I. PENDAHULUAN. Pelaku tindak pidana pada umumnya berusaha menyembunyikan atau

dokumen-dokumen yang mirip
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

RANCANGAN PENJELASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

1.4. Modul Mengenai Pengaturan Pemberantasan Pencucian Uang Di Indonesia

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2010 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2010 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 25 TAHUN 2003

Perpustakaan LAFAI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2010 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2010 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2010 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG (Undang Undang RI Nomor 15 Tahun 2002 tanggal 17 April ) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

I. UMUM. Perubahan dalam Undang-Undang ini antara lain meliputi:

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG NOMOR 08 TAHUN 2010 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG [LN 2010/122, TLN 5164]

REZIM ANTI PENCUCIAN UANG DI INDONESIA

MENGENALI PROSES PENCUCIAN UANG (MONEY LAUNDERING) DARI HASIL TINDAK PIDANA. Oleh: Muhammad Fuat Widyaiswara Utama pada Pusat

UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG [LN 2002/30, TLN 4191]

2016, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, T

KUASA HUKUM Adardam Achyar, S.H., M.H., dkk berdasarkan surat kuasa khusus tanggal 7 Agustus 2014.

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 25 TAHUN 2003 (25/2003) TENTANG

PENANGANAN KEJAHATAN ALIRAN DANA PERBANKAN, KORUPSI DAN PENCUCIAN UANG. Oleh : Yenti Garnasih

BAB I PENDAHULUAN. kemajuan di bidang komunikasi dan informasi dalan era globalisasi ini telah

ABSTRAK KOORDINASI PENYIDIKAN ANTARA PPATK DAN KPK DALAM PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG. Oleh: Abi Hussein

Muhammad Nur Jamaluddin (MNJ) Jawablah pertanyaan dibawah ini!

I. PENDAHULUAN. nyata. Seiring dengan itu pula bentuk-bentuk kejahatan juga senantiasa mengikuti perkembangan

TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DAN PEMBUKTIAN TERBALIK Disusun Oleh Riono Budisantoso (PPATK) dan Yunus Husein (Mantan Ka PPATK)

Modul E-Learning 1. Modul bagian pertama yaitu Pengenalan Pencucian Uang bertujuan untuk menjelaskan:

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Di Indonesia dalam rangka memerangi tindak pidana pencucian uang

BAB I PENDAHULUAN. adalah keseluruhan kumpulan peraturan-peraturan atau kaidah-kaidah dalam suatu

I. PENDAHULUAN. meningkatkan risiko karena dengan semakin beragamnya instrumen/produk keuangan

I. PENDAHULUAN. Tindak pidana pencucian uang pada awalnya diatur dalam Undang-Undang. Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak

BAB I PENDAHULUAN. perorangan saja, akan tetapi juga bisa terdapat pada instansi-instansi swasta dan

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

Koordinasi & Rentang Manajemen

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 13 Mei Agustus 2013

Peranan Pusat Pelaporan dan Analis Transaksi Keuangan (PPATK) Dalam Pemberantasan Money Laundry. Amir Ilyas

2013, No.50 2 Mengingat c. bahwa Indonesia yang telah meratifikasi International Convention for the Suppression of the Financing of Terrorism, 1999 (K

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 50 TAHUN 2011 TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN KEWENANGAN PUSAT PELAPORAN DAN ANALISIS TRANSAKSI KEUANGAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2015 TENTANG PIHAK PELAPOR DALAM PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

PENEGAKAN HUKUM. Bagian Kedelapan, Permintaan Keterangan Kepada PPATK (Berdasarkan Informasi PPATK

BAB IV PENUTUP. diajukan dalam tesis dapat disimpulkan sebagai berikut :

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 50 TAHUN 2011 TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN KEWENANGAN PUSAT PELAPORAN DAN ANALISIS TRANSAKSI KEUANGAN

BAB I PENDAHULUAN. Era modernisasi saat ini, kejahatan sering melanda disekitar lingkungan

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 50 TAHUN 2011 TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN KEWENANGAN PUSAT PELAPORAN DAN ANALISIS TRANSAKSI KEUANGAN

BAB I PENDAHULUAN. pesat. Ilmu pengetahuan dan teknologi memegang peranan penting dalam

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 50 TAHUN 2011 TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN KEWENANGAN PUSAT PELAPORAN DAN ANALISIS TRANSAKSI KEUANGAN

I. PENDAHULUAN. Tindak pidana korupsi merupakan permasalahan yang muncul sejak berdirinya

2013, No.50 2 Mengingat c. bahwa Indonesia yang telah meratifikasi International Convention for the Suppression of the Financing of Terrorism, 1999 (K

Lex et Societatis, Vol. IV/No. 7/Juli/2016

BPK: ADA INDIKASI VANATH KORUPSI

PUSAT PELAPORAN DAN ANALISIS TRANSAKSI KEUANGAN DALAM MENCEGAH DAN MEMBERANTAS TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG SULAIMAN BAKRI / D ABSTRAK

BAB 1 PENDAHULUAN. kejahatan dirasa sudah menjadi aktivitas yang tidak bisa dilepaskan dari kehidupan

1. Beberapa rumusan pidana denda lebih rendah daripada UU Tipikor

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENDANAAN TERORISME

I. PENDAHULUAN. perhatian dunia sejak perang dunia kedua berakhir. Di Indonesia sendiri fenomena

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Korupsi merupakan tindakan yang dapat menimbulkan kerugian bagi keuangan

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Oleh : Putu Kartika Sastra Gde Made Swardhana Ida Bagus Surya Darmajaya. Bagian Pidana Fakultas Hukum Universitas Udayana

I. PENDAHULUAN. Para ahli Teknologi Informasi pada tahun 1990-an, antara lain Kyoto Ziunkey,

PUSDIKLAT KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA (MONEY LAUNDERING)

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2013 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENDANAAN TERORISME

II. TINJAUAN PUSTAKA. Setiap penegak hukum mempunyai kedudukan (status) dan peranan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. Tindak pidana korupsi yang diikuti dengan Tindak pidana pencucian uang

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2013 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENDANAAN TERORISME

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, yang kemudian

BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DALAM UNDANG- UNDANG NO. 8 TAHUN 2010

PEMBAHASAN RANCANGAN UNDANG - UNDANG TENTANG PERAMPASAN ASET * Oleh : Dr. Ramelan, SH.MH

SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 27 /POJK.03/2016 TENTANG PENILAIAN KEMAMPUAN DAN KEPATUTAN BAGI PIHAK UTAMA LEMBAGA JASA KEUANGAN

BAB IV PENUTUP. Tinjauan hukum..., Benny Swastika, FH UI, 2011.

2 lembaga keuangan mikro, dan lembaga pembiayaan ekspor sebagai Pihak Pelapor; dan 2. menyatakan advokat, notaris, pejabat pembuat akta tanah, akuntan

Mutual Legal Assistance. Trisno Raharjo

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PASAL DEMI PASAL. Pasal 1 Cukup jelas.

BAB I PENDAHULUAN. uang. Begitu eratnya kaitan antara praktik pencucian uang dengan hasil hasil kejahatan

BAB I PENDAHULUAN. istilah pencucian uang. Sutan Remi Sjahdeini menggaris bawahi, dewasa ini

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, sehingga harus diberantas 1. hidup masyarakat Indonesia sejak dulu hingga saat ini.

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I

I. PENDAHULUAN. kebebasan, baik yang bersifat fisik maupun pikiran. Oleh karena itu, Undang-Undang Dasar

I. PENDAHULUAN. kemajuan dalam kehidupan masyarakat, selain itu dapat mengakibatkan perubahan kondisi sosial

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2012 TENTANG KOMITE KOORDINASI NASIONAL PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

I. PENDAHULUAN. Hakekat pembangunan nasional adalah membangun seluruh manusia Indonesia

I. PENDAHULUAN. Fenomena penyalahgunaan dan peredaran narkotika merupakan persoalan

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA Pusat Pelaporan Dan Analisis Transaksi Keuangan. Pertukaran. Informasi.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Transkripsi:

1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pelaku tindak pidana pada umumnya berusaha menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan yang merupakan hasil dari tindak pidana dengan berbagai cara agar harta kekayaan hasil tindak pidananya susah ditelusuri oleh aparat penegak hukum sehingga dengan leluasa memanfaatkan Harta kekayaan tersebut baik untuk kegiatan yang sah maupun tidak sah. Tindak pidana pencucian uang tidak hanya mengancam stabilitas dan integritas sistem perekonomian dan sistem keuangan, tetapi juga dapat membahayakan sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pelaku dan hasil tindak pidana dalam konsep anti pencucian uang, dapat diketahui melalui penelusuran untuk selanjutnya hasil tindak pidana tersebut dirampas untuk negara atau dikembalikan kepada yang berhak. Apabila harta kekayaan hasil tindak pidana yang dikuasai oleh pelaku atau organisasi kejahatan dapat disita atau dirampas, dengan sendirinya dapat menurunkan tingkat kriminalitas. Untuk itu upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang memerlukan landasan hukum yang kuat untuk menjamin kepastian hukum,

2 efektifitas penegakan hukum serta penelusuran dan pengembalian harta kekayaan hasil tindak pidana. 1 Penelusuran harta kekayaan hasil tindak pidana pada umumnya dilakukan oleh lembaga keuangan melalui mekanisme yang diatur dalam peraturan perundang- Undangan. Lembaga keuangan memiliki peranan penting khususnya dalam menerapkan prinsip mengenali Pengguna Jasa dan melaporkan Transaksi tertentu kepada otoritas (financial intelligence unit) sebagai bahan analisis dan untuk selanjutnya disampaikan kepada penyidik. 2 Lembaga keuangan tidak hanya berperan dalam membantu penegakan hukum, tetapi juga menjaga dirinya dari berbagai risiko, yaitu risiko operasional, hukum, terkonsentrasinya transaksi, dan reputasi karena tidak lagi digunakan sebagai sarana dan sasaran oleh pelaku tindak pidana untuk mencuci uang hasil tindak pidana. Dengan pengelolaan risiko yang baik, lembaga keuangan akan mampu melaksanakan fungsinya secara optimal sehingga pada gilirannya sistem keuangan menjadi lebih stabil dan terpercaya. 3 Tindak pidana pencucian uang dalam perkembangannya semakin kompleks, melintasi batas-batas yurisdiksi, dan menggunakan modus yang semakin variatif, memanfaatkan lembaga di luar sistem keuangan, bahkan telah merambah ke berbagai sektor. Pemerintah dalam mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang perlu dilakukan kerja sama regional dan internasional melalui 1 Ferry Aries Suranta, Peranan PPATK Dalam Mencegah Terjadinya Praktik Money Laundering, Jakarta: Gramata Publishing, 2010, hlm. 64 2 Ibid. 3 Ibid.

3 forum bilateral atau multilateral agar intensitas tindak pidana yang menghasilkan atau melibatkan Harta Kekayaan yang jumlahnya besar dapat diminimalisasi. 4 Penanganan tindak pidana Pencucian Uang di Indonesia yang dimulai sejak disahkannya Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 25 Tahun 2003 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, telah menunjukkan arah yang positif. Hal itu, tercermin dari meningkatnya kesadaran dari pelaksana Undang-Undang tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, seperti penyedia jasa keuangan dalam melaksanakan kewajiban pelaporan, Lembaga Pengawas dan Pengatur dalam pembuatan peraturan, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dalam kegiatan analisis, dan penegak hukum dalam menindaklanjuti hasil analisis hingga penjatuhan sanksi pidana dan/atau sanksi administratif. 5 Upaya yang dilakukan tersebut dirasakan belum optimal, antara lain karena peraturan perundang-undangan yang ada ternyata masih memberikan ruang timbulnya penafsiran yang berbeda-beda, adanya celah hukum, kurang tepatnya pemberian sanksi, belum dimanfaatkannya pergeseran beban pembuktian, keterbatasan akses informasi, sempitnya cakupan pelapor dan jenis laporannya, serta kurang jelasnya tugas dan kewenangan dari para pelaksana Undang-Undang ini. 4 Ferry Aries Suranta, Op. Cit, hlm. 65 5 Ibid.

4 Pemerintah dalam rangka untuk memenuhi kepentingan nasional dan menyesuaikan standar internasional, maka disahkan Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang sebagai pengganti Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 25 Tahun 2003 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Pencucian uang dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, dibedakan dalam tiga tindak pidana, yaitu: 1. Pertama, tindak pidana pencucian uang aktif sebagaimana diatur dalam Pasal 3 Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, yaitu setiap orang yang menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan uang uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan. 2. Kedua, tindak pidana pencucian uang pasif sebagaimana diatur dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang yang dikenakan kepada setiap orang yang menerima atau menguasai penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, penukaran, atau menggunakan

5 Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1). Hal tersebut dianggap juga sama dengan melakukan pencucian uang, namun dikecualikan bagi Pihak Pelapor yang melaksanakan kewajiban pelaporan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini. 3. Ketiga, dalam Pasal 4 Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, dikenakan pula bagi mereka yang menikmati hasil tindak pidana pencucian uang yang dikenakan kepada setiap Orang yang menyembunyikan atau menyamarkan asal usul, sumber lokasi, peruntukan, pengalihan hak-hak, atau kepemilikan yang sebenarnya atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Hal ini pun dianggap sama dengan melakukan pencucian uang. Sanksi bagi pelaku tindak pidana pencucian uang adalah cukup berat, yakni dimulai dari hukuman penjara paling lama maksimum 20 tahun, dengan denda paling banyak 10 miliar rupiah. Hasil Tindak Pidana Pencucian Uang berdasarkan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang adalah Harta Kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana: a. korupsi; b. penyuapan; c. narkotika; d. psikotropika; e. penyelundupan tenaga kerja;

6 f. penyelundupan migran; g. di bidang perbankan; h. di bidang pasar modal; i. di bidang perasuransian; j. kepabeanan; k. cukai; l. perdagangan orang; m. perdagangan senjata gelap; n. terorisme; o. penculikan; p. pencurian; q. penggelapan; r. penipuan; s. pemalsuan uang; t. perjudian; u. prostitusi; v. di bidang perpajakan; w. di bidang kehutanan; x. di bidang lingkungan hidup; y. di bidang kelautan dan perikanan; atau z. tindak pidana lain yang diancam dengan pidana penjara 4 (empat) tahun atau lebih, yang dilakukan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia atau di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan tindak pidana tersebut juga merupakan tindak pidana menurut hukum Indonesia. Selain itu, termasuk pula Harta Kekayaan yang diketahui atau patut diduga akan digunakan dan/atau digunakan secara langsung atau tidak langsung untuk kegiatan terorisme, organisasi terorisme, atau teroris perseorangan disamakan sebagai hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf n Pasal 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) (Indonesian Financial Transaction Reports and Analysis Center/INTRAC) sebagaimana dimandatkan dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, merupakan lembaga independen di bawah Presiden Republik Indonesia yang mempunyai tugas mencegah dan

7 memberantas tindak pidana pencucian uang serta mempunyai fungsi sebagai berikut: a. Pencegahan dan pemberantasan tindak pidana Pencucian Uang; b. Pengelolaan data dan informasi yang diperoleh PPATK; c. Pengawasan terhadap kepatuhan Pihak Pelapor; dan d. Analisis atau pemeriksaan laporan dan informasi Transaksi Keuangan yang berindikasi tindak pidana Pencucian Uang dan/atau tindak pidana lain. Koordinasi antar lembaga negara dalam pemberantasan tindak pidana pencucian uang sangat perlu dilakukan. PPATK dalam melaksanakan tugas dan fungsinya untuk memberantas tindak pidana pencucian uang sangat memerlukan koordinasi yang erat dengan lembaga penegak hukum lain khususnya adalah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Koordinasi antara PPATK dengan KPK disebabkan karena berdasarkan Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang menyatakan bahwa hasil tindak pidana pencucian uang yang pertama adalah uang hasil tindak pidana korupsi. Hampir semua uang hasil tindak pidana korupsi dilakukan pencucian uang oleh pelakunya, oleh karena itu maka sangat penting koordinasi antara PPATK dengan KPK. Contoh kasus korupsi yang di dalamnya terdapat pula unsur tindak pidana pencucian uang dapat dilihat pada kasus korupsi SKK Migas dengan tersangka Rudi Rubiandini, kasus korupsi Simulator SIM dengan tersangka Djoko Susilo dan masih banyak kasus korupsi lainnya.

8 Penandatangan perjanjian kerja sama atau MoU mengenai koordinasi antara PPATK dengan KPK dalam pemberantasan tindak pidana korupsi dan pencucian uang telah dilakukan pada hari Jumat tanggal 11 Februari 2011 sebagai tindak lanjut disahkannya Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Hal-hal yang diatur dalam perjanjian kerja sama ini meliputi pertukaran informasi, perumusan produk hukum, penanganan perkara tindak pidana korupsi dan pencucian uang, penelitian, serta pengembangan sistem IT. Berdasarkan uraian di atas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul, Koordinasi Penyidikan Antara PPATK dan KPK Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. B. Permasalahan dan Ruang Lingkup Penelitian 1. Permasalahan Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah: a. Bagaimanakah koordinasi penyidikan antara PPATK dan KPK dalam pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang? b. Apakah faktor-faktor penghambat koordinasi penyidikan antara PPATK dan KPK dalam pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang?

9 2. Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup dari penelitian ini adalah kajian bidang Hukum Pidana pada umumnya dan khususnya mengenai koordinasi penyidikan antara PPATK dan KPK dalam pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Penelitian dilakukan pada tahun 2014. C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan Penelitian Sesuai dengan permasalahan yang akan dibahas, maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk: a. Mengetahui koordinasi penyidikan antara PPATK dan KPK dalam pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. b. Mengetahui faktor-faktor penghambat koordinasi penyidikan antara PPATK dan KPK dalam pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. 2. Kegunaan Penelitian Berdasarkan permasalahan yang akan dibahas, kegunaan penelitian ini, yaitu: a. Kegunaan teoritis, yaitu berguna sebagai sumbangan pemikiran dalam upaya pengembangan wawasan pemahaman di bidang ilmu Hukum Pidana, khususnya mengenai pemberantasan tindak pidana pencucian uang. b. Kegunaan praktis, yaitu sebagai saran dan masukan kepada aparat penegak hukum khususnya dalam koordinasi penyidikan antara PPATK dan KPK dalam Tindak Pidana Pencucian Uang.

10 D. Kerangka Teoritis dan Konseptual 1. Kerangka Teoritis Kerangka teoritis adalah konsep yang merupakan abstraksi dari hasil pemikiran atau kerangka acuan yang ada pada dasarnya bertujuan untuk mengadakan identifikasi terhadap dimensi-dimensi sosial yang dianggap relevan oleh peneliti. 6 koordinasi menurut T. Hani Handoko adalah proses pengintegrasian tujuan-tujuan dan kegiatan-kegiatan pada satuan-satuan yang terpisah (departemen atau bidangbidang fungsional) suatu organisasi secara efisien. 7 Tanpa koordinasi, individuindividu atau departemen-departemen akan kehilangan pegangan atas peranan mereka dalam organisasi, sehingga akan mulai mengejar kepentingan-kepentingan sendiri yang sering merugikan pencapaian tujuan organisasi secara keseluruhan. Selain itu, G.R. Terry mengatakan koordinasi adalah suatu usaha yang sinkron dan teratur untuk menyediakan jumlah dan waktu yang tepat, dan mengarahkan pelaksanaan untuk menghasilkan suatu tindakan yang seragam dan harmonis pada sasaran yang telah ditentukan. 8 Kebutuhan akan koordinasi tergantung pada sifat dan kebutuhan komunikasi dalam pelaksanaan tugas dan derajat saling ketergantungan bermacam-macam satuan pelaksananya. 9 Bila tugas-tugas tersebut memerlukan aliran informasi antar satuan, derajat koordinasi yang tinggi adalah yang paling baik. 6 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press, 1986, hlm. 125 7 T. Hani Handoko Manajemen. Yogyakarta: BPFE-Yogyakarta, 2003, hlm. 195 8 Malayu S. P. Hasibuan, Manajemen Sumber Daya Manusia, Bina Aksara: Jakarta, 2007, hlm. 85 9 T. Hani Handoko, Op.cit. hlm. 196

11 Derajat koordinasi yang tinggi ini sangat bermanfaat untuk pekerjaan yang tidak rutin dan tidak dapat diperkirakan, faktor-faktor lingkungan selalu berubah-ubah serta saling ketergantungan adalah tinggi. Koordinasi juga sangat dibutuhkan bagi organisasi-organisasi yang menetapkan tujuan yang tinggi. Menurut James D. Thompson, ada tiga macam saling ketergantungan di antara satuan-satuan organisasi, yaitu: 1. Saling ketergantungan yang menyatu, yaitu bila satuan-satuan organisasi tidak saling tergantung satu dengan yang lain dalam melaksanakan kegiatan harian, tetapi tergantung pada pelaksanaan kerja setiap satuan yang memuaskan untuk suatu hasil akhir. 2. Saling ketergantungan yang berurutan, yaitu dimana suatu satuan organisasi harus melakukan pekerjaannya terlebih dahulu sebelum satuan yang lain dapat bekerja. 3. Saling ketergantungan timbal balik merupakan hubungan memberi dan menerima antar satuan organisasi. 10 Menurut Hasibuan terdapat 4 (empat) syarat koordinasi, yaitu: 1. Sense of cooperation (perasaan untuk bekerja sama), ini harus dilihat dari sudut bagian per bagian bidang pekerjaan, bukan orang per orang; 2. Rivalry, yaitu persaingan antara bagian-bagian, agar bagian-bagian ini berlomba-lomba untuk mencapai kemajuan; 3. Team spirit, artinya satu sama lain pada setiap bagian harus saling menghargai; dan 4. Esprit de corps, artinya bagian-bagian yang diikutsertakan atau dihargai, umumnya akan menambah kegiatan yang bersemangat. 11 Terhadap permasalahan yang kedua digunakan teori yang dikemukan oleh Paul R. Lawrence dan Jay W. Locrh. Paul R. Lawrence dan Jay W. Locrh mengemukakan empat tipe perbedaan sikap dan cara kerja di antara bermacam-macam individu 10 Hani Handoko, Op.cit. hlm. 196 11 Malayu S. P. Hasibuan, Op. cit, hlm. 88

12 dan departemen-departemen dalam organisasi yang mempersulit tugas pengkoordinasian bagian-bagian organisasi secara efektif, yaitu: 12 1. Perbedaan dalam orientasi terhadap tujuan tertentu; 2. Perbedaan dalam orientasi waktu; 3. Perbedaan dalam orientasi antar pribadi; dan 4. Perbedaan dalam formalitas struktur. Komunikasi adalah kunci koordinasi yang efektif. Koordinasi secara langsung tergantung pada perolehan, penyebaran dan pemrosesan informasi. Semakin besar ketidakpastian tugas yang dikoordinasikan, semakin membutuhkan informasi. Menurut Hasibuan terdapat 2 (dua) tipe koordinasi, yaitu: 1. Koordinasi vertikal adalah kegiatan-kegiatan penyatuan, pengarahan yang dilakukan oleh atasan terhadap kegiatan unit-unit, kesatuan-kesatuan kerja yang ada di bawah wewenang dan tanggungjawabnya. 2. Koordinasi horisontal adalah mengkoordinasikan tindakan-tindakan atau kegiatan-kegiatan penyatuan, pengarahan yang dilakukan terhadap kegiatan-kegiatan penyatuan, pengarahan yang dilakukan terhadap kegiatan-kegiatan dalam tingkat organisasi (aparat) yang setingkat. 13 Asas koordinasi adalah asas skala (hirarki) artinya koordinasi itu dilakukan menurut jenjang-jenjang kekuasaan dan tanggung jawab yang disesuaikan dengan jenjang-jenjang yang berbeda-beda satu sama lain. Asas hirarki ini mengatur bahwa setiap atasan (koordinator) harus mengkoordinasikan bawahan langsungnya. 12 T. Hani Handoko, Op.cit. hlm. 197-198 13 Malayu S. P. Hasibuan, Op. cit, hlm. 86-87

13 Proses penegakan hukum, dalam pandangan Soerjono Soekanto 14, dipengaruhi oleh lima faktor. Pertama, faktor hukum atau peraturan perundang-undangan. Kedua, faktor aparat penegak hukumnya, yakni pihak-pihak yang terlibat dalam peroses pembuatan dan penerapan hukumnya, yang berkaitan dengan masalah mentalitas. Ketiga, faktor sarana atau fasilitas yang mendukung proses penegakan hukum. Keempat, faktor masyarakat, yakni lingkungan sosial di mana hukum tersebut berlaku atau diterapkan; berhubungan dengan kesadaran dan kepatuhan hukum yang merefleksi dalam perilaku masyarakat. Kelima, faktor kebudayaan, yakni hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup. Sementara itu Satjipto Rahardjo 15, membedakan berbagai unsur yang berpengaruh dalam proses penegakan hukum berdasarkan derajat kedekatannya pada proses, yakni yang agak jauh dan yang agak dekat. Berdasarkan kriteria kedekatan tersebut, maka Satjipto Rahardjo membedakan tiga unsur utama yang terlibat dalam proses penegakan hukum. Pertama, unsur pembuatan Undang-Undang (lembaga legislatif). Kedua, unsur penegakan hukum (polisi, jaksa dan hakim). Unsur ketiga, yaitu unsur lingkungan yang meliputi pribadi warga negara dan sosial. Pada sisi lain, Jerome Frank 16, juga berbicara tentang berbagai faktor yang turut terlibat dalam proses penegakan hukum. Beberapa faktor ini selain faktor kaidah-kaidah hukumnya, juga meliputi prasangka politik, ekonomi, moral serta simpati dan antipati pribadi. 14 Soerjono Soekanto. Penegakan Hukum, Jakarta: BPHN & Binacipta, 1983, Hlm. 15; Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta: Rajawali, 2007, hlm. 4-5. 15 Satjipto Rahardjo. Masalah Penegakan Hukum, Bandung: Sinar Baru, 1983, hlm. 23-24. 16 Lili Rasjidi, Filsafat Hukum Apakah Hukum Itu?, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1991, hlm. 51

14 Sementara itu, Lawrence M. Friedman melihat bahwa keberhasilan penegakan hukum selalu menyaratkan berfungsinya semua komponen sistem hukum. Sistem hukum dalam pandangan Friedman terdiri dari tiga komponen, yakni komponen struktur hukum (legal structure), komponen substansi hukum (legal substance) dan komponen budaya hukum (legal culture). Struktur hukum (legal structure) merupakan batang tubuh, kerangka, bentuk abadi dari suatu sistem. Substansi hukum (legal substance) aturan-aturan dan norma-norma actual yang dipergunakan oleh lembaga-lembaga, kenyataan, bentuk perilaku dari para pelaku yang diamati di dalam sistem. Adapun kultur atau budaya hukum (legal culture) merupakan gagasan-gagasan, sikap-sikap, keyakinan-keyakinan, harapan-harapan dan pendapat tentang hukum. 17 2. Konseptual Konseptual adalah kerangka yang menggambarkan hubungan antara konsepkonsep khusus yang merupakan arti-arti yang berkaitan dengan istilah yang ingin diteliti atau diketahui. 18 Adapun batasan pengertian dan istilah yang ingin dipergunakan dalam penulisan skripsi ini adalah: a. Koordinasi adalah proses pengintegrasian tujuan-tujuan dan kegiatankegiatan pada satuan-satuan yang terpisah (departemen atau bidang-bidang fungsional) suatu organisasi secara efisien. 19 17 Lawrence M, Friedman. Law and Society An Introduction, New Jersey: Prentice Hall Inc, 1977, hlm. 6-7. 18 Soerjono Soekanto. Op. cit. 1986. hlm. 124 19 T. Hani Handoko, Op.cit. hlm. 195

15 b. PPATK adalah lembaga independen di bawah Presiden Republik Indonesia yang mempunyai tugas mencegah dan memberantas tindak pidana Pencucian Uang. c. KPK adalah lembaga independen di bawah Presiden Republik Indonesia yang mempunyai tugas mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi. d. Tindak pidana adalah suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana. 20 e. Tindak Pidana Pencucian Uang adalah suatu upaya perbuatan untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul uang/dana atau Harta Kekayaan hasil tindak pidana melalui berbagai transaksi keuangan agar uang atau Harta Kekayaan tersebut tampak seolah-olah berasal dari kegiatan yang sah/legal. 21 E. Sistematika Penulisan Peneliti dalam melakukan penulisan skripsi ini, menggunakan sistematika sebagai berikut: I. PENDAHULUAN Bab ini menguraikan tentang latar belakang permasalahan, ruang lingkup dan perumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, kerangka teoritis dan konseptual serta sistematika penulisan. 20 Wirjono Prodjodikoro, Tindak-tindak Pidana Tertentu Di Indonesia. Bandung: Refika Aditama, 2010, hlm. 55 21 NTH Siahaan, Pencucian Uang dan Kejahatan Perbankan, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2002, hlm. 7

16 II. TINJAUAN PUSTAKA Bab ini menguraikan tentang landasan teori yang nantinya akan sangat membantu dalam analisis hasil-hasil penelitian yang mencakup: Tinjuan Tentang PPATK, Tugas dan Wewenang PPATK, Tinjauan Tentang KPK, Tugas dan Wewenang KPK dan Pengertian Tindak Pidana Pencucian Uang. III. METODE PENELITIAN Bab ini diuraikan metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini, yaitu tentang langkah-langkah atau cara yang dipakai dalam penelitian yang memuat tentang pendekatan masalah, sumber dan jenis data, penentuan populasi dan sampel, prosedur pengumpulan dan pengolahan data, serta analisis data. IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Bab ini menguraikan analisis data dan pembahasan atas hasil pengolahan data. Pembahasan tersebut mengenai koordinasi penyidikan antara PPATK dan KPK dalam Tindak Pidana Pencucian Uang dan faktor-faktor penghambat koordinasi penyidikan antara PPATK dan KPK dalam Tindak Pidana Pencucian Uang. V. PENUTUP Bab ini berisikan kesimpulan dari penelitian yang dilakukan dan saran yang dianggap perlu sebagai masukan bagi pihak-pihak yang terkait.