa member teladan tidak ada gunanya mengajarkan nilai-nilai pada peserta didik. (Koesoema,2009:78-79) 2.4 Desentralisasi pendidikan Memasuki pelaksanaan otonomi daerah di era reformasi, kewenangan pemerintah pusat dalam mengurus dan mengatur tugas pemerintahan telah mengalami perubahan. Pemerintah pusat tidak lagi bersifat sentralis, tidak sedikit urusan yang didelegasikan kepada pemerintah daerah. Urusan pemerintah yang didelegasikan kepada pemerintah Kabupaten/ Kota termasuk bidang pendidikan, yang sebelum diberlakukannya UU No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan diamendemen UU No. 32 Tahun 2004, pemerintah pusat sebagai perencana dan sekaligus pelaksana semua urusan dan kegiatan di seluruh wilayah negara. Berbeda dengan sebelum diberlakukannya Undang- Undang ini, di mana kewenangan pemerintah daerah dalam bidang pendidikan sangat terbatas, kalau tidak dapat dikatakan tidak ada sama sekali. Menyimak isi undang- undang nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 25 tahun 2000 tentang kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi sebagai Daerah Otonom serta Undang- undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah tersebut, dapat disimpulkan bahwa fokus pelaksanaan otonomi daerah adalah di Daerah Kabupaten dan Daerah Kota. Untuk itu, sebagian besar sumber pembiayaan nasional akan dilimpahkan lebih banyak ke daerah sesuai dengan potensi dan kemampuan perekonomian daerah yang berbeda- beda. Kewenangan pemerintah

terbatas dengan dukungan sumber pembiayaan terbatas pula. Sementara itu peranan Daerah Provinsi sebagai daerah otonom maupun sebagai wilayah administrasi lebih terbatas dengan perimbangan sumber keuangan lebih sedikit. Dalam situasi demikian, baik dari segi kewenangan maupun sumber pembiayaan di bidang pendidikan dan kebudayaan, Daerah Kabupaten dan Daerah Kota akan memegang peranan penting terutama dalam pelaksanaannya. Ini perlu disadari karena semua masyarakat berharap dengan otonomi daerah layanan di bidang pendidikan khususnya dapat lebih memenuhi kebutuhan, lebih cepat, lebih efektif dan efisien, serta lebih menegakkan aparat yang bersih dan berwibawa. Desentralisasi pendidikan merupakan upaya memindahkan tugas dan tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan yang semuala terpusat ( sentralistik ) menjadi pendidikan yang berbasis kepentingan daerah atau masyrakat. Titik berat pelaksanaan desentralisasi pendidikan adalah lebih mengutamakan pada peningkatan peran dan partisipasi daerah termasuk masyarakat dalam rangka terselenggaranya pendidikan seperti apa yang diinginkan untuk dilaksanakan di daerah. Sehingga desentralisasi pendidikan menghasilkan otonomi. Terkait dengan kelembagaan yang merupakan salah satu faktor penting bagi penyelenggaraan pendidikan dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah seperti dikemukakan di atas, maka pada tingkat pemerintahan kabupaten/ kota akan dibentuk dewan sekolah yang mengurus soal pendidikan dasar sampai pendidikan menengah atas yang ada di daerah. Dewan sekolah tersebut terdiri atas aparat pendidikan setempat, guru, orang tua siswa dan tokoh masyarakat merupakan salah satu faktor penting dalam era desentralisasi pendidikan.

Fakta menunjukkan sampai saat ini pendidikan yang diselenggarakan belum sepenuhnya memihak kepada masyarakat. Dengan kata lain, desentralisasi pendidikan yang tujuannya adalah pendemokratisasian masyarakat ( daerah ) untuk menyelenggarakan dan memutuskan yang menjadi urusan dan kepentingannya termasuk kebutuhan dan urusan pendidikan bagi masyarakat belum sepenuhnya tercapai. Hal ini dapat dibuktikan dengan semakin tingginya biaya pendidikan di semua jenjang, baik tingkat dasar, menengah maupun tingkat perguruan tinggi