BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pendukung utama bagi tercapainya sasaran pembangunan manusia yang bermutu adalah pendidikan yang bermutu (Nurihsan, 2005). Pendidikan yang bermutu menurut penulis adalah pendidikan yang mampu mengembangkan kemampuan peserta didik menjadi pribadi yang bisa memberikan sumbangan besar pada suatu perubahan yang lebih maju bagi diri sendiri maupun orang lain. Pendidikan yang bermutu tidak cukup hanya dicapai melalui transformasi ilmu pengetahuan dan teknologi, tapi juga harus didukung oleh peningkatan profesionalisasi dan sistem manajemen pendidik. Pendidik adalah tenaga kependidikan yang berkualifikasi sebagai guru, dosen, konselor, pamong belajar, widyaiswara, tutor, instruktur, fasilitator, dan sebutan lain yang sesuai kekhususannya, serta berpartisipasi dalam menyelenggarakan pendidikan (Bab I, pasal 1 ayat 6 UU Sisdiknas 2003). Dalam Rambu-Rambu Penyelenggaraan Bimbingan dan Konseling dalam Jalur Pendidikan Formal (2008) dipaparkan bahwa unit bimbingan dan konseling merupakan bagian yang terintegrasi dari suatu sistem pendidikan. Bimbingan dan konseling merupakan suatu profesi yang bersifat membantu dan muncul dalam proses pendidikan. Bimbingan dan konseling harus memberikan sumbangan bagi dunia pendidikan nasional 1
serta kehidupan masyarakat dan bangsa pada umumnya. Kebutuhan sekolah akan bimbingan dan konseling semakin terasa karena adanya masalah di dalam dunia pendidikan khususnya pendidikan formal. Masalah bisa dialami oleh siapa saja yang berada di dalam suatu lembaga pendidikan formal dan saat itulah unit bimbingan dan konseling bisa melakukan intervensi untuk menolong konseli yang bermasalah melalui layanan bimbingan dan konseling. Layanan bimbingan dan konseling di sekolah sebagian besar melayani peserta didik yang membutuhkan pertolongan. Kebutuhan dan masalah yang dihadapi peserta didik setiap saatnya berubah, hal tersebut menuntut layanan bimbingan dan konseling yang diberikan seharusnya tidak sama dari tahun ke tahun. Program bimbingan dan konseling yang berisi layanan bimbingan dan konseling harus terus diperbarui, supaya relevan diberikan kepada peserta didik atau warga sekolah lainnya yang membutuhkan pertolongan. Layanan bimbingan dan konseling yang tidak disesuaikan dengan kebutuhan, justru akan menghancurkan profesi bimbingan dan konseling itu sendiri. Saat ini tidak jarang layanan bimbingan dan konseling tidak sejalan dengan kebutuhan peserta didik dan tujuan dari program bimbingan konseling sendiri sering tidak tercapai. Faktor-faktor yang menyebabkan adanya permasalahan dalam layanan bimbingan dan konseling beraneka macam. Bisa dari pribadi guru pembimbing sendiri, program bimbingan yang tidak relevan, kurangnya 2
fasilitas pendukung dalam pelaksanaan program bimbingan dan konseling dari pihak sekolah. Berkaitan dengan pemikiran tersebut maka lembaga pendidikan membutuhkan pengarahan dan supervisi dalam mengelola suatu program layanan bimbingan dan konseling yang berisi layanan Bimbingan dan Konseling. Program bimbingan adalah suatu rangkaian kegiatan bimbingan yang terencana, terorganisasi, dan terkoordinasi selama periode tertentu, misalnya satu tahun ajaran (Winkel dan Hastuti, 2006). Rangkaian kegiatan dalam program bimbingan dan konseling terwujud dalam layanan bimbingan dan konseling. Nursalim (2002) mengatakan bahwa suatu kegiatan bimbingan dan konseling disebut layanan apabila kegiatan tersebut dilakukan melalui kontak langsung dengan sasaran (konseli). Buchori (dalam Badjuraman, 2011) mengemukakan bahwa tenaga guru pembimbing belum mendapatkan tempat (posisi) yang layak di kebanyakan sekolah. Guru pembimbing dijauhi siswanya karena dipandang sebagai polisi sekolah. Tidak hanya siswa, guru mata pelajaran juga seringkali memiliki persepsi yang kurang baik pada guru pembimbing dan bidang bimbingan itu sendiri. Bahkan tidak jarang bimbingan dan konseling hanya merupakan komponen pelengkap yang memang harus ada di sekolah sebagai persyaratan administrasi. Sekarang guru pembimbing belum mampu mengoptimalisasikan tugas dan fungsinya dalam memberikan pelayanan terhadap siswa yang menjadi 3
tanggungjawabnya. Hal yang terjadi malah guru pembimbing ditugasi mengajarkan salah satu mata pelajaran seperti Bahasa Indonesia, Kesenian, dan mata pelajaran lainnya. Guru Pembimbing merangkap pustakawan, pengumpul dan pengolah nilai siswa pada kelas tertentu serta berfungsi sebagai guru piket dan guru pengganti bagi guru mata pelajaran yang berhalangan hadir. Saat ini program bimbingan dan konseling tidak hanya menjamin bahwa peran dan tanggung jawab para guru pembimbing menjadi jelas, namun juga bahwa sebuah sistem di suatu tempat menjamin bahwa para guru pembimbing mempunyai kompetensi-kompetensi yang diperlukan untuk melaksanakan peran-peran yang diharapkan (Gysbers & Henderson, 2006). Sehubungan dengan hal ini, pengawasan dan pengendalian terhadap layanan bimbingan dan konseling diperlukan untuk mengoptimalkan sistem layanan bimbingan dan konseling di sekolah. Unit bimbingan dan konseling membutuhkan supervisi terhadap program yang dilaksanakan. Layanan bimbingan dan konseling yang profesional dan akuntabel dapat terwujud dengan tidak lepas dari suatu proses supervisi dalam layanan bimbingan dan konseling. Berdasarkan hasil wawancara dengan Zulfa, S.Psi guru pembimbing SMK N 3 Salatiga, mengungkapkan bahwa supervisi layanan bimbingan dan konseling di SMK N 3 Salatiga oleh Kepala Sekolah 4
belum pernah ada. Zulfa, S.Psi mengungkapkan Kepala Sekolah hanya melakukan supervisi pada proses pembelajaran oleh para guru yang dipandang lebih mudah untuk disupervisi. Penyebab utama supervisi oleh kepala sekolah terhadap unit bimbingan dan konseling tidak berjalan yaitu karena kepala sekolah kurang memahami program pelayanan serta belum mampu memfasilitasi kegiatan bimbingan dan konseling di sekolah. Selanjutnya, berdasarkan hasil wawancara dengan Andang, S.Pd selaku guru pembimbing di SMA N 1 Salatiga dan Dra. M.A Asri Widiarsih selaku guru pembimbing SMK Kristen T dan I Salatiga diketahui bahwa unit bimbingan dan konseling belum pernah mendapatkan supervisi dari pengawas atau supervisor khusus bimbingan dan konseling. Andang, S.Pd dan Dra. M.A Asri Widiarsih mengungkapkan hal yang sama, bahwa pernah mendapatkan pengawasan secara umum bersamaan dengan unit sekolah lainnya namun secara khusus oleh kepala sekolah terhadap unit bimbingan dan konseling belum pernah ada. Berbeda dengan hasil wawancara dengan Ika Dwi Nurhayu, S.Pd, guru pembimbing SMA Kristen 1 Salatiga ini mengungkapkan bahwa di sekolahnya ada supervisi untuk unit bimbingan dan konseling oleh Kepala Sekolah dan Pengawas Disdikpora. Dalam Permendiknas No 13 tahun 2003 tertulis bahwa salah satu kompetensi Kepala Sekolah adalah Supervisor. Abimanyu dalam artikelnya yang berjudul Supervisi Bimbingan dan Konseling di Sekolah (dalam kumpulan makalah ABKIN, 2005) mengungkapkan bahwa 5
supervisor bimbingan dan konseling dapat menjalankan fungsinya apabila memiliki beberapa kompetensi seperti kemampuan dalam kepemimpinan, kemampuan dalam hubungan manusia, kompetensi dalam proses kelompok, kemampuan dalam administrasi personel, kemampuan dalam bimbingan dan konseling dan kemampuan dalam evaluasi. Terjadi persepsi dan pandangan yang keliru dari personil sekolah terhadap tugas dan fungsi guru pembimbing, sehingga tidak terjalin kerja sama sebagaimana yang diharapkan dalam organisasi bimbingan dan konseling. Kondisi-kondisi seperti di atas, nyaris terjadi pada setiap sekolah di Indonesia. Supervisi layanan bimbingan dan konseling diperlukan guna mengontrol kualitas yang direncanakan, mengontrol kegiatan-kegiatan dari para personel bimbingan. Supervisi berperan lebih dari sekedar mengontrol dan mengawasi namun diharapkan dapat melihat secara tajam guna peningkatan mutu suatu layanan bimbingan dan konseling. Layanan bimbingan dan konseling di sekolah bisa ditentukan kualitasnya dari supervisi yang dilakukan oleh Kepala Sekolah, seperti Boyd (1978) mengemukakan bahwa secara khusus supervisi memiliki tujuan dan fungsi untuk mengawasi (overseeing) atau meneliti kinerja guru pembimbing melalui seperangkat aktivitas di mana di dalamnya terdapat kegiatan konsultasi, konseling, pelatihan, pengajaran dan evaluasi. Supervisi merupakan salah satu tahap penting dalam menajemen program bimbingan. Supervisi dilakukan dengan tujuan secara umum 6
meningkatkan kualitas maupun kemajuan kegiatan bimbingan dan konseling di sekolah. Layanan bimbingan dan konseling membutuhkan supervisi dan selama ini kegiatan bimbingan dan konseling tidak mendapat supervisi secara khusus dari Kepala Sekolah maupun dari Supervisor ahli bimbingan dan konseling. Penulis tertarik untuk meneliti pelaksanaan supervisi layanan bimbingan dan konseling oleh Kepala Sekolah di Sekolah Menengah Atas dan Sekolah Menengah Kejuruan di Salatiga. 1.2 Rumusan Masalah Bagaimana pelaksanaan supervisi layanan bimbingan dan konseling oleh Kepala sekolah di SMA dan SMK di Salatiga? 1.3 Tujuan Penelitian Merujuk pada rumusan masalah di atas, maka yang ingin dicapai melalui penelitian ini adalah : Mengetahui pelaksanaan supervisi layanan bimbingan dan konseling oleh Kepala Sekolah di SMA dan SMK di Salatiga. 1.4 Manfaat Penelitian Secara teoretis/akademis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya pengetahuan mengenai pelaksanaan supervisi layanan bimbingan dan konseling oleh Kepala Sekolah yang menjadi bagian dari 7
supervisi pendidikan scara umum, di mana selama ini kepustakaan yang berisi tentang supervisi terhadap unit BK masih sangat minim. Selanjutnya, hasil penelitian ini bisa menjadi bahan masukan bagi pihak-pihak yang berminat untuk menindaklanjuti penelitian ini berdasarkan perkembangan teori supervisi bimbingan dan konseling yang dipaparkan oleh Boyd (1978). Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan khususnya bagi pelaksanaan supervisi di sekolah agar lebih memperhatikan kegiatan layanan bimbingan dan konseling. Selain itu, melalui hasil penelitian ini sekolah mampu menyediakan supervisor/pengawas professional. 8