2015 PROGRAM BIMBINGAN PRIBADI BERDASARKAN PROFIL

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Individu yang memasuki sekolah menengah pertama pada umumnya berada

Banyaknya fenomena penyimpangan perilaku yang bisa dilihat secara. setiap hari, membentuk keprihatinan bahwa bangsa ini sedang

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan menjadikan individu lebih baik karena secara aktif

BAB I PENDAHULUAN. Pasal 3 Undang-undang RI nomor 20 tahun 2003 (Burhanuddin, 2007: 82), mengungkapkan bahwa:

2015 PEMBINAAN KECERDASAN SOSIAL SISWA MELALUI KEGIATAN PRAMUKA (STUDI KASUS DI SDN DI KOTA SERANG)

BAB I PENDAHULUAN. didik, sehingga menghasilkan peserta didik yang pintar tetapi tidak

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. tingkat lokal, nasional, maupun internasional. Persoalan yang muncul di

BAB I PENDAHULUAN. Pada bab I ini, akan memaparkan beberapa sub judul yang akan digunakan

BAB I PENDAHULUAN. bagi perubahan besar sebuah negara. Ujung tombak sebuah negara ditentukan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan merupakan sebuah usaha yang ditempuh oleh manusia

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan dalam Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 Pasal 1 Ayat (1) tentang

2014 PENGARUH PAI DAN KEGIATAN EKSTRAKULIKULER KEAGAMAAN TERHADAP PENINGKATAN AKHLAK MULIA SISWA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. karakter siswa. Pendidikan agama merupakan sarana transformasi pengetahuan

BAB I PENDAHULUAN. A.Latar Belakang Masalah. hidup semaunya sendiri, karena di dalam kehidupan bermasyarakat terdapat

2016 ANALISIS POLA MORAL SISWA SD,SMP,SMA,D AN UNIVERSITAS MENGENAI ISU SAINS GUNUNG MELETUS D ENGAN TES D ILEMA MORAL

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan pada dasarnya bertujuan untuk membentuk karakter peserta

saaaaaaaa1 BAB I PENDAHULUAN

SKRIPSI. Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Mencapai Gelar Sarjana S-1. Pendidikan Akuntansi. Diajukan Oleh: WIDARTI A

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Banyak negara mengakui bahwa persoalan pendidikan merupakan

BAB I PENDAHULUAN. dikenang sepanjang masa, sejarah akan menulis dikemudian hari. Di sekolahsekolah. pelajaran umum maupun mata pelajaran khusus.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. disebut dengan tata tertib. Siswa dituntut untuk menaati tata tertib sekolah di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sekolah merupakan suatu lembaga pendidikan formal yang mempunyai

BAB I PENDAHULUAN. Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 berfungsi mengembangkan

BAB I PENDAHULUAN. dipisahkan dari kehidupan suatu bangsa. Pendidikan menjadi sarana dalam rangka

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Seiring berkembangnya zaman memberikan dampak yang besar bagi

LAYANAN BIMBINGAN KONSELING TERHADAP KENAKALAN SISWA

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan pada hakikatnya adalah untuk membantu peserta didik agar

I. PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan usaha membina kepribadian dan kemajuan manusia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. untuk memajukan kesejahteraan bangsa. Pendidikan adalah proses pembinaan

BAB I PENDAHULUAN. hidup yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan individu.

BAB I PENDAHULUAN. mencerdaskan kehidupan bangsa juga sekaligus meningkatkan harkat dan. peningkatan kehidupan manusia ke arah yang sempurna.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kemajuan suatu bangsa dipengaruhi oleh akhlak bangsa tersebut.

BAB I PENDAHULUAN. hidup dan kehidupan manusia, begitu pula dengan proses perkembangannya.

BAB 1 PENDAHULUAN. daya manusia merupakan prasyarat mutlak untuk mencapai tujuan pembangunan. Salah satu

I. PENDAHULUAN. Kehidupan era Globalisasi ini, remaja sering kali diselingi hal-hal

BAB 1 PENDAHULUAN. murid, siswa, mahasiswa, pakar pendidikan, juga intektual lainnya.ada

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana untuk mengembangkan. kepribadian manusia melalui pemberian pengetahuan, pengajaran

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan bagi kehidupan manusia merupakan kebutuhan mutlak yang

BAB I PENDAHULUAN. Secara umum pendidikan mampu manghasilkan manusia sebagai individu dan

BAB I PENDAHULUAN. remaja yang berkisar antara tahun. Hurlock (1980: 206) mengemukakan

BAB I PENDAHULUAN. dewasa. Dalam masa ini remaja mengalami pubertas, yaitu suatu periode

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Usia Sekolah Menengah Atas pada umumnya berada pada rentang usia

BAB I P E N D A H U L U A N. Sekolah sebagai lembaga pendidikan mempunyai tanggungjawab dalam

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan merupakan suatu sendi kehidupan. Melalui pendidikan,

BAB I PENDAHULUAN. adalah aset yang paling berharga dan memiliki kesempatan yang besar untuk

BAB I PENDAHULUAN. mengalami perkembangan baik fisik dan psikis dari waktu ke waktu, sebab

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Fitri Indriyani, 2013

BAB I PENDAHULUAN. (aspek keterampilan motorik). Hal ini sejalan dengan UU No.20 tahun 2003

BAB I PENDAHULUAN. diharapkan muncul generasi-generasi yang berkualitas. Sebagaimana dituangkan

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan salah satu wadah yang didalamnya terdapat suatu

HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI SISWA TERHADAP PERAN GURU BIMBINGAN KONSELING DENGAN KEDISIPLINAN SISWA DALAM MENAATI TATA TERTIB SEKOLAH.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dunia pendidikan merupakan sebuah harapan bersama yang didalamnya

BAB I PENDAHULUAN. dari 33 menjadi 29 aborsi per wanita berusia tahun. Di Asia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan merupakan faktor yang sangat penting dan menentukan bagi

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Intany Pamella, 2014

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan sejatinya adalah untuk membangun dan mengembangkan

BAHAN AJAR CHARACTER BUILDING BERBASIS NILAI-NILAI PANCASILA

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Salah satunya adalah krisis multidimensi yang diderita oleh siswa sebagai sumber

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Peserta didik merupakan aset suatu negara yang nantinya akan menjadi

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

2015 PERSEPSI GURU TENTANG PENILAIAN SIKAP PESERTA DIDIK DALAM KURIKULUM 2013 DI SMA NEGERI KOTA BANDUNG

I. PENDAHULUAN. Pendidikan menjadi hak dasar warga negara. Pendidikan merupakan salah satu

BAB I PENDAHULUAN. keluarga maupun masyarakat dalam suatu bangsa. Pendidikan bisa. dikatakan gagal dan menuai kecaman jika manusia - manusia yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pertumbuhan budi pekerti tiap-tiap manusia. Orang tua dapat menanamkan benih

BAB I PENDAHULUAN. seiring dengan dinamika perubahan sosial budaya masyarakat. mengembangkan dan menitikberatkan kepada kemampuan pengetahuan,

BAB I PENDAHULUAN. peranan sekolah dalam mempersiapkan generasi muda sebelum masuk

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan merupakan kunci utama dalam terlaksananya

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai upaya peningkatan sumber daya manusia {human resources), pada

SKRIPSI. Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Mencapai Derajat Sarjana S-1 Program Studi Pendidikan Akuntansi. Disusun Oleh :

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Sely Lamtiur, 2014 Model kantin kejujuran bagi pengembangan karakter jujur siswa

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan pada saat ini memiliki peran yang sangat penting dalam

H, 2016 HUBUNGAN ANTARA REGULASI EMOSI DAN KONTROL DIRI DENGAN PERILAKU BULLYING

BAB I PENDAHULUAN. cinta kasih, dan penghargaan terhadap masing-masing anggotanya. Dengan

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan wahana mengubah kepribadian dan pengembangan diri. Oleh

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Beberapa tahun terakhir ini sering kita melihat siswa siswi yang dianggap

BAB I PENDAHULUAN. pembelajaran yang didalam kegiatannya dilakukan oleh guru dan siswa. Pendidikan juga merupakan elemen yang sangat penting untuk

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan dilahirkan manusia-manusia yang berkualitas yang akan membangun dan

BAB I PENDAHULUAN. yang berkualitas, baik itu kualitas intelektual maupun kualitas mental. Suatu

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. pembelajaran di sekolah baik formal maupun informal. Hal itu dapat dilihat dari

BAB I PENDAHULUAN. terpelajar dengan sendirinya berbudaya atau beradab. Namun kenyataan

BAB I PENDAHULUAN. Undang No.20 tahun 2003). Pendidikan memegang peranan penting dalam

BAB I PENDAHULUAN. yang tinggi, namun cenderung rasa penasaran itu berdampak negatif bagi remaja,

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. masalah pendidikan menjadi hal yang utama bahkan mendapat perhatian dari

BAB I PENDAHULUAN. usaha untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang

BAB I PENDAHULUAN. Persoalan budaya dan karakter bangsa merupakan isu yang mengemuka di

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Upaya mewujudkan pendidikan karakter di Indonesia yang telah

BAB I PENDAHULUAN. serta bertanggung jawab. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. Seiring perkembangan masyarakat Indonesia di era globalisasi ini,

BAB I PENDAHULUAN. kearah suatu tujuan yang dicita-citakan dan diharapkan perubahan tersebut

BAB I PENDAHULUAN. Bab Pendahuluan Ini Memuat : A. Latar Belakang, B. Fokus Penelitian,C. Rumusan

PENGEMBANGAN SIKAP TOLERANSI MELALUI PEMBINAAN KEAGAMAAN DALAM MEMANTAPKAN CIVIC DISPOSITION

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tujuan Pendidikan Nasional dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dikemukakan bahwa Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bagsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap kreatif mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Selain dengan pernyataan itu Ki Hajar Dewantara menyatakan bahwa: pendidikan umumnya berarti daya upaya untuk memajukan tumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran (intelek), dan tubuh anak. Dalam penelitian Nur Azizah mengenai strategi pembelajaran moral sangat diperlukan karena banyaknya perilaku moral dikalangan peserta didik seperti membolos, mencontek ketika ujian atau ulangan harian, berkelahi antar teman. Fakta menunjukkan bahwa terdapat kasus penyimpangan perilaku moral peserta didik di sekolah dengan segala variasinya seperti membolos sebanyak 10%, mencontek sebanyak 40%, berkelahi sebanyak 5% (data pada MTsN Gondowulung, 2003/2004). Hal ini menunjukkan indikasi tentang tidak adanya peningkatan yang signifikan dari perkembangan perilaku moral peserta didik dengan pendidikan di sekolah. (Nur Azizah, 2005, hlm.2) Salah satu fenomena yang melanda remaja tampak pada fenomena 6-20 % peserta didik tingkat SMA dan mahasiswa di Jakarta pernah melakukan hubungan seks pra nikah. Selain itu hasil penelitian lain, menunjukan bahwa sebanyak 50% dari pengunjung klinik aborsi berusia 15-20 tahun, dan 44,5 % dari pengunjung klinik aborsi berusia antara 15-20 tahun itu adalah hamil di luar nikah (Boyke, 1999). Fenomena perilaku seks pra nikah ini tidak hanya terjadi di Jakarta. Sebuah penelitian terhadap 37 remaja berusia 16-20 tahun di Jatinangor, Kabupaten Sumedang, Provinsi Jawa Barat pada tahun 1998, menunjukkan bahwa sekitar 1

2 80% telah melakukan perilaku seksual necking; 70% pernah melakukan petting; dan 65% pernah melakukan premarital intercourse (Nurhayati, 1998). Jika perilaku remaja tidak sesuai dengan harapan sosial mka akan terjadi kesenjangan dan konflik. Misalnya saja, pemberitaan di televisi menyuguhkan tayangan tentang pemerkosaan yang korban dan pelakunya adalah peserta didik di sekolah, pencurian, pemerkosaan, geng motor yang berakhir dengan perkelahian dengan senjata tajam, belum lagi kasus video porno yang ternyata 90 % pelaku dan pembuatnya adalah peserta didik usia remaja (Musfiroh, 2008). Laporan Komisi Perlindungan Anak atau Komnas Anak dari survei yang dilakukan pada tahun 2007 di 12 kota besar di Indonesia tentang perilaku seksual remaja sungguh sangat mengerikan. Hasilnya adalah dari 4500 remaja yang disurvei, 97 % mengaku pernah menonton film porno. Sebanyak 93,7 % remaja SMP dan SMA mengaku pernah berciuman serta happy petting (bercumbu berat) dan oral seks. Yang lebih menyeramkan lagi adalah 62,7 % remaja SMP mengaku tidak perawan lagi, bahkan 21,2 % remaja SMA mengaku pernah melakukan aborsi. (Dok.SCTV 24 Juli 2008). Sementara itu, berdasarkan penelitian Departemen Kesehatan RI (Pikiran Rakyat; 21 Desember 2008) terhadap pada peserta didik di 18 provinsi, terdapat satu dari enam peserta didik mengalami tindakan kekerasan di sekolah dengan cara melukai, memberikan ancaman, menciptakan terror, dan menunjukkan sikap permusuhan sehingga menimbulkan dampak seperti stress (76%), hilang konsentrasi (71%), gangguan tidur (71%), paranoid (60%), sakit kepala (55%), dan obsesi (52%). Sedikitnya 25% anak yang diganggu memilih menghabisi nyawanya sendiri dengan jalan bunuh diri. Tindakan kekerasan juga berdampak pada para pelaku yaitu mereka merasa menjadi jagoan sehingga senang berkelahi (54%), berbohong (87%), serta tidak memperdulikan peraturan sekolah (33%). Hasil penelitian Asri Budiningsih di Yogyakarta (2009) dengan menggunakan metode moral dilemma mampu meningkatkan penalaran moral, dan keimanan mahasiswa, sehingga tidak ada lagi penalaran moral responden yang berada pada tahap II, 24,3% meningkat dari tahap II ke tahap III, 32,43% meningkat dari tahap III ke tahap IV dan 2,7% meningkat dari tahap IV ke tahap

3 V, 48,65% meningkat dari tahap III ke tahap IV, dan 5,4% meningkat dari tahap IV ke tahap V. Penelitian menunjukkan bahwa penalaran moral menjadi salah satu prediktor tindakan moral dan kemungkinan masalah dalam penalaran moral menyebabkan tingkah laku moral (Kohlberg, 1976 hlm.32 dalam Delfia). Sejalan dengan hal itu, Kohlberg menunjukkan meskipun banyak faktor yang dapat menimbulkan banyak faktor yang dapat menimbulkan kenakalan remaja (delinquency), tetapi tingkatan penalaran moral yang tinggi sekurang-kurangnya berfungsi sebagai penghambat tingkah laku delinquent (Duska dan Whelan, 1975 hlm.111). Menurut Piaget, penalaran moral dilandasi oleh kematangan dari segi kognitif dan sosial yang terjadi saat seseorang terlibat dalam hubungan antar terjadinya manusia atau interaksi sosial (Duska dan Whelan, 1975 hlm. 31). Perkembangan kognisi merupakan dasar terjadinya peningkatan tahap penalaran moral, tetapi tidak mempengaruhi perkembangan penalaran moral secara langsung. Untuk dapat mencapai tahap penalaran moral yang tertinggi, perkembangan kognitif seseorang telah mencapai taraf formal operasional, ketika ia telah mampu untuk berfikir hipotetik dan abstrak. Berfikir secara operasional formal mulai berkembang pada saat seseorang mencapai usia remaja, dengan demikian maka perkembangan menuju perkembangan moral yang matang telah berlangsung pula. Dengan kemampuan ini, remaja diharapkan mampu menyelesaikan tugas-tugas perkembangan untuk membentuk sistem nilai moral dan falsafah hidup. Dapat dikatakan bahwa penanggulangan terhadap masalahmasalah moral remaja merupakan salah satu penentu masa depan mereka dan bangsanya (Mulyono, 1984). Hasil penelitian dilakukan Delfia (2010) menunjukkan bahwa pada umumnya penalaran moral peserta didik kelas VIII SMP berada pada tahap penalaran semi otonom yang mencapai 72,4%. Selanjutnya peserta didik yang berada pada tahap penalaran otonom mencapai 18,39%, sedangkan peserta didik yang berada pada tahap penalaran moral heteronom mencapai 9,19%. Sekolah merupakan salah satu lingkungan yang memainkan peran dan berpotensi besar untuk membantu remaja mencapai perkembangan moralnya. Hal

4 ini selaras ini dengan pendapat Harvighurst (Yusuf, 2006, hlm. 55) yang mengungkapkan bahwa sekolah mempunyai peranan atau tanggung jawab penting dalam membantu peserta didik mencapai tugas perkembangan. Yusuf (2006, hlm. 54) mengemukakan beberapa alasan sekolah berperan penting bagi perkembangan kepribadian remaja, yaitu : (1) sekolah memberikan pengaruh kepada anak secara dini, seiring dengan perkembangan konsep dirinya; (2) anak banyak menghabiskan waktunya di sekolah daripada di tempat lain di luar sekolah. Bimbingan dan Konseling sebagai salah satu komponen integral dari pelaksanaan pendidikan di sekolah seyogyanya mampu memberikan layanan bantuan yang bersifat psikoedukatif, yang tidak diperoleh remaja dalam kegiatan belajar mengajar di ruang kelas. Bimbingan dan Konseling sangat diperlukan sebagai media untuk membantu remaja dalam mengembangkan penalaran moral, sehingga remaja memiliki perilaku yang penuh dengan nilai moral dapat bertindak berdasarkan pertimbangan dan tanggung jawab subjektif. Salah satu upaya yang dapat dilakukan oleh guru pembimbing adalah melaksanakan layanan bimbingan. Bimbingan yang dilaksanakan merupakan bimbingan pribadi. Bimbingan pribadi merupakan layanan yang mengarah pada pencapaian pribadi yang seimbang dengan memperhatikan keunikan karakteristik pribadi serta ragam permasalahan yang dialami individu. B. Rumusan Masalah Latar belakang permasalahan di atas menunjukkan adanya fenomena perilaku unmoral peserta didik pada usia SMP, SMA atau SMK. Perilaku unmoral muncul disebabkan karena mereka kurang mampu menyaring perilaku-perilaku yang masuk dalam di kehidupan mereka, karena hal itu disebabkan penalaran moral yang rendah. Penalaran moral merupakan prediktor dari tindakan moral dan tingkat penalaran moral yang tinggi sekurang-kurangnya berfungsi sebagai penghambat tingkah delinquent (Duska dan Whelan, 1982 hlm.111). Dari pernyataan tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa perilaku peserta didik yang menyimpang norma masyarakat, seperti tawuran, seks bebas, penggunaan dan

5 pengedaran narkoba, pelanggaran tata tertib sekolah, menyontek dan berbohong diakibatkan oleh penalaran moral yang rendah. Berdasarkan uraian masalah tersebut diperoleh sebuah pertanyaan umum sebagai arahan perumusan masalah dalam penelitian ini, yaitu : 1. Bagaimana profil penalaran moral peserta didik kelas VIII SMP? 2. Bagaimana rumusan program bimbingan pribadi berdasarkan profil penalaran moral peserta didik kelas VIII SMP yang layak untuk diterapkan menurut pertimbangan pakar dan praktisi bimbingan dan konseling? C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian Secara umum penelitian bertujuan adalah untuk menghasilkan program bimbingan pribadi berdasarkan profil penalaran moral peserta didik kelas VIII SMP Negeri 2 Lembang Tahun Ajaran 2014/2015 yang layak untuk diterapkan menurut pertimbangan pakar dan praktisi bimbingan dan konseling. Tujuan khusus penelitian yaitu memperoleh gambaran empirk tentang : a. Mendeskripsikan penalaran moral peserta didik kelas VIII SMP. b. Menghasilkan program bimbingan pribadi berdasarkan profil penalaran moral peserta didik kelas VIII yang layak untuk diterapkan menurut pertimbangan pakar dan praktisi bimbingan dan konseling. 2. Manfaat Peneitian a. Teoretis : Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan kajian ilmu terkait program bimbingan pribadi dan penalaran moral peserta didik. b. Praktis : Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu para praktisi pendidikan khususnya guru Bimbingan dan Konseling dalam mencegah terjadinya penyimpangan-penyimpangan perilaku yang melanggar moralitas.

6 D. Kerangka Penelitian Grafik 1.1 Kerangka Alur Penelitian Pendahuluan Identifikasi Masalah Studi Lapangan Studi Pustaka Rumusan Instrumen 1. Judgement pakar 2. Uji keterbacaan 3. Uji Validitas dan realibilitas Instrumen Terstandar Penyebaran Instrumen Program Bimbingan Pribadi berdasarkan Profil Penalaran Moral Peserta Didik yang Layak Diterapkan Judgement Rancangan Program Bimbingan Pribadi berdasarkan Profil Penalaran Moral Peserta Didik oleh Pakar Rancangan Program Bimbingan Pribadi berdasarkan Profil Penalaran Moral Peserta Didik Profil Penalaran Moral Peserta Didik Kelas VIII SMP 6

7