Titiek Pujilestari Balai Besar Kerajinan dan Batik, Jl. Kusumanegara No.7 Yogyakarta

dokumen-dokumen yang mirip
Titiek Pujilestari dan Irfa ina Rohana Salma Balai Besar Kerajinan dan Batik, Jl. Kusumanegara No.7 Yogyakarta

PENGARUH EKSTRAKSI ZAT WARNA ALAM DAN FIKSASI TERHADAP KETAHANAN LUNTUR WARNA PADA KAIN BATIK KATUN

PENGARUH EKSTRAKSI ZAT WARNA ALAM DAN FIKSASI TERHADAP KETAHANAN LUNTUR WARNA PADA KAIN BATIK KATUN

Bayu Wirawan D. S. 1, Hazbi As Siddiqi 2. Dosen Program Studi Teknik Batik, Politeknik Pusmanu

BAB IV KAJIAN KULIT BUAH KAKAO SEBAGAI PEWARNA ALAMI PADA TEKSTIL

Agus Haerudin, Dana Kurnia Syabana, Dwi Wiji Lestari Balai Besar Kerajinan dan Batik Jl. Kusumanegara No. 7 Yogyakarta

Dian Ramadhania, Kasmudjo, Panji Probo S. Bagian Teknologi Hasil Hutan,Fakultas Kehutanan, UGM Jl. Agro No : 1 Bulaksumur Yogyakarta.

TEKNIK EKSPLORASI ZAT PEWARNA ALAM DARI TANAMAN DI SEKITAR KITA UNTUK PENCELUPAN BAHAN TEKSTIL Noor Fitrihana,ST Jurusan PKK FT UNY

Yudi Satria dan Dwi Suheryanto Balai Besar Kerajinan dan Batik, Jl. Kusumanegara no. 7, Indonesia,

PEMANFAATAN EKSTRAK WARNA DAUN ALPUKAT SEBAGAI ZAT PEWARNA ALAM (ZPA) TEKSTIL PADA KAIN SUTERA

Pengaruh Konsentrasi dan Jenis Bahan Fiksasi dalam Pemanfaatan Daun Jati (Tectona grandis Linn.f ) sebagai Bahan Pewarna Alami Batik

BAB II KAJIAN PUSTAKA. A. Tinjauan Pustaka. Nama daerah :tahi kotok (Sunda), kenikir (Jawa)

SENI KERAJINAN BATIK TEKNIK/PROSES MEMBATIK. Oleh: ISMADI PEND. SENI KERAJINAN JUR. PEND. SENI RUPA FBS UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA

SENI KERAJINAN BATIK. Oleh : Ismadi Pendidikan Seni Kerajinan Jur. Pend. Seni Rupa FBS UNY

Dosen Program Studi Teknik Batik Politeknik Pusmanu Pekalongan 2) Program Studi D3 Teknik Batik Politeknik Pusmanu Pekalongan

Titiek Pujilestari, Farida, Endang Pristiwati, Vivin Atika, Agus Haerudin Balai Besar Kerajinan dan Batik

KUALITAS PEWARNAN BATIK YANG DIHASILKAN DARI PERBEDAAN KONSENTRASI dan BAHAN FIKASI BAHAN PEWARNA DAUN MANGGA ARUM MANIS (Mangifera Indica LINN)

Laporan Tugas Akhir Pembuatan Zat Warna Alami dari Buah Mangrove Spesies Rhizophora stylosa sebagai Pewarna Batik dalam Skala Pilot Plan

BAB II METODE PERANCANGAN. A. Analisis Permasalahan. diperlukan analisis pada permasalahan tersebut ; analisa yang pertama diperoleh

PEMANFAATAN DAUN INDIGOFERA SEBAGAI PEWARNA ALAMI BATIK

TEKNIK PENGOLAHAN ZAT WARNA ALAM (ZPA) UNTUK PEWARNAAN BATIK

Pemanfaatan buah cengkeh untuk pewarna kain PEMANFAATAN BUAH CENGKEH UNTUK PEWARNA KAIN

Vivin Atika *, Agus Haerudin Balai Besar Kerajinan dan Batik, Jl. Kusumanegara No. 7 Yogyakarta, Indonesia

PEMANFAATAN LIMBAH SERBUK KAYU MAHONI SEBAGAI PEWARNA ALAMI BATIK

ALAT PENGERING BERKABUT UNTUK MENGHASILKAN ZAT WARNA ALAMI DARI KULIT KAYU MAHONI, JAMBAL, DAN TINGI GUNA MENGGANTIKAN SEBAGIAN WARNA SINTETIK BATIK

ZAT WARNA BEJANA/INDHANTHREN UNTUK PEWARNAAN BATIK

APLIKASI ZAT WARNA ALAM PADA TENUNAN SERAT DOYO UNTUK PRODUK KERAJINAN Application Natural Dyestuff On Woven Fibers Doyo For Handicraft Product

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. adalah salah satu tekstil tradisi yang memiliki nilai seni tinggi dan telah menjadi

PENCELUPAN PADA KAIN SUTERA MENGGUNAKAN ZAT WARNA URANG ARING (ECLIPTA ALBA) DENGAN FIKSATOR TAWAS, TUNJUNG DAN KAPUR TOHOR

KRiYA TEKSTIL DAN BATIK 1 OLEH: TITY SOEGIARTY JURUSAN PENDIDIKAN SENI RUPA FAKULTAS PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA 2009

PENGARUH FIKSATOR PADA EKSTRAK AKAR MENGKUDU TERHADAP PEWARNAAN JUMPUTAN

PENGARUH FREKUENSI CELUPAN TERHADAP HASIL JADI PEWARNAAN BATIK DENGAN DAUN LAMTORO PADA KAIN KATUN

LAPORAN TUGAS AKHIR. Disusun Oleh : 1. Lita Indriyani (I ) 2. Widak Asrianing (I )

BAB II METODE PERANCANGAN

Membuat Tekstil Dengan Teknik Rekalatar

Agus Haerudin dan Farida Balai Besar Kerajinan dan Batik, Jl. Kusumanegara No.7 Yogyakarta

PERBANDINGAN UJI KETAHANAN GOSOK ZAT WARNA ALAM KULIT AKASIA GUNUNG MERAPI (ACACIA DECURRENS)

Diterima: 19 Oktober 2016, revisi akhir: 8 Desember 2016 dan disetujui untuk diterbitkan: 10 Desember 2016

UJI COBA PENGGUNAAN DAUN SIRIH GADING SEBAGAI BAHAN PEWARNA ALAMI PADA KAIN KATUN

PENGEMBANGAN TEKNIK PEWARNAAN ALAMI PADA KERAJINAN SERAT ALAMI DI CV BHUMI CIPTA MANDIRI SENTOLO, KULON PROGO, YOGYAKARTA

BAB III PROSES DAN TEKNIK PENCIPTAAN

2014 EKSPERIMEN WARNA ALAM MANGGA ARUMANIS, MANGGA GEDONG GINCU DAN MANGGA SIMANALAGI SEBAGAI PEWARNA KAIN SUTERA

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

LAPORAN TUGAS AKHIR PEMBUATAN DAN APLIKASI ZAT WARNA ALAMI DARI BUAH MANGROVE JENIS Rhizophora stylosa


PENGARUH VARIASI ph DAN FIKSASI PADA PEWARNAAN KAIN KAPAS DENGAN ZAT WARNA ALAM DARI KAYU NANGKA TERHADAP KUALITAS HASIL PEWARNAANNYA

Emy Budiastuti dan Kapti Asiatun ( Dosen Jurusan Pendidikan Teknik Boga dan Busana FT UNY)

Kerajinan Batik Tulis

PENGARUH FIKSASI TERHADAP KETUAAN WARNA DENGAN MENGGUNAKAN PEWARNA ALAMI BATIK DARI LIMBAH MANGROVE

KEWIRAUSAHAAN (Kode : G-02)

Dwi Wiji Lestari dan Yudi Satria Balai Besar Kerajinan dan Batik

TEKNIK PEWARNAAN SUTERA DENGAN ZAT WARNA ALAM DARI DAUN PURING

BAB. III PROSES PENCIPTAAN. kriya tekstil berupa kain panjang, dalam hal ini data data yang dijadikan acuan

PENGEMBANGAN PROPAGUL KERING TANAMAN BAKAU (Rhizophora spp.) SEBAGAI PEWARNA ALAM DENGAN TEKNIK CELUP RINTANG

BAB I PENDAHULUAN. Kosmetika berasal dari kata kosmein (Yunani) yang berarti berhias. meningkatkan kecantikan (Wasitaatmadja, 1997).

ANALISIS CITRA PEWARNA ALAMI DARI EKSTRAK KULIT BUAH NAGA (Hylocereus polyrhizus)

POTENSI DAUN KETAPANG, DAUN MAHONI DAN BUNGA KECOMBRANG SEBAGAI ALTERNATIF PEWARNAAN KAIN BATIK YANG RAMAH LINGKUNGAN

PEMANFAATAN LIMBAH SERBUK KAYU MERBAU (Instia spp.) SEBAGAI PEWARNA KAIN KATUN DENGAN PENAMBAHAN KAPUR SIRIH

BAB I PENDAHULUAN. dan Latifah, 2007; Bariqina dan Ideawati, 2001). Batang-batang rambut

Ahmad Kamil 1), Arfan Bakhtiar 2), Sriyanto 3)

KAJIAN KULIT BUAH KAKAO SEBAGAI PEWARNA ALAMI PADA TEKSTIL SKRIPSI

LAPORAN TUGAS AKHIR PENGAMBILAN ZAT WARNA ALAMI DARI KULIT KAYU TINGI (Ceriops candolleana)

TEKNIK PEWARNAAN AGEL DENGAN ZAT WARNA ALAM DARI DAUN JATI. Eustasia Sri Murwati 1 Endang Pristiwati 2 Lucius Pradana Adhi Nugroho 3

PENGARUH BAHAN FIKSASI TERHADAP INTENSITAS WARNA DAN KETAHANAN LUNTUR PEWARNAAN KULIT CRUST IKAN PARI DENGAN PEWARNA SECANG (Caesalpinia sappan L)

PEWARNA ALAMI BATIK DARI TANAMAN NILA (Indigofera) DENGAN KATALIS ASAM

PENGARUH KONSENTRASI TAWAS TERHADAP PEWARNAAN KAIN MENGGUNAKAN EKSTRAK KULIT BAWANG MERAH

PENDAHULUAN Batik merupakan kekayaan bangsa Indonesia yang saat ini telah berkembang pesat, baik lokasi penyebaran, teknologi maupun desainnya.

PENGGUNAAN KEMBALI LARUTAN BEKAS PENCELUPAN

BAB I PENDAHULUAN. Warna memiliki peranan dan fungsi penting dalam kehidupan yang dapat

PENGGUNAAN LILIN DARI MINYAK BIJI KARET UNTUK PEMBUATAN KAIN BATIK THE USE OF WAX FROM RUBBER SEED OIL FOR THE MANUFACTURE OF BATIK FABRIC

Kata Kunci :Kulit, Daun, Mangrove (Rhizophoramucronata), Pewarna, Batik.

BAB III MATERI DAN METODE. Kimia dan Gizi Pangan, Departemen Pertanian, Fakultas Peternakan dan

KUALITAS PEWARNAAN EKSTRAK KAYU TEGERAN (Cudrania javanensis) PADA BATIK The Quality of Tegeran Wood (Cudrania javanensis) Extract Staining on Batik

PENGARUH JENIS FIKSATIF TERHADAP KETUAAN DAN KETAHANAN LUNTUR KAIN MORI BATIK HASIL PEWARNAAN LIMBAH TEH HIJAU

PEMANFAATAN LIMBAH DAUN MANGGA SEBAGAI PEWARNA ALAM PADA KAIN KATUN DAN SUTERA

Dalam proses ekstraksi tepung karaginan, proses yang dilakukan yaitu : tali rafia. Hal ini sangat penting dilakukan untuk memperoleh mutu yang lebih

Uji Coba Pewarna Alami Campuran Buah Secang dan Daun Mangga pada Kain Katun Prima

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan selama ± 2 bulan (Mei - Juni) bertempat di

IMPLEMENTASI EKO-EFISIENSI PADA INDUSTRI BATIK CAP YANG MELAKUKAN PROSES PENCELUPAN PADDING

e-journal. Volume 03 Nomor 02 Tahun 2014, Edisi Yudisium Periode Mei 2014, Hal 65-70

LUKISAN DENGAN TEKNIK PEWARNAAN ALAM DI PERUSAHAAN PRAM S BATIK NATURAL COLOUR YOGYAKARTA SKRIPSI

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian eksperimen. Termasuk

J. Gaji dan upah Peneliti ,- 4. Pembuatan laporan ,- Jumlah ,-

Ekstraksi Zat Warna dari Kulit Kayu Galam (Melaleuca leucadendron Linn) dan Evaluasi dalam Pewarnaan Kain Satin

PENGARUH PENGULANGAN PENCELUPAN TERHADAP HASIL WARNA BAHAN SUTERA DENGAN EKSTRAK BATANG PISANG KEPOK (Musa paradiasiaca L. cv kepok) YULIYA ZULMI

PEMANFAATAN ZAT WARNA ALAM DARI EKSTRAK KULIT AKAR MENGKUDU (Morinda citrifolia Linn) PADA KAIN KATUN

Prosiding Seminar Nasional Jurusan PTBB FT UNY, Volume 4, Tahun 2009

3. METODOLOGI PENELITIAN

BAB II METODE PERANCANGAN. A. Analisis Permasalahan. harus diselesaikan dalam proyek perancangan karya tekstil dengan eksplorasi eco

PENERAPAN RAGAM HIAS PADA BAHAN TEKSTIL

Pewarna Alami untuk Pangan KUNING MERAH SECANG

OPTIMASI SERBUK PEWARNA ALAMI INSTANDAUN SIRSAK (AnnonamuricataL.)DITELAAH DARIWAKTU PEMANASAN DAN PENAMBAHAN MALTODEKSTRIN

Metodologi Penelitian

CONTOH TEKNOLOGI PENGOLAHAN PANGAN PADA KELOMPOK BAHAN PANGAN

Majalah INFO ISSN : Edisi XV, Nomor 1, Pebruari 2013

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di laboratorium Balai Riset dan Standardisasi Industri

LAPORAN KIMIA ANORGANIK II PEMBUATAN TAWAS DARI LIMBAH ALUMUNIUM FOIL

PADA BENANG POLIESTER UNTUK KAIN SONGKET PALEMBANG. Luftinor. Abstrak

PENGOLAHAN BATANG KUDZU MENJADI BAHAN BAKU SERAT UNTUK PRODUK KERAJINAN Processing Kudzu Stem as Fiber Raw Material for Craft Product

APLIKASI KULIT BUAH MANGGIS (Garcinia mangostana L.) SEBAGAI PEWARNA ALAMI PADA KAIN KATUN SECARA PRE-MORDANTING.

Transkripsi:

53 OPTIMASI PENCELUPAN KAIN BATIK KATUN DENGAN PEWARNA ALAM TINGI (Ceriops tagal) DAN INDIGOFERA Sp. Batik Fabric Dyeing Process Optimization Using Natural Dyes Tingi (Ceriops tagal) and Indigofera Sp. Titiek Pujilestari Balai Besar Kerajinan dan Batik, Jl. Kusumanegara No.7 Yogyakarta titiek.pujilestari58@gmail.com Tanggal Masuk: 14 Maret 2017 Tanggal Revisi: 17 April 2017 Tanggal Disetujui: 21 April 2017 ABSTRAK Pencelupan menggunakan zat warna alam pada proses pembuatan batik dilakukan berulang kali agar dihasilkan warna yang kuat. Sedangkan, penyerapan warna oleh serat kain dibatasi oleh kejenuhan serat. Pencelupan berulang tanpa memperhatikan hasil yang diperoleh dapat menambah biaya, tenaga, dan waktu proses pewarnaan. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan pengulangan pencelupan yang optimum dalam menghasilkan warna kain batik katun yang kuat. Penelitian dilakukan menggunakan media kain katun, zat warna alam tingi dan indigofera, serta bahan fiksasi kapur, tunjung, dan tawas. Pewarnaan dilakukan secara berulang masing-masing 5, 8, 11, dan 14 kali pencelupan. Fiksasi warna tingi dengan menggunakan tawas, kapur, dan tunjung dilakukan setelah proses pewarnaan. Pengujian pada kain katun batik meliputi ketahanan luntur warna terhadap sinar matahari dan pencucian, serta uji beda warna (L*a*b*). Hasil penelitian menunjukkan bahwa kondisi optimum pencelupan untuk memperoleh arah warna coklat tua/gelap menggunakan pewarna alami tingi dengan fiksasi tunjung adalah 5 dan 8 kali pencelupan, untuk tawas 11 kali pencelupan. Fiksasi dengan tunjung menghasilkan warna kain katun batik lebih tua apabila dibandingkan dengan fiksasi tawas. Perlakuan optimum dalam pencelupan menggunakan pewarna alam indigofera pada kain katun batik adalah sebanyak 8 kali pencelupan dengan hasil arah warna biru paling kuat. Kata Kunci : pencelupan, batik, warna alam, tingi, indigofera ABSTRACT Dyeing using natural dyes in batik-making process is repeated in order to produce a strong color. Meanwhile, color absorption of fabric fibers has saturation limit. Repeated dyeing without considering the results is not efficient. This research objective is to obtain optimum number of dyeing in order to produce strong color on cotton batik fabric. This research was conducted by using cotton fabric, tingi and indigofera along with lime, tunjung (ferrous sulfate), and alum (aluminum sulfate) as post-mordant materials. Dyeing repetitions are done with variations of 5, 8, 11, and 14 times. The color produced by tingi will be post-mordanted using lime, tunjung, and alum. Testing on cotton batik fabric contains color fastness to light and washing and also test on color difference (L*a*b*). The results showed that the optimum conditions to obtain dark brown color using tingi and tunjung (as post-mordant) is on 5 and 8 times of dyeing while with alum is 11 times repeated. Post-mordanting with tunjung generates darker batik color on cotton fabrics compared to alum. The optimum batik dyeing using indigofera on cotton fabrics is 8 times of repetition, resulting the strongest blue shade. Keywords : dyeing, batik, natural dyes, Ceriops tagal, indigofera

54 D i n a m i k a K e r a j i n a n d a n B a t i k, Vol. 34, No. 1, Juni 2017, 53-62 PENDAHULUAN Batik merupakan kerajinan tangan sebagai hasil pewarnaan secara perintangan menggunakan malam (lilin batik) panas sebagai perintang warna dengan alat utama pelekat lilin batik berupa canting tulis dan atau canting cap untuk membentuk motif tertentu yang memiliki makna (Badan Standardisasi Nasional, 2014). Pembuatan batik dapat dilakukan melalui beberapa tahapan proses diantaranya pembentukan motif, pewarnaan/pencelupan, fiksasi, dan pelorodan. Proses pencelupan merupakan salah satu faktor yang dapat menentukan kualitas, ketuaan, dan arah warna batik. Oleh karena itu, perlu kecermatan dan kehati-hatian dalam pencelupan warna batik. Proses pewarnaan batik menggunakan warna alam dilakukan pada suhu kamar, karena lilin batik sebagai perintang warna dapat rusak akibat suhu tinggi. Suhu pencelupan yang tinggi dapat melelehkan malam (lilin batik) yang menyebabkan warna akan masuk terserap ke perintang warna yang berakibat rusaknya motif batik (Pristiwati E., dkk., 2016). Penggunaan warna alam pada batik menggunakan beberapa jenis tanaman pembawa warna telah banyak dilakukan, diantaranya adalah kulit kayu tingi (Ceriops tagal) dan daun nila (Indigofera Sp.). Kain batik yang dibuat menggunakan zat warna alam, sangat diminati oleh berbagai kalangan penggemar batik. Keadaan ini memacu tumbuh dan berkembangnya industri batik untuk mencoba dengan membuat produk batik warna alam. Berbagai permasalahan banyak ditemukan di industri batik warna alam. Permasalahan teknis yang ditemukan antara lain terletak pada proses pencelupan yang memerlukan waktu lama dan dilakukan secara berulangulang. Sampai saat ini belum terdapat industri batik yang memberikan data pengulangan pencelupan yang dilakukan untuk suatu jenis warna alam. Warna alam tingi dan indigofera merupakan dua jenis warna alam yang banyak digunakan untuk pewarnaan di industri batik karena dapat memberi arah warna coklat dan biru yang kuat dengan pengulangan pencelupan. Pengulangan pencelupan di setiap industri batik tidak sama, berdasarkan hasil survei diperoleh data bahwa terdapat suatu industri yang melakukan pencelupan lebih dari 15 kali. Pohon tingi (Ceriops tagal) termasuk familia Rhizoporaceae, merupakan tumbuhan mangrove yang banyak terdapat di Indonesia. Kayu tingi dapat dimanfaatkan sebagai sumber tanin yang potensial bagi industri batik karena dapat menghasilkan warna coklat. Tanin terdapat pada berbagai bagian seperti kayu, kulit kayu, buah, dan akar. Kandungan tanin dari bagian kulit kayu tingi yang diekstraksi menggunakan air pada suhu 70 o C selama 3 jam menghasilkan nilai sekitar 24% dan tanin ini dapat memberikan warna coklat kemerahan (Handayani, 2013). Zat warna alam tingi sudah banyak digunakan di industri batik dengan aplikasi ke pewarnaan tunggal maupun campuran tingi, tegeran, dan jambal sebagai warna sogan (Pristiwati, dkk,. 2016). Warna alam indigofera diperoleh dengan cara fermentasi daun tanaman perdu Indigofera Sp. dengan perendaman dalam air selama 36-48 jam sampai diperoleh pasta indigofera (Suheryanto, 2012). Pasta indigofera sebelum digunakan direduksi dengan gula merah atau gula aren sehingga larutan menjadi basa, karena senyawa indoxyl mudah teroksidasi menjadi indigofera yang berwarna biru (Susanto, 1973). Selanjutnya dikatakan (Adalina dan Luciasih, 2010) bahwa tanaman Indigofera sp. apabila direndam dalam air akan

O p t i m a s i P e n c e l u p a n K a i n B a t i k..., P u j i l e s t a r i 55 terhidrolisis oleh enzim dan mengubah indikan menjadi indoksil (tarum putih) dan glukosa. Aerasi senyawa indoksil (tarum putih), biasanya dilakukan dengan pengeburan dapat mengubahnya menjadi tarum biru. Warna alam indigofera juga sudah dikenal di industri batik secara turun temurun, tetapi belum semua industri kecil dan menengah (IKM) batik yang memahami proses pembuatan dan penggunaannya secara benar. Pewarnaan batik dengan zat warna alam menghasilkan produk batik dengan daya tarik pada karakteristik yang alami, unik, etnik, dan eksklusif, sehingga memiliki potensi pasar yang tinggi. Oleh karena itu dijadikan sebagai komoditas unggulan produk Indonesia dalam memasuki pasar global. Sebagai upaya untuk meningkatkan penggunaan zat warna alam pada batik maka perlu dilakukan penelitian tentang aplikasinya dalam pembatikan dan eksplorasi zat warna dari berbagai daerah bersumber daya alam lokal. Proses pembuatan batik telah banyak diketahui oleh berbagai industri batik namun untuk mendapatkan warna yang sesuai dengan yang diharapkan masih belum sepenuhnya dipahami oleh beberapa IKM batik. Pengulangan pencelupan dan jenis fiksasi merupakan komponen faktor yang dapat berpengaruh terhadap arah dan warna kain batik yang dihasilkan. Perlu dilakukan penelitian pencelupan dengan warna alam tingi dan indigofera, yang bertujuan untuk mengetahui pengaruh pengulangan dalam pencelupan dan penggunaan bahan fiksasi terhadap ketahanan luntur warna dan arah warna pada batik kain katun. METODOLOGI PENELITIAN Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam penelitian adalah warna alam dari kayu tingi dan pasta indigofera. Kayu tingi dan pasta indigofera dibeli di toko khusus penyedia bahan dan alat untuk batik, yang berada di Yogyakarta. Media batik yang digunakan adalah kain katún dan air sebagai bahan pelarut ekstraksi. Bahan fiksator yang digunakan adalah aluminium sulfat/tawas [Al2(SO4)3 K2SO4 24H2O], kapur Ca(OH)2, dan fero sulfat/tunjung (FeSO4). Bahan pembantu meliputi soda abu, tepung tapioka, TRO (Turkish Red Oil), gula merah, dan malam (lilin batik). Peralatan yang digunakan meliputi alat ekstraksi dengan pengatur suhu, drum plastik, bak perendaman, bak pencelupan, panci pelorodan, saringan, pengaduk, neraca, kompor, gunting, gelas ukur, tabung reaksi, erlenmeyer, stop-watch, dan alat untuk pengujian ketahanan luntur warna terhadap sinar dan pencucian. Metode Bahan baku warna alam berupa kulit kayu tingi, diekstrak dengan cara pemanasan pada suhu 100 o C atau sampai mendidih. Larutan ekstrak kayu tingi yang diperoleh diaplikasikan untuk pewarnaan batik pada media kain katun dengan pencelupan dingin secara berulang-ulang. Untuk mengkondisikan zat warna alam tingi yang sudah terserap dalam bahan dan untuk mengunci warna agar warna melekat dengan baik, dilakukan fiksasi menggunakan tawas, kapur, dan tunjung. Proses fiksasi tidak dilakukan pada pewarnaan dengan indigofera, melainkan menggunakan gula merah sebagai reduktor pada pembuatan larutan warna. Bahan baku warna alam ditimbang sesuai dengan keperluan dengan konsentrasi perbandingan 1:6, yaitu setiap 1kg bahan warna alam tingi diperlukan air sebanyak 6liter. Potongan kayu tingi direndam selama 24 jam dalam air bersih untuk membuka sel

56 D i n a m i k a K e r a j i n a n d a n B a t i k, Vol. 34, No. 1, Juni 2017, 53-62 kayu agar mempermudah pigmen keluar, selanjutnya dimasukan ke dalam alat ekstraksi dan dipanaskan sampai suhu 100 o C selama 1 jam kemudian disaring dan warna alam tingi siap digunakan untuk pewarnaan batik. Penambahan bahan reduktor berupa gula merah perlu dilakukan pada pasta indigofera sebelum digunakan sebagai pewarna alam batik dengan perbandingan 1:1, kemudian pasta diencerkan menggunakan air dengan perbandingan 1 bagian berat pasta:6 bagian volume larutan gula dan air. Mula-mula gula merah sebanyak 1kg dilarutkan dalam air secukupnya dengan cara dipanaskan agar gula cepat larut dan kemudian disaring. Larutan gula yang diperoleh diukur volumenya kemudian dicampur dengan 1kg pasta indigofera sambil diaduk hingga terlarut sempurna. Selanjutnya dilakukan penambahan air hingga larutan warna indigofera menjadi 6 liter. Larutan didiamkan selama 24 jam dalam tempat tertutup. Larutan indigofera siap digunakan sebagai pewarna batik. Kain katun sebelum pewarnaan perlu di-mordant menggunakan larutan tawas sebanyak 6g/l dan soda abu 2g/l, dengan cara dipanaskan pada suhu 90 o C selama 1 jam. Setelah dipanaskan, campuran didiamkan selama 24 jam. Kain katun ditiriskan tanpa diperas dan dijemur sampai kering. Kain katun kemudian dibatik menggunakan canting sesuai motif yang dikehendaki. Pewarnaan dilakukan dengan cara pencelupan secara berulang dengan variasi masing-masing 5, 8, 11, dan 14 kali celupan. Untuk menentukan arah warna, kain batik yang sudah diwarna alam tingi difiksasi dengan larutan tawas 70g/l, kapur 50g/l, dan tunjung 30g/l, kemudian dilorod dengan cara memasukkan kain batik dalam air panas yang ditambahkan pati kanji sampai semua lilin batik terlepas. Pengujian kain batik meliputi ketahanan luntur warna terhadap sinar terang matahari, ketahanan luntur warna pada pencucian, dan uji beda warna. Ketahanan luntur warna terhadap pencucian dinyatakan dengan adanya perubahan warna dan penodaan warna pada kain batik. Pengujian penodaan dilakukan pada kain kapas, hal ini sesuai dengan media batik yang digunakan pada penelitian menggunakan kain katun. Pengujian ketahanan luntur warna terhadap pencucian berdasar pada SNI Tekstil Cara uji tahan luntur warna Bagian C06 : tahan luntur warna terhadap pencucian rumah tangga dan komersial (Badan Standardisasi Nasional, 2010b). Pengujian terhadap sinar berdasar SNI Tekstil cara uji tahan luntur warna Bagian B01: Tahan luntur warna terhadap sinar terang hari. (Badan Standardisasi Nasional, 2010a). Uji beda warna dilakukan berdasarkan pada kecerahan (lightness) meliputi kejenuhan warna (chroma) dan corak warna (hue). Metode yang digunakan adalah CIELAB yaitu merupakan ruang warna yang mencakup semua warna yang dapat dilihat oleh mata. Nilai kecerahan L* dengan rentang nilai 0-100. Nilai dari 0 sama dengan hitam, sedangkan sampai 100 sama dengan putih, semakin tinggi nilai L* bermakna semakin cerah dan semakin rendah nilai L* warna mengarah ke hitam/gelap. Nilai a* mengarah ke merah atau hijau, nilai a*positif (+) cenderung ke arah merah dan nilai negatif (-) cenderung ke arah hijau. Untuk nilai b* mengarah ke kuning atau biru, b*positif (+) cenderung ke arah kuning dan nilai negatif (-) cenderung ke arah biru (CIE, 1976).

O p t i m a s i P e n c e l u p a n K a i n B a t i k..., P u j i l e s t a r i 57 HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian pewarnaan batik pada kain katun menggunakan warna alam tingi dan indigofera dengan cara pencelupan dingin secara berulang sebanyak 5, 8, 11, dan 14 kali celupan telah dilakukan. Pengujian dilakukan terhadap batik hasil pewarnaan. Uji Ketahanan Luntur Terhadap Pencucian dan Sinar Matahari Hasil uji ketahanan luntur kain katun batik dengan warna tingi terhadap pencucian dan sinar matahari disajikan pada Tabel 1. Ketahanan luntur terhadap pencucian kain katun batik warna tingi pada berbagai ulangan pencelupan dan jenis bahan fiksasi adalah baik, karena memberikan nilai ratarata ketahanan luntur 4. Sedangkan sebelum pelorodan ketahanan luntur pencucian adalah cukup dengan nilai rata-rata 3-4 (cukup) atau bernilai lebih rendah apabila dibandingkan dengan yang sudah dilorod. Penodaan warna dari berbagai perlakuan ulangan pencelupan, baik yang sebelum maupun sesudah dilorod rata-rata semuanya baik dengan nilai 4, kecuali yang difiksasi dengan kapur memberi nilai 4-5 atau sangat baik. Keadaan ini karena pada proses pelorodan kain menggunakan air panas, kemudian untuk mempermudah penghilangan lilin batik dilakukan dengan meremas-remas kain (dikucek). Dengan demikian warna yang tidak terserap dalam serat terikut larut pada pencucian saat pelorodan. Tabel 1. Ketahanan luntur kain batik warna tingi terhadap sinar matahari dan pencucian pada kain katun batik No. Perlakuan Ketahanan Luntur Warna Terhadap Pencucian 40 o C Perubahan Warna Penodaan Warna Ketahanan Luntur Warna terhadap Sinar Terang Hari 1. Pencelupan 5 kali, TL 4 4 3 2. Pencelupan 5 kali, tawas 4 5 4 4-5 3. Pencelupan 5 kali, kapur 4 4-5 4-5 4. Pencelupan 5 kali, tunjung 3 4 4 4-5 5. Pencelupan 8 kali, TL 3 4 4 3 6. Pencelupan 8 kali, tawas 4 4 4-5 7. Pencelupan 8 kali, kapur 4 4 4 8. Pencelupan 8 kali, tunjung 4 4 4-5 9. Pencelupan 11 kali, TL 3 4 4 3 10. Pencelupan 11 kali, tawas 4 4 4-5 11. Pencelupan 11 kali, kapur 4 4-5 4-5 12. Pencelupan 11 kali, tunjung 4 4 4-5 13. Pencelupan 14 kali, TL 3 4 4 3 14. Pencelupan 14 kali, tawas 4 4 4-5 15. Pencelupan 14 kali, kapur 4 5 4-5 4 16. Pencelupan 14 kali, tunjung 4 4 4-5 Keterangan : Nilai 1 = kurang baik, nilai 2 = sedang, nilai 3 = cukup, nilai 4 = baik dan nilai 5 = baik sekali TL = tanpa lorod

58 D i n a m i k a K e r a j i n a n d a n B a t i k, Vol. 34, No. 1, Juni 2017, 53-62 Perlakuan ulangan pencelupan dan penggunaan bahan fiksasi tidak mempengaruhi ketahanan luntur terhadap pencucian dan penodaan warna. Kain katun batik tanpa pelorodan memberikan ketahanan terhadap perubahan warna saat pencucian rendah dengan nilai 3-4 (cukup), karena banyak zat warna yang ikut terlarut pada saat pencucian sehingga kandungan warna pada kain mengalami pengurangan. Nilai ketahanan terhadap sinar terang hari pada kain katun batik yang belum dilorod semuanya menunjukkan nilai 3 (cukup), tetapi pada kain katun batik yang sudah dilorod dari berbagai ulangan pencelupan dan penggunaan fiksasi aluminium sulfat/tawas, kapur maupun fero sulfat/tunjung mempunyai ketahanan luntur warna terhadap sinar terang hari yang baik. Hal ini dapat dijelaskan bahwa ketahanan luntur warna batik terhadap pencucian maupun sinar terang hari tidak disebabkan banyaknya pencelupan maupun penggunaan fiksator namun lebih pada warna yang terikat. Proses pelorodan menyebabkan zat warna alam yang tidak terikat dan noda pada kain ikut terlarut. Pigmen pada warna alam indigofera termasuk dalam kelompok pewarna lemak yang merupakan warna biru yang ditimbulkan kembali pada serat melalui proses reduksi (Adalina dan Luciasih, 2010). Hasil uji kain katun batik warna indigofera pada uji ketahanan luntur terhadap pencucian, penodaan warna, dan terhadap sinar terang hari disajikan pada Tabel 2. Ketahanan luntur warna terhadap pencucian kain katun batik indigofera dari semua perlakuan ulangan pencelupan sebelum dilorod adalah cukup dan baik dengan nilai 3 dan 4, akan tetapi sesudah dilorod adalah baik sampai dengan baik sekali dan baik dengan nilai 4-5 dan 4. Ketahanan luntur warna terhadap sinar terang hari pada kain katun batik indigofera dari semua perlakuan ulangan pencelupan baik sebelum maupun sesudah dilorod adalah baik sampai dengan baik sekali, dengan nilai 4-5. Zat warna alam indigofera mempunyai ketahanan luntur yang baik, hal ini sesuai pendapat (Adalina dan Luciasih, 2010) bahwa pewarna indigofera sering memberikan kekekalan yang Tabel 2. Hasil uji ketahanan luntur terhadap pencucian, penodaan warna, dan sinar terang hari pada kain batik katun warna indigofera No. Perlakuan Ketahanan Luntur Warna Terha dap Pencucian 40 O C Perubahan Warna Penodaan Warna Ketahanan Luntur Warna Terhadap Sinar Terang Hari 1. Pencelupan 5 kali, TL 3 4 4-5 2. Pencelupan 5 kali, DL 4-5 4 4-5 3. Pencelupan 8 kali, TL 3 4 4-5 4. Pencelupan 8 kali, DL 4-5 4 4-5 5. Pencelupan 11 kali, TL 3 4 4-5 6. Pencelupan 11 kali, DL 4-5 4 4-5 7. Pencelupan 14 kali, TL 3 4 4-5 8. Pencelupan 14 kali, DL 4 4 4-5 Keterangan : TL = tanpa lorod, DL = dengan pelorodan

O p t i m a s i P e n c e l u p a n K a i n B a t i k..., P u j i l e s t a r i 59 istimewa terhadap cahaya dan pencucian dan dapat dimanfaatkan secara luas sebagai sumber pewarna biru. Uji beda warna Hasil uji beda warna kain katun batik dengan pewarna tingi pada berbagai perlakuan ulangan pencelupan dan jenis fiksator, sebelum dan sesudah dilorod secara lengkap disajikan pada Tabel 3. Perlakuan pengulangan pencelupan memberikan nilai beda warna yang bervariasi, hal ini berarti kemampuan serat kain batik untuk menyerap warna masih ada. Jenis fiksator yang digunakan ternyata memberi respon yang tidak sama dalam mengunci/mengikat warna alam tingi sehingga berpengaruh terhadap kecerahan dan arah warna. Kain katun batik menggunakan pewarna alam tingi, memiliki nilai kecerahan (L*) sebelum pelorodan pada pencelupan 5 kali adalah sebesar 50,02; kemudian semakin menurun seiring bertambahnya pengulangan pencelupan. Namun demikian nilai L* sebelum pelorodan tidak mengalami perubahan yang berarti mulai dari pengulangan pencelupan 11 kali dan 14 kali, yaitu 40,78 dan 40,55. Kondisi demikian berarti, bahwa semakin banyak pengulangan pencelupan maka semakin banyak pula warna yang terserap dalam serat kain katun. Pada pencelupan 11 kali, serat kain katun mulai jenuh dengan zat pewarna tingi, dengan demikian pada ulangan pencelupan berikutnya (ke-14) serat katun sudah tidak memiliki kemampuan Tabel 3. Hasil uji beda warna kain batik katun dengan pewarna tingi dan bahan fiksasi Nilai Beda Warna No. Perlakuan Sblm L* a* b* Ssdh Sblm Ssdh Sblm 1. Pencelupan 5 kali 50,02 23,05 26,70 Ssdh 2. Pencelupan 5 kali, tawas 65,70 6,91 10,54 3. Pencelupan 5 kali, kapur 71,94 14,60 27,09 4. Pencelupan 5 kali, tunjung 33,47 2,96 4,15 5. Pencelupan 8 kali 45,79 19,48 28,46 6. Pencelupan 8 kali, tawas 42,88 12,06 10,13 7. Pencelupan 8 kali, kapur 78,48 10,00 19,09 8. Pencelupan 8 kali, tunjung 32,82 2,34 3,17 9. Pencelupan 11 kali 40,78 20,60 22,89 10. Pencelupan 11 kali, tawas 38,87 13,24 9,44 11. Pencelupan 11 kali, kapur 64,66 17,59 27,90 12. Pencelupan 11 kali, tunjung 47,00 3,44 5,50 13. Pencelupan 14 kali 40,55 19,11 19,12 14. Pencelupan 14 kali, tawas 38,74 11,97 8,85 15. Pencelupan 14 kali, kapur 64,77 19,40 28,43 16. Pencelupan 14 kali, tunjung 55,09 3,16 5,78

60 D i n a m i k a K e r a j i n a n d a n B a t i k, Vol. 34, No. 1, Juni 2017, 53-62 atau tidak efektif untuk menyerap zat warna alam tingi. Dapat dikemukakan bahwa kondisi optimum pencelupan kain katun batik dengan pewarna alam tingi cukup dilakukan sebanyak 11 kali pencelupan. Perlakuan fiksasi dapat merubah arah warna kain katun batik. Arah warna ditentukan oleh pelorodan dan jenis bahan fiksasi. Fiksasi dengan larutan kapur ratarata menghasilkan nilai L* (kecerahan) paling tinggi dan fiksasi dengan larutan tunjung memberikan nilai L* (kecerahan) paling rendah dengan arah warna lebih tua/gelap. Penggunaan fiksasi dengan larutan tunjung memberikan arah warna yang lebih gelap dibanding dengan fiksasi menggunakan larutan kapur dan tawas. Hal ini karena adanya ion Fe +2 pada tunjung/fero sulfat mengadakan reaksi dengan molekul zat warna alam tingi dalam serat membentuk ikatan yang lebih besar. Fiksasi dengan tunjung pada pencelupan sebanyak 5-8 kali telah memberikan arah warna tua/gelap setelah pelorodan dengan nilai L* 33,47-32,82. Kemudian dengan bertambahnya jumlah ulangan pencelupan justru meningkatkan warna kearah yang lebih muda dengan (L*) yang semakin besar. Sedangkan fiksasi dengan tawas dan kapur perlu pencelupan sebanyak 11 kali untuk memperoleh arah warna tua/gelap dengan nilai L* 38,87 dan 64,66. Selanjutnya pada pengulangan berikutnya (14 kali) sudah tidak mampu lagi memberikan arah ketuaan warna kain katun batik warna tingi, karena nilai kecerahnnya relatif sama yaitu 38,74 dan 64,77. Keadaan ini memberikan petunjuk bahwa fiksasi pewarna alam tingi dengan menggunakan larutan kapur hanya akan menghasilkan warna kearah warna coklat muda. Dengan demikian kondisi optimum pencelupan kain katun batik dengan pewarna alam tingi untuk memperoleh arah warna coklat tua/gelap dengan fiksasi tunjung atau tawas, cukup dilakukan sebanyak 5-8 kali dan 11 kali pencelupan, namun warna yang diperoleh tetap lebih tua apabila digunakan bahan fiksasi tunjung. Hasil uji warna untuk a* dan b* kain katun batik pada semua perlakuan adalah positif, dengan demikian memberikan arah warna menuju ke merah dan kuning. Nilai warna a* pada fiksasi dengan tawas pada pencelupan sebanyak 11 kali adalah 13, sedangkan pada fiksasi dengan tunjung pada pencelupan sebanyak 5-8 kali adalah 2,96-2,34. Nilai warna b* pada fiksasi dengan tawas pada pencelupan sebanyak 11 kali adalah 9,44 sedangkan pada fiksasi dengan tunjung pada pencelupan sebanyak 5-8 kali adalah 4,15-3,17. Dapat dikemukakan bahwa fiksasi menggunakan tawas pada pencelupan sebanyak 11 kali dapat memberikan warna ke arah merah dan kuning yang lebih baik apabila dibandingkan dengan fiksasi menggunakan tunjung pada pencelupan sebanyak 5-8 kali. Hasil uji beda warna kain katun batik dengan pewarna indigofera pada berbagai perlakuan ulangan pencelupan, sebelum dan sesudah dilorod secara lengkap disajikan pada Tabel 4. Nilai kecerahan warna kain katun batik dengan pewarna alami indigofera pada pencelupan 5 kali memberikan nilai paling tinggi dan semakin menurun pada ulangan pencelupan berikutnya. Semakin tinggi nilai kecerahan warna berarti warna indigofera lebih terang/muda dan semakin banyak pencelupan warna indigofera semakin gelap. Namun demikian setelah pelorodan, warna indigofera menunjukkan nilai kecerahan yang lebih tinggi dibanding sebelum pelorodan.

O p t i m a s i P e n c e l u p a n K a i n B a t i k..., P u j i l e s t a r i 61 Tabel 4. Hasil uji beda warna kain batik katun menggunakan pewarna indigofera Nilai Beda Warna No. Perlakuan Sebelum L* a* b* Sesudah Sebelum Sesudah Sebelum Sesudah 1. Pencelupan 5 kali 35,76 68,88-1,81-2,29-8,52 1.12 2. Pencelupan 8 kali 33,49 52,73-3,09-1,03-11,20-0,98 3. Pencelupan 11 kali 32,40 63,50-1,70-1,16-8,14 2.01 4. Pencelupan 14 kali 30,54 69,41-1,62 -,010-8,37 7,35 Pelorodan atau penghilangan perintang lilin dilakukan dengan menggunakan suhu panas yang diikuti dengan peremasan kain (dikucek), ternyata turut serta membawa warna indigofera yang tidak terikat, akibatnya nilai kecerahan warna meningkat dan warna menjadi lebih pudar. Nilai warna pada pencelupan 5 kali adalah 68,88 kemudian turun pada pencelupan 8 kali dengan nilai 52,73 kemudian meningkat terus pada ulangan pencelupan berikutnya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa untuk memperoleh kain katun batik menggunakan pewarna alami indigofera yang memiliki ketuaan warna paling baik pada penelitian ini adalah perlakuan pencelupan sebanyak 8 kali. Kondisi optimum untuk memperoleh warna yang paling tua kain batik katun adalah perlakuan pencelupan dengan pengulangan sebanyak 8 kali. Hasil uji beda warna untuk a* dan b* kain katun batik pada semua perlakuan adalah negatif, kecuali nilai b* pada perlakuan pencelupan 5 kali, 11 kali, dan 14 kali. Dengan demikian memberikan arah warna menuju ke hijau dan biru, kecuali perlakuan pencelupan 5 kali, 11 kali, dan 14 kali memberikan arah warna ke kuning. Nilai a* pada pencelupan sebanyak 8 kali adalah -3,09 lebih rendah dari perlakuan lainnya berarti warna menuju ke arah hijau yang lebih tinggi. Nilai b* pada pencelupan sebanyak 8 kali adalah -0,98 lebih rendah dari perlakuan lainnya berarti arah warna menuju ke arah biru, sedangkan perlakuan lainnya memberi arah warna ke kuning. Dapat dikemukakan bahwa perlakuan optimum dalam pencelupan menggunakan pewarna alami indigofera pada kain katun batik sebanyak 8 kali pencelupan dapat memberikan warna indigofera ke arah biru yang lebih baik dibandingkan perlakuan lainnya, dengan nilai L*= 52,73, a*= -3,09, dan b*= -0,98. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Penyerapan pewarna alam tingi oleh kain katun sampai pada titik kejenuhan serat dicapai pada perlakuan pencelupan sebanyak 11 kali. Kondisi optimum pencelupan untuk memperoleh arah warna coklat tua/gelap pada kain katun batik menggunakan pewarna alami tingi dengan fiksasi tunjung, adalah 5-8 kali pencelupan dengan nilai L*= 33,47-32,82, a*= 2,96-2,34 dan b*= 4,15-3,17. Sedangkan kondisi optimum apabila digunakan bahan fiksasi tawas adalah 11 kali pencelupan dengan nilai L*= 38,87; a*= 13,24; dan b*= 9,44. Fiksasi tunjung menghasilkan warna kain katun batik yang lebih tua apabila dibandingkan dengan fiksasi tawas. Perlakuan optimum dalam pencelupan menggunakan pewarna alami indigofera

62 D i n a m i k a K e r a j i n a n d a n B a t i k, Vol. 34, No. 1, Juni 2017, 53-62 pada kain katun batik sebanyak 8 kali pencelupan, dapat memberikan warna indigofera ke arah biru yang lebih baik dibandingkan perlakuan lainnya dengan nilai L*= 52,73, a*= -3,09, dan b*= -0,98. Saran Diperlukan penelitian dari warna alam lainnya, yang sering digunakan di IKM Batik. Dengan demikian dapat diketahui kondisi optimum untuk masing-masing warna alam, sehingga dapat memaksimalkan warna dan waktu pencelupan. DAFTAR PUSTAKA Adalina Y., Luciasih A., A. R. (2010). Sumber Bahan Pewarna Alami Tinta Sidik Jari Pemilu. Pusat Penelitian Dan Pengembangan Hutan Dan Konservasi Alam, (Badan Penelitian Dan Pengembangan Kehutanan Departemen Kehutanan). Badan Standardisasi Nasional. (2010a). Tekstil Cara Uji tahan luntur warna Bagian B01 : Tahan luntur warna terhadap Sinar, Sinar Terang hari. In SNI ISO 105 B01. Badan Standardisasi Nasional. (2010b). Tekstil Cara Uji tahan luntur warna Bagian C06 : Tahan luntur warna terhadap pencucian rumah tangga. In SNI ISO 105 C06 : 2010. Badan Standardisasi Nasional. (2014). Batik Pengertian dan Istilah. In SNI 0239 : 2014. Handayani P.A., M. I. (2013). Pewarna Alami Batik Dari Kulit Soga Tingi (Ceriops tagal) Dengan Metode Ekstraksi. Jurnal Bahan Alam Terbarukan. Fakultas Teknik, Universitas Negeri Semarang. Pristiwati E., Pujilestari T., Farida, Haerudin A., Salma I.R, Atika V., Lestari D.W., Jubaedah, A. (2016). Peningkatan Kualitas Batik Zat Warna Alam,. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan, Kementerian Perindustrian. Suheryanto D. (2012). Optimalisasi Waktu Fermentasi Pembuatan Zat Warna Alam Indigo (Indigofera tinctoria). In Seminar nasional Teknik Kimia, Program Studi Teknik Kimia UPN Veteran Jawa Timur, Surabaya. Susanto Sewan. (1973). Seni Kerajinan Batik Indonesia. Yogyakarta: Balai Penelitian Batik Dan Kerajinan, Lembaga penelitian Dan Pendidikan Industri, Departemen Perindustrian.