I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertanian pangan khususnya beras, dalam struktur perekonomian di Indonesia memegang peranan penting sebagai bahan makanan pokok penduduk dan sumber pendapatan sebagian besar masyarakat Indonesia. Kegagalan dalam memenuhi kebutuhan pokok akan dapat menggoyahkan ketahanan nasional, demikian juga ketergantungan pada impor untuk memenuhi pangan khususnya beras dalam negeri akan melemahkan kondisi ketahanan nasional. Pencapaian dan pelestarian swasembada pangan (beras) merupakan cita-cita perjuangan kemerdekaan hingga saat ini dan untuk masa yang akan datang IPB, 1998 (dalam Wuryaningsih, 2001). Kebutuhan dan ketahanan pangan nasional yang dinamis dapat dipenuhi dengan tetap mempertimbangkan kelestrarian dan kesehatan lingkungan, ditempuh melalui program intensifikasi, ektensifikasi, rehabilitasi, dan diversifikasi pertanian. Keberhasilan dan kebijaksanaan yang ditempuh telah mampu membawa Indonesia mencapai swasembada pangan dengan menggunakkan pendekatan teknologi kimia. Penggunaan pupuk kimia merupakan salah satu bukti upaya pemerintah dalam meningkatkan kebutuhan pangan, produktivitas padi, dan diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan petani (Anonim C, 2010). 1
2 Keberhasilan peningkatan produksi pertanian dengan pendekatan teknologi kimia ternyata tidak dapat berlangsung lama. Hal ini dikarenakan pendekatan teknologi ini tidak diimbangi dengan faktor kelestarian sumberdaya dan lingkungan. Peningkatkan produksi pertanian dengan menggunakan pupuk kimia terus dilakukan dengan menambahkan dosis dan frekuensi aplikasinya. Penggunaan pupuk kimia yang terus menerus dengan dosis yang tidak berimbang menyebabkan kerusakan fisik tanah dan lingkungan di dalam tanah. Dampak lain dari pendekatan teknologi kimia adalah penggunaan pestisida kimia dalam pengendalian Organisme Pengganggu Tumbuhan (OPT). Berdasarkan pengalaman masa lampau, di lapangan menunjukkan bahwa penggunaan pestisida sering merupakan pilihan utama dan paling umum digunakan karena memberikan hasil seperti yang diharapkan dalam pengendalian OPT. Adanya kepercayaan yang berlebihan baik mengenai dosis maupun waktu interval dan banyaknya aplikasi adalah suatu tindakan yang tidak bijaksana. Di samping itu kecendrungan sebagian konsumen menginginkan produk pertanian bebas cacat dari bekas serangan OPT mendorong petani menggunakan pestisida lebih banyak lagi (IPB, 2010). Melihat keadaan tersebut, perhatian masyarakat terhadap soal pertanian dan lingkungan beberapa tahun terakhir ini menjadi meningkat. Keadaan ini disebabkan oleh semakin dirasakannya
3 dampak negatif yang besar bagi lingkungannya, bila dibandingkan dengan dampak positifnya bagi peningkatan produktivitas tanaman pertanian. Hal ini mendorong di berbagai daerah untuk mengadakan pertanian organik. Pertanian organik merupakan bagian dari pertanian alami yang dalam pelaksanaannya berusaha menghindarkan penggunaan bahan kimia dan pupuk yang bersifat meracuni lingkungan dengan tujuan untuk memperoleh kondisi lingkungan yang sehat (Anonim A, 2005). Peningkatkan pertanian menuju ke arah organik, ditetapkan oleh pemerintah (Departemen Pertanian) melalui Peraturan Menteri Pertanian Nomor 28 /Permentan/SR.130/5/2009 tentang Pupuk Organik, Pupuk Hayati dan Pembenahan tanah. Berlandaskan kebijakan di atas, pemerintah telah memprakarsai pengembangan penggunaan pupuk organik melalui kegiatan pengembangan penggunaan bahan organik sisa tanaman atau jerami untuk diolah menjadi kompos atau pupuk organik melalui pemanfaatan limbah insitu (Peraturan Menteri Pertanian, 2009). Di Provinsi Bali, Pemerintah mulai mencanangkan kebijakan untuk menerapkan pertanian organik. Kebijakan tersebut meliputi semua proses
4 produksi pertanian dalam arti luas menggunakan pupuk organik dan menghindari penggunaan pupuk anorganik. Pupuk untuk menyuburkan tanaman menggunakan bahan baku kotoran sapi, babi dan limbah pertanian lainnya. Kotoran ternak tersebut diolah sedemikian rupa sebagai pengganti pupuk produksi pabrik yang dikembangkan pada masing-masing sistem pertanian terintegrasi (Simantri). Pengembangan pertanian organik yang dirintis Pemerintah Provinsi Bali akan mampu mendukung pelestarian alam dan budaya, terutama yang terkandung dalam organisasi pengairan tradisional bidang pertanian (subak) yang diterapkan petani setempat secara turun temurun. Pertanian organik yang diterapkan di kawasan konservasi mampu mencegah munculnya degradasi budaya dengan menekankan terciptanya keharmonisan. Keharmonisan itu antara manusia dengan lingkungannya serta organisasi subak tetap dapat dijaga kesinambungannya. Sistem pertanian organik yang berbasis kearifan tradisional tidak hanya berlaku spesifik terhadap konservasi kawasan alam. Sistem pertanian organik lebih bersifat luas untuk melakukan pencegahan dan penanggulangan degradasi budaya Bali (Kartini, 2011). Pemerintah juga menghimbau agar petani mulai mengalihkan perhatian menggunakan pupuk organik. Hal ini sebagai upaya mengurangi biaya proses produksi padi dan berbagai jenis komoditi pertanian lainnya. Namun peralihan itu tidak dapat dilakukan secara mudah, karena menyangkut
5 sikap dan perilaku petani beserta keluarganya. Oleh karena itu pemerintah selalu berusaha untuk meningkatkan kemampuan petani dalam mengelola usahataninya, antara lain melalui program penyuluhan pertanian. Penyuluhan pertanian, dapat diartikan sebagai cara-cara penyampaian materi penyuluhan pertanian melalui media komunikasi oleh penyuluh kepada petani beserta keluarganya. Melalui penyuluhan pertanian, masyarakat pertanian dibekali dengan ilmu, pengetahuan, keterampilan, pengenalan paket teknologi dan inovasi baru di bidang pertanian. Sebagai contoh dengan sapta usahanya, penanaman nilai-nilai atau prinsip agribisnis, mengkreasi sumber daya manusia dengan konsep dasar filosofi rajin, kooperatif, inovatif, kreatif dan sebagainya. Sehingga dengan pengetahuan yang dimiliki setelah mendapatkan penyuluhan diharapkan petani mampu menerapkan pupuk organik pada usahataninya sesuai dengan anjuran dan aturan-aturan yang telah diterima sebelumnya (van Der Ban, dan Hawkinspirarit, 2011). Peralihan penggunaan pupuk kimia menuju ke pupuk organik juga pernah dirasakan oleh di Subak Amerta Nadi Penyabangan. Subak Amerta Nadi Penyabangan merupakan subak yang terletak di Desa Kerta, Kecamatan, Payangan Kabupaten Gianyar. Subak ini mempunyai total luas lahan yaitu 42 hektar dan mempunyai 91 anggota. Pada awalnya dalam memenuhi kebutuhan usahataninya menggunakan pupuk yang diproduksi oleh pabrik, yaitu pupuk kimia seperti UREA, TSP,
6 dan HCL. Penggunaan pupuk anorganik tersebut petani menerapkan sesuai dengan anjuran PPL daerah setempat, yaitu Urea 150 kg/ha, TSP 100 kg/ha, dan HCL 50 kg/ha. Jika dilihat dari hasil panen dapat dikatakan sangat tinggi yaitu tujuh ton per hektar. Namun seiring waktu, kebutuhan akan pupuk tersebut semakin meningkat setiap tahunnya. Hal ini menyebabkan perekonomian petani semakin menurun. Pupuk yang digunakan harganya sangat mahal sehingga petani pun merasakan dampak negatif dalam penggunaan pupuk anorganik tersebut. Dampak negatif yang dirasakan adalah tanah yang rusak dan mengeras. Kesehatan masyarakat pun ikut menurun diakibatkan konsumsi sebagian dari hasil panen yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Setelah kurang lebih 30 tahun menggunakan pupuk anorganik, maka petani mulai beralih menggunakan pupuk organik sejak tahun 2008. Tujuan penggunaan pupuk organik ini tidak lain untuk menjaga keseimbangan alam yaitu ekosistem di dalamnya, serta turut menjaga kesuburan tanah tersebut. Selain itu juga, Subak Amerta Nadi Penyabangan ingin menjaga keamanan pangan konsumen. Hal ini berdampak pada kesehatan masyarakat yang mengkonsumsinya tidak menurun, seperti halnya ketika menggunakan pupuk anorganik. Dalam pelaksanaannya menuju organik, pada tahun 2009 Subak Amerta Nadi Penyabangan mendapatkan bantuan subsidi pupuk dari
7 pemerintah berupa pupuk organik jenis petroganik yang berbentuk granul. Namun pupuk tersebut disubsidi sekali saja kemudian diganti dengan pupuk jenis biobali yang berbentuk granul juga. Selain pupuk subsidi, petani juga menggunakan pupuk yang berasal dari kotoran sapi. Jumlah sapi yang dimiliki petani anggota subak rata-rata tiga ekor per anggota subak, yang dapat menghasilkan 30 kg kotoran per hari. Petani juga menggunakan biourin dari air seni sapi sebagai pestisidanya. Volume pupuk yang digunakan pada usahatani padi tersebut adalah tiga ton/ha (Darmaja, 2011). Setelah beberapa tahun menggunakan pupuk organik, hasil panen menjadi menurun jika dibandingkan dengan menggunakan pupuk anorganik, yaitu lima sampai enam ton per hektar. Namun penurunan hasil panen tersebut tidak serta-merta membuat pendapatan petani juga ikut turun. Hal ini dikarenakan petani sudah bisa menghasilkan pupuk sendiri dan pendapatan hasil panen sudah dapat memenuhi kebutuhan rumah tangga tanpa harus membeli pupuk lagi. Walaupun menggunakan pupuk organik dalam usahataninya, sebagian dari petani tersebut masih ada yang menggunakan pupuk anorganik. Hal ini semata-mata sebagai penyeimbang dalam penggunaan pupuk organik. Subak Amerta Nadi Penyabangan konsisten untuk mengarahkan pertaniannya menuju ke arah pertanian organik. Pada tahun 2010 Subak Amerta Nadi Penyabangan mendapatkan sertifikat dari Kementrian Pertanian melalui BPTP Bali sebagai pelopor pengembangan wisata
8 organik di Provinsi Bali. Sertifikat tersebut diberikan pada saat BPTP Bali mengadakan alokasi primatani ke Desa Kerta, Kecamatan Payangan, Kabupaten Gianyar. Melihat kondisi Subak Amerta Nadi Penyabangan yang mulai mengalihkan pertaniannya dari menggunakan pupuk anorganik menjadi organik, maka peneliti tertarik untuk mengadakan penelitian mengenai pengetahuan dan penerapan pupuk organik pada usahatani padi di Subak Amerta Nadi Penyabangan, serta kendala-kendala yang dihadapi petani dalam menggunakan pupuk organik. 1.2 Rumusan Masalah Dari uraian di atas dapat dirumuskan permasalahan-permasalahan sebagai berikut. 1. Bagaimana tingkat pengetahuan petani tentang pupuk organik pada tanaman padi sawah? 2. Bagaimana penerapan pupuk organik oleh petani pada tanaman padi sawah? 3. Apa kendala petani dalam menggunakan pupuk organik? 1.3 Tujuan Penelitian berikut. Secara lebih spesifik tujuan penelitian ini untuk mengetahui tiga hal
9 1. Tingkat pengetahuan petani tentang penggunaan pupuk organik pada tanaman padi sawah. 2. Penerapan pupuk organik oleh petani pada tanaman padi sawah. 3. Kendala yang dihadapi petani dalam menggunakan pupuk organik. 1.4 Manfaat Penelitian Adapun hasil dari penelitian ini diharapkan memberi manfaat sebagai berikut. 1. Bagi pemerintah sebagai masukkan dalam penajaman arah kebijakan pembangunan disektor pertanian terutama yang berkaitan dengan upaya meningkatkan produksi dan kualitas produksi padi sawah. 2. Bagi penyuluh sebagai masukan untuk lebih mengintensifkan penyuluhannya untuk meningkatkan pengetahuan petani tentang pupuk organik sehingga petani dalam menerapkan pupuk organik menjadi lebih baik. 3. Bagi petani diharapkan agar dalam membudidayakan tanaman padi sawah lebih meningkatkan penggunaan pupuk organik yang mempunyai manfaat positif dalam hal produksinya dibandingkan dengan menggunakan pupuk anorganik. 4. Bagi mahasiswa sebagai tempat untuk mengaplikasikan ilmu yang telah didapat selama mengikuti masa perkuliahan, dengan apa yang dialami
10 pada kehidupan nyata, serta sebagai syarat untuk meperoleh gelar sarjana di Fakultas Pertanian Universitas Udayana. 5. Bagi ilmu pengetahuan, diharapkan memberi gambaran serta pengetahuan yang lebih luas mengenai pupuk organik, sehingga dapat memberikan informasi bagi peneliti lain yang ingin melaksanakan penelitian yang sama. 1.5 Ruang Lingkup Penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif. Ruang lingkup penelitian ini adalah mencakup tiga konsep, yaitu tingkat pengetahuan petani tentang pupuk organik dan penerapannya sebagai pengganti dari pupuk anorganik dalam meningkatkan produksi padi pada usahatani padi, serta kendala yang didapatkan petani saat menggunakan pupuk organik di Subak Amerta Nadi Penyabangan, Desa Kerta, Kecamatan Payangan, Kabupaten Gianyar. Metode analisis yang digunakan untuk menjawab permasalahan penelitian ini adalah metode deskriptif.