IVANA PAULINE HANDOJO -ie- JEJAK SAPU TANGAN nulisbuku.com
Aroma buku membius, melarutkan Sandra dalam ketenangan di hari libur yang terlupakan ini. Tiga lukisan besar dan beberapa pajangan foto-foto alam, mengepung rak-rak yang telah tersusun rapi. Bergentayangan menghiasi sudut. Satu lukisan yang menghipnotis kedua bola matanya. Hitam putih warna mutlak dasarnya, tergambar sepasang kaki insan. Terlihat sepadan, senada, namun berbeda bentuk dan ukuran. Kiri dan kanan, namun bukan hanya satu insan namun sepasang insan dipadu bersamaan. Terlihat jelas perbedaan kaki kaum Adam dan Hawa. Ada satu tulisan dibawah gambar itu : Sepasang, seiya sekata, Dua kaki dalam kebersamaan. @Obscure.Luce, 1997.
Panjat menimang, Entah raga dan jiwa diracik untuk saling meminang satu dengan dua, dilematis, Entah apa rasa yang teruntai Seperti garis tanpa awal seperti titik ENOL yang tak menetas BUkan pecahan Hanya percampuran dengan bulatan Fakta menjadi faham. Tandas menabrak dinding kemelut Dimana panjatan itu, atau pijakan? Semua hanya menghampa Enol dan tak berbalas Sedari daritadi, Semu sekat Jarak waktu Dan yang hadir hanya diam Bukan untuk dihadirkan tapi menghadirkan fana Hampa, fana. Semuanya bulat tanpa sudut Itulah bola mata yang berkasat tanpa kehadiran Dinding kemelut, saksinya -Sandra-
Dengan masih mata tak berkedip, halaman 47 sudah berada di hadapannya. Seketika, matanya bertabur bintang, hatinya tersentuh dan jiwanya mengudara, saat quote Khalil Gibran terjangkit kembali di lembar ingatannya, ini quote kesukaannya: Pohon adalah syair yang ditulis bumi pada langit. Kita tebang pohon itu dan menjadikannya kertas dan diatasnya kita tulis kehampaan kita -Khalil Gibran- Ahhh, kenapa aku larut setiap membaca quote ini seakan ini sangat menyentuh relung hatiku **bicaranya dalam hati**
Menyamar dalam rimba, makna yang sedang Sandra rasakan. Menatap sudut-sudut, terjerat dengan sosok pria bersapu tangan. Entah bagaimana mendeskripsikan gejolak di hati. Seperti ada sumbu yang tak belum pernah menyala namun terpadam. Terbesit, mengapa sosok dan nada suara Fino sangat mirip dengan pria misterius, tiga tahun lalu, Yogya? Mungkinkah? Guling itu kesesakan, dipeluk terlalu erat oleh Sandra. Halusinasinya, memeluk erat pria itu, Fino terasa begitu dekat saat tersentuh kulitnya Tak terasa rintikan tetesan dari mulutnya, terangsur-angsur membasahi guling. Ohhh!! Duh, kok basah begini!! kaget Sandra, sambil menyadarkan diri dari halusinasi
Seketika, aku tak berbicara dengan bibir Tak mengucap satu katapun Hanya melantun dengan perasaan terdalam Berdialog di hati tentang hubungan ketidakselarasan Terkadang kukikiskan pertanyaan ini, akan hadirnya seseorang Namun sungguh tak mampu membohongi Bahwa apa yang telah terlahir, sangat sulit diabaikan Aku berharap menemukanmu di jejak-jejak pasir Ini hanya desahku pada sang hati jeritku pada sang alam Supaya gelombang lautan merekam jejakmu di pasir supaya bayanganmu, seketika hadir mengejutkanku
Dengan suara lembut, Wahai pohon dengarlah.. Kau, pohon adalah: adalah syair yang ditulis bumi pada langit. Kita tebang pohon itu dan menjadikannya kertas dan diatasnya kita tulis kehampaan kita -Khalil Gibran- @FINO,2009 Sambil menatap batas tertinggi pohon kelapa itu, Tenang pohon, aku tak akan menebangmu! ujar Fino dengan lantang. Kau berarti bagiku, kau bisa menghasilkan sepeser demi sepeser uang, dari uang koin ke lembaran uang kertas Saat ini, aku hanya memohon maaf telah begitu tega memisahkanmu, menjualmu dan semua demi keuntunganku Entah bagaimana lagi yang terucap untuk mewakili penyesalan ini, Fino hanya dapat berkata dalam hatinya.. Ku harap kamu bisa mengerti pohon, ini rasaku..ini bentuk maafku. tambahnya. Mulai besok, aku akan berhenti memanjat dan mengambil buahmu.aku janji ya, seraya mengikrarkan sumpahnya kepada pohon itu. Dilipatnya kembali kertas itu, dikeruknya pasir-pasir, ditanamnya surat itu tepat disebelah batang pohon kelapa.. Sambil mengelus kasarnya batang dan sekali lagi, maafkan aku! singkat akhir kata yang terucap dari bibirnya Fino mengangkat tubuhnya, memalingkan diri dan pergi.
Sandra hanya mengejar tiupan angin, mengupas deburan ombak (khayalan yang tak beralasan), putus asa, sedih dan kecewa. Diambilnya buku kecil di ranselnya, pena ini siap disanding dengan jeritan: Ketika tiba saat perpisahan, janganlah kalian berduka, sebab apa yang paling kalian kasihi darinya mungkin akan nampak lebih nyata dari kejauhan seperti gunung yang nampak seperti lebih agung terlihat dari padang dan daratan Khalil Gibran- @Fino, aku tak berharap ini perpisahan. Dengan cinta dan harapan, berharap menemukanmu entah di gunung, padang, daratan ataupun mungkin gazebo tua..dimanapun..sandra 2014 Di lepaskannya sapu tangan abu-abu itu dan bersamaan dengan kertas yang ditulisnya, yang telah dilipat sama persis sekecil kertas yang ditemukannya. Sandra menyelipkan, mengubur sapu tangan dan kertas itu bersamaan. Dengan harapan dan usaha, ada doa yang terselip, semuanya benamkan di pasir sebelah pohon kelapa dan angin yang bersiul menjadi saksi. Kau seseorang yang kunanti dan jejak sapu tangan itu yang akhirnya mempertemukan kita kembali Sambil suara tepuk tangan mengudara dengan maraknya.begitupun jepretan kamera Friska merekam pelukan mereka berdua menjadi satu kenyataan