SKRIPSI. BATAS KEMAMPUAN MENIKAH DITINJAU DARI HUKUM ISLAM (Telaah Analitis Terhadap Pasal 7 Undang-undang No. 1 Tahun 1974)

dokumen-dokumen yang mirip
AKIBAT PERKAWINAN DIBAWAH UMUR DALAM KELANGSUNGAN HIDUP. ( Studi Kasus Pengadilan Agama Blora)

BAB I PENDAHULUAN. mahluk Allah SWT, tanpa perkawinan manusia tidak akan melanjutkan sejarah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkawinan amat penting dalam kehidupan manusia, baik bagi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. keluarga yang bahagia dan kekal sesuai dengan Undang-undang Perkawinan. Sudah

BAB I PENDAHULUAN. Rasulullah SAW juga telah memerintahkan agar orang-orang segera

BAB I PENDAHULUAN. Manusia diciptakan oleh Allah SWT dari kaum laki-laki dan perempuan

BAB I PENDAHULUAN. itu, harus lah berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, sebagai azas pertama

BAB I PENDAHULUAN. senantiasa hidup bersama dengan orang lain. Naluri untuk hidup bersama

BAB I PENDAHULUAN. jalan pernikahan. Sebagai umat Islam pernikahan adalah syariat Islam yang harus

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan usia muda merupakan perkawinan yang terjadi oleh pihak-pihak

BAB I PENDAHULUAN. yang ditakdirkan untuk saling berpasangan dan saling membutuhkan 1. Hal

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.

BAB I PENDAHULUAN. suci atau jalinan ikatan yang hakiki antara pasangan suami istri. Hanya melalui

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Allah SWT telah menghiasi alam semesta ini dengan rasa cinta dan kasih

yang dapat membuahi, didalam istilah kedokteran disebut Menarche (haid yang

BAB I PENDAHULUAN. bersama yang disebut dengan lembaga perkawinan. merupakan ibadah (Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam). 2

BAB I PENDAHULUAN. perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita

BAB I PENDAHULUAN. untuk itu. Perkawinan merupakan faktor untuk membina kerja sama antara laki-laki dan

BAB I PENDAHULUAN. Qur anul Karim dan Sunnah Rosullulloh saw. Dalam kehidupan didunia ini, Firman Allah dalam Q.S. Adz-Dzaariyat : 49, yang artinya :

BAB I PENDAHULUAN. Abad 21 yang sedang berlangsung menjadikan kehidupan berubah dengan

BAB I PENDAHULUAN. mulia dibanding makhluk lainnya. Manusia memiliki fitrah untuk saling

PUTUSAN FASAKH ATAS CERAI GUGAT KARENA SUAMI MURTAD (Studi Kasus di Pengadilan Agama Klaten)

BAB I PENDAHULUAN. dari perkawinan itu adalah boleh atau mubah. Namun dengan melihat

PERKAWINAN USIA MUDA DAN PENGARUHNYA TERHADAP TINGKAT PERCERAIAN DI WILAYAH HUKUM PENGADILAN AGAMA SUKOHARJO

BAB I PENDAHULUAN. Hidup bersama di dalam bentuknya yang terkecil itu dimulai dengan adanya

BAB I PENDAHULUAN. bersamaan, di mana seorang wanita dapat menemukan seorang laki-laki yang

BAB I PENDAHULUAN. dinyatakan dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

BAB I PENDAHULUAN. Yang Maha Esa, yang dikaruniai akal dan pikiran, kesempurnaan untuk berjalan

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN. perkawinan, tujuan hak dan kewajiban dalam perkawinan.

BAB 1 PENDAHULUAN. meliputi manusia, hewan, dan tumbuhan. Diantara ciptaan-nya, manusia

segera melaksanakannya. Karena perkawinan dapat mengurangi kemaksiatan, baik

BAB I PENDAHULUAN. umat manusia untuk menikah, karena menikah merupakan gharizah insaniyah (naluri

Lingkungan Mahasiswa

BAB I PENDAHULUAN. Manusia diciptakan Tuhan Yang Maha Esa secara berpasangpasangan. yaitu laki-laki dan perempuan. Sebagai makhluk sosial, manusia

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 1975 dan Peraturan Menteri Agama Nomor 3 dan 4 Tahun 1975 bab II

2002), hlm Ibid. hlm Komariah, Hukum Perdata (Malang; UPT Penerbitan Universitas Muhammadiyah Malang,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dari siklus kehidupan manusia adalah terbentuknya pasangan baru (new couple), di

BAB I PENDAHULUAN. yang diinginkanya. Perkawinan sebagai jalan untuk bisa mewujudkan suatu keluarga

BAB I PENDAHULUAN. dan diabadikan dalam Islam untuk selama-lamanya. Pernikahan secara terminologi adalah sebagaimana yang dikemukakan

BAB I PENDAHULUAN. seorang laki-laki dan perempuan sama-sama memiliki hak dan kewajiban didalam

BAB IV. ANALISIS DASAR DAN PERTIMBANGAN MAJELIS HAKIM DALAM PENETAPAN PENGADILAN AGAMA BLITAR NO. 0187/Pdt.P/2014/PA.BL

BAB I PENDAHULUAN. agar hubungan laki-laki dan perempuan mampu menyuburkan ketentraman,

BAB I PENDAHULUAN. atau di kota. Namun banyak manusia yang sudah mempunyai kemampuan baik

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kodrat manusia sejak dilahirkan ke dunia selalu mempunyai

BAB I PENDAHULUAN. anak. Selain itu status hukum anak menjadi jelas jika terlahir dalam suatu

BAB I PENDAHULUAN. yang positif dalam mewujudkan tujuan pernikahan. Allah SWT. Berfirman

IMPLIKASI PERKAWINAN DI BAWAH TANGAN DALAM PRESFEKTIF HUKUM ISLAM DAN UU NO. 1 TAHUN 1974

BAB 1 PENDAHULUAN. 1960), hal Sayuti Thalib, Hukum Keluarga Indonesia, Cet. 5, (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 1986), hal. 48.

MENGENAL PERKAWINAN ISLAM DI INDONESIA Oleh: Marzuki

BAB I PENDAHULUAN. Manusia diciptakan dengan potensi hidup berpasang-pasangan, di mana

H.M.A Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), h.6

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Manusia pada dasarnya mempunyai kodrat, yaitu memiliki hasrat untuk

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia diciptakan Allah SWT yang pada hakikatnya sebagai makhluk

BAB 1 PENDAHULUAN. menyangkut urusan keluarga dan urusan masyarakat. 1. tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ke-tuhanan Yang Maha Esa.

BAB I PENDAHULUAN. perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama

BAB I PENDAHULUAN. Makna dari mahar pernikahan yang kadang kala disebut dengan belis oleh

BAB I PENDAHULUAN. Artinya : Dan segala sesuatu kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat kebesaran Allah. (Q.S.Adz-Dzariyat: 49).

BAB I PENDAHULUAN. Hal ini dibuktikan dengan adanya peraturan khusus terkait dengan perkawinan yaitu

BAB I PENDAHULUAN. jenisnya membutuhkan pasangan hidup yang membutuhkan keturunan. sesuai apa yang diinginkan. Perkawinan sebagian jalan untuk bisa

BAB I PENDAHULUAN. suatu kelompok dan kemampuan manusia dalam hidup berkelompok ini dinamakan zoon

Ani Yunita, S.H.M.H. Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PEMBERIAN MUT AH DALAM PUTUSAN MA RI NO. REG. 441 K/ AG/ 1996

BAB I PENDAHULUAN. insan manusia pria dan wanita dalam satu ikatan suci dengan limpahan dari

BAB I PENDAHULUAN. Aristoteles, seorang filsuf yunani yang terkemuka pernah berkata bahwa

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB IV ANALISA TENTANG TINJAUN HUKUM ISLAM TERHADAP KAWIN DI BAWAH UMUR. A. Analisa Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kawin di Bawah Umur

BAB 1 PENDAHULUAN. menimbulkan akibat lahir maupun batin baik terhadap keluarga masing-masing

BAB I PENDAHULUAN. yang wajar dan dalam ajaran nabi, pernikahan ditradisikan menjadi sunnah beliau. dan Anas melihatnya, dan beliau bersabda:

BAB I. Persada, 1993), hal Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, cet.17, (Jakarta:Raja Grafindo

BAB I PENDAHULUAN. kelaminnya (laki-laki dan perempuan), secara alamiah mempunyai daya tarikmenarik

KEWENANGAN AYAH BIOLOGIS SEBAGAI WALI NIKAH TERHADAP ANAK LUAR KAWIN (Kajian Komparasi Antara Hukum Perkawinan Indonesia dengan Empat Madzhab Besar)

BAB I PENDAHULUAN. A.Rahman I. Doi, penjelasan lengkap hukum-hukum allah (syariah), PT Raja Grafindo persada, Jakarta, 2002, hal.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Aji Samba Pranata Citra, 2013

BAB I PENDAHULUAN. istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga ( Rumah Tangga ) yang bahagia

BAB I PENDAHULUAN. surga ada neraka, ada pria ada wanita dan sebagainya. 1. semua mahluknya, baik pada manusia hewan maupun tumbuh-tumbuhan.

BAB I PENDAHULUAN. oleh karena itu manusia wajib berdoa dan berusaha, salah satunya dengan jalan

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. 1. Pemaknaan Keharmonisan Pernikahan Pemuda Dewasa Dini. berbunyi sebagaimana berikut :

BAB I PENDAHULUAN. manusia sebagai umatnya. Serta ayat-ayat Al-qur an yang Allah SWT. khaliknya dan mengatur juga hubungan dengan sesamanya.

BAB I PENDAHULUAN. tersebut belum mempunyai kemampuan untuk melengkapi serta. kepentingan pribadi mereka masing-masing.

KAJIAN YURIDIS PENETAPAN PENGADILAN AGAMA MUNGKID NOMOR PERKARA 0019/Pdt.P/2012/PA. Mkd TENTANG ITSBAT NIKAH DALAM MENENTUKAN SAHNYA STATUS PERKAWINAN

STATUS HUKUM ANAK HASIL PERNIKAHAN SIRRI DAN AKIBAT HUKUMNYA

BAB 1 PENDAHULUAN. dan perempuan dari kedua jenis tersebut Allah menjadikan mereka saling

BAB I PENDAHULUAN. Perjanjian dalam Islam menjadi hal yang harus dipatuhi, hal ini

BAB I PENDAHULUAN. Qur an, Jakarta:1992, hlm Departemen Agama RI, Al-Qur an dan Terjemahannya, Proyek Pengadaan Kitab Suci Al-

SKRIPSI PERTIMBANGAN HAKIM MENETAPKAN WALI ADHAL DALAM PERKAWINAN BAGI PARA PIHAK DI PENGADILAN AGAMA KELAS 1A PADANG

BAB I PENDAHULUAN. wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga

SKRIPSI PELAKSANAAN PERKAWINAN MELALUI WALI HAKIM DI KANTOR URUSAN AGAMA KECAMATAN LUBUK KILANGAN KOTA PADANG

commit to user BAB I PENDAHULUAN

BAB 1 PENDAHULUAN. yang berlainan jenis antara laki-laki dan perempuan serta menjadikan hidup

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pengertian perkawinan dalam Undang-undang nomor 1 tahun 1974 dalam pasal 1

BAB I PENDAHULUAN. hati. Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam Al-Qur an 1

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. yang datang dari dirinya maupun dari luar. Pada masa anak-anak proses

BAB I PENDAHULUAN. Nomor 1 Tahun Dalam Pasal 1 Undang-undang ini menyebutkan :

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Allah Swt. menciptakan manusia di bumi ini dengan dua jenis yang

BAB I PENDAHULUAN. seorang laki-laki, ada daya saling menarik satu sama lain untuk hidup

BAB I PENDAHULUAN. pasal 1 disebutkan : Perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria

Mushaf al-azhar, Al-Qur an dan Terjemahan, Bandung: Penebit Hilal, 2010, hal. 354

BAB I PENDAHULUAN. ini banyak dijumpai pasangan yang lebih memilih untuk melakukan nikah siri

TINJAUAN YURIDIS DAMPAK PERKAWINAN BAWAH TANGAN BAGI PEREMPUAN OLEH RIKA LESTARI, SH., M.HUM 1. Abstrak

TINJAUAN MAQASHID AL-SYARI AH SEBAGAI HIKMAH AL-TASYRI TERHADAP HUKUM WALI DALAM PERNIKAHAN

Transkripsi:

SKRIPSI BATAS KEMAMPUAN MENIKAH DITINJAU DARI HUKUM ISLAM (Telaah Analitis Terhadap Pasal 7 Undang-undang No. 1 Tahun 1974) Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-tugas Dan Syarat-Syarat Guna Mencapai Derajat Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta Oleh : S U K M A R A C 100 970 035 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2008

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Perkembangan kehidupan manusia tentunya banyak melalui masamasa tertentu. Dari masa kanak-kanak, remaja, dewasa dan tua. Masa remaja merupakan merupakan masa peralihan, dimana sifatnya dan kondisi seorang laki-laki maupun perempuan memiliki perubahan. Masa remaja disebut juga masa aqil baligh, dimana masa tersebut ditentukan antara laki-laki dan perempuan sangatlah berbeda. Menurut Helmi Karim tanda-tanda keremajaan atau aqil baligh tersebut adalah: 1. Datangnya masa haid bagi wanita 2. Mimpi senggama bagi laki-laki 3. Berubahnya suara 4. Tumbuhnya bulu ketiak 5. Tumbuhnya bulu kemaluan 1 Menurut Anwar Harjono, ukuran masa aqil baligh adalah umur lima belas tahun atau secepat-cepatnya umur dua belas tahun bagi laki-laki dan secepat-cepatnya umur sembilan tahun bagi wanita 2. Dalam Al-Quran disebutkan tentang cukup umur atau baligh dengan kata Rusyd (cerdas). 1 Helmi Karim, dkk., Problematika Hukum Islam Kontemporer. Buku ke II, Jakarta PT. Firdaus, 1996, hal. 70 2 Anwar Harjono. Hukum Islam keluasan dan keadilan, Jakarta, PT. Bulan Bintang, 1987, hal. 222.

2 Firman Allah SWT 3. Artinya: Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian menurut pendapatmu, mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. Hadist Nabi SAW 4 Artinya: dari Abu Mas ud r.a berkata : telah berkata Rasulullah saw. Hai pemuda-pemuda sekalian, barang siapa yang mampu diantara kamu serta berkeinginan hendak kawin, hendaklah dia kawin karena sesunguhnya perkawinan itu akan memejamkan matanya terhadap orang yang tidak halal dilihatnya, dan akan memeliharanya dari godaan syahwat. Dan barang siapa yang tidak mampu kawin hendaklah dia puasa, karena dengan puasa hawa nafsunya terhadap perempuan akan berkurang (H.R Jamaah Ahli Hadits). 3 Q.S. An-Nisa. 6 4 Suparman Usman, Perkawinan Antar Agama, Serang. Saudara. 1995, hal. 6 2

3 Dari firman Allah SWT dan hadits nabi Muhammad SAW tersebut diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa anak dinyatakan aqil baligh apabila anak tersebut sudah mimpi senggama bagi anak laki-laki dan datangnya masa haid bagi anak perempuan. Pada masa itu seorang anak mulai berubah sifat, sikap dan pola pikirnya. Biasanya anak tersebut menjadi pemalu dan lebih rajin merawat diri. Sedangkan pola pikirnya menjadi semakin jelas, sehingga anak lebih memahami keadaan diri sendiri. Ia mulai kritis dan mampu mengambil sintesa antara dunia luar dan dunia intern (dunia batiniyahnya sendiri). Secara obyektif anak muda kini mengaitkan dirinya sendiri dengan dunia luar. Secara tegas ia berusaha mengarahkan hidupnya dan berupaya memberikan isi bagi kehidupannya. Ia berusaha memberi bentuk pada diri sendiri dan mencoba mendidik diri sendiri. Maka sampailah ia pada batas kedewasaannya 5. Usia kedewasaan itu adalah usia dua puluh tahun bagi wanita dan dua puluh lima tahun bagi pria. Hal ini karena zaman modern menuntut untuk mewujudkan kemaslahatan dan tangung jawab sosial. Dengan usia ini orang sudah mampu menghadapi berbagai kesulitan, karena sudah matang akal dan pikirannya 6. Secara alamiah, pada manusia dewasa akan timbul nafsu seksual yang perlu disalurkan. Jika tidak tersalurkan, manusia bisa mengalami masamasa kegelisahan. Sedang, jika dapat disalurkan dengan cara yang benar, akan 5 Kartini Kartono, Psikologi Wanita Gadis Remaja Dan Wanita Dewasa, Jakarta. PT. Raja Grafindo Persada, 1981, hal. 169. 6 Sarlito Wirawan S. Membina perkawinan yang berbahagia, Jakarta. PT. Raja Grafindo Persada, 183, hal. 13

4 menimbulkan ketenangan batin dan ketentraman jiwa dan dapat memupuk rasa sayang yang bertanggung jawab 7. Cara benar yang dimaksud diatas adalah cara yang sudah ditentukan, baik oleh hukum maupun agama, yaitu yang disebut dengan perkawinan. Bentuk perkawinan ini lebih memberikan jalan yang aman pada naluri kebutuhan biologis, memelihara keturunan dengan baik dan menjaga kaum perempuan agar tidak laksana rumput yang bisa dimakan oleh binatang ternak seenaknya. Menurut Sayyid Sabiq, pergaulan suami isteri diletakkan di bawah naungan naluri keibuan dan kebapakkan, sehingga nantinya akan menimbulkan buah yang bagus. Peraturan perkawinan seperti inilah yang diridhoi Allah dan diabadikan Islam untuk selamanya 8. Firman Allah SWT 9. Artinya: Dan diantara tanda-tanda kekuasaannya adalah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikannnya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesunguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir 7 Helmi Karim, dkk, Op.cit, hal. 63 8 Fiqh As-Sunnah Jilid VI, Alih Bahasa H. Kamaludin dan A. Marzuki, Bandung. PT. Al-Ma arif, 1998, hal. 10 9 Q.S. Ar-Ruum, 21

5 Menurut Arso Sosroatmojo, perkawinan menurut Islam adalah heilige contract (perikatan atau perjanjian suci) antara pria dan wanita sesuai dengan yang telah ditentukan oleh Allah, untuk hidup bersama, guna mencapai masyarakat yang mulia 10. Firman Allah SWT 11. Artinya: Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami isteri. Dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat. Sedang menurut Pasal 1 Undang-undang No. 1 tahun 1974, menerangkan bahwa perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam soal batas kemampuan menikah, Islam memberikan pandangan dengan kemampuan (isthithaah), yakni kemampuan dalam segala hal, baik kemampuan memberi nafkah lahir batin kepada istri dan anak-anak maupun kemampuan dalam mengatasi gejolak emosi yang menguasai dirinya. 10 Arso Sosroatmojo dan A. Aulawi., Hukum Perkawinan di Indonesia, Jakarta. PT. Bulan Bintang, 1978, hal. 15 11 Q.S. An-Nisa, 21

6 Jika kemampuan telah ada, Islam menyuruh seseorang untuk menikah karena dengan menikah, kehormatan, martabat dan kemuliaan manusia akan terjaga, agar tidak seperti mahluk lainnya yang hidup bebas mengikuti nalurinya tanpa ada satu aturan. Dengan perkawinan itu Allah SWT adakan hukum sesuai dengan martabatnya, sehingga hubungan antara laki-laki dan perempuan diatur secara terhormat dan berdasarkan saling ridho-meridhoi. Dan jika nafsunya telah mendesaknya sedangkan ia tak mampu untuk kawin maka hendaklah ia banyak berpuasa. Sebagaimana hadits Nabi SAW 12. Artinya: dari Abu Mas ud r.a berkata: berkata Rasulullah saw.: Hai pemuda-pemuda sekalian, barang siapa yang mampu diantara kamu serta berkeinginan hendak kawin, hendaklah dia kawin karena sesunguhnya perkawinan itu akan memejamkan matanya terhadap orang yang tidak halal dilihatnya, dan akan memeliharanya dari godaan syahwat. Dan barang siapa yang tidak mampu kawin hendaklah dia puasa, karena dengan puasa hawa nafsunya terhadap perempuan akan berkurang (H.R Jamaah Ahli Hadits). 12 Ibnu Hajar Al-Asqalani, Bulughul Maram, alih bahasa M. Syarif Sukandy, Bandung, PT. Al- Ma arif, 1996, hal. 356

7 Dari hadits tersebut diatas dapat diambil kesimpulan bahwa Islam tidak mengatur batas kemampuan menikah bagi laki-laki dan perempuan bahwa batas kemampuan menikah itu dilihat dari segi kematangan lahiriyah dan batiniyah. Secara lahir adalah mampu memberi nafkah untuk kebutuhan sehari-harinya, memberi kasih sayang pada isteri dan anaknya serta mampu bersosialisasi dengan lingkungan barunya. Sedang secara batin, jika telah memiliki kesiapan berumah tangga, dengan tujuan membangun keluarga yang bahagia dan sejahtera. Jika ingin membentuk keluarga yang bahagia, segi lahiriyah dan batiniyah adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Jika mampu hanya dari segi lahiriyahnya saja akan menimbulkan rasa kurang tangung jawab dengan keluarga barunya. Sedang, jika mampu hanya dari segi batiniyahnya saja, sulit sekali untuk bisa memberikan biaya hidup yang cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Menurut Pasal 7 ayat (1) dan (2) Undang-undang No. 1 tahun 1974 mengatakan, perkawinan hanya diijinkan jika pihak pria sudah mencapai umur sembilan belas tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur enam belas tahun. Namun demikian, jika belum mencapai umur dua puluh satu tahun, calon pengantin baik pria atau wanita diharuskan memperoleh ijin dari orang tua atau wali yang diwujudkan dalam membentuk surat ijin sebagai salah satu syarat untuk melangsungkan perkawinan. Bahkan bagi calon pengantin wanita yang usianya kurang dari enam belas tahun harus memperoleh dispensasi dari Pengadilan 13. 13 Arso Sosroatmojo dan A. Aulawi., Op.Cit, hal. 86

8 Dari kesimpulam di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa batas kemampuan menikah meurut Undang-undang Republk Indonesia Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal 7 ayat (1) itu ditentukan oleh umur. Undang-undang memberikan kemudahan dalam hal ini, karena seseorang boleh menikah mencapai umur sembilan belas tahun, tanpa memandang kesiapan lahir dan batin. Hal ini bisa dikatakan fatal, karena dengan ketentuan tersebut banyak pasangan menikah di usia muda, yang menyebabkan ketidakharmonisan akibat kurangnya ekonomi, perceraian, rendahnya pendidikan dan kemiskinan. Sedang menurut Islam batas kemampuan menikah lebih ditekankan pada kematangan lahir dan batin. Akan tetapi, kematangan lahir dan batin seseorang tidak tertentu munculnya pada usia berapa. Jadi sebenarrnya yang lebih pasti adalah jika kedua calon mempelai telah aqil baligh. Seperti pendapat ahli Psikologi Sarlito WS, yang mengatakan bahwa orang muda yang akan menempuh kehidupan rumah tangga hanya dapat mengartikan cinta sebagai suatu keindahan dan romantisme belaka. Mereka baru memiliki cinta emosi, karena belum diikat oleh rasa tanggung jawab yang sempurna 14. Tetapi sebenarnya, batasan-batasan umur seperti yang telah ditekankan oleh Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan yaitu pria sembilan belas tahun dan wanita enam belas (16) tahun ditambah lagi dengan jika kedua calon mempelai belum mencapai 14 Sarlito Wirawan S, Psikologi Remaja, Jakarta PT. Raja Grafindo Persada, 1994, hal. 13

9 umur dua puluh satu (21) tahun harus memperoleh ijin dari orang tua atau walinya, hal itu adalah sesuai dengan batasan-batasan umur menurut hukum Islam. Maksudnya pada usia tersebut keduanya telah aqil baligh dan sudah mempunyai kedewasaan, kemandirian dan kematangan, yang tentu saja dipengaruhi oleh faktor bagaimana keluarga dan lingkungan yang telah membentuk kepribadiannya. Batas kemampuan menikah adalah bilamana orang akan menikah dan juga merupakan petunjuk yang benar tentang kapan sebaiknya orang menikah agar bisa menciptakan pasangan yang saling mencintai, menghormati, menhargai, mempercayai dan juga rasa tanggung jawab terhadap kewajiban serta hak-haknya di dalam kedudukan sebagai suami isteri, agar tidak terjadi suatu perselisihan yang mengakibatkan suatu perceraian. Perceraian itu terjadi dikarenakan keetidakmampuan seseorang untuk kawin, baik kemampuan secara lahiriyah maupun secara batiniyah. B. Perumusan Masalah Dari uraian latar belakang masalah tersebut perlu ditegaskan dan dirumuskan pokok masalah untuk memperjelas permasalahan yang akan diteliti. Adapun rumusan masalah dalam penyusunan skripsi ini adalah sebagai berikut: 1. Apakah hakekat batas kemampuan menikah (istithaah) dalam sebuah perkawinan?

10 2. Bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap konsensi Pasal 7 ayat (1) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan? 3. Bagaimana hubungan antara batas kemampuan menikah (istithaah) dengan tujuan dan hikmah perkawinan? C. Pembatasan Masalah Pembatasan masalah pada penulisan skripsi ini meliputi bagaimana batas kemampuan menikah antara seorang laki-laki dan seorang perempuan apabila ditinjau dari hukum Islam, melalui telaah analitik terhadap Pasal 7 Undangundang Republik Indonesia Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. D. Tinjauan Pustaka Pada dasarnya kematangan jiwa seseorang sangat besar artinya untuk memasuki gerbang rumah tangga. Perkawinan pada usia muda dimana seseorang belum siap secara lahir batin maupun bathin, kemungkinan besar menimbulkan masalah dibelakang kemudian hari, bahkan tidak sedikit yang terputus ditengah jalan (cerai). Dalam persoalan batas-batas usia perkawinan, Islam memberikan pandangan dengan kemampuan (istithaah) yakni kemampuan dalam segala hal, baik kemampuan memberi nafkah lahir bathin kepada isteri dan anakanaknya, maupun kemampuan mengendalikan gejolak emosi yang menguasai dirinya. Jika kemampuan tersebut telah ada, Islam mempersilahkan untuk

11 segera menikah. Namun jika belum mampu untuk menikah karena dua hal tersebut diatas, maka untuk mencegah terjadinya hal-hal negatif yang berhubunan dengan hawa nafsu (syahwat), jalan yang terbaiknya adalah dengan berpuasa. Islam tidak pernah mensyaratkan sahyna suatu perkawinan karena usia pihak-pihak yang akan menikah. Artinya, suatu perkawinan tetap menjadi sah jika rukun dan syaratnya terpenuhi. Tidak adanya persyaratan usia suami isteri itu merupakan kemudahan yang diberikan oleh agama, karena ada segi-segi positif lain yang dituju. Akan tetapi, karena perkawinan itu bukan merupakan hal sederhana, maka agama mengharuskan adanya beberapa rukun dan syarat guna menumbuhkan rasa tanggung jawab 15. E. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian yang hendak dicapai oleh penulis adalah sebagai berikut: 1. Untuk menjelaskan batas-batas kemampuan menikah (istithaah) sebagai sebuah ukuran dalam melaksanakan perkawinan. 2. Untuk menerangkan lebih jauh tentang tinjauan Hukum Islam terhadap aturan Pasal 7 ayat (1) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. 3. Untuk mengetahui hubungan antara batas kemampuan menikah (istithaah) dengan tujuan dan hikmah perkawinan. 15 Helmi Karim, Op.Cit, hal 65.

12 F. Mafaat Penelitian Adapun manfaat yang hendak diperoleh dari penelitian ini antara lain: 1. Untuk mengetahui dan memahami masa yang tepat untuk melaksanakan pernikahan agar melahirkan keluarga yang Sakinah yang berarti ketentraman, Mawaddah yang berarti kasih sayang dan Rahmah yang merupakan bentuk kasih sayang setelah adanya keturunan. 2. Sebagai sumbangsih pemikiran untuk memperkaya kepustakaan (istithaah) Hukum Islam pada khususnya dan ilmu pengetahuan hukum pada umumnya. G. Metode Penelitian Metode merupakan cara yang digunakan untuk mencapai suatu tujuan, misalnya untuk menguji serangkaian hipotesa dengan menggunakan teknik tertentu. Cara utama ini dipergunakan setelah peneliti memperhitungkan kewajaran, ditinjau dari penelitian serta dari situasi penelitian 16. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Jenis Penelitian Penelitian yang dilakukan ini termasuk jenis penelitian pustaka, artinya sebagai objek penelitian yang utama adalah menelaah buku-buku dan kitab-kitab yang ada hubungannya dengan masalah yang akan dibahas. 2. Sifat Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif, yaitu penelitian yang bermaksud menjelaskan batas-batas kemampuan menikah (istithaah) ditinjau dari Hukum Islam. 16 Sutrisno Hadi, Metodologi Research, Yogyakarta, Fakultas Psikologi UGM, 1980, 1980, hal. 63

13 3. Pendekatan Pendekatan yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini adalah pendekatan normatif, yuridis dan sosiologis. Artinya, masalah yang muncul dan berkembang ditelaah menggunakan landasan hukum-hukum tersebut ditas. 4. Sumber Data Sumber data dari penelitian ini bahan hukum primer, sekunder dan tersier. Antara lain: a. Bahan Hukum Primer, terdiri dari, Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, Al-Qur an, dan Al-Hadist. b. Bahan Hukum Sekunder, terdiri adalah dokumen-dokumen, buku-buku penunjang serta ketentuan undang-undang yang berlaku sebagai bahan penulisan skripsi ini. c. Bahan hukum Tersier, terdiri dari, kamus hukum, artikel maupun literatur lainnya yang berkaitan dengan masalah yang diteliti. 5. Analisis data Analisis data adalah suatu proses penyederhanaan data ke dalam bentuk yang lebih mudah untuk dibaca dan diinterpretasikan 17. Dalam penelitian ini, menggunakan metode deduktif normatif, yakni mengawali dengan pola berfikir dari prinsip umum kemudian diaplikasikan kepada fenomena yang bersifat kepada yang khusus. dengan cara komprehensif, analitis, yuridis dan sistematis. 17 Ibid, hal. 37

14 H. Sistematika Penulisan Sistematikan penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah B. Perumusan Masalah C. Pembatasan Masalah D. Tinjauan Pustaka E. Tujuan Penelitian F. Manfaat Penelitian G. Metode Penelitian H. Sistematika Penulisan BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Perkawinan a. Dasar Hukum Perkawinan b. Rukun dan Syarat Perkawinan c. Tujuan Perkawinan B. Pengertian dan dasar hukum istithaah dalam perspektif Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. C. Faktor-faktor yang mempengaruhi batasan kemampuan menikah D. Kriteria kemampuan menikah E. Kematangan menikah

15 BAB III HASIL PEMBAHASAN A. Batas Kemampuan Menikah menurut Pasal 7 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dalam perspektif Hukum Islam. B. Hubungan antara Batas Kemampuan menikah dengan Azasazas Perkawinan. C. Hubungan antara Batas Kemampuan Menikah (istithaah) dengan Tujuan dan Hikmah Perkawinan BAB IV PENUTUP A. kesimpulan B. Saran