PENGADILAN PAJAK DI INDONESIA SEBAGAI SOLUSI SENGKETA PAJAK (ATURAN DAN PELAKSANAANNYA) Oleh : Rizal Muchtasar 1. Intisari

dokumen-dokumen yang mirip
PENGADILAN PAJAK DI INDONESIA: ATURAN DAN PELAKSANAANNYA SEBAGAI SOLUSI SENGKETA PAJAK

BAB 1 PENDAHULUAN. Penerimaan Pajak Diperkirakan Rp 604 Triliun, diunduh tanggal 30 Mei 2010.

UPAYA-UPAYA PENYELESAIAN SENGKETA PAJAK DI INDONESIA Oleh : E. Rial. N, SH 1

PERUMUSAN KEBIJAKAN PERPAJAKAN DALAM PENYELESAIAN SENGKETA PAJAK

BAB I PENDAHULUAN. penyelenggaraan pemerintahan dapat dilihat pada Anggaran Pendapatan dan

PENYELESAIAN SENGKETA PERPAJAKAN

Pajak Kontemporer Peradilan Pajak

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 21/PUU-XII/2014 Penyidikan, Proses Penahanan, dan Pemeriksaan Perkara

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. membuat UU. Sehubungan dengan judicial review, Maruarar Siahaan (2011:

BAB III GAMBARAN UMUM PENGADILAN PAJAK. semakin meningkat. Dalam upaya untuk mendapatkan dana dari pajak,

1 Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. pajak bagi APBN dari tahun ke tahun. 1. dari swasta kepada sektor publik berdasarkan undang-undang yang dapat

BAB I PENDAHULUAN. Pajak memiliki peranan yang sangat besar dalam pembagunan Negara,

Mengenal Mahkamah Agung Lebih Dalam

Makalah Peradilan Tata Usaha Negara BAB I PENDAHULUAN

Lex et Societatis, Vol. III/No. 7/Ags/2015. PENYELESAIAN SENGKETA PAJAK TERHADAP KEBERATAN WAJIB PAJAK 1 Oleh : Jenifer M.

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2002 TENTANG PENGADILAN PAJAK

PENJELASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2002 TENTANG PENGADILAN PAJAK

REPOSISI PENGADILAN PAJAK

BAB I PENDAHULUAN. di dunia berkembang pesat melalui tahap-tahap pengalaman yang beragam disetiap

Pengujian Ketentuan Penghapusan Norma Dalam Undang-Undang Oleh: Muchamad Ali Safa at (Dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya)

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 1997 TENTANG BADAN PENYELESAIAN SENGKETA PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2002 TENTANG PENGADILAN PAJAK

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga BAB I PENDAHULUAN. Pajak menurut Pasal 1 Undang-Undang No 28 Tahun 2007 tentang

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN

Peradilan Adminitrasi Pajak

RechtsVinding Online

BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA. A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 58/PUU-XIV/2016 Pengampunan Pajak

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Hukum merupakan penyeimbang masyarakat dalam berperilaku. Dimana

BAB I PENDAHULUAN. penyelenggara negara memerlukan aspek akuntabilitas (pertanggungjawaban).

PENYELESAIAN SENGKETA UTANG PAJAK PADA PENGADILAN PAJAK

BAB I PENDAHULUAN. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) setiap tahun yang. perolehan pajak bagi APBN dari tahun ke tahun.

Analisis Kewenangan Mahkamah Konstitusi Dalam Mengeluarkan Putusan Yang Bersifat Ultra Petita Berdasarkan Undang-Undangnomor 24 Tahun 2003

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 16/PUU-X/2012 Tentang KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI

Lex et Societatis, Vol. V/No. 7/Sep/2017

PENINJAUAN KEMBALI DALAM SENGKETA PAJAK

SKRIPSI. Diajukan Guna Memenuhi Sebagai Salah Satu Persyaratan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum. Oleh : Nama : Adri Suwirman.

PENGATURAN PENYELESAIAN SENGKETA PAJAK BERDASARKAN UU NO.14 TAHUN 2002 TENTANG PENGADILAN PAJAK DENGAN UU NO

PENGADILAN PAJAK UU. NOMOR 14 TAHUN 2002

BAB I PENDAHULUAN. terhadap masalah pembiayaan pembangunan. perpajakan yang memberikan jaminan kepastian hukum dan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG UPAYA HUKUM KEBERATAN DALAM PENYELESAIAN SENGKETA PAJAK

Putusan Pengadilan Pajak Nomor : Put-60826/PP/M.IIIB/99/2015. Tahun Pajak : 2011

PERLINDUNGAN HUKUM WAJIB PAJAK DAN PENANGGUNG PAJAK DALAM SENGKETA PAJAK (PERSPEKTIF UU NO.14 TAHUN 2002)

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 41/PUU-XIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan

BAB V ANALISIS. A. Analisis mengenai Pertimbangan Hakim Yang Mengabulkan Praperadilan Dalam

BAB I PENDAHULUAN. Pajak merupakan perikatan yang lahir dari undang-undang yang. mewajibkan seseorang yang telah memenuhi syarat yang ditentukan dalam

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 80/PUU-XII/2014 Ketiadaan Pengembalian Bea Masuk Akibat Adanya Gugatan Perdata

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 38/PUU-XV/2017

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 108/PUU-XIV/2016 Peninjauan Kembali (PK) Lebih Satu Kali

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 74/PUU-XV/2017

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 41/PUU-XIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X

BAB I. Pendahuluan. Pada Harian Kompas tanggal 4 Januari 2016, Adrianto 1 menulis bahwa

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 1997 TENTANG BADAN PENYELESAIAN SENGKETA PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB IV GAMBARAN SENGKETA FAKTUR PAJAK CACAT DAMPAKNYA BAGI PENGUSAHA KENA PAJAK DAN KERUAGIAN NEGARA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG DEWAN PERWAKILAN MAHASISWA UNIVERSITAS INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG MAHKAMAH MAHASISWA UNIVERSITAS INDONESIA

UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PEMBUKTIAN PENYELESAIAN SENGKETA PAJAK DI PENGADILAN PAJAK (STUDI KASUS PT TECTONIA GRANDIS)

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 42/PUU-XV/2017 Tafsir Frasa Tidak dapat Dimintakan Banding atas Putusan Praperadilan

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 61/PUU.D-VIII/2010 Tentang Perlindungan dan Penghargaan Terhadap Hak-Hak Buruh

BAB I PENDAHULUAN. dalam hal dan menurut tata cara yang diatur dalam undang-undang untuk

PENYELESAIAN SENGKETA PAJAK. Dyah Adriantini Sintha Dewi ABSTRAK

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 1 TAHUN 1995 (1/1995) Tanggal: 7 MARET 1995 (JAKARTA)

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 25/PUU-XVI/2018

BAB III GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Novi Norma Melya Nugraha, 2015

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 1997 TENTANG BADAN PENYELESAIAN SENGKETA PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 40/PUU-XIII/2015 Pemberhentian Sementara Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi

R. Soegijatno Tjakranegara, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia, 95. (Jakarta: Sinar Grafika, 2002), h. 18

TINJAUAN ATAS PENGADILAN PAJAK SEBAGAI LEMBAGA PERADILAN DI INDONESIA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENGAMPUNAN NASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Positive. Personality. OLEH-OLEH DARI MEDAN hal. 4. Disiplin Tanpa Batas

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 17/PUU-XIII/2015 Upaya Hukum Peninjauan Kembali (PK) terhadap Putusan Hukuman Mati

BAB I PENDAHULUAN. dirumuskan dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar kekuasaan belaka. Begitu pula dengan kewenangan negara untuk

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. Negara Republik Indonesia adalah negara hukum (Rechstaat). Landasan

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan Nasional merupakan rangkaian upaya pembangunan yang

PROSES PELAKSANAAN GUGATAN INTERVENSI DALAM PEMERIKSAAN SENGKETA TATA USAHA NEGARA PADA PENGADILAN TATA USAHA NEGARA PADANG

*9788 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 17 TAHUN 1997 (17/1997) TENTANG BADAN PENYELESAIAN SENGKETA PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

II. OBJEK PERMOHONAN Pengujian materiil Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UU 8/1999).

BAB I PENDAHULUAN. tepatnya pada Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik

II. OBJEK PERMOHONAN Pengujian materiil Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UU 8/1999).

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERBAIKAN RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor 26/PUU-VII/2009 Tentang UU Pemilihan Presiden & Wakil Presiden Calon Presiden Perseorangan

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN KEDUA Perkara Nomor 79/PUU-XII/2014 Tugas dan Wewenang DPD Sebagai Pembentuk Undang-Undang

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 39/PUU-XII/2014 Hak Memilih

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. penetapan status tersangka, bukanlah perkara yang dapat diajukan dalam

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 1997 TENTANG BADAN PENYELESAIAN SENGKETA PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 123/PUU-XIII/2015 Hak Tersangka Untuk Diadili Dalam Persidangan

Transkripsi:

PENGADILAN PAJAK DI INDONESIA SEBAGAI SOLUSI SENGKETA PAJAK (ATURAN DAN PELAKSANAANNYA) Oleh : Rizal Muchtasar 1 Intisari Pajak merupakan salah satu sumber pemasukan kas negara yang digunakan untuk pembangunan dengan tujuan akhir kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Oleh karena itu, sektor pajak memegang peranan penting dalam perkembangan kesejahteraan bangsa. Namun, tak bisa dipungkiri bahwa sulitnya negara melakukan pemungutan pajak karena banyaknya wajib pajak yang tidak patuh dalam membayar pajak merupakan suatu tantangan tersendiri. Adanya kewajiban bagi masyarakat untuk membayar pajak terkadang tidak berbanding lurus dengan tingkat kesadaran wajib pajak dalam mematuhi ketentuan tersebut. Keterbatasan pemerintah melalui aparat penagih pajaknya juga mengakibatkan munculnya masalah persengketaan di bidang perpajakan. Masalah sengketa pajak ini dari masa ke masa ditanggapi oleh pemerintah yang berkuasa dengan jalan lembaga penyelesaian sengketa pajak. I. PENDAHULUAN Pembangunan nasional yang berkesinambungan dan berkelanjutan serta merata di seluruh tanah air, memerlukan dana yang memadai terutama salah satunya dari sumber perpajakan. Oleh karenanya, arah kebijakan GBHN tahun 1999-2004 bidang ekonomi antara adalah mengembangkan kebijakan fiskal dengan memperhatikan prinsip transparansi, disiplin, keadilan, efisiensi, efektivitas, untuk menambah penerimaan negara dan mengurangi ketergantungan dana dari luar negeri. *Staf Pengajar pada Fakultas Hukum UNHALU 1

Mengenai Pajak dan pungutan lainnya, amandemen ketiga UUD 1945 memberikan ketentuan baru pada Pasal 23A UUD 1945 bahwa Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang, yang sebelumnya diatur dalam Pasal 23 ayat (2) UUD 1945 bahwa segala pajak untuk keperluan negara berdasarkan undang-undang. Di samping itu, seiring dengan meluasnya tugas-tugas administrasi negara dalam menyelenggarakan pemerintahan, semakin besar pula kekuasaan administrasi negara. Dalam melakukan tindakannya Administrasi Negara memerlukan keleluasaan dalam menentukan kebijakan-kebijakannya. Akan tetapi setiap tindakan administrasi haruslah berdasarkan hukum, artinya sikap tindak administrasi tersebut haruslah dapat dipertanggungjawabkan baik secara moral maupun secara hukum. Lord Acton mengatakan bahwa setiap kekuasaan sekecil apapun cenderung untuk disalahgunakan. Oleh sebab itu dengan adanya keleluasaan bertindak dari administrasi negara yang memasuki semua sektor kehidupan masyarakat termasuk di dalamnya bidang perpajakan, kadang-kadang dapat menimbulkan kerugian bagi masyarakat itu sendiri. Wajarlah kemudian adanya keinginan yang menghendaki adanya jaminan agar jangan sampai keadaan negara menjurus diktator tanpa batas, yang bertentangan dengan ciri negara hukum. sehingga perlindungan terhadap warga diberikan bilamana sikap tindak administrasi negara itu menimbulkan kerugian terhadapnya. 2

Menurut Sjachran Basah. (1985-13) Terlebih tugas servis publik yang diemban oleh administrasi negara tentu haruslah berlandaskan Hukum Administrasi Negara. Sehingga dalam hal melaksanakan tugas itu secara aktif. Artinya dalam menyelenggarakan pemerintahan, administrasi negara melakukan suatu perbuatan penetapan (beschikkings-handeling) yang menghasilkan ketetapan (beschikking). Dalam rangka proses mengeluarkan ketetapan inilah dapat timbul berbagai kemungkinan termasuk perbuatan melawan hukum oleh administrasi negara. Kaitannya dengan hal ini, bidang perpajakan tidaklah juga tanpa masalah, apalagi dengan meningkatnya jumlah wajib pajak dan pemahaman akan hak dan kewajibannya dalam melaksanakan peraturan perundang-undangan perpajakan, maka tidaklah dapat dihindarkan timbulnya sengketa pajak. Sebelum diundangkannya Undang-Undang No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, penyelesaian sengketa pajak dilakukan oleh Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (BPSP) berdasarkan Undang-Undang No. 17 Tahun 1997 tentang Badan Penyelesaian Sengketa Pajak. Namun, dalam pelaksanaan penyelesaian Sengketa Pajak melalui BPSP masih terdapat ketidakpastian hukum yang dapat menimbulkan ketidakadilan. Karenanya, diperlukan suatu Pengadilan Pajak yang sesuai dengan sistem kekuasaan kehakiman di Indonesia dan mampu menciptakan keadilan dan kepastian hukum dalam penyelesaian Sengketa Pajak. Untuk memenuhi harapan ini lahirlah Undang-Undang Republik Indonesia No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak. Keberadaan Pengadilan Pajak yang secara resmi dilegalkan dengan lahirnya Undang-Undang No. 14 Tahun 2002, ternyata masih 3

menimbulkan kontroversi terutama menyangkut kedudukan Pengadilan Pajak dalam sistem peradilan nasional. Pasal 24 Ayat (2) UUD 1945 jo Pasal 2 dan 10 Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman menjelaskan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung (MA) dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan Peradilan umum (PU), lingkungan Peradilan Agama (PA), lingkungan Peradilan Militer (PM), lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN), dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi (MK). Pasal 15 Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 menjelaskan bahwa Pengadilan khusus hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan peradilan sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 10 yang diatur dengan undang-undang ini. Adapun yang dimaksud dengan Pengadilan khusus ditemui uraiannya dalam bagian Penjelasan Pasal ini yaitu antara lain Pengadilan Anak, Pengadilan Niaga, Pengadilan Hak Asasi Manusia, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Pengadilan Hubungan Industrial yang berada di lingkungan Peradilan Umum, dan Pengadilan Pajak dilingkungan Peradilan Tata Usaha Negara. Berdasarkan ketentuan di atas, maka keberadaan Pengadilan Pajak dimasukkan dalam lingkup PTUN yaitu sebagai pengadilan khusus. Akan tetapi, jika ketentuan tersebut dikontekskan dengan Pasal 2 Undang-Undang No. 14 Tahun 2002, yang mengatur tentang kedudukan Pengadilan Pajak bahwa Pengadilan Pajak adalah badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi Wajib Pajak atau Penanggung Pajak yang mencari keadilan terhadap Sengketa Pajak. Ketentuan di atas, walaupun tidak secara konkrit disebutkan namun dapat dipahami kehendak Pasal tersebut adalah menginginkan 4

adanya badan peradilan pajak secara mandiri sebagaimana juga Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Tata Usaha Negara dan Peradilan Militer, yang samasama berkedudukan sebagai pelaku kekuasaan kehakiman. Hal ini dikarenakan Pengadilan Pajak telah memiliki seperangkat aturan yang melandasi keberadaannya, disamping karakteristik proses penyelesaian sengketanya yang berbeda dengan badan peradilan lainnya. Berkaitan dengan hal tersebut di atas, Y. Sri Pudyatmoko berpendapat bahwa mengingat fungsi Pengadilan Pajak adalah bukan sebagai penegak hukum pajak semata tetapi juga sebagai instrumen perlindungan hukum bagi rakyat selaku wajib pajak ketika berhadapan dengan pemerintah sebagai penguasa yang berkedudukan sebagai fiscus. Akan tetapi fungsi seperti ini sering kali tidak banyak mendapat perhatian. Disamping itu hal yang sering mendapat sorotan adalah mengenai masalah pembinaan, dimana sering dikaitkan dengan masalah kemandirian dan keutuhan lembaga pengadilan secara keseluruhan. Ketentuan lain yang juga menimbulkan permasalahan adalah berkenaan dengan upaya hukum terhadap putusan Pengadilan Pajak. Terhadap putusan Pengadilan Tata Usaha Negara dapat dimintakan pemeriksaan banding oleh penggugat atau tergugat kepada Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara. Terhadap putusan tingkat terakhir pengadilan dapat dimohonkan pemeriksaan Kasasi kepada MA. Dan terhadap putusan pengadilan yang tetap dapat diajukan Peninjauan Kembali kepada MA. (Pasal 122-132 UU No. 5 Tahun 1986). Ketentuan yang ada tersebut, juga berlaku dalam lingkungan Peradilan lainnya. Sedangkan terhadap Pengadilan Pajak yang telah dimasukkan dalam lingkup 5

pengadilan khusus di lingkungan PTUN, ternyata tetap tunduk pada undangundang Pengadilan Pajak Pasal 77 Undang-Undang No. 14 Tahun 2002. Pasal ini menegaskan bahwa putusan Pengadilan Pajak merupakan putusan akhir dan mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Bagi pihak-pihak yang bersengketa dapat mengajukan Peninjauan Kembali atas putusan Pengadilan Pajak kepada Mahkamah Agung. Dengan demikian upaya hukum yang diatur dalam Pasal 77 Undang- Undang No. 14 Tahun 2002 yang hanya menyediakan Peninjauan Kembali dianggap tidak mempunyai kekuatan hukum dan telah mereduksi tugas dan wewenang MA dalam penyelesaian sengketa pajak di tingkat Kasasi, serta belum sepenuhnya konsisten dengan sistem peradilan yang berpuncak ke MA, sehingga pada gilirannya belum memberikan perlindungan hukum dalam penyelesaian Sengketa Pajak bagi para pencari keadilan. Pajak merupakan salah satu sumber pemasukan kas negara yang digunakan untuk pembangunan dengan tujuan akhir kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Oleh karena itu, sektor pajak memegang peranan penting dalam perkembangan kesejahteraan bangsa. Namun, tak bisa dipungkiri bahwa sulitnya negara melakukan pemungutan pajak karena banyaknya wajib pajak yang tidak patuh dalam membayar pajak merupakan suatu tantangan tersendiri. Pemerintah telah memberikan kelonggaran dengan memberikan peringatan terlebih dahulu melalui Surat Pemberitahuan Pajak (SPP). Akan tetapi, tetap saja banyak wajib pajak yang lalai untuk membayar pajak bahkan tidak sedikit yang cenderung menghindari kewajiban tersebut. 6

Hal ini mendorong pemerintah menciptakan suatu mekanisme yang dapat memberikan daya pemaksa bagi para wajib pajak yang tidak taat hukum. Salah satu mekanisme tersebut adalah gijzeling atau lembaga paksa badan. Keberadaan lembaga ini masih kontroversial. Beberapa kalangan beranggapan bahwa pemberlakuan lembaga paksa badan merupakan hal yang berlebihan. Di lain pihak, muncul pula pendapat bahwa lembaga ini diperlukan untuk memberikan efek jera yang potensial dalam menghadapi wajib pajak yang nakal. Saat ini, penyelesaian permasalahan sengketa di bidang perpajakan telah memiliki sarana dengan adanya Pengadilan Pajak. Sebelum Pengadilan Pajak berdiri, media yang digunakan untuk menyelesaikan masalah sengketa pajak adalah Majelis Pertimbangan Pajak yang kemudian berkembang menjadi Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (BPSP). Hadirnya Pengadilan Pajak menimbulkan kerancuan mengingat obyek sengketa pajak adalah Surat Ketetapan Pajak (SKP) yang masih merupakan lingkup obyek Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN). Lahirnya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak (UU Nomor 14 Tahun 2002) memang terkesan memunculkan dualisme bahwa seolaholah Pengadilan Pajak, yang hanya berkedudukan di Jakarta, itu berada di luar kekuasaan kehakiman yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman (UU Nomor 14 Tahun 1970) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 dan terakhir diubah lagi dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU Nomor 4 Tahun 2004). 7

II. PERPAJAKAN DI INDONESIA DAN PERMASALAHAN SENGKETANYA 1. Dasar-dasar Hukum Perpajakan Pajak merupakan sarana reformasi negara dalam meningkatkan kemandirian keuangan negara, meningkatkan tingkat keadilan, serta progresivitas dari pungutan pajak itu sendiri. Pemungutan pajak beserta perangkat hukum untuk mengatur tata caranya merupakan amanat Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Secara singkat dan tegas, pernyataan tentang pajak tercantum dalam Amandemen Ketiga UUD 1945 Pasal 23A yang berbunyi, Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang. Dahulu, sebelum amandemen atas UUD 1945 dilakukan, aturan tentang pajak dicantumkan dalam Pasal 23 ayat (2) yang menyatakan, Segala pajak untuk keperluan negara berdasarkan undang-undang. Dengan demikian, dibandingkan dengan UUD 1945 terdahulu, redaksi kalimat konstitusi pasca amandemen menunjukkan ketegasannya dalam mengaturhal perpajakan. Peraturan perundang-undangan mengenai pajak yang berlaku saat ini adalah Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU Nomor 6 Tahun 1983) yang telah direvisi melalui Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1994 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU Nomor 9 Tahun 1994). Karena 8

merupakan saat dibentuknya sebuah aturan pajak nasional yang baru, maka tahun 1983 disebut sebagai tahun reformasi pajak. Sebelum dibentuk dan diberlakukannya UU Nomor 6 Tahun 1983, dunia perpajakan di negara ini mengenal asas-asas pemungutan pajak yang disebut Tri Dharma Perpajakan. Ketiga asas tersebut adalah sebagai berikut: 1. Bahwa pemungutan pajak harus adil dan merata yang meliputi subyek maupun obyek perpajakan. Sifatnya universal atau nondiskriminatif. 2. Harus ada kepastian hukum mengenai pemungutan pajak. Dengan kepastian hukum yaitu bahwa sebelum pemungutan pajak dilakukan harus ada undang-undang terlebih dahulu. 3. Ketepatan waktu pemungutan pajak. Membayar dan menagih harus tepat pada waktunya, artinya pada saat orang memiliki uang (asas conveniency dan efisiensi). Selanjutnya, sejak UU Nomor 6 Tahun 1983 berlaku sebagai undang-undang pajak nasional, asas-asas perpajakan yang melandasi ketentuan tersebut adalah seperti di bawah ini: 1. Kesederhanaan (simplification of law) : Bahwa undangundang tentang perpajakan agar disusun sesederhana mungkin sehingga mudah dimengerti isi maupun susunan kata-katanya. 9

2. Kegotong-royongan nasional : Bahwa warga masyarakat harus berperan aktif dalam pemenuhan kewajiban perpajakan sebagai kewajiban kewarganegaraan. 3. Pelimpahan kepercayaan sepenuhnya kewajiban perpajakan kepada wajib pajak sendiri, maksud pemberian kepercayaan diharapkan agar warga sadar akan kewajiban kenegaraan karena negara sudah memberikan kepercayaan untuk menghitung, memperhitungkan, membayar pajaknya sendiri. Kepercayaan yang diberikan kepada masyarakat disebut self assessment. 4. Adanya kesamaan hak dan kewajiban antara wajib pajak dan fiskus. 5. Kepastian dan jaminan hukum Bahwa dalam pelaksanaan pemungutan pajak harus dihormati adanya asas-asas kebenaran dan asas praduga tak bersalah. Artinya, wajib pajak belum dinyatakan bersalah apabila belum ada buktibukti nyata. 2. Sengketa Pajak dan Penyelesaiannya Adanya kewajiban bagi masyarakat untuk membayar pajak terkadang tidak berbanding lurus dengan tingkat kesadaran wajib pajak dalam mematuhi ketentuan tersebut. Keterbatasan pemerintah melalui aparat penagih pajaknya juga mengakibatkan munculnya masalah persengketaan di bidang perpajakan. Masalah sengketa pajak ini dari masa 10

ke masa ditanggapi oleh pemerintah yang berkuasa dengan jalan lembaga penyelesaian sengketa pajak. Pada masa Pemerintahan Hindia Belanda, di negara ini telah ada badan penyelesaian sengketa pajak yang dibentuk dengan Ordonansi 1915 (Staatsblad Nomor 707) dengan nama Raad van het Beroep voor Belastingzaken (Badan Banding Administrasi Pajak), yang kemudian diganti dengan Ordonansi 27 Januari 1927, Staatsblad 1927 Nomor 29 tentang Peraturan Pertimbangan Urusan Pajak (Regeling van het Beroep in Belastingzaken). Selanjutnya, lembaga tersebut oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1959 diubah menjadi Majelis Pertimbangan Pajak yang tugasnya memberi keputusan atas surat pemeriksaan banding tentang pajak-pajak negara dan pajak-pajak daerah. Berdasarkan UU Nomor 6 Tahun 1983, MPP diberlakukan sebagai badan peradilan pajak yang sah dan tidak bertentangan dengan kekuasaan kehakiman sebagaimana tercantum dalam UU Nomor 14 Tahun 1970. UU Nomor 6 Tahun 1983 mengatur hal ini dalam Pasal 27 ayat (1) yang berbunyi sebagai berikut: Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan banding hanya kepada badan peradilan pajak terhadap keputusan mengenai keberatannya yang ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Pajak. 8 Selanjutnya, ayat (2) pasal yang sama menyebutkan sebagai berikut: Sebelum badan peradilan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk, permohonan banding diajukan kepada Majelis Pertimbangan Pajak, yang putusannya bukan merupakan keputusan Tata Usaha Negara. 11

Seiring berkembangnya aturan mengenai pajak dan semakin meningkatnya potensi sengketa pajak, MPP dianggap sudah tidak memadai dalam melakukan penyelesaian sengketa pajak. Oleh sebab itu, pemerintah merasa perlu membentuk lembaga peradilan di bidang perpajakan yang lebih komprehensif dan dibentuk melalui undang-undang. Tujuannya adalah menjamin hak dan kewajiban pembayar pajak sesuai dengan undang-undang bidang perpajakan serta memberikan putusan hukum atas sengketa pajak. Putusan lembaga peradilan pajak dapat dijadikan pedoman dalam melaksanakan undang-undang perpajakan sehingga ketentuan-ketentuan di dalamnya dapat memberikan kepastian hukum dan keadilan bagi semua pihak. Maka, berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1997 dibentuklah Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (BPSP) yang arah dan tujuan pembentukannya adalah sebagai berikut; 1. BPSP bertugas memeriksa dan memutus sengketa pajak berupa: a. banding terhadap pelaksanaan keputusan pejabat yang berwenang; b. gugatan terhadap pelaksanaan peraturan perundangundangan perpajakan di bidang penagihan. 2. Putusan BPSP bersifat final dan mempunyai kekuasaan eksekutorial dan berkedudukan hukum yang sama dengan 12

putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. 3. Pengajuan banding atau gugatan ke BPSP merupakan upaya hukum terakhir bagi pembayar pajak dan putusannya tidak dapat digugat ke peradilan umum atau Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN). Dalam undang-undang tersebut juga ditentukan bahwa untuk mendapatkan keadilan pengenaan pajak, wajib pajak dapat menempuh jalur-jalur sebagai berikut: 1. Jalur keberatan pajak dan banding ke BPSP. 2. Jalur melalui Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN). 3. Jalur melalui peradilan umum. Ditentukan pula keberadaan BPSP sebagai badan peradilan pajak hanya untuk menyelesaikan sengketa administratif, yaitu dari segi perhitungan dan akuntansi, bukan mengenai pidana pajak. Walaupun tidak bertentangan dengan UU Nomor 14 Tahun 1970, BPSP pada kenyataannya belum merupakan badan peradilan yang berpuncak di Mahkamah Agung. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu pengadilan pajak yang sesuai dengan sistem kekuasaan kehakiman yang berlaku di Indonesia sekaligus mampu menciptakan keadilan dan kepastian hukum dalam penyelesaian sengketa pajak. Atas berbagai pertimbangan tersebut, Pemerintah Republik Indonesia mengesahkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang 13

Pengadilan Pajak (UU Nomor 14 Tahun 2002). Definisi pengadilan pajak dijelaskan dalam Pasal 2, yaitu Pengadilan Pajak adalah badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi Wajib Pajak atau penanggung pajak yang mencari keadilan terhadap sengketa pajak. III KETENTUAN, KOMPETENSI, DAN PELAKSANAAN PENGADILAN PAJAK a. Dasar Hukum Pengadilan Pajak Sebagaimana diuraikan pada bab terdahulu, Pengadilan Pajak dibentuk melalui UU Nomor 14 Tahun 2002. Lembaga ini memiliki kewenangan untuk memutus perkara mengenai sengketa pajak. Pasal 1 butir 5 undang-undang ini menyebutkan pengertian sengketa pajak seperti di bawah ini: Sengketa pajak adalah sengketa yang timbul dalam bidang perpajakan antara Wajib Pajak atau penanggung pajak dengan Pejabat yang berwenang sebagai akibat dikeluarkannya keputusan yang dapat diajukan banding atau gugatan kepada Pengadilan Pajak berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan, termasuk gugatan atas pelaksanaan penagihan berdasarkan Undang-Undang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa. Pengadilan pajak merupakan pengadilan tingkat pertama sekaligus terakhir dalam memeriksa dan memutus sengketa pajak. Kewenangan pengadilan pajak tertera dalam Bab III tentang Kekuasaan Pengadilan Pajak. Pasal 31 menjelaskan sebagai berikut: 14

(1) Pengadilan Pajak mempunyai tugas dan wewenang memeriksa dan memutus sengketa pajak. (2) Pengadilan Pajak dalam hal banding hanya memeriksa dan memutus sengketa atas keputusan keberatan, kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku. (3) Pengadilan pajak dalam hal gugatan memeriksa dan memutus sengketa atas pelaksanaan penagihan pajak atau keputusan pembetulan atau keputusan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 dan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku. Selain yang tercantum dalam Pasal 31, Pengadilan Pajak juga mempunyai kewenangan lainnya sebagaimana diatur dalam Pasal 32 yang berbunyi sebagai berikut. (1) Selain tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31, Pengadilan Pajak mengawasi kuasa hukum yang memberikan bantuan hukum kepada pihak-pihak yang bersengketa dalam sidang-sidang Pengadilan Pajak. (2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dangan Keputusan Ketua. 15

Pengadilan Pajak juga berwenang memanggil pihak ketiga untuk keperluan pemeriksaan sebagaimana diatur dalam Pasal 33 ayat (2) yang bunyinya seperti di bawah ini: Untuk keperluan pemeriksaan sengketa pajak, Pengadilan Pajak dapat memanggil atau meminta data atau keterangan yang berkaitan dengan sengketa pajak dari pihak ketiga sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kekuasaan Pengadilan Pajak dalam memeriksa dan memutus sengketa pajak meliputi semua jenis sengketa pajak yang dipungut oleh Pemerintah Pusat, termasuk Bea Masuk dan Cukai, dan pajak yang dipungut oleh Pemerintah Daerah, berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku. Pada bagian Penjelasan UU Nomor 14 Tahun 2002, diuraikan bahwa Pengadilan Pajak yang diatur dalam ketentuan tersebut bersifat khusus menyangkut acara penyelenggaraan persidangan sengketa perpajakan. Hal-hal yang perlu diperhatikan berkaitan dengan kekhususan Pengadilan Pajak adalah sebagai berikut. 1. Sidang peradilan pajak pada prinsipnya dilaksanakan secara terbuka, namun dalam hal tertentu dam khusus guna menjaga kepentingan pemohon banding atau tergugat, sidang dapat dinyatakan tertutup, sedangkan pembacaan Pengadilan Pajak dilaksanakan dalam sidang yang terbuka untuk umum. 2. Penyelesaian sengketa perpajakan memerlukan tenaga-tenaga hakim khusus yang mempunyai keahlian di bidang perpajakan dan berijazah Sarjana Hukum atau sarjana lain. 16

3. Sengketa yang diproses dalam Pengadilan Pajak khusus menyangkut sengketa perpajakan. 4. Putusan Pengadilan Pajak memuat penetapan besarnya terutang dari Wajib Pajak, berupa hitungan secara teknis perpajakan, sehingga Wajib Pajak langsung memperoleh kepastian hukum tentang besarnya pajak terutang yang dikenakan kepadanya. Sebagai akibat jenis putusan Pengadilan Pajak, di samping jenisjenis putusan yang umum diterapkan pada peradilan umum, juga berupa mengabulkan sebagian, mengabulkan seluruhnya, atau menambah jumlah pajak yang masih harus dibayar. Dengan demikian, sebagai konsekuensi dari kekhususan tersebut di atas, UU Nomor 14 Tahun 2002 mengatur pula hukum acara tersendiri untuk menyelenggarakan Pengadilan Pajak. Perihal hukum acara ini diatur dalam Bab IV tentang Hukum Acara. b. Pelaksanaan Pengadilan Pajak di Indonesia Lahirnya UU Nomor 14 Tahun 2002 menimbulkan kesan adanya dualisme bahwa seolah-olah Pengadilan Pajak berada di luar kekuasaan kehakiman yang diatur dalam UU Nomor 14 Tahun 1970. Namun, hal tersebut dapat ditepis karena UU Nomor 14 Tahun 2002 secara jelas menyatakan bahwa Pengadilan Pajak merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman di bidang pemeriksaan dan pemutusan sengketa di bidang perpajakan. Kasus sengketa pajak yang sampai pada tingkat kasasi 17

menjadi kompetensi dari Ketua Muda Mahkamah Agung Bidang Perdata dan Tata Usaha Negara. Sesuai dengan ketentuan Pasal 3 UU Nomor 14 Tahun 2002 yang menyatakan bahwa, Dengan undang-undang ini dibentuk Pengadilan Pajak yang berkedudukan di ibukota Negara, maka Pengadilan Pajak hanya ada di ibukota Jakarta. Sama halnya dengan Tax Court di Amerika Serikat, yang hanya berkedudukan di Washington D.C. sebagai ibukota negara tersebut. Hal ini berlaku pula di lembaga peradilan pajak di negaranegara lainnya. Oleh karena karakteristiknya yang unik, maka sifat Pengadilan Pajak adalah tidak harus in persona (para pihak harus dihadirkan). Dalam Pengadilan Pajak yang diperiksa hanyalah dokumen, yaitu berupa laporan keuangan, rekening bank, data transaksi, mengenai omzet, dan sebagainya. Kedudukan Pengadilan Pajak yang hanya bertempat di Jakarta tidak menjadi penghalang bagi para wajib pajak dan fiskus yang berdomisili di luar Jakarta dan luar Pulau Jawa untuk dapat menyelesaikan sengketa pajak masing-masing. Hal ini didasarkan pada ketentuan Pasal 4 (1) UU Nomor 14 Tahun 2002 yang berbunyi, Sidang Pengadilan Pajak dilakukan di tempat kedudukannya dan apabila perlu dapat dilakukan di tempat lain. Sementara tempat sidang yang dimaksud dalam pasal tersebut ditetapkan oleh Ketua Pengadilan Pajak. Dengan demikian, sebagai contoh, bagi wajib pajak dan fiskus yang bersengketa di Makassar, Majelis Sidang Pengadilan Pajak dapat bersidang di kota tersebut. 18

Pelaksanaan Pengadilan Pajak belum sepenuhnya berjalan lancar. Pada September 2004, seorang pengusaha mengajukan permohonan uji materiil atau judicial review atas UU Nomor 14 Tahun 2002 kepada Mahkamah Konstitusi. Pemohon merasa dirugikan oleh beberapa ketentuan yang terdapat dalam undang-undang tersebut dan beberapa pasal ia anggap bertentangan dengan UUD 1945. Berdasarkan Pasal 36 ayat (4) UU Nomor 14 Tahun 2002 melanggar asas praduga tak bersalah. Pasal tersebut menentukan wajib pajak yang ingin mengajukan banding diharuskan terlebih dahulu membayar 50 persen dari jumlah pajak terutang. Kewajiban ini seolah-olah mengesankan bahwa wajib pajak sudah bersalah atau mengakui kesalahannya. Selain itu, menurutnya, Pengadilan Pajak merupakan bentuk penggabungan kekuasaan yudikatif di bawah legislatif. Ia berpendapat bahwa undang-undang ini memuat materi yang melegitimasi kekuasaan pemerintahan terhadap warga negara. Oleh karena itu, perlu ada kontrol atau pengawasan dari legislatif dan yudikatif terhadap pengadilan pajak. Hakim-hakim Pengadilan Pajak ia nilai belum diawasi secara baik sehingga warga negara selaku wajib pajak sering dikorbankan. Sebaiknya, ketergantungan hakim-hakim tersebut pada Menteri Keuangan harus diputus agar dapat independen dalam memutus sengketa pajak. Namun demikian, Mahkamah Konstitusi tetap memutuskan bahwa UU Nomor 14 Tahun 2002 tidak bertentangan dengan UUD 1945 baik 19

secara materiil maupun formil pembentukannya, sehingga undang-undang ini tetap berkuatan hukum mengikat. Putusan tentang ditolaknya permohonan uji materiil atas undang-undang tersebut disertai rekomendasi yang tertuang dalam dissenting opinion (pendapat berbeda) dari tiga orang hakim konstitusi yang menyatakan bahwa UU Nomor 14 Tahun 2002 bertentangan dengan UUD 1945. Tiga dari sembilan hakim konstitusi tersebut, yaitu Pengawasan terhadap Hakim-hakim Pengadilan Pajak Belum Berjalan, Abdul Mukhtie Fadjar, M. Laica Marzuki, dan Maruarar Siahaan merekomendasikan pembuat undang-undang untuk merevisi UU Nomor 14 Tahun 2002 agar sesuai dengan sistem kekuasaan kehakiman di bawah satu atap, sebagaimana diamanatkan oleh Amandemen UUD 1945. Demikianlah fakta-fakta yang terjadi seputar pelaksanaan Pengadilan Pajak di Indonesia dengan UU Nomor 14 Nomor 2002 sebagai dasar dan landasannya. Segala yang positif diharapkan dapat bertahan demi kemajuan dunia perpajakan tanah air. Sedangkan kekurangankekurangan yang masih ada diharapkan dapat terkoreksi seiring dengan sedang dibahasnya Rancangan Undang-Undang (RUU) Perpajakan yang baru oleh lembaga legislatif. IV Kesimpulan Dari pembahasan pada bab-bab terdahulu, hal-hal yang dapat disimpulkan dalam makalah ini adalah sebagai berikut. Dasar hukum bidang perpajakan Indonesia yang utama adalah Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata 20

Cara Perpajakan (UU Nomor 6 Tahun 1983) sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000. Sedangkan dasar hukum pembentukan dan pelaksanaan Pengadilan Pajak adalah Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak (UU Nomor 14 Tahun 2002). Selain itu Sejak 1959, pemerintah telah memiliki badan peradilan pajak, yaitu Majelis Pertimbangan Pajak (MPP) yang selanjutnya diganti dengan Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (BPSP) pada 1997. Akan tetapi, lembaga-lembaga tersebut belum merupakan badan peradilan yang berpuncak di Mahkamah Agung. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu badan peradilan pajak yang sesuai dengan sistem kekuasaan kehakiman yang berlaku di Indonesia sekaligus mampu menciptakan keadilan dan kepastian hukum dalam penyelesaian sengketa pajak, maka dibentuklah Pengadilan Pajak pada 2002. Pelaksanaan Pengadilan Pajak sebagai sebuah badan peradilan sengketa pajak yang independen belum sepenuhnya terwujud. Banyak pihak berpendapat, dasar hukum yang menjadi landasan Pengadilan Pajak belum memenuhi rasa keadilan masyarakat, dalam hal ini para wajib pajak. Selain itu, beberapa pasal juga dikhawatirkan belum sesuai dengan amanat UUD 1945. 21

DAFTAR PUSTAKA Arifien Sutrisno Dimensi-Dimensi Pemikiran Hukum Administrasi Negara. 2001. Yogyakarta : UII Press. Hal. 283 Handoko, Rukiah. Pengantar Hukum Pajak: Seri Buku Ajar. Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2000.. Eksistensi dan Kompetensi Pengadilan Pajak. Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia Bidang Kajian Hukum Pajak, 2003. Mardiasmo, Perpajakan edisi revisi 2006, Yogyakarta: Penerbit Andi Sjachran Basah. 1985 Eksistensi dan Tolok Ukur Badan Peradilan Administrasi di Indonesia Bandung : Alumni. Arifien Sutrisno dalam SF Ma ³ et al ). Dimensi-Dimensi Pemikiran Hukum Administrasi Negara. 2001. Yogyakarta : UII Press. Y. Sri Pudyatmoko. 2005 Pengadilan dan Penyelesaian Sengketa di Bidang Pajak. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang- Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, No. 9 Tahun 1994, LN No. 59 tahun 1994, TLN No. 3566. Undang-Undang tentang Pengadilan Pajak, No. 14 Tahun 2002 22