BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG MASALAH Indonesia adalah negara yang kaya akan gunung api dan merupakan salah satu negara yang terpenting dalam menghadapi masalah gunung api. Tidak kurang dari 30 gunung api aktif terdapat di Indonesia dengan lereng-lerengnya dipadati oleh pemukiman penduduk. 1 Salah satu gunung api yang terkenal paling aktif di Indonesia adalah gunung Merapi. Merapi sering menjadi pusat perhatian karena sangat aktif dan mempunyai frekuensi erupsi yang tinggi. Aktivitas Merapi yang sangat tinggi ini akan membawa ancaman bagi penduduk yang tinggal di sekitar lereng Merapi. Kategori bahaya pada letusan gunung api terdiri atas bahaya primer dan bahaya sekunder. Bahaya primer ini adalah bahaya yang dampaknya langsung menimpa penduduk ketika terjadi letusan, seperti awan panas dan lontaran material panas yang berasal dari dalam perut gunung. Awan panas yang muncul dari hasil erupsi Merapi pada dasarnya seperti badai yang terdiri dari gumpalan batu-batuan bercampur kerikil, pasir, abu, debu, asap, dan gas pijar yang sangat panas, yakni dengan temperatur antara 300-500 derajat celcius. Awan panas atau warga sekitar biasa menyebutnya dengan istilah wedhus gembel ini dapat meluncur dan menyebar dengan kecepatan mencapai 60 meter per detik atau 1 Triyoga, Lucas Sasongko, manusia Merapi dan Gunung Merapi, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1991. 1
sekitar 200 kilometer per jam. Sedangkan jangkauan dari awan panas ini dapat mencapai 5-12 kilometer dari kawah. 2 Sedangkan bahaya sekunder pada umumnya terjadi secara tidak langsung, biasanya terjadi pasca terjadi erupsi Merapi. Bahaya sekunder ini berupa banjir lahar dingin. Material lahar yang terkandung didalamnya adalah campuran antara lumpur pasir yang bercampur batu yang berasal dari timbunan vulkanik. 3 Ketika terjadi hujan, timbunan longsor itu akan mengalir melewati tempat yang lebih rendah. Karena sifat arus dari lahar ini cukup pekat dan terdiri dari material yang berat seperti bebatuan dengan volume yang sangat besar maka akan menghasilkan daya erosi yang sangat besar juga. Aliran lahar dapat bergerak tidak tentu arah, sehingga sangat membahayakan pemukiman disekitar sungai yang berhulu di Merapi. Oleh sebab itu, karena dampak dari bahaya primer maupun sekunder yang ditimbulkan dari proses erupsi itu sangat berbahaya, maka dampak dari hal tersebut penting untuk diperhatikan. Meskipun termasuk salah satu gunung yang aktif, dan membahayakan keselamatan warga, namun disisi lain gunung Merapi cukup berperan penting bagi kehidupan warga sekitar. Disekitar kawasan gunung Merapi ini dikelilingi oleh pemukiman yang padat penduduk. dilereng Merapi masih terdapat pemukiman sampai dengan ketinggian 1700 meter, dan hanya berjarak sekitar 4 km dari 2 http://entertainment.kompas.com/read/2010/10/30/0440394/erupsi.merapi.dan.kearifan.loka l. Di akses pada tanggal 28 Maret 2013. 3 http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2011/01/28/135521/mewaspadai- Bahaya-Sekunder-Merapi. Diakses pada 16 Juli 2013. 2
puncak Merapi. 4 Pemukiman ini sebagian besar berada di wilayah Kecamatan Cangkringan yakni Desa Glagaharjo, Kepuharjo, Umbulharjo, dan Argomulyo. Sebagian penduduk yang tinggal di lereng gunung Merapi menggantungkan hidupnya dari hasil menambang pasir dan memecah batu di sekitar aliran sungai yang berhulu di Merapi. Mata pencaharian lainnya yakni ada yang menjadi pengusaha penginapan, peternak, ada juga dari sektor perkebunan, pertanian, pengusaha kayu, buruh bangunan dan lain sebagainya. Namun sebagian besar mata pencaharian mereka mengandalkan hasil bumi atau memanfaatkan kekayaan alam yang bersumber dari Merapi. Wilayah sekitar gunung Merapi pada umumnya merupakan wilayah yang sangat subur untuk pertanian. Hasil erupsi yang berupa abu vulkanik tersebut yang membuat tanah sekitar Gunung Merapi menjadi subur. Hal ini juga yang menjadikan daya dukung lahan pertanian di Kawasan Rawan Bencana III (KRB III) gunung Merapi sangatlah tinggi. Maka wajar apabila wilayah yang paling rawan terhadap letusan Gunung Merapi ini menjadi padat penduduk dan bahkan pusat-pusat kegiatan juga berada pada wilayah ini. Selain mempunyai daya dukung dalam hal pertanian, perkebunan, maupun peternakan, di wilayah lereng Merapi juga mempunyai daya dukung pariwisata sehingga disana banyak berkembang villa maupun homestay. Lingkungan alam yang mempunyai pemandangan indah serta udara yang masih segar, menjadi daya pikat tersendiri dari para wisatawan. Dengan adanya tempat-tempat kegiatan semacam ini, maka tidak heran apabila warga Merapi juga menerima dampak 4 http://www.gamawisata.com/index.php/component/content/article/39-tempat-wisata/68- gunung-merapi. Diakses pada tanggal 8 Juli 2013. 3
positif dalam pertambahan jumlah pendapatan mereka. Namun disisi lain, kemudian apabila sewaktu-waktu aktivitas gunung Merapi mengalami peningkatan, maka daerah tersebut menjadi daerah yang memiliki potensi bahaya dan juga potensi resiko vulkanik yang ditimbulkan dari aktivitas erupsi gunung Merapi. Menurut Undang-undang nomor 24 tahun 2007, bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau nonalam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis. Dengan terjadinya erupsi Merapi pada tahun 2010 yang memakan banyak korban jiwa serta kerugian materi, maka pemerintah menetapkan kawasan rawan bencana gunung Merapi. Dalam upaya pemulihan korban yang dilakukan secara sinergis antara pemerintah, masyarakat muncul wacana mengenai relokasi korban bencana yang berada di lereng Merapi. Relokasi permukiman pasca erupsi Merapi adalah merupakan gagasan untuk menata ulang lokasi pemukiman di sekitar wilayah yang rawan bencana. Menata ulang pemukiman menjadi bagian dari upaya penanggulangan bencana untuk meminimalisasi korban apabila terjadi lagi bencana yang serupa di kemudian hari. 5 5 Adi Krisanto, Yakub.2011. Relokasi Korban Bencana: Legalistik vs Kultural-Historis (Kajian Penolakan Warga Lereng Merapi terhadap Kebijakan Relokasi). http://hukum.kompasiana.com/2011/07/10/relokasi-korban-bencana-legalistik-vs-kulturalhistoris-kajian-penolakan-warga-lereng-merapi-terhadap-kebijakan-relokasi/. Diakses pada 21 Mei 2012. 4
Penataan ulang didasarkan pada lokasi yang telah dikategorikan rawan bencana. Rawan bencana adalah kondisi karakteristik geologis, biologis, hidrologis, klimatologis, geografis, sosial, budaya, politik, ekonomi dan teknologi pada suatu wilayah untuk jangka waktu tertentu yang mengurangi kemampuan mencegah, meredam, mencapai kesiapan, dan mengurangi kemampuan untuk menanggapi dampak buruk bahaya tertentu. 6 Yang memicu gagasan untuk segera melakukan relokasi bagi warga yang berada di wilayah rawan bencana adalah karena kondisi rawan bencana dalam beberapa wilayah yang terkena bencana. 7 Penetapan Kawasan Rawan Bencana (KRB) Merapi pada 2010 mengakibatkan sejumlah desa masuk ke dalam klasifikasi kawasan tidak layak huni dan harus direlokasi. Peta KRB ini akan menjadi bahan untuk dipertimbangkan dan untuk dimasukkan ke dalam desain Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) daerah tertentu. Berbagai kebijakan akan ditempuh untuk memberikan legitimasi dalam melakukan relokasi bagi warga yang berada pada kawasan rawan bencana dalam suatu RTRW. Kebijakan relokasi telah dikeluarkan pemerintah DIY agar warga yang terdampak erupsi Merapi tertarik dan bersedia untuk direlokasi. Relokasi adalah merupakan bagian dari mekanisme penyelenggaraan penanggulangan bencana. Penyelenggaraan penangggulangan bencana adalah serangkaian upaya yang meliputi penetapan kebijakan pembangunan yang berisiko timbulnya bencana, kegiatan pencegahan bencana, tanggap darurat, dan 6 Pasal 1 angka 14 UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. 7 Maruli, Aditia. 2010. Relokasi Korban Mentawai-Merapi Harus Berdasarkan Peta Baru. http://www.antaranews.com/berita/1288927484/relokasi-korban-mentawai-merapi-harusberdasarkan-peta-baru. Diakses pada 15 April 2012. 5
rehabilitasi. 8 Dalam proses penyelenggaraan penanggulangan bencana, terdapat 3 aspek yang dicakup diantaranya adalah: 1. Penetapan kebijakan pemerintah mengenai resiko timbulnya bencana; 2. Kegiatan pencegahan; 3. Tanggap darurat; 4. Rehabilitasi. Relokasi adalah merupakan proses pemindahan dari lokasi yang tidak sesuai dengan peruntukannya kemudian dipindah ke lokasi baru yang sengaja disiapkan sesuai dengan rencana pembangunan tata kota. Sebagai bagian dari penyelenggaraan penanggulangan bencana, relokasi berada pada cakupan penetapan kebijakan pemerintah dan kegiatan pencegahan. Kebijakan pemerintah yang didesain untuk menjadi dasar di dalam melaksanakan relokasi adalah kawasan rawan bencana (KRB) dan kawasan Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM). Penentuan KRB dan TNGM akan dilakukan dengan peraturan perundang-undangan. Kedua dasar kebijakan tersebut pada akhirnya akan lebih membatasi kesempatan warga lereng Merapi untuk bertempat tinggal dan mendirikan bangunan di wilayah yang dinyatakan sebagai KRB atau TNGM. Kebijakan pemerintah yang didesain untuk melegitimasi relokasi memiliki dasar hukum yaitu Undang-Undang No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Pada pasal 32 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana menyatakan sebagai berikut; Dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana, Pemerintah dapat (a) menetapkan daerah rawan bencana menjadi 8 Pasal 1 angka 5 Undang-undang No. 24 Th 2007 Tentang Penanggulangan Bencana. 6
daerah terlarang untuk pemukiman; dan/atau (b) mencabut atau mengurangi sebagian atau seluruh hak kepemilikan setiap orang atas suatu benda sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Dalam prakteknya, proses relokasi ini kerap kali mengalami kendala dan permasalahan. Sering kali diberitakan baik di media cetak maupun elektronik tentang terjadinya pro dan kontra dalam penerimaan rencana tata ulang lahan tersebut, sehingga terjadi konflik yang kemudian berujung dengan terjadinya kericuhan seperti bentrok atau adu fisik antara masyarakat yang akan direlokasi dengan aparat keamanan maupun kelompok-kelompok kepentingan lainnya. Adanya penerimaan tanggapan atau respon yang berbeda dari masyarakat seperti setuju dan tidak setuju terhadap relokasi yang ditawarkan ini tidak hanya terjadi di lokasi yang aman, namun pada lokasi yang sudah ditetapkan menjadi daerah rawan bencanapun, pro kontra kerap kali terjadi. Permasalahan mengenai rencana pemerintah untuk merelokasi warga korban erupsi Merapi pada bulan November 2010 di Kabupaten Sleman, Provinsi DIY sampai sekarang juga masih menuai pro dan kontra dari masyarakat lereng Merapi. 9 Relokasi yang dimaksud disini adalah upaya Pemerintah Daerah dalam melaksanakan tanggung jawab dan wewenangnya dalam kegiatan penanggulangan bencana. Proses relokasi ini masuk dalam tahap tanggap darurat pasca bencana yang tertuang dalam Perda Kota Yogyakarta No. 3 Tahun 2011 tentang penanggulangan bencana Daerah. Selain warga yang setuju untuk direlokasi, tidak sedikit pula warga yang menyatakan menolak relokasi yang ditawarkan oleh pemerintah. Ada beberapa 9 http://news.detik.com/read/2011/07/05/144018/1674991/10/pengungsi-merapi-pro-kontrasoal-relokasi?nd771104bcj. Diakses pada 2 Mei 2012. 7
warga di dusun yang berada di lereng Merapi bersikeras menolak rencana relokasi. Dusun tersebut adalah dusun Kalitengah Lor, Kalitengah Kidul, dan Srunen. Meskipun pemerintah dengan tegas menyatakan bahwa kawasan tersebut tidak layak untuk digunakan menjadi hunian tetap, namun warga bersikeras untuk kembali membangun rumah di bekas lahan mereka yang hilang terkena awan panas. Bahkan terhitung hanya beberapa bulan pasca erupsi 2010 mereka menempati hunian sementara yang telah disediakan oleh pemerintah, kemudian mereka membangun kembali rumah mereka yang hilang tersapu awan panas. Relokasi korban bencana di lereng Merapi yang mendapatkan perlawanan dengan melakukan penolakan-penolakan. Masyarakat lereng Merapi menganggap bencana sebagai hal yang wajar, terutama dengan Merapi, karena sejak nenek moyang mereka sudah menghuni kawasan itu. Erupsi gunung Merapi pada November 2010 disebut-sebut sebagai letusan yang terbesar yang terjadi selama kurun waktu 100 tahun terakhir. Data dari BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana) pada 2010 melaporkan per 1 Desember 2010 erupsi Merapi pada tanggal 26 Oktober dan 5 November 2010 telah menimbulkan korban sebanyak 196 orang meninggal dunia akibat luka bakar terkena awan panas, 151 orang meninggal akibat non luka bakar, 258 luka-luka, serta sebanyak 410.338 orang harus mengungsi. 10 Dampak bahaya selain berasal dari yang tersebut diatas, hasil erupsi Merapi juga mempunyai dampak sekunder yakni banjir lahar dingin. Disekitar 10 BNPB. 2010. Laporan Harian Tanggap Darurat Gunung Merapi Tanggal 6 November 2010. http://www.bnpb.go.id/userfiles/laporan%20situasi%203%20desember%202010%281%29.pd f. Diakses pada 28 April 2012. 8
Merapi, area yang terdampak erupsi lahar dingin di kawasan gunung Merapi terdiri atas kawasan taman nasional gunung Merapi. Taman nasional gunung merapi diperuntukkan sebagai kawasan lindung. Area terdampak langsung satu dan dua (area yang terdampak erupsi gunung Merapi yang berupa awan panas dan material panas yang berasal dari dalam gunung) berdampak pada manusia, permukiman dan infrastruktur yang tidak dapat diidentifikasi yang akan diperuntukkan sebagai hutan lindung/pengembangan taman nasional serta bebas dari permukiman; kawasan rawan bencana III yang peruntukannya sebagai hutan lindung/pengambangan taman nasional dengan catatan enclave permukiman (living in harmony with disaster/zero growth); kawasan rawan bencana (KRB) II yang peruntukannya diatur sebagai permukiman dengan lokasi ditetapkan sesuai arahan RTRW/RRTR dan dikendalikan secara ketat (high control); dan kawasan rawan bencana (KRB) I adalah kawasan yang berpotensi terlanda lahar dingin. Melihat dari adanya respon yang berbeda-beda yang ditunjukkan oleh setiap masyarakat yang berada di kawasan rawan bencana Gunung Merapi terhadap kebijakan relokasi yang ditawarkan oleh pemerintah, maka hal ini yang menarik untuk diteliti lebih jauh tentang kondisi yang sebenarnya terjadi di kawasan tersebut. 9
1.2 RUMUSAN MASALAH Dengan penjelasan yang telah dipaparkan pada latar belakang masalah bahwa di Desa Glagaharjo terdapat perbedaan sikap yang ditunjukkan oleh masyarakat didalam merespon sebuah kebijakan, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: Mengapa muncul respon yang berbeda antar kelompok sasaran dalam pelaksanaan kebijakan relokasi pada Kawasan Rawan Bencana (KRB ) di Desa Glagaharjo? 1.3 TUJUAN PENELITIAN Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk menemukan sebab munculnya perbedaan respon pro dan kontra dalam menanggapi kebijakan relokasi pada kelompok sasaran kebijakan relokasi pada kawasan rawan bencana masyarakat Desa Glagaharjo. 1.4 MANFAAT PENELITIAN Manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini adalah: 1. Untuk peneliti, penelitian ini bermanfaat untuk membuka wawasan mengenai sebab dari adanya perbedaan respon antar kelompok sasaran kebijakan relokasi yang berada pada kawasan rawan bencana III khususnya pada masyarakat yang berada di desa Glagaharjo. 2. Untuk pemerintah, penelitian ini diharapkan dapat menambah referensi dan bahan pertimbangan bagi para pengambil kebijakan didalam 10
menerapkan sebuah kebijakan untuk masyarakat agar lebih baik, dapat dimengerti dan diterima oleh masyarakat sebagai sasaran kebijakan. 3. Untuk masyarakat, penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam menambah wawasan masyarakat mengenai kebijakan relokasi pada kawasan rawan bencana yang dilakukan oleh pemerintah. 11