BAB I PENDAHULUAN. bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia

dokumen-dokumen yang mirip
BAB 1 PENDAHULUAN. yang tangguh baik secara fisik, mental maupun intelektual dan kepribadian. pendidikan di indonesia yaitu Madrasah Aliyah (MA).

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. karakter siswa. Pendidikan agama merupakan sarana transformasi pengetahuan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. masalah penilaian terhadap hasil usaha tersebut. ( Suryabrata, 2002 : 293 ).

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. perbuatan curang dalam dunia pendidikan. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan

BAB I PENDAHULUAN. bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan. demokratis serta bertanggung jawab.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan memiliki budi pekerti

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan adalah pembelajaran pengetahuan, keterampilan, dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kadang berbagai macam cara dilakukan untuk mencapai tujuan itu. Salah satu yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pemalsuan data laboratorium dan tindak kecurangan. Menurut Mujahidah (2012 :4)

BAB I PENDAHULUAN. melalui pendidikan sekolah. Pendidikan sekolah merupakan kewajiban bagi seluruh. pendidikan Nasional pasal 3 yang menyatakan bahwa:

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dan Pembukaan UUD 1945 dilatarbelakangi oleh realita permasalahan kebangsaan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia menyadari akan pentingnya menciptakan warga negara yang

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan suatu hal yang sangat penting bagi kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tujuan pendidikan nasional yang tertuang dalam Pasal 3 Undang-Undang

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar belakang masalah

BAB I PENDAHULUAN. Manusia merupakan makhluk yang paling tinggi derajatnya, makhluk yang

BAB I PENDAHULUAN. Perilaku menyontek atau cheating merupakan salah satu fenomena dalam

I. PENDAHULUAN. Pendidikan menjadi hak dasar warga negara. Pendidikan merupakan salah satu

BAB I PENDAHULUAN. oleh setiap individu dalam setiap jenjang pendidikan yang dilalui.

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan yang lebih tinggi. Salah satu peran sekolah untuk membantu mencapai

SKRIPSI. Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Matematika. Oleh:

SKRIPSI. Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Mencapai Derajat Sarjana S-1 Program Studi Pendidikan Akuntansi. Disusun Oleh :

BAB I PENDAHULUAN. mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual. tertuang dalam sistem pendidikan yang dirumuskan dalam dasar-dasar

I. PENDAHULUAN. yang mana didalamnya terdapat pembelajaran tentang tingkah laku, norma

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kata menyontek mungkin sudah tidak asing lagi bagi pelajar dan

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan suatu hal yang sangat penting dalam kehidupan

pendidikan yang berjenjang. Jenjang pendidikan formal terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan tinggi.

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan Nasional pada Undang- Undang RI No. 20 tahun 2003, Triana, 2015:

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. diharapkan muncul generasi-generasi yang berkualitas. Sebagaimana dituangkan

BAB I PENDAHULUAN. suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Beberapa tahun terakhir ini sering kita melihat siswa siswi yang dianggap

PERILAKU MENYONTEK DITINJAU DARI KEPERCAYAAN DIRI

BAB I PENDAHULUAN. semakin pesat. Hal ini menuntut adanya sumber daya manusia yang berkualitas,

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan individu dan perkembangan masyarakat, selain itu pendidikan

BAB I PENDAHULUAN. perundang-undangan di Indonesia juga sudah tercantum dalam pembukaan. kehidupan berbangsa dan bernegara adalah dengan pendidikan.

BAB I PENDAHULUAN. Secara umum pendidikan mampu manghasilkan manusia sebagai individu dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. keharusan bagi bangsa Indonesia sebagai negara yang sedang berkembang

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan tujuan pendidikan nasional tersebut, maka menjadi. pemerintah, masyarakat, maupun keluarga. Namun demikian, pemerintah

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan suatu topik yang menarik untuk dibahas, karena

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Sely Lamtiur, 2014 Model kantin kejujuran bagi pengembangan karakter jujur siswa

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Bhayangkara Jakarta Raya

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pendidikan sebagai upaya dasar yang dilakukan oleh keluarga, masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Salah satu permasalahan yang dihadapi Bangsa Indonesia sampai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kecurangan akademik merupakan fenomena umum di sekolah menengah dan perguruan

BAB I PENDAHULUAN. membina kepribadiannya sesuai dengan nilai-nilai di dalam masyarakat dan kebudayaannya.

BAB I PENDAHULUAN. dan pengembangan potensi ilmiah yang ada pada diri manusia secara. terjadi. Dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya,

BAB I PENDAHULUAN. pengetahuan dan teknologi tersebut diperlukan sumber daya manusia yang

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. manusia untuk membina kepribadiannya sesuai dengan nilai-nilai di dalam

BAB I PENDAHULUAN. Sistem Pendidikan Nasional Bab II Pasal 3 yang menyatakan bahwa : Proses pembelajaran pada umumnya memiliki komponen-komponen

I. PENDAHULUAN. Pendidikan Nasional yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang. Negara Republik Indonesia tahun 1945 berfungsi mengembangkan

PERILAKU MENYONTEK PADA SISWA SMA NEGERI 1 WIROSARI. Skripsi. Untuk memenuhi sebagian persyaratan dalam mencapai derajat S-1

BAB 1 PENDAHULUAN. daya manusia merupakan prasyarat mutlak untuk mencapai tujuan pembangunan. Salah satu

BAB I PENDAHULUAN. tanggung jawab bersama antara keluarga, masyarakat dan pemerintah.

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan manusia. Pendidikan berfungsi untuk mengembangkan dan membentuk

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan merupakan salah satu cara untuk mencapai kesejahteraan.

BAB I PENDAHULUAN. kemajuan dan perkembangan suatu negara. Pendidikan nasional berfungsi

HUBUNGAN ANTARA PERSAINGAN MERAIH NILAI TINGGI DENGAN INTENSITAS PERILAKU MENYONTEK PADA SISWA MENENGAH KEJURUAN SKRIPSI.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pengetahuan dimana kunci suksesnya terletak pada dunia pendidikan.

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan suatu usaha dari setiap bangsa dan negara untuk

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. meningkatkan martabat manusia yang memungkinkan potensi diri dapat

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia. Bab 2 pasal 3 UU Sisdiknas berisi pernyataan sebagaimana tercantum

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pendidikan merupakan dasar dalam pengaruhnya kemajuan dan kelangsungan

BAB I PENDAHULUAN. tanah air, mempertebal semangat kebangsaan serta rasa kesetiakawanan sosial.

BAB 1 PENDAHULUAN. berkontribusi terhadap peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM)

BAB I PENDAHULUAN. BAB II pasal 3 tentang Sistem Pendidikan Nasional, bahwa:

BAB I PENDAHULUAN. membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka

NASKAH PUBLIKASI. Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata-1 Program Studi Pendidikan Akuntansi

PERSEPSI SISWA KELAS X TKJ TENTANG KEMAMPUAN MENGAJAR GURU MATA PELAJARAN IPPK DI SMK TAMANSISWA JETIS YOGYAKARTA. Oleh : Resti Kurnia Yulianti

BAB I PENDAHULUAN. teknologi, budaya serta nilai-nilai yang positif yang ada dari satu generasi ke

memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. berkualitas. Hal tersebut dapat terlihat dari Undang-Undang Sistem Pendidikan

2015 PERBEDAAN MINAT SISWA SMK NEGERI 13 DAN SMK FARMASI BUMI SILIWANGI KOTA BANDUNG DALAM AMATA PELAJARAN PENDIDIKAN JASMANI OLAHRAGA DAN KESEHATAN

BAB I PENDAHULUAN. Undang-undang Sisdiknas (Sistem Pendidikan Nasional) 2003, UU RI No. 20 TH 2003, Jakarta : Sinar Grafika, 2003, hlm. 5.

BAB 1 PENDAHULUAN. bagi negara berkembang seperti Indonesia. Masalah sumber daya tersebut tidak bisa

BAB I PENDAHULUAN. menyiapkan peserta didik untuk mengenal, memahami, menghayati hingga

2014 IMPLEMENTASI MEDIA TIGA DIMENSI PADA PEMBELAJARAN MENGHIAS KAIN DI SMP NEGERI 3 LEMBANG

BAB I PENDAHULUAN. keterampilan, mengembangkan potensi diri, membentuk pribadi yang bertanggung

2015 PEMBINAAN KECERDASAN SOSIAL SISWA MELALUI KEGIATAN PRAMUKA (STUDI KASUS DI SDN DI KOTA SERANG)

BAB I PENDAHULUAN. dimulai sejak dilahirkan hingga ke liang lahat. Oleh sebab itu, setiap

BAB I PENDAHULUAN. Dari ketiga hal tersebut terlihat jelas bahwa untuk mewujudkan negara yang

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan Nasional di Indonesia berkembang seiring dengan perkembangan

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan hal yang penting dalam kehidupan manusia. Setiap

BAB I PENDAHULUAN. berkualitas menentukan masa depan bangsa. Sekolah. sekolah itu sendiri sesuai dengan kerangka pendidikan nasional.

BAB I PENDAHULUAN. daya manusia merupakan aspek penting terhadap kemajuan suatu negara.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan bukan sekedar memberikan pengetahuan, nilai-nilai atau

SKRIPSI. Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd) pada Jurusan Bimbingan dan Konseling

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Transkripsi:

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Tujuan tersebut tercantum dalam Undang-Undang RI nomor 20 tahun 2003 tentang SISDIKNAS bab 2 pasal 2 (UUD SISDIKNAS, 2003:6) Masalah sumber daya menjadi permasalahan yang sangat penting bagi negara berkembang seperti Indonesia. Masalah sumber daya manusia tidak terlepas dari bidang pendidikan, yang secara umum diidentikkan secara formal yang diselenggarakan di sekolah-sekolah hingga perguruan tinggi. Sebagaimana yang tercantum dalam UUD 1945 alenia ke-iv yang merupakan tujuan negara Indonesia adalah mencerdaskan kehidupan bangsa untuk memperlancar suatu pendidikan diperlukan suatu wadah atau lembaga yang disebut sekolah. Generasi muda adalah salah satu unsur lapisan masyarakat yang berpotensi besar bagi pembangunan bangsa. Generasi yang tangguh baik secara fisik mental maupun intelektual dan kepribadian merupakan sumber daya manusia yang akan mampu melanjutkan proses pembangunan. Untuk mewujudkan hal tersebut diperlukan sebuah

2 pembinaan dan bimbingan yang dapat dilaksanakan oleh berbagai pihak salah satunya adalah sekolah. Sekolah memiliki beberapa jenjang dari tingkat pendidikan paling rendah sampai paling tinggi secara formal. Salah satu jenjang pendidikan yang peneliti ambil untuk penelitian ini yaitu sekolah Madrasah Tsanawiyah (MTs) tepatnya pada kelas VIII karena berdasarkan teori dan wawancara yang penulis lakukan, siswa pada kelas tersebut sudah memasuki masa remaja. Masa remaja identik dengan melakukan penyimpangan-penyimpangan (Santrock, 2007:9), dan berani melanggar aturan-aturan sekolah, salah satu penyimpangan yang mereka lakukan yaitu menyontek. Banyak terdapat pada kelas ini yang menyontek ketika ujian dengan berbagai perilaku yang mereka lakukan untuk menyontek. Sedangkan pada kelas VII, siswa masih baru dan sangat terikat dengan aturan-aturan yang ada di sekolah cenderung masih merasa takut untuk melanggar aturan, dengan demikian perilaku menyontek sangatlah minim pada kelas VII. Kemudian pada kelas IX cenderung menunjukan kebiasaan ketika berada di kelas sebelumnya, jika pada kelas VIII siswa sudah terbiasa menyontek cenderung kelas IX mereka akan tetap menyontek. Inilah alasan peneliti hanya mengambil subjek pada kelas VIII saja. Inti pokok pendidikan adalah belajar, Menurut Hilgard (dalam Sukmadinata, 2005: 156), belajar adalah suatu proses dimana suatu perilaku muncul atau berubah karena adanya respon terhadap suatu situasi. Ada dua pendekatan di dalam pelaksanaan pengajaran di sekolah, yaitu pendekatan yang megutamakan hasil belajar dan yang

3 menekankan proses belajar. Sesungguhnya antara kedua pendekatan tersebut tidak terdapat perbedaan prinsipil, sebab suatu hasil belajar yang baik akan diperoleh melalui proses yang baik, dan sebaliknya proses yang baik akan memberi hasil yang baik pula. Kenyataannya terjadi kekeliruan, karena yang diutamakan hasil maka proses belajar kurang diperhatikan (Sukmadinata, 2005:178). Menurut Sujana dan Wulan (dalam Cholila, 2011:2) tujuan dari usaha belajar adalah mencapai prestasi belajar yang memuaskan di berbagai usaha yang positif misalnya dengan meningkatkan motivasi dalam belajar, usaha yang negatif adalah melakukan perilaku menyontek. Kenyataan bahwa sistem pendidikan Indonesia yang menggunakan nilai dari tes atau evaluasi belajar terhadap materi yang diberikan sebelumnya untuk menunjukkan kemajuan dan penguasaan ilmu anak didik, menyebabkan masyarakat memandang prestasi belajar hanya dari pencapaian nilai yang tinggi, bukan pada prosesnya. Pandangan tersebut menimbulkan tekanan pada siswa untuk mencapai nilai yang tinggi. Tekanan yang dirasakan akan membuat siswa lebih berorientasi pada nilai bukan pada ilmu. Siswa dapat mempersepsi ujian sebagai alat untuk menyusun peringkat dan dapat menyebabkan dirinya mengalami kegagalan, bukan sebagai instrumen yang dapat menunjukkan kemajuan dalam proses belajar. Menurut Cholila (2011:3), k emungkinan mengalami kegagalan dianggap sebagai ancaman dan merupakan stimulus yang tidak menyenangkan. Ada berbagai respon yang dilakukan oleh siswa dalam menghadapi ancaman kegagalan, misalnya mempelajari materi secara teratur, berlatih mengerjakan soal-soal latihan, ada pula

4 siswa yang memberikan respon menghindari ancaman kegagalan tersebut dengan menyontek. Menyontek bukanlah hal yang asing lagi dalam kehidupan seorang pelajar dan mahasiswa. Setiap orang tentunya ingin mendapatkan nilai yang baik dalam segala hal, baik dalam hal kehidupan, karir dan pendidikan, dan sudah tentu berbagai macam cara dilakukan untuk mencapai tujuan itu. Masalah menyontek selalu terkait dengan tes atau ujian. Banyak orang beranggapan menyontek sebagai masalah yang biasa saja, namun ada juga yang memandang serius masalah ini. Fenomena ini sering terjadi dalam kegiatan belajar mengajar di sekolah atau madrasah, Sudah dimaklumi bahwa orientasi belajar siswa di sekolah hanya untuk mendapatkan nilai tinggi dan lulus ujian, lebih banyak kemampuan kognitif dari afektif dan psikomotor, inilah yang membuat mereka mengambil jalan pintas, tidak jujur dalam ujian atau melakukan praktek menyontek (Irawati dalam Kushartanty, 2009:39). Menurut Zelectry (2011:1), pendidikan adalah salah satu hal yang menjadi tolak ukur kesuksesan seseorang. Dalam hal ini, setiap pendidikan membutuhkan adanya tindakan evaluasi sebelum diadakan ujian. Ujian adalah salah satu hal yang menjadi keinginan setiap orang untuk berhasil. Sehingga saat ini, menyontek selalu dikaitkan dengan tes atau ujian. Perilaku menyontek bukan cara yang benar untuk memperoleh nilai yang tinggi. Menurut Deighton ( dalam Zelectry, 2011:3), perilaku menyontek adalah upaya yang dilakukan seseorang untuk mendapatkan keberhasilan dengan caracara yang tidak jujur. Bukan hanya itu, menyontek dapat pula diartikan sebagai suatu

5 perbuatan atau cara-cara yang tidak jujur, curang, dan menghalalkan segala cara untuk mencapai nilai yang terbaik dalam ulangan atau ujian pada setiap mata pelajaran. Berdasarkan wawancara dengan kepala sekolah MTs Al-Muttaqin Pekanbaru dan wakil kepala sekolah pada tanggal 20 Januari 2013 memperoleh informasi bahwa menyontek merupakan hal yang wajar yang sering dilakukan oleh siswa meskipun menyontek termasuk hal yang dilarang. Pada saat ujian atau ulangan siswa selalu mencari kesempatan untuk dapat menyontek ketika guru sedang keluar. Berdasarkan pernyataan dari kepala sekolah pada saat pelaksanaan ujian nasional (UN) selalu mendapat bocoran soal dan jawaban. Menurut irawan (dalam Cholila, 2011: 4). Salah satu penyebab terjadinya kecurangan dilakukan oleh guru dan siswa pada saat ujian adalah untuk menjaga citra sekolah dan agar mendapat nilai kelulusan yang tinggi. Tidak hanya pada ujian nasional (UN) perilaku menyontek juga lazim terjadi pada ujian atau ulangan disekolah. Perilaku menyontek sekarang banyak di jumpai dalam dunia pendidikan, masyarakat pun cenderung mentolerir dan menganggapnya sebagai hal yang wajar (Haryono dalam Setyani, 2007:3). Sering terdengar ungkapan bahwa menyontek adalah seni dalam sekolah merupakan hal yang aneh dan tidak wajar jika ada orang yang tidak pernah menyontek selama hidupnya (Poedjinugroho dalam Setyani, 2007:3). Penelitian Schab (dalam Setyani, 2007:3), menunjukkan 93 persen siswa menyatakan bahwa menyontek merupakan sesuatu yang normal dalam pendidikan. Kenyataan tersebut juga terdapat di MTs Al-Muttaqin Pekanbaru.

6 Kemudian guru BK menyatakan hampir 70% siswa di MTs Al-Muttaqin Pekanbaru melakukan perilaku menyontek pada saat ujian. Untuk mengcrosscheck data yang peneliti peroleh dari hasil wawancara dan observasi, kemudian peneliti melakukan penyebaran kuesioner kepada sejumlah siswa dan dari hasil kuesioner tersebut, setelah peneliti olah secara manual. Diperoleh hasil 50-60% terdapat siswa yang terindikator melakukan perilaku menyontek. Sistem pendidikan memang tidak sempurna, bukan pada ujian nasional saja menyontek bahkan pada ujian biasapun juga terjadi. Selain itu menilai secara tidak langsung ada pengaruh dari guru dan pihak-pihak lain yang menyebabkan budaya menyontek subur. Oleh Karena itu, perlu tindakan yang tegas untuk permasalahan ini. Bagi pelajar menyontek bukanlah hal yang tabu, seakan-akan menyontek menjadi kebiasaan sejak dulu (Cholila, 2011:5). Seorang siswa di Surabaya pernah melakukan penelitian dengan teman sekolahnya dengan 7 % sampel dari seluruh siswa (lebih dari 1400 siswa). Ternyata ada 80% dari sampel yang pernah menyontek (52% sering dan 28% jarang). Data ini cukup memprihatinkan sebagian besar siswa dari jumlah sampel pernah menyontek (Widiawan dalam Cholila, 2011:5). Pernyataan di atas menunjukan bahwa tidak ada penghargaan proses belajar dan kerja keras siswa dan guru. Dampak paling berbahaya adalah lewat kecurangan, siswa secara tidak langsung belajar untuk tidak menghargai proses. Cara apapun boleh digunakan, benar atau salah asalkan tujuan tercapai. Hasil penelitian Anderman (2010:136) menunjukkan bahwa menyontek sering dilakukan siswa Sekolah Menengah

7 Pertama (SMP) dikarenakan adanya perubahan keadaan lingkungan belajar yang dialami siswa, yaitu siswa mengalami masa transisi dari sekolah dasar ke sekolah menengah, lalu perubahan struktur kelas yang kecil menjadi struktur kelas yang lebih besar, sehingga lingkungan sekolah menjadi lebih kompetitif (Anderman, 2010.136). Nilai yang diperoleh tidak dapat membedakan antara siswa yang memperoleh nilai tinggi karena kemampuan dan penguasaannya terhadap materi dengan siswa yang memperolehnya karena menyontek. Anderman (dalam Cholila, 2011:6). Menyatakan bahwa menyontek merupakan hal yang biasa dikalangan remaja SMP karena siswa sekolah lanjutan lebih berfokus pada peringkat dan performa dibandingkan dengan siswa sekolah dasar. Menurut Schab (dalam Cholila, 2011:6), siswa SMP atau sederajat menyontek karena adanya tekanan untuk memperoleh nilai baik agar dapat masuk ke sekolah menengah atas atau untuk mempertahankan nilai rata-rata yang sudah diperoleh. Faktor-faktor yang membuat siswa menyontek antara lain menurut Scahb (dalam Setyani, 2007:7) antara lain yaitu malas belajar, tuntutan dari orang tua mendapat nilai yang baik. Faktor yang lain adalah takut mengalami kegagalan dalam meraih prestasi. Konsep gagal dan berhasil akan menjadi sandaran dalam pelaksanaan tugas serta dalam menyusun sikap atau pandangan terhadap kemampuan yang dimiliki. Siswa yang berhasil mencapai prestasi akademis yang tinggi pada akhirnya merasa kompeten dan berarti. Sebaliknya, siswa yang gagal meraih nilai yang tinggi akan

8 merasa tidak kompeten dan tidak berarti, dengan demikian pencapaian akademis digunakan sebagai hal penting yang dapat meningkatkan harga diri Kemudian Klausmeier (dalam Mujahidah, 2012:8) menambahkan salah satu faktor yang mempengaruhi perilaku menyontek adalah harga diri. Menurut Klausmeier pelajar yang memiliki harga diri rendah lebih sering menyontek dibandingkan dengan pelajar yang memiliki harga diri tinggi. Harga diri adalah suatu dimensi evaluative global mengenai diri disebut juga sebagai martabat diri atau citra diri (Santrock, 2007:183). Pengertian harga diri mencakup konsep dasar pada individu mengenai diri sendiri, gagasan dan opini mengenai diri sendiri, kesadaran terhadap apa dan siapakah dirinya, serta perbandingan antara dirinya dengan orang lain dan dengan gambaran ideal yang telah dikembangkanya. Fenomena harga diri yang terjadi pada siswa kelas VIII MTs Al-Muttaqin berdasarkan pemaparan beberapa guru wali kelas VIII mengungkapkan bahwa ada beberapa siswa kelas VIII MTs Al-Muttaqin yang bermasalah dalam harga diri yang mana pada umumnya mereka memiliki rasa percaya diri yang rendah misalnya pada saat diminta oleh guru untuk memberikan pendapat ketika diskusi kelompok, ada beberapa siswa yang tidak bersedia memberikan pendapatnya karena takut pendapatnya ditertawakan atau tidak diterima oleh guru dan kurang berani untuk menyatakan diri masuk ke dalam suatu kelompok, ditambah lagi ia memiliki sikap pasif, pesimis, rendah diri (inferior), pemalu dan kurang berani dalam melakukan interaksi sosial.

9 Keterangan tersebut sama seperti yang dikemukakan oleh Coopersmith (dalam Mulyana dan Purnamasari, 2010:46), Individu dengan harga diri yang tinggi menunjukkan sikap atau sifat yang lebih aktif, mandiri, kreatif, yakin akan gagasan dan pendapatnya, memiliki kepribadian yang stabil, rasa percaya diri yang tinggi, lebih efektif dalam kehidupan sehari-hari. Uraian di atas menunjukkan bahwa harga diri turut berperan penting dalam pembentukan perilaku menyontek. Meskipun tidak sesuai dengan tujuan pendidikan dan tidak meningkatkan kualitas manusia dari dimensi intelektual maupun kepribadian. Perilaku menyontek masih banyak dilakukan dalam dunia pendidikan Indonesia. Perilaku menyontek terjadi karena masyarakat memiliki pandangan bahwa prestasi belajar tercermin dari pencapaian nilai yang tinggi, sehingga membuat siswa terpaku untuk memperoleh nilai tinggi dengan cara apa pun. Masyarakat cenderung semakin permisif sehingga menyebabkan perilaku menyontek semakin sulit dihilangkan. Perilaku menyontek sangat terkait dengan moral dan kondisi psikologis. Salah satu kondisi psikologis yang terkait dengan perilaku menyontek adalah harga diri. Harga diri terkait dengan sikap, dan penilaian orang lain terhadap dirinya. Fakta-fakta di atas menunjukkan bahwa menyontek merupakan suatu permasalahan yang menarik untuk dikaji lebih lanjut dari tinjauan Psikologi. Menurut paparan di atas menyontek merupakan suatu permasalahan yang menarik untuk dikaji lebih lanjut dari tinjauan psikologis. Untuk itulah penelitian ini diadakan, yaitu untuk menguji ada atau tidaknya hubungan antara harga diri dengan

10 perilaku menyontek dan peneliti mengambil judul hubungan antara harga diri dengan perilaku menyontek pada siswa kelas VIII MTs Al-Muttaqin Pekanbaru. B. Rumusan Masalah Adapun rumusan masalah pada penelitian ini adalah apakah ada hubungan antara harga diri dengan perilaku menyontek pada siswa kelas VIII MTs Al-Muttaqin Pekanbaru? C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat ada tidaknya hubungan antara harga diri dengan perilaku menyontek pada siswa kelas VIII MTs Al-Muttaqin Pekanbaru. D. Keaslian Penelitian Penelitian ini adalah benar penelitian yang berasal dari ide peneliti sendiri. Sebelumnya sudah ada penelitian yang melakukan penelitian tentang perilaku menyontek, yaitu penelitian yang dilakukan oleh Kushartanti (2009) yang berjudul perilaku menyontek di tinjau dari kepercayaan diri. Penelitian ini berbeda dengan penelitian sebelumnya, perbedaannya terletak pada metode penelitian, metode pengambilan sampel dan juga variabel X pada penelitian ini. Namun, persamaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah sama-sama mengukur perilaku menyontek. Hasil penelitiannya menunjukan adanya hubungan yang signifikan antara perilkau menyontek yang ditinjau dari harga diri. Hasil analisis data menunjukkan ada koefisien korelasi (r) sebesar 0,425 dengan p = 0,000 (p<0,01), yang artinya terdapat hubungan negatif yang sangat sigifikan antara kepercayaan diri dengan perilaku menyontek. Kesimpulan dari hasil penelitian adalah ada hubungan negatif yang sangat

11 signifikan antara kepercayaan diri dengan perilaku menyontek. Hal ini berarti variabel kepercayaan diri dengan segala aspek didalamnya dapat digunakan sebagai prediktor untuk mengukur perilaku menyontek, artinya semakin tinggi kepercayaan diri maka semakin rendah perilaku menyontek. Penelitian sebelumnya juga dilakukan oleh Pudjiastuti (2012) yang berjudul hubungan self efficacy dengan perilaku mencontek mahasiswa psikologi. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya terletak pada metode analisis data dan juga variabel X pada penelitian ini, persamaannya ialah sama-sama meneliti tentang perilaku menyontek. Hasil penelitian sebelumnya menunjukan bahwa penelitian yang dilakukan di SMP Swasta di Pondok Gede Jakarta menemukan bahwa intensitas perilaku mencontek pada siswa di kelas VII SMP berada pada posisi sedang (53.3%) dan rendah (33.3%). Siswa yang menunjukkan perilaku mencontek pada intensitas tinggi hanya13,3%. Hal tersebut menjadi permasalahan yang harus segera mendapatkan penanganan. Berdasarkan hasil skala yang diberikan kepada siswa diketahui bahwa bentuk perilaku mencontek yang paling dominan pada siswa kelas VII adalah social active. Bentuk perilaku social-active adalah perilaku mencontek dimana siswa menyalin, melihat atau meminta jawaban dari orang lain. Selain penelitian yang dilakukan oleh Kushartanti dan Pudjiastuti, ada juga yang meneliti tentang perilaku menyontek yang dilakukan oleh Hartanto dengan judul penggunaan REBT ( reduction Academic Cheating Behaviour) untuk mereduksi perilaku mencontek pada siswa sekolah menengah. Perbedaannya pada penelitian ini menggunakan metode penelitian eksperimen, desain penelitian melakukan pre-test dan

12 post-test. Namun terdapat persamaan pada penelitian yang akan dilakukan pada variabel Y yaitu sama-sama meneliti tentang perilaku menyontek. Hasil penelitian sebelumnya berdasarkan Analisis dilakukan dengan pengujian range spearman dan menunjukkan korelasi negatif yang yang signifikan sebesar -0.78. Hal ini menunjukkan semakin tinggi self efficacy mahasiswa maka semakin rendah perilaku menconteknya. Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya maka peneliti ingin mengetahui bagaimana hasil dari penelitian tentang hubungan antara harga diri dengan perilaku menyontek. E. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis Mengembangkan informasi mengenai perilaku menyontek ditinjau dari harga diri sehingga dapat menambah referensi ilmiah di bidang Psikologi Pendidikan dan Psikologi Perkembangan. 2. Manfaat praktis a. Individu Membantu individu lebih meningkatkan harga diri dan meningkatkan keyakinan dalam diri akan kemampuan dalam melaksanakan tugas-tugas yang diberikan sehingga dapat menurunkan prilaku menyontek atau kecurangan lainnya dalam hal pendidikan. b. Bagi pihak pendidik Penelitian ini dapat digunakan sebagai masukan bagi guru dan pihak-pihak yang terkait sebagai dasar penyusunan program atau metode untuk mengurangi perilaku menyontek pada siswa.