BAB VI KARAKTERISASI REKAHAN PADA FASIES BATUGAMPING

dokumen-dokumen yang mirip
BAB VI KARAKTERISTIK REKAHAN PADA BATUGAMPING

BAB V KARAKTERISTIK REKAHAN PADA BATUGAMPING

BAB V KARAKTERISASI REKAHAN PADA FASIES BATUGAMPING

BAB V KARAKTERISASI REKAHAN DI FASIES BATUGAMPING

BAB IV ANALISIS STRUKTUR GEOLOGI

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

DISKRIPSI GEOLOGI STRUKTUR SESAR DAN LIPATAN

DISKRIPSI GEOLOGI STRUKTUR SESAR DAN LIPATAN

Untuk mengetahui klasifikasi sesar, maka kita harus mengenal unsur-unsur struktur (Gambar 2.1) sebagai berikut :

BAB IV ANALISIS KINEMATIK

3.2.3 Satuan Batulempung. A. Penyebaran dan Ketebalan

GEOLOGI DAN KARAKTERISTIK REKAHAN PADA BATUGAMPING DAN BATUPASIR, DAERAH GUNUNG KIDUL DAN SEKITARNYA, DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

GEOLOGI DAN KARAKTERISTIK REKAHAN PADA BATUGAMPING DI DAERAH NGLIPAR, KABUPATEN GUNUNG KIDUL, DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

GEOLOGI STRUKTUR ANALISIS KEKAR

BAB IV ANALISIS STRUKTUR GEOLOGI

berukuran antara 0,05-0,2 mm, tekstur granoblastik dan lepidoblastik, dengan struktur slaty oleh kuarsa dan biotit.

Umur dan Lingkungan Pengendapan Hubungan dan Kesetaraan Stratigrafi

Geologi dan Analisis Struktur Daerah Cikatomas dan Sekitarnya, Kabupaten Lebak, Banten. BAB I PENDAHULUAN

BAB IV ANALISIS KINEMATIK

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB IV ANALISIS STRUKTUR GEOLOGI

Ciri Litologi

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB V FASIES BATUGAMPING DAERAH PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Geologi dan Analisis Struktur Daerah Pasirsuren dan Sekitarnya, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat

Foto III.14 Terobosan andesit memotong satuan batuan piroklastik (foto diambil di Sungai Ringinputih menghadap ke baratdaya)

III.1 Morfologi Daerah Penelitian

Strain, Stress, dan Diagram Mohr

Identifikasi Struktur. Arie Noor Rakhman, S.T., M.T.

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

Geologi dan Studi Fasies Karbonat Gunung Sekerat, Kecamatan Kaliorang, Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur.

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

KEKAR (JOINT) STRUKTUR REKAHAN PADA BATUAN PALING UMUM, PALING BANYAK DIPELAJARI TIDAK ATAU SEDIKIT MENGALAMI PERGESERAN PALING SULIT UNTUK DIANALISA

RESUME KEKAR. A. Definisi Kekar

GEOLOGI STRUKTUR PRINSIP GAYA & DEFORMASI

Laporan Tugas Akhir Studi analisa sekatan sesar dalam menentukan aliran injeksi pada lapangan Kotabatak, Cekungan Sumatera Tengah. BAB III TEORI DASAR

Scan Line dan RQD. 1. Pengertian Scan Line

BAB IV ANALISIS STRUKTUR GEOLOGI

KEKAR (JOINT) Sumber : Ansyari, Isya Foto 1 Struktur Kekar

PAPER GEOLOGI TEKNIK

BAB III GEOLOGI DAERAH NGAMPEL DAN SEKITARNYA

Geologi dan Potensi Sumberdaya Batubara, Daerah Dambung Raya, Kecamatan Bintang Ara, Kabupaten Tabalong, Propinsi Kalimantan Selatan

BAB IV ANALISIS STRUKTUR GEOLOGI

Foto IV-10 Gejala Sesar Anjak Cinambo 3 pada lokasi CS 40.

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

Foto 3.21 Singkapan Batupasir Sisipan Batulempung Karbonan pada Lokasi GD-4 di Daerah Gandasoli

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

GAYA PEMBENTUK GEOLOGI STRUKTUR

BAB III GEOLOGI DAERAH CILEUNGSI DAN SEKITARNYA

DAFTAR ISI COVER HALAMAN PENGESAHAN HALAMAN PERNYATAAN KATA PENGANTAR DAFTAR GAMBAR DAFTAR TABEL BAB I PENDAHULUAN 1. I.1.

BAB IV ANALISIS STRUKTUR GEOLOGI

PEMBENTUKAN RESERVOIR DAERAH KARST PEGUNUNGAN SEWU, PEGUNUNGAN SELATAN JAWA. Oleh : Salatun Said Hendaryono

BAB IV ANALISIS KORELASI INFORMASI GEOLOGI DENGAN VARIOGRAM

Umur GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

IV.2 Pola Kelurusan Daerah Penelitian

Gambar 4.1 Kompas Geologi Brunton 5008

Struktur geologi terutama mempelajari struktur-struktur sekunder yang meliputi kekar (joint), sesar (fault) dan lipatan (fold).

Geologi dan Studi Fasies Karbonat Gunung Sekerat, Kecamatan Kaliorang, Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur.

BAB IV STRUKTUR GEOLOGI

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

Foto 3.5 Singkapan BR-8 pada Satuan Batupasir Kuarsa Foto diambil kearah N E. Eko Mujiono

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

A. Perlapisan batupasir batulempung dengan ketebalan yang homogen B. Antara batupasir dan batu lempung memperlihatkan kontak tegas

GEOLOGI, STUDI FASIES, DAN KARAKTERISASI REKAHAN PADA BATUGAMPING DI DAERAH GUNUNG KROMONG, CIREBON, JAWA BARAT TUGAS AKHIR A

BENTANG ALAM KARST. By : Asri Oktaviani

Geologi Daerah Perbukitan Rumu, Buton Selatan 19 Tugas Akhir A - Yashinto Sindhu P /

SESAR MENDATAR (STRIKE SLIP) DAN SESAR MENURUN (NORMAL FAULT)

BAB I PENDAHULUAN. Bab 1 Pendahuluan

GEOLOGI STRUKTUR. PENDAHULUAN Gaya/ tegasan Hasil tegasan Peta geologi. By : Asri Oktaviani

Umur, Lingkungan dan Mekanisme Pengendapan Hubungan dan Kesebandingan Stratigrafi

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

Adanya cangkang-cangkang mikro moluska laut yang ditemukan pada sampel dari lokasi SD9 dan NG11, menunjukkan lingkungan dangkal dekat pantai.

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

5.1 PETA TOPOGRAFI. 5.2 GARIS KONTUR & KARAKTERISTIKNYA

BAB IV INTERPRETASI SEISMIK

5.1 Peta Topografi. 5.2 Garis kontur & karakteristiknya

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB IV ANALISIS STRUKTUR GEOLOGI

STRIKE-SLIP FAULTS. Pemodelan Moody dan Hill (1956)

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

Bab III Pengolahan Data

DAFTAR ISI. BAB II GEOLOGI REGIONAL... 8 II.1. Fisiografi Regional... 8 II.2. Stratigrafi Regional II.3. Struktur Geologi Regional...

Batulempung (Gambar 3.20), abu abu kehijauan, lapuk, karbonan, setempat terdapat sisipan karbon yang berwarna hitam, tebal ± 5 30 cm.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

GEOLOGI DAERAH LAWELE DAN SEKITARNYA, KECAMATAN LASALIMU, KABUPATEN BUTON, SULAWESI TENGGARA

Foto 3.24 Sayatan tipis granodiorit (HP_03). Satuan ini mempunyai ciri-ciri umum holokristalin, subhedral-anhedral, tersusun atas mineral utama

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB IV MODEL EVOLUSI STRUKTUR ILIRAN-KLUANG

Metamorfisme dan Lingkungan Pengendapan

BAB IV ANALISIS STRUKTUR GEOLOGI

Umur dan Lingkungan Pengendapan Umur Satuan Batupasir-Batulempung berdasarkan hasil analisis foraminifera kecil yaitu N17-N20 atau Miosen

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

Bab III Pengolahan dan Analisis Data

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

Transkripsi:

BAB VI KARAKTERISASI REKAHAN PADA FASIES BATUGAMPING 6.1 Pendahuluan Batugamping di daerah penelitian terdiri atas beberapa fasies yang berbeda dan kehadiran rekahan pada fasies batugamping yang berbeda di lapangan menjadi salah satu hal yang akan dibahas pada penelitian ini. Rekahan merupakan permukaan yang memotong batuan sehingga batuan tersebut kehilangan gaya kohesi pada bidang tersebut (Twiss dan Moores, 1992). Nelson (1985) mengartikan rekahan adalah bidang diskontinuitas pada batuan yang kehilangan kohesi akibat deformasi atau diagenesa dan terbentuk secara alamiah. Pada rekahan, khususnya spasi dari rekahan sangat dipengaruhi oleh komposisi batuan, ukuran butir batuan, porositas batuan, ketebalan lapisan, dan posisi struktur (Nelson, 1985). 6.2 Dasar Teori Berdasarkan etimologis, istilah rekahan berasal dari bahasa latin, yaitu kata fractus, yang dapat diartikan sebagai patahan. Kata rekahan merupakan istilah umum untuk kegagalan (failure) dalam material pada kondisi brittle (Koestler et al., 1995). Rekahan secara umum dibagi menjadi 3 mode (Dennis, 1987 dalam Koestler et al.,1995) yaitu: Mode I, Mode II, dan Mode III (Gambar 6.1). Mode I merupakan mode rekahan ekstensional, atau dikenal sebagai mode rekahan bukaan atau regangan, pergerakan pada mode ini searah dengan sumbu y atau tegak lurus terhadap diding rekahan. Rekahan yang termasuk kedalam klasifikasi ini adalah kekar (Gambar 6.1 A). Mode II merupakan rekahan gerus, mode ini menguraikan rekahan gerus dengan pergerakan searah sumbu x atau pergerakan yang terjadi berupa gerakan geser yang tegak lurus terhadap tepi dari rekahan (Gambar 6.1 B). Mode III merupakan rekahan gerus yang menguraikan pergerakan gerusan dari rekahan searah sumbu z atau paralel terhadap tepi dari rekahan (Gambar 6.1 C). 72

A. Extension (Mode I) B. Shear (Mode II) C. Shear (Mode III) Gambar 6.1 Perbedaan dari berbagai tipe umum rekahan berdasarkan pergerakan relatifnya; A. Ekstension atau mode I, B. Rekahan gerus mode II, C. Rekahan gerus mode III (Twiss dan Moores,1992). Tipe rekahan lainnya adalah stylolite, yakni rekahan yang terjadi akibat adanya pressure dissolution, membentuk bidang yang tegak lurus terhadap tegasan utamanya dengan morfologinya berbentuk sinusoidal yang tajam (Gambar 6.2). Stylolite dan rekahan merupakan fitur sekunder selama deformasi atau diagenesis fisik dari batuan (Nelson, 1985). Gambar 6.2 Diagram skematik yang menunjukkan hubungan geometric dari stylolite, tension gashes, rekahan unloading, dan paleo-state dari stress (Nelson, 1985). 73

Menurut Aguilera (1995) stylolite merupakan rekahan yang dimulai pada konsentrasi stress planar di dalam tubuh batuan. Jadi stylolite dapat terjadi karena diagenesis maupun karena deformasi. Stylolite yang terjadi karena diagenesis umumnya disebabkan pembebanan, sedangkan stylolite yang terjadi akibat deformasi contohnya dapat terjadi pada batuan yang terlipat. Jika kedua hal penyebab stylolite tersebut terjadi maka akan ditemukan stylolite yang saling memotong. Menurut Park dan Schot (1968) dalam Nelson (1985), stylolite adalah penampakan umum pada batugamping, batudolomit, dan batupasir yang terbentuk akibat diagenesis. Stylolite dapat dikenali dari bidang diskontinuitas yang tak beraturan antara dua unit batuan, membentuk geometri kolom atau piramid dan berakibat dua unit batuan tersebut akan saling mengunci (interlocking) sepanjang permukaan stylolite. Permukaan stylolite dicirikan dengan keberadaan material yang relatif tidak mudah larut (insoluble residu) dari suatu batuan. Stylolite pada umumnya dianggap terbentuk sebagai akibat dari pressure dissolution yang terjadi karena adanya perbedaan tingkat kelarutan dari material penyusun batuan akibat dari differential stress yang bekerja. Material akan melarut pada bagian permukaan yang terkena tekanan tinggi dan akan mengendap pada tempat dengan tekanan lebih rendah atau terbuang dari sistem. 6.3 Sistem Rekahan Sistem rekahan pada umumnya berhubungan dengan struktur dan proses tektonik, oleh Nelson (1985), Twiss dan Moores (1992), rekahan yang berasosiasi dengan tektonik dapat dibedakan menjadi dua sistem rekahan, yaitu: rekahan yang berhubungan dengan sesar dan rekahan yang berhubungan dengan lipatan. Pada sistem rekahan yang berhubungan dengan sesar (fault-related fracture system), pada umumnya rekahan yang hadir adalah dua set shear fracture (Gambar 6.3). Set pertama akan sejajar dengan sesar yang ada, sedangkan set yang kedua akan membentuk sudut sekitar 60 0 dan disebut conjugate shear fracture. Rekahan lain yang dapat hadir adalah satu set extension fracture yang sejajar dengan tegasan utama, terletak pada pertengahan sudut antara dua set shear fracture tersebut. 74

Gambar 6.3 Pola rekahan gerus yang dipengaruhi oleh sesar (Twiss dan Moores, 1992) Sistem rekahan yang berhubungan dengan lipatan (fold-related fracture system), menunjukkan rekahan dengan pola yang kompleks (Gambar 6.4). Pada gambar fold-related fracture system (Gambar 6.4), orientasi dari rekahan dinyatakan dalam sistem koordinat ortogonal yang berhubungan dengan geometri lipatan. Sumbu a terletak pada bidang lapisan dan tegak lurus terhadap sumbu lipatan, sumbu b paralel terhadap sumbu lipatan dan umumnya terletak pada bidang perlapisan, sedangkan sumbu c tegak lurus terhadap bidang perlapisan. Gambar 6.4 Pola rekahan gerus yang berhubungan dengan lipatan (Twiss dan Moores, 1992) 75

6.4 Jenis Rekahan 6.4.1 Rekahan Berdasarkan Penyebab Alami Rekahan yang dipelajari pada penelitian ini adalah rekahan yang terbentuk secara alami. Nelson (1985) membagi rekahan berdasarkan penyebab alamiahnya menjadi: rekahan tektonik, rekahan regional, rekahan kontraksional, dan rekahan yang berhubungan dengan permukaan. Rekahan tektonik merupakan suatu sistem rekahan yang umumnya berasosiasi dengan proses tektonik yang berlangsung secara lokal. Rekahan ini secara spesifik sangat dipengaruhi oleh sesar (fault-related fracture system) dan lipatan (fold-related fracture system). Rekahan regional adalah sistem rekahan yang berkembang pada daerah yang luas dengan perubahan orientasi yang kecil, rekahan ini umumnya tidak menunjukkan pergeseran (offset), dan selalu tegak lurus terhadap bidang perlapisan umum. Rekahan kontraksional umumnya berjenis tension atau ektension yang berasosiasi dengan pengurangan volume dari batuan akibat desiction, syneresis, gradient thermal, dan perubahan fase mineral, sedangkan rekahan yang berhubungan dengan permukaan adalah sistem rekahan yang terbentuk akibat pelepasan stress dan strain yang tersimpan pada batuan, misalnya proses unloading atau proses ketikan terjadi pelapukan. 6.4.2 Rekahan Berdasarkan Morfologi Rekahan Rekahan berdasarkan penyebab alamiahnya membentuk beberapa morfologi yang khas, oleh Nelson (1985) morfologi tersebut dibedakan menjadi: rekahan terbuka, rekahan terdeformasi, rekahan vuggy, dan rekahan terisi mineral. Morfologi rekahan terbuka dicirikan oleh rekahan yang tak tersemenkan dan tidak mengandung berbagai macam mineralisasi sekunder. Rekahan terbuka pada umumnya memeiliki porositas yang sangat kecil, dan cenderung meningkatkan permeabilitas paralel terhadap bidang rekahan,. Morfologi rekahan terdeformasi misalnya, rekahan gores-garis (slickenside). dan rekahan gouge-filled. Rekahan gores garis merupakan hasil dari gelinciran friksional sepanjang rekahan atau bidang sesar. Morfologi rekahan gores garis menghasilkan striasi pada permukaan yang dapat meningkatkan permeabilitas paralel terhadap rekahan namun secara drastis mengurangi permeabilitas yang tegak lurus terhadap rekahan. Morfologi gouge-filled berasal dari material 76

hancuran yang sangat halus yang terjadi di antara dinding dari rekahan sebagai hasil dari pergerakan atau penggerusan yang dapat mengakibatkan permeabelitas akan berkurang secara drastis. Morfologi rekahan vuggy merupakan jenis rekahan sebagai hasil dari perkolasi air asam yang melewati rekahan, apabial terus berlangsung akan dapat membentuk karst. Pada morfologi rekahan ini akan dihasilkan porositas dan permeabilitas yang cukup signifikan. Selain ketiga morfologi diatas, terdapat jenis morfologi rekahan terisi oleh mineral. Rekahan ini tersemenkan oleh mineralisasi sekunder, material yang mengisi umumnya kuarsa dan kalsit. Mineralisasi sekunder ini sebagian dapat memberikan efek positif untuk mencegah atau mengurangi penutupan rekahan. 6.5 Geometri Sistem Rekahan Dalam Tiga Dimensi Geometri sistem rekahan yang diperlukan untuk penelitian rekahan antara lain: bentuk dan skala dari rekahan, spasi rekahan dan hubungan rekahan terhadap litilogi dan ketebalan lapisan, pola spasial dan distribusi dari sistem rekahan, serta orientasi dari rekahan. Bentuk rekahan umumnya bergantung pada tipe batuan dan struktur batuan itu sendiri. Sedangkan skala rekahan dapat berukuran mikroskopik atau makroskopik. Beberapa rekahan makroskopis dapat berukuran sentimeter, meter, atau bahkan mencapai ukuran kilometer, sedangkan rekahan mikroskopik misalnya rekahan mikro (microfractures). Sedangkan Spasi rekahan dapat diartikan rata-rata jarak tegaklurus antara rekahan atau jumlah rata-rata dari rekahan yang ditemukan dalam suatu jarak standar normal terhadap rekahan.dalam sebuah kelompok sistematis dan dapat diukur. Spasi rata-rata rekahan cenderung konsisten, dan hal tersebut tergantung pada jenis batuan dan pada ketebalan dari suatu lapisan tempat rekahan tersebut berkembang. Pola dan distribusi dari rekahan dapat diketahui dengan mengeplot lokasi pada peta dan mengamati orientasi dari rekahan. Dalam area yang cukup luas dan baik dapat dilihat hubungan dari rekahan yang ada antara yang satu dengan yang lainnya. Berdasarkan pengolahan data jurus dan kemiringan rekahan yang telah dikumpulkan, kemudian dapat dilihat hubungannya terhadap struktur lokal yang bekerja di daerah tersebut. 77

Perlu dilakukan pengumpulan seluruh data orientasi dari rekahan yang cukup representatif dalam setiap singkapan sehingga dapat membantu kita untuk mengidentifikasi kelompok rekahan dan untuk menginterpretasi gaya tektonik yang menghasilkan rekahan tersebut. Data tersebut kemudian kelompokan dan dihubungkan antara yang satu dengan yang lainnya. Orientasi data rekahan dikumpulkan dan dibandingkan dengan menggunakan stereonet. Orientasi dari rekahan yang beragam mungkin berhubungan dengan satu kejadian fracturing, hal tersebut sangat penting untuk memahami hubungan antara rekahan dan setiap orientasi rekahan yang diukur di permukaan, yang kemudian dapat memberikan analisis statistik untuk di interpretasi lebih lanjut. Rekahan terjadi tidak secara acak, tetapi mengikuti suatu pola tertentu, sehingga dengan data yang memadai akan dapat ditemukan suatu hubungan antara rekahan dengan gaya penyebabnya. Salah satu analisis mengenai rekahan ini disebut sebagai analisis fraktal. Menurut Mandelbrot (1983) dan Turcotte (1997), rumus atau persamaan matematis yang digunakan dalam menganalisa fraktal disebut sebagai Power Law, yakni : N = k (S) -c Keterangan: N = Jumlah kumulatif rekahan k = Konstanta S = Spasi Rekahan c = Dimensi Fraktal, merupakan kemiringan (slope) garis kurva 6.6 Batasan dan Tujuan Studi Rekahan pada Batugamping di Daerah Penelitian Pembahasan sistem rekahan ini dibatasi pada studi mengenai hubungan intensitas rekahan terhadap tekstur batugamping (fasies). Lokasi pengambilan data juga akan diperhatikan untuk mengetahui intensitas rekahan pada fasies yang sama dengan kondisi tektonik yang relatif berbeda. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh faktor litologi berupa perbedaan fasies terhadap intensitas rekahan yang berkembang pada batugamping. Pengumpulan data rekahan diambil dari fasies batugamping, yaitu: fasies mudstone, fasies wackestone, fasies foraminifera packstone, fasies foraminifera grainstone, dan fasies coral coral boundstone. 78

6.7 Data 6.7.1 Metode Pengambilan Data Pengambilan data yang digunakan dalam penelitian ini dilakukan secara sistematis dengan metode scanline sampling (Gambar 6.5). Dalam metode ini pencatatan atribut rekahan dilakukan sepanjang garis pengamatan, yang dibatasi oleh ketinggian yang sesuai dengan tinggi pengamat dari garis pengamatan. Rekahan yang dicatat dan diobservasi adalah seluruh rekahan yang memotong garis pengamatan. Salah satu ujung dari garis pengamatan menjadi datum dalam pengukuran jarak rekahan. Hal-hal yang perlu dicatat dalam pengamatan adalah nomor identitas rekahan (no. ID), jarak dari datum, kedudukan rekahan (jurus/kemiringan), aperture, panjang, pergeseran, tipe/set, bentuk, dan material pengisi rekahan. Gambar 6.5 Sketsa pencatatan rekahan dan hal-hal yang dicatat selama observasi rekahan. B-B adalah scanline. A adalah tebal dan atau bukaan rekahan, S adalah spasi rekahan, dan L adalah panjang rekahan (Sapiie, 1998) 79

6.7.2 Lokasi Pengambilan Data Pengambilan data dilakukan pada setiap jenis fasies yang terdapat di daerah penelitian, yaitu: fasies foraminifera packstone, fasies wackestone, fasies foraminifera grainstone, fasies mudstone, dan fasies coral coral boundstone. Lokasi pengukuran scanline di daerah penelitian dapat dilihat pada gambar 6.6 dan gambar 6.7. Lokasi pengambilan data scanline tersebut adalah: a. Lokasi 1 (E-192) Koordinat awal : 06 43'04,4" LS dan 108 23'37,6" BT Kedudukan garis pengukuran : 3 0, N 164º E, dengan panjang 21 meter Kedudukan lapisan : N 248 E / 14 Fasies batugamping : Foraminifera Packstone b. Lokasi 2 (E-186) Koordinat awal : 06 43'04,5" LS dan 108 23'39" BT Kedudukan garis pengukuran : 3 0, N 162 E, dengan panjang 21 meter Kedudukan lapisan Fasies batugamping : N 287 E/14 : Wackestone c. Lokasi 3 (E-182) Koordinat awal : 06 43'13,2" LS dan 108 23'44,5" BT Kedudukan garis pengukuran : 8, N 125 E, dengan panjang 21 meter Kedudukan lapisan Fasies batugamping : N 135 E/10 : Foraminifera Grainstone 80

d. Lokasi 4 (E- 189) Koordinat awal : 06 43'02,4" LS dan 108 23'45,3" BT Kedudukan garis pengukuran : 4, N 10 E, dengan panjang 21 m Kedudukan lapisan Fasies batugamping : N 390 E/16 : Mudstone e. Lokasi 5 (E-318) Koordinat awal : 06 43'32,8" LS dan 108 24'08,9" BT Kedudukan garis pengukuran : 4 0, N 215º E, dengan panjang 70 meter Kedudukan lapisan Fasies batugamping : masif : Coral Coral boundstone1 f. Lokasi 6 (E-317) Koordinat awal : 06 43'21,6" LS dan 108 23'18,6" BT Kedudukan garis pengukuran : 3 0, N 182º E, dengan panjang 5 m Kedudukan lapisan : masif Fasies batugamping : Coral Coral boundstone 2 81

Gambar 6.6 Lokasi pengambilan data scanline di daerah penelitian 82

Gambar 6.7 Lokasi pengambilan data scanline dilihat dari penampang GH Foto 6.1 Lokasi scanline 1 pada fasies foraminifera packstone di Quarry C, tali pengukuran terbentang dari utara ke selatan 83

Foto 6.2 Lokasi scanline 2 pada fasies wackestone di Quarry C Foto 6.3 Lokasi scanline 3 pada fasies foraminifera grainstone di Quarry C 84

Foto 6.4 Lokasi scanline 4 pada fasies mudstone di Quarry E Foto 6.5 Lokasi scanline 5 pada fasies coral coral boundstone 1 di Quarry A 85

Foto 6.6 Lokasi scanline 6 pada fasies coral coral boundstone 2 di Quarry B Data Lapangan Data rekahan hasil pengukuran terlampir (Lampiran D). 6.7.3 Pemilahan dan Pengolahan Data Di daerah penelitian, aktivitas manusia seperti peledakan, sangat intensif dilakukan, akibatnya adalah sangat sulit untuk menemukan kondisi batuan yang layak untuk diambil data rekahan. Kondisi tersebut mengharuskan pengamatan yang lebih teliti terhadap data rekahan, karena terdapat rekahan yang alami dan tidak alami (induced fractures), untuk itu perlu dilakukan pemilahan data agar kedua rekahan tersebut dapat dipisahkan. Rekahan tidak alami atau induced fractures pada daerah penelitian umumnya berupa rekahan akibat aktivitas penambangan, seperti peledakan (Foto 6.7). Pemisahan rekahan yang alami dan tidak alami dilakukan berdasarkan pola maupun kemenerusan rekahan yang ada. Pemisahan juga dilakukan pada tahap pemilahan data dengan memilah data rekahan berdasarkan 86

orientasi rekahan. Rekahan tanpa orientasi dominan dapat diasumsikan sebagai induced fracture, untuk kemudian dipisahkan dan tidak diikutsertakan dalam pengolahan data. Foto 6.7 a) Foto aktivitas peledakan di Quarry A dan b) sketsa model rekahan akibat penambangan yang termasuk kedalam induced fracture system (Nelson, 1985) Langkah selanjutnya adalah pemilahan data berdasarkan jenis rekahan. Jenis rekahan ditentukan saat pengamatan lapangan dengan melihat geometri maupun jenis pergerakan yang ada. Pada pengamatan yang dilakukan di enam lokasi diperoleh tiga jenis rekahan, yaitu rekahan gerus (shear fractures), rekahan terbuka (extensional fractures), dan stylolites. Setelah dipilah berdasarkan jenis rekahan, dilakukan pemilahan berdasarkan orientasi rekahan, meliputi jurus dan kemiringan rekahan. Rekahan-rekahan yang sejenis dan memiliki orientasi yang relatif sama dikelompokkan menjadi satu set rekahan tertentu. Pemilahan orientasi tersebut diperoleh melalui pemilahan data dengan menggunakan stereonet (Lampiran D), secara rinci tertera pada tabel 6.1. Pemilahan rekahan menghasilkan set-set (kumpulan) rekahan sebagai berikut: 1. Lokasi 1: empat set rekahan, 2. Lokasi 2: tiga set rekahan, 3. Lokasi 3: lima set rekahan, 4. Lokasi 4: tiga set rekahan, 87

5. Lokasi 5: tiga set rekahan, 6. Lokasi 6: dua set rekahan. Tabel 6.1 Tabel set, orientasi umum, dan interpretasi genesa rekahan Orientasi Umum Lokasi Jenis Rekahaan Kode Strike Dip Fasies N.ºE ( ) Extensional Lokasi 1 Fracture EFA 1 144 63 Packstone EFB 2 105 62 Packstone EFB 3 85 68 Packstone EFB 4 61 85 Packstone Lokasi 2 Extensional Fracture EFA 2 111 75 wackestone EFB 2 83 80 wackestone EFC 2 234 73 wackestone Lokasi 3 Extensional Fracture EFA 3 73 52 grainstone EFB 3 51 86 grainstone EFC 3 353 71 grainstone EFD 3 275 77 grainstone Lokasi 4 Extensional Fracture EFA 4 138 79 mudstone EFB 4 97 70 mudstone EFC 4 297 79 mudstone EFD 4 264 79 mudstone Lokasi 5 Extensional Fracture EFA 5 140 66 coral boundstone EFB 5 113 66 coral boundstone EFC 5 300 68 coral boundstone Stylolite STE 2 80 47 coral boundstone Lokasi 6 Extensional Fracture EFA 6 23 67 coral boundstone EFB 6 331 68 coral boundstone 88

6.8 Hubungan Sistem Rekahan dengan Fasies Batugamping dan Struktur Geologi Terdekat di Daerah Penelitian Hubungan sistem rekahan terhadap tekstur batugamping pda penelitian ini hanya terbatas pada intensitas rekahan di setiap fasies batugamping yang berbeda. Hubungan antara rekahan dan struktur geologi terdekat dapat diketahui dari intensitas rekahan yang diperoleh pada batugamping dengan fasies yang sama namun berbeda dalam lokasi pengamatan (kondisi tektonik yang berbeda). Perhitungan intensitas rekahan pada setiap fasies di lokasi pengamatan diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai hubungan rekahan dan perbedaan tekstur batuan (jenis fasies batugamping). A. Intensitas Rekahan Penentuan intensitas rekahan, dilakukan dengan pendekatan yang sederhana, yaitu dengan membandingkan frekuensi rekahan pada setiap interval jarak yang diukur. Dalam penentuan intensitas rekahan, dilakukan pendekatan yang sederhana dengan membandingkan frekuensi rekahan pada setiap interval jarak yang diukur. Selanjutnya dihitung intensitas rekahan pada setiap tekstur batugamping yang ada dengan menggunakan rumus di atas. Penghitungan Intensitas dilakukan pada rekahan alami yang ada di lapangan, hasil pengolahan dituangkan dalam bentuk grafik Intensitas terhadap jarak. Berikut adalah beberapa grafik antara intensitas rekahan dalam satuan persen terhadap interval jarak pengukuran setiap seratus centimeter di daerah penelitian. 89

Grafik 6.1 Grafik hubungan antara intensitas rekahan dan jarak interval pengukuran pada fasies packstone Grafik 6.2 Grafik hubungan antara intensitas rekahan dan jarak interval pengukuran pada fasies wackestone 90

Grafik 6.3 Grafik hubungan antara intensitas rekahan dan jarak interval pengukuran pada fasies grainstone Grafik 6.4 Grafik hubungan antara intensitas rekahan dan jarak interval pengukuran pada fasies mudstone 91

Grafik 6.5 Grafik hubungan antara intensitas rekahan dan jarak interval pengukuran pada fasies coral boundstone Grafik 6.6 Grafik hubungan antara intensitas rekahan dan jarak interval pengukuran pada fasies coral boundstone 2 92

Grafik 6.7 Grafik perbandingan antara intensitas rekahan dan jarak interval pengukuran pada setiap fasies batugamping Grafik 6.8 Grafik perbandingan antara intensitas rekahan EF dan jarak interval pengukuran pada setiap fasies batugamping 93

Grafik 6.9 Grafik perbandingan antara intensitas rekahan SF dan jarak interval pengukuran pada setiap fasies batugamping Dari hasil perhitungan serta grafik yang didapat selanjutnya dilakukan perbandingan nilai intensitas rekahan dari tiap lokasi (Tabel 6.2) Tabel 6.2 Intensitas rekahan pada fasies batugamping daerah penelitian Lokasi Fasies Jenis Rekahan Intensitas ratarata (1/cm) Persen Intensitas (%) 1. Foraminifera packstone EF, SF 0,048 4,8 2 Wackestone EF, SF 0,043 4,3 3 Foraminifera graistone EF, SF 0,0785 7.85 4 Mudstone EF, SF 0,0395 3,95 5 Corals coral boundstone 1 EF 0.0145 1,45 6 Corals coral boundstone 2 EF 0,0135 13,5 Keterangan : EF (Extensional Fracture) dan SF (Shear Fracture) B. Interpretasi Nilai intensitas rekahan terbesar diperoleh dari rekahan yang terdapat pada batugamping fasies coral boundstone 2 (13,5%). Intensitas rekahan terbanyak berikutnya secara berurutan 94

diperoleh dari batugamping fasies foraminifera grainstone (7,85%), fasies foraminifera packstone (4,8%), fasies wackestone (4,3%), fasies mudstone (3,95%), dan fasies coral boundstone 1 (1,45). Berdasarkan hasil perbandingan nilai intensitas rekahan pada tiap fasies dan lokasi dapat ditarik kesimpulan: 1. Intensitas rekahan dipengaruhi oleh faktor litologi (jenis fasies), dalam penelitian ditunjukan oleh hasil intensitas yang berbeda pada setiap fasies batugamping. 2. Kondisi tektonik berkaitan dengan kontrol struktur sesar dan intrusi yang terdapat dilapangan turut mempengaruhi intensitas rekahan yang terbentuk, dalam penelitian ini dibuktikan dengan intensitas rekahan yang diperoleh dari dua fasies yang sama dengan lokasi yang berbeda atau kondisi tektonik berbeda (Gambar 6.5) yaitu fasies coral boundstone. Pada fasies coral boundstone 2 (Lokasi 6) intensitas rekahan lebih besar dibandingkan dengan intensitas rekahan yang diperoleh dari fasies coral boundstone 1 (Lokasi 5). Fakta ini turut diperkuat oleh teori yang dikemukakan oleh Price (1966) dalam Nelson (1985) bahwa intensitas rekahan akan tinggi pada daerah dengan energi strain yang besar. 3. Pengukuran scanline yang dilakukan pada setiap fasies, kecuali pada fasies coral boundstone, memiliki kondisi tektonik (struktur sesar) yang relatif sama. Intensitas yang sangat besar pada fasies coral boundstone 2 diperkirakan terjadi akibat lokasi pengukuran yang berdekatan dengan zona sesar dan intrusi (Gambar 6.5) serta apabila melihat intensitas yang terdapat pada fasies coral boundstone 1 yang kecil, maka intensitas rekahan terbesar kemungkinan bukan pada fasies coral boundstone. 4. Berdasarkan hasil penguraian pada fasies coral boundstone dan pertimbangan lokasi pengukuran scanline, maka dapat disimpulkan bahwa intensitas rekahan terbesar diperoleh dari fasies foraminifera graistone (7,85 %), hal ini mungkin disebabkan oleh tekstur fasies foraminifera grainstone yang memiliki lebih banyak butiran dibandingkan dengan matrik dan semennya, sehingga relatif tidak resisten dibandingkan dengan fasies lain. 95