BAB I PENDAHULUAN. rakyat, namun secara geografis berjarak cukup jauh dari pusat kekuasaan di

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN. hakekatnya ditujukan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat

BAB I. tangganya sendiri (Kansil, C.S.T. & Christine S.T, 2008). perubahan dalam sistem pemerintahan dari tingkat pusat sampai ke desa.

BAB II LANDASAN TEORI

B U P A T I N G A W I PERATURAN DAERAH KABUPATEN NGAWI NOMOR 34 TAHUN 2011 TENTANG ALOKASI DANA DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI NGAWI,

BAB I PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sistem pemerintahan yang

BAB I PENDAHULUAN. dan pemerataan pembangunan di masyarakat, pemerintah telah menetapkan

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 1979 bercorak sentralistik. Dalam penjelasan umum Undang-undang Nomor 32 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. berkedaulatan rakyat dalam suasana perikehidupan bangsa yang aman,

BUPATI PANGANDARAN PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN PANGANDARAN NOMOR 10 TAHUN 2015 TENTANG SUMBER PENDAPATAN DESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUANTAN SINGINGI NOMOR 7 TAHUN 2009 TENTANG SUMBER PENDAPATAN DAN KEKAYAAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. demorasi secara langsung, desa juga merupakan sasaran akhir dari semua program

BAB I PENDAHULUAN. dalam Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa, Undang-Undang

BAB I PENDAHULUAN. Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa. Berdasarkan ketentuan ini

BUPATI BANYUWANGI SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANYUWANGI NOMOR 2 TAHUN 2006 TENTANG ALOKASI DANA DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. bagian terkecil dari struktur pemerintahan yang ada di dalam struktur

BUPATI SERANG PROVINSI BANTEN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SERANG NOMOR 2 TAHUN 2017 TENTANG PENGELOLAAN KEUANGAN DESA

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SERANG

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN ASAHAN

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi Daerah merupakan fenomena yang sangat dibutuhkan dalam era

PEMERINTAH KABUPATEN MAGETAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAGETAN NOMOR 5 TAHUN 2007 TENTANG ALOKASI DANA DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KULON PROGO

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Pemilihan Judul

I. PENDAHULUAN. sendiri dalam mengatur kehidupan kemasyarakatannya. kecamatan (Widjaya, HAW 2008: 164). Secara administratif desa berada di

BUPATI TULUNGAGUNG PROPINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN TULUNGAGUNG NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PENGELOLAAN KEUANGAN DESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIAMIS NOMOR 16 TAHUN 2007 TENTANG SUMBER PENDAPATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI CIAMIS, Menimbang : a.

BAB I PENDAHULUAN. Setelah Orde Baru jatuh dikarenakan reformasi maka istilah Good

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan, maupun kemasyarakatan maupun tugas-tugas pembantuan yang

BUPATI JEPARA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEPARA NOMOR 9 TAHUN 2015 TENTANG SUMBER PENDAPATAN DESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUWU TIMUR NOMOR : 22 TAHUN 2006 TENTANG KEUANGAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LUWU TIMUR,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASURUAN NOMOR 6 TAHUN 2009 TENTANG SUMBER PENDAPATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PASURUAN,

PEMERINTAH KABUPATEN SAMPANG

BUPATI BADUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 17 TAHUN 2007 TENTANG KEUANGAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BADUNG,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN REMBANG NOMOR 5 TAHUN 2007 TENTANG SUMBER PENDAPATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI REMBANG,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SERUYAN NOMOR 25 TAHUN 2006 TENTANG PEMBENTUKAN LEMBAGA KEMASYARAKATAN DI DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA SELATAN NOMOR 16 TAHUN 2006 TENTANG ALOKASI DANA DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANGKA SELATAN,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN LANDAK NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG SUMBER PENDAPATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LANDAK,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TAPIN NOMOR 07 TAHUN 2009 TENTANG

BUPATI WONOGIRI PERATURAN DAERAH KABUPATEN WONOGIRI NOMOR 4 TAHUN 2011 TENTANG ALOKASI DANA DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI WONOGIRI,

11 LEMBARAN DAERAH Januari KABUPATEN LAMONGAN 4/E 2006 SERI E PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMONGAN NOMOR : 04 TAHUN 2006 TENTANG ALOKASI DANA DESA

WALIKOTA TIDORE KEPULAUAN

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BENGKAYANG NOMOR 5 TAHUN 2007 TENTANG SUMBER PENDAPATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BENGKAYANG

BAB I INTRODUKSI. Bab I berisi mengenai introduksi riset tentang evaluasi sistem perencanaan

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SERANG

PEMERINTAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 16 TAHUN 2007 TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN KABUPATEN DAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BADUNG,

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN WONOGIRI

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASURUAN NOMOR 7 TAHUN 2009 TENTANG ALOKASI DANA DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PASURUAN,

BAB I PENDAHULUAN. yang diyakini mampu memberikan nafas segar dari keterpurukan politik

BUPATI KUNINGAN PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUNINGAN NOMOR 12 TAHUN 2015 TENTANG KEUANGAN DESA

PEMERINTAH KABUPATEN BELITUNG

BAB I PENDAHULUAN. memiliki batas-batas wilayah yuridiksi, berwewenang untuk mengatur dan mengurus

BUPATI NGANJUK PERATURAN DAERAH KABUPATEN NGANJUK NOMOR 01 TAHUN 2011 TENTANG ALOKASI DANA DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI NGANJUK,

PEMERINTAH KABUPATEN PONOROGO PERATURAN DAERAH KABUPATEN PONOROGO NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG SUMBER PENDAPATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KERINCI TAHUN 2007 NOMOR 3 LEMBAGA KEMASYARAKATAN DESA

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 10 TAHUN 2007 SERI E =================================================================

I. PENDAHULUAN. terselenggaranya tata pemerintahan yang baik (good governance). Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang direvisi dengan Undang-Undang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Desa merupakan kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas

KEPUTUSAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 64 TAHUN 1999 TENTANG PEDOMAN UMUM PENGATURAN MENGENAI DESA

BUPATI REMBANG PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN REMBANG NOMOR 11 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN KEUANGAN DAN ASET DESA

BAB I PENDAHULUAN. besar dan kecil dengan bentuk susunan pemerintahannya diatur dalam undangundang.

BUPATI PURBALINGGA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 11 TAHUN 2016 TENTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PATI NOMOR 9 TAHUN 2007 TENTANG ALOKASI DANA DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PATI,

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN CIAMIS TAHUN : 2013 NOMOR : 1 PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIAMIS NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG

PEMERINTAH KABUPATEN PURWOREJO

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Indonesia diproklamirkan pada 17 Agustus 1945, lahir dari perjuangan

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 14 TAHUN 2006 TENTANG SUMBER SUMBER PENDAPATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PACITAN

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN PONOROGO 3

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 20 TAHUN 2014 TENTANG KEUANGAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANDUNG,

I. PENDAHULUAN. Otonomi daerah di Indonesia saat ini di dasarkan pada Undang-Undang

PEMERINTAH KABUPATEN SAMPANG

PEMERINTAH KABUPATEN KUBU RAYA

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan pada hakekatnya merupakan suatu upaya untuk

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BENGKAYANG NOMOR 18 TAHUN 2006 TENTANG ALOKASI DANA DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BENGKAYANG,

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KERINCI TAHUN 2007 NOMOR 5 PERATURAN DAERAH KABUPATEN KERINCI NOMOR 5 TAHUN 2007 TENTANG ALOKASI DANA DESA

PEMERINTAH KABUPATEN BELITUNG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANTUL NOMOR 04 TAHUN 2009 TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANTUL,

PERATURAN DAERAH KOTA BANJAR NOMOR 14 TAHUN 2007 TENTANG SUMBER PENDAPATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BANJAR,

PEMERINTAH KABUPATEN PURWOREJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURWOREJO NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG DANA ALOKASI UMUM DESA

I. PENDAHULUAN. dilakukan langsung oleh pemerintah pusat yang disebar ke seluruh wilayah

PERATURAN DAERAH KABUPATEN HULU SUNGAI UTARA NOMOR : 10 TAHUN 2000 T E N T A N G SUMBER PENDAPATAN DESA

BUPATI KARO PROVINSI SUMATERA UTARA PERATURAN BUPATI KARO NOMOR 11 TAHUN 2017

PERATURAN DAERAH KABUPATEN DONGGALA NOMOR 11 TAHUN 2001 TENTANG PEMBENTUKAN, PEMEKARAN, PENGHAPUSAN DAN PENGGABUNGAN DESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 9 TAHUN 2010 TENTANG DANA BAGI HASIL PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH BAGI DESA DAN ALOKASI DANA DESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN LANDAK NOMOR 6 TAHUN 2008 TENTANG ALOKASI DANA DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LANDAK,

BUPATI BANGKA TENGAH PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA TENGAH NOMOR 14 TAHUN 2015 TENTANG ALOKASI DANA DESA

PEMERINTAH KABUPATEN JEMBER PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEMBER NOMOR 4 TAHUN 2007 TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN DESA

PEMERINTAH KABUPATEN MAMUJU Jl. Soekarno Hatta No. 17 Telp (0426) Kode Pos Mamuju

PEMERINTAH KABUPATEN MALANG

PEMERINTAH KABUPATEN CILACAP PERATURAN DAERAH KABUPATEN CILACAP NOMOR 9 TAHUN 2006

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PEMERINTAH KABUPATEN MAGETAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAGETAN NOMOR 3 TAHUN 2007 TENTANG SUMBER PENDAPATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG ESA

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

PEMERINTAHAN KABUPATEN BINTAN

PEMERINTAH KABUPATEN TANAH BUMBU PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANAH BUMBU NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG KEUANGAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

NOMOR 14 TAHUN 2008 TENTANG BUPATI MUSI RAWAS,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PINRANG NOMOR : 6 TAHUN 2008

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PAKPAK BHARAT NOMOR 12 TAHUN 2007 TENTANG ALOKASI DANA DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PAKPAK BHARAT,

P E R A T U R A N D A E R A H

BUPATI PAKPAK BHARAT

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Desa merupakan entitas pemerintahan yang langsung berhubungan dengan rakyat, namun secara geografis berjarak cukup jauh dari pusat kekuasaan di tingkat atasnya. Hal itu menyebabkan desa memiliki arti penting sebagai basis penyelenggara pelayanan publik dan memfasilitasi pemenuhan hak - hak publik rakyat lokal. Undang Undang Dasar 1945 pasal 18 menyatakan bahwa pembagian daerah Indonesia terdiri atas daerah besar dan kecil dengan bentuk dan susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang undang. Secara sosiologis desa merupakan sebuah gambaran dari satu kesatuan masyarakat atau komunitas penduduk yang bertempat tinggal dalam suatu lingkungan dimana mereka ( masyarakat ) saling mengenal dengan baik corak kehidupan mereka relatif homogen serta banyak bergantung pada alam. Atau dengan pengertian umum desa merupakan kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal usul dan adat istiadat setempat yang diakui dalam sistem pemerintahan nasional dan berada di dalam wilayah Kabupaten. Dari sudut pandang politik dan hukum, desa sering diidentikkan sebagai organisasi kekuasaan. Yaitu desa dipahami sebagai organisasi pemerintahan atau organisasi kekuasaan yang secara politis mempunyai wewenang tertentu dalam struktur pemerintahan negara. Dengan sudut pandang ini desa dipilah dalam beberapa unsur penting: (1). Adanya orang orang atau kelompok orang; (2). 1

Adanya pihak pihak yang menjadi penguasa atau pemimpin, (3). Adanya organisasi ( badan ) penyelenggara kekuasaan, (4). Adanya tempat atau wilayah yang menjadi teretori penyelenggara kekuasaan; dan (5). Adanya mekanisme, tata aturan dan nilai, yang menjadi landasan dalam proses pengambilan keputusan. (Pambudi, 2003 : 5-6 ). Pada Orde Lama telah ada suatu insitusi sosial yang berfungsi membantu anggota masyarakat desa yang dikenal sebagai Lembaga Sosial Desa bersifat otonom dan bebas dari kontrol pemerintah. Namun ketika Orde Baru lembaga yang semula bersifat independen, diambil ahli dan dikooptasi untuk mendukung kelestarian kekuasaaan Orde Baru dengan menetapkan Undang Undang No. 5 Tahun 1979 tentang pemerintahan desa, yang secara legal rasional desa merupakan suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung dibawah camat dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Undang Undang No. 5 Tahun 1979 pasal 3 menyebutkan bahwa pemerintahan desa terdiri dari kepala desa dan LMD (Lembaga Musyawarah Desa), dan melalui Intruksi Presiden No. 28 Tahun 1980 serta Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 4 Tahun 1981, struktur dan fungsi organisasi kemasyarakatan desa masa Orde Baru juga membentuk LKMD ( lembaga Ketahanan Masyarakat Desa ). Dalam undang undang ini, sistem birokrasi pemerintahan bersifat sentralistik, diintervensi (negaranisasi), yaitu desa adalah perpanjangan tangan dari pemerintah pusat. Kedudukan kepala desa merupakan penguasa tunggal, 2

sekaligus merangkap sebagai ketua LMD dan LKMD. (http: // publik.brawijaya.ac. id/simple/ us/ jurnal/ pdffile / Hakim 20 % & Endah 20% pengembangan 20% Kelembagaan 20% desa20%. Pdf. ) Soerjono Soekanto mendefinisikan lembaga kemasyarakatan sebagai himpunan dari norma norma, segala tindakan yang berkisar pada suatu kebutuhan pokok manusia di dalam kehidupan masyarakat. ( Ibrahim, 2003 : 87 ). Hayami Kikuchi ( 1987 ), menyatakan kelembagaan adalah aturan yang mengatur perilaku yang dikukuhkan dengan adanya sanksi oleh suatu anggota komunitas, masyarakat atau oleh seluruh organisasi kelompok sosial yang dijadikan pegangan dalam mengadakan transaksi, dan sebagai aturan perilaku yang menentukan pola pola tindakan dan hubungan sosial. ( Wisadirana, 2005 : 116 ). Pada Reformasi terjadi perubahan yang subtansial yaitu, dengan diberlakukannya Undang - Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah merupakan pengganti dari UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, dengan alasan bahwa kedua undang undang tersebut sebagai dasar penyelenggara pemerintahan daerah sudah tidak mampu lagi menampung dinamika perkembangan masyarakat dan tidak sesuai lagi dengan prinsip penyelenggaraan otonomi daerah yang demokratis, efektif dan efisien serta belum mampu mengakomodasikan keanekaragaman struktur dan kultur yang hidup dan berkembang di daerah dalam pelaksanaan pembangunan. Undang - Undang No. 22 Tahun 1999 menyatakam bahwa pemerintahan desa adalah pelaksana kegiatan penyelenggara pemerintahan yang terendah 3

langsung di bawah Pemerintahan Kecamatan. Pemerintahan desa terdiri atas, kepala desa, BPD dan perangkat desa yaitu sekretaris desa dan perangkat desa lainnya. Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 64 Tahun 1999 telah memberikan peluang dan kesempatan bagi desa dalam memberdayakan masyarakat desa, untuk menghidupkan kembali parlemen desa dengan tujuan membangun relasi yang demokratis (desentralisasi dan demokrasi lokal) melalui perluasan ruang partisipasi politik pada masyarakat desa, untuk menghapus dan mengakhiri sentralisasi dalam mewujudkan suatu masyarakat yang otonom ( desa otonom ). ( http://www.ireyogya.org/sutoro/jurnal/desa ditengah perubahan.pdf. ) Struktur pemerintaha desa dalam Undang Undang No. 22 Tahun 1999 terdiri atas pemerintahan desa dan BPD. Dalam konteks ini, pasal 104 Undang Undang No. 22 Tahun 1999 mencantumkan keberadaan dan pembentukan Badan Perwakilan Desa merupakan lembaga legislasi desa, yang berfungsi sebagai pengayom adat istiadat, bersama kepala desa membuat Peraturan Desa, penyalur aspirasi masyarakat desa, dan pengawas penyelenggaraan pemerintahan desa. Dalam skema yang baru, kecamatan tidak lagi membawahi Pemerintahan Desa, dan desa berada dibawah kontrol langsung kabupaten. Selain itu terdapat suatu pemisahan kekuasaan antara eksekutif ( kepala desa ) dan legislatif ( BPD ). Pelaksanaan tugas kepala desa yang selama Orde Baru di luar kontrol rakyat, kini diawasi secara ketat oleh BPD. Kepala desa tidak lagi sebagai pusat kekuasaan di desa dan pengambilan kebijakan tidak lagi menjadi wewenang mutlak kepala desa, melainkan beralih kepada BPD, pertanggungjawaban kepala desa diberikan pada BPD, serta BPD memberikan laporan kepada Bupati. ( Ali, 2007 : 100 ). 4

Kehadiran BPD sebagai tuntutan regulatif untuk menjadi aktor baru di desa sebagai lembaga kemasyarakatan dan kekuatan pemerintahan desa, BPD berpeluang secara luas sebagai roda penggerak masyarakat politik di tingkat desa. Hal ini menandakan perubahan signifikan dalam struktur dan fungsi kelembagaan desa, bahwa BPD dirancang untuk terlibat pada everyday life politics desa, dan menciptakan demokratisasi lokal serta merupakan roda penggerak partisipasi masyarakat dalam pembangunan desa. Dalam prakteknya, konsep pemerintahan desa yang diperbarui oleh UU No. 22 Tahun 1999 ini ditemukan adanya sisa - sisa pola patron klien di kalangan masyarakat desa, yang terbentuk pada masa orde baru. Belum lagi faktor - faktor keanekaragaman pola budaya yang terus berubah. Secara ideal oleh kalangan pengamat politik pedesaan disebut sebagai fenomena khas, yaitu bahwa masyarakat Indonesia adalah masyarakat transisi yang permanen karena tidak lagi tradisional sepenuhnya, namun belum bergerak kearah masyarakat modern. ( http://www.interseksi.org/publications/essays/article/demokrsilokaldidesa.html ) Melalui Undang - Undang No. 32 Tahun 2004 sebagai pengganti UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, undang undang ini memberikan wacana dan paradigma baru dalam upaya mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan pemberdayaan, dan peran serta masyarakat dalam proses pembangunan, serta daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, dan keadilan. Dalam UU 32 Tahun 2004 pasal 209 terjadi perubahan mendasar terhadap peran dan fungsi BPD, dimana BPD diganti dengan istilah Badan 5

Permusyawaratan Desa dan mengalami penurunan derajat wewenang, sehingga tidak ada lagi fungsi kontrol terhadap kepala desa, juga BPD tidak memiliki kewenangan dalam pengolahan keuangan desa, termasuk penetapan APBDes dan penetapan tata cara pungutan objek pendapatan dan belanja desa. Undang undang ini menempatkan lembaga BPD bukan dibawah kepala desa, berarti kepala desa bukan penguasa tunggal seperti pada masa masa yang lalu. Implisit di sini adalah bahwa BPD sebagai partner kepala desa dalam memfasilitasi warganya.(http://percik.or.id/index.php/options=content&task=view&id=21&item id=38). Pasal 215 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2004 secara tegas menyebutkan bahwa pembangunan kawasan pedesaan yang dilakukan oleh Kabupaten / Kota dan pihak ketiga mengikutsertakan Pemerintah Desa dan Badan Permusyawratan Desa, dan surat Menteri Dalam Negeri Nomor : 140 / 640SJ tanggal 22 Maret 2005 tentang Pedoman Alokasi Dana Desa dari Pemerintahan Kabupaten kepada Pemerintah Desa sangat jelas, termasuk didalamnya tentang kewajiban yang tak bisa ditawar - tawar oleh Pemerintahan Kabupaten untuk merumuskan dan membuat peraturan daerah tentang ADD ( Alokasi Dana Desa ) sebagai bagian dari kewenangan fiskal desa untuk mengatur dan mengelola keuangannya. Pengelolaan keuangan desa menjadi wewenang desa yang mesti terjabarkan dalam peraturan desa (Perdes) tentang anggaran pendapatan dan belanja desa (APBDes). Dengan sumber pendapatan yang berasal dari pendapatan asli desa seperti dari hasil usaha desa, hasil kekayaan desa, hasil swadaya dan partisipasi, hasil gotong royong, dan lain-lain pendapatan asli desa yang sah. 6

Selanjutnya bagi hasil pajak daerah Kabupaten/Kota paling sedikit 10% (sepuluh per seratus) untuk desa dan dari retribusi Kabupaten/Kota sebagian diperuntukkan bagi desa, dan bagian dari dana perimbangan keuangan pusat dan daerah yang diterima oleh Kabupaten/Kota untuk Desa paling sedikit 10%, yang pembagiannya untuk setiap Desa secara proporsional yang merupakan alokasi dana desa (ADD). Kemudian pendapatan itu bisa bersumber lagi dari bantuan keuangan dari Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota dalam rangka pelaksanaan urusan pemerintahan, serta hibah dan sumbangan dari pihak ketiga yang tidak mengikat. (http://kingroodee. blogspot. com/ 2007/ 08/ otonomi- desa - dan- alokasi- dana- desa.html) Selanjutnya regulasi yang ada tentang desa juga membolehkan desa untuk mendirikan badan usaha milik desa sesuai dengan kebutuhan dan potensi desa. Artinya desa sesungguhnya telah didorong, diupayakan dan diharapkan menjadi mandiri. Desa tidak lagi dikendalikan oleh pusat seperti pada UU No. 5 Tahun 1979 dimana desa berada dibawah kecamatan. Dalam UU No. 32 Tahun 2004 mengandung konsep desentralisasi desa yaitu sebagai kemandirian pemerintahan dan masyarakat desa dalam menyampaikan aspirasi, merencanakan kegiatan, menggali dana, dan mengontrol kegiatan pembangunan desa. Berdasarkan uraian diatas, Pemerintahan Desa merupakan lembaga kemasyarakatan atau organisasi desa, dipahami sebagai organisasi kekuasaan yang secara politis memiliki fungsi dan wewenang dalam memenuhi kebutuhan kebutuhan masyarakat untuk mencapai keteraturan dan integrasi dalam masyarakat, maka penulis merasa tertarik untuk meneliti dan menganalisis 7

Kekuasaan dalam Pemerintahan Desa, khususnya pada pemerintahan desa Kedai Damar Pabatu kecamatan Tebing Tinggi kabupaten Serdang Bedagai. 1.2. Perumusan Masalah Lincoln dan Guba (1985 : 218) mendefinisikan masalah sebagai suatu keadaan yang bersumber dari hubungan antara dua faktor atau lebih yang menghasilkan situasi yang menimbulkan tanda tanda dan dengan sendirinya memerlukan upaya untuk mencari sebuah jawaban. Faktor yang berhubungan tersebut mungkin berupa konsep, data empiris, pengalaman atau unsur lainnya. ( Maleong, 2006 : 93 ). Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka yang menjadi perumusan masalah dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimana relasi politik desa antara kepala desa, BPD dengan masyarakat desa Kedai Damar Pabatu kecamatan Tebing Tinggi kabupaten Serdang Bedagai? 2. Bagaimana pola relasi kekuasaan pemerintahan desa Kedai Damar Pabatu kecamatan Tebing Tinggi kabupaten Serdang Bedagai dalam pelaksanaan alokasi dana desa? 1.3. Tujuan Penelitian Mengacu pada pernyataan M Iqbal Hasan ( 2002 : 44 ) bahwa tujuan penelitian adalah rumusan kalimat yang menunjukkan adanya suatu hal yang diperoleh setelah penelitian selesai. Dengan demikian pada dasarnya tujuan 8

penelitian memberikan informasi mengenai apa yang akan diperoleh setelah selesai penelitian. Berdasarkan adanya keinginan penulis untuk memperoleh data, guna menjawab pertanyaan - pertanyaan pada perumusan masalah penelitian ini, maka tujuan penelitian yang hendak dicapai melalui penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui bagaimana relasi politik desa antara kepala desa, BPD dengan masyarakat desa Kedai Damar kecamatan Tebing Tinggi kabupaten Serdang Bedagai. 2. Untuk mengetahui bagaimana pola relasi kekuasaan pemerintahan desa Kedai Damar kecamatan Tebing Tinggi kabupaten Serdang Bedagai dalam pelaksanaan Alokasi Dana Desa. 1.4. Manfaat Penelitian Setelah melakukan penelitian ini diharapkan manfaat penelitian ini berupa: 1.4.1 Manfaat Teoritis Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi wawasan ilmiah yang berkaitan dengan sistem Pemerintahan Desa yang terdapat di negara kita, sehingga dapat memberikan bahan pertimbangan bagi pihak pihak yang berkompeten dalam menjalankan pemerintahan untuk menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat desa dalam perencananan pembangunan. 1.4.2 Manfat Praktis Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat bagi peneliti berupa fakta fakta temuan di lapangan dalam meningkatkan daya kritis dan analisis peneliti 9

sehingga memperoleh pengetahuan tambahan dari penelitian tersebut. Dan khususnya penelitian ini dapat menjadi referensi penunjang yang diharapkan dapat berguna bagi penelitian penelitian selanjutnya. 1.5. Definisi Konsep Konsep merupakan suatu gagasan yang dinyatakan dalam suatu simbol atau kata. Untuk memperoleh maksud dan pengertian mengenai konsep yang digunakan dalam penelitian ini, maka penulis membatasi konsep konsep yang digunakan. Pemberian batasan konsep ini diperlukan untuk menuntun peneliti dalam menangani rangkaian proses penelitian bersangkutan serta dalam menginterpretasikan hasil penelitian ( Faisal, 2003 : 107 ). Adapun konsep konsep yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 1. Relasi kekuasaan politik adalah adalah suatu hubungan antar dua individu atau lebih, atau antara individu dengan kelompok, mengunakan segala kemampuan untuk mengendalikan tingkah laku orang lain, baik dengan jalan memberi perintah, maupun dengan mempergunakan alat dan cara yang tersedia dalam melaksanakan kebijakkan kebijakkan, siasat, kekuasaaan, kewenangan, pembagian atau alokasi, dalam membangun hubungan yang dinamis, mulai dari hubungan yang bersifat kerja sama, kompetisi hingga muncul konflik. (http://poq. oxfordjournals. Org / cgi/ content /summary 20/1/73) 2. Pemerintahan desa adalah lembaga perpanjangan pemerintah pusat memiliki peran yang strategis dalam pengaturan masyarakat desa/kelurahan dan keberhasilan pembangunan nasional, atau merupakan penyelenggaraan urusan 10

oleh Pemerintah Desa dan Badan Permusyawaratan Desa dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan NKRI. 3. Sentralisasi adalah sistem yang mengatur penyelenggaraan pemerintahan terpusat pada pemerintah pusat. Seluruh wewenang, prakarsa, kebijakan, keputusan, perencanaan, pelaksanaan dan pembiayaannya dikoordinir seluruhnya oleh pemerintah pusat. 4. Desentaralisasi desa adalah penyerahan wewenang pemerintahan kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem NKRI, mewujudkan pemerintahan desa yang mandiri dalam menyampaikan aspirasi, tata pemerintahan desa yang relatif bebas dari campur tangan kekuatan kekuatan pemerintahan pada hiearkhi otoritas diatas desa, yaitu pemerintahan kecamatan, pemerintahan kabupaten atau pemerintah pusat dalam mewujudkan efektifitas, efisiensi pemerintahan, demokratisasi serta pemberdayaan masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraan dan pelayanan bagi publik. (UU.No.32 Tahun 2004) 11