BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Gagal ginjal terminal (GGT) merupakan titik akhir dari gangguan faal ginjal yang bersifat irreversible, dimana kemampuan tubuh gagal untuk mengangkut sampah metabolik tubuh atau melakukan fungsi regulernya yang mengakibatkan terjadinya sejumlah perubahan fisiologis yang tidak dapat diatasi lagi dengan tindakan konservatif, sehingga membutuhkan terapi pengganti ginjal (Smeltzer, 2002). Terapi pengganti ginjal terdiri dari hemodialisa, peritoneal dialisa dan tranplantasi ginjal. Saat ini hemodialisa (HD) merupakan terapi pengganti ginjal yang paling banyak dilakukan dan jumlahnya tahun ketahun terus meningkat (Almatsier, 2006). Diperkirakan bahwa ada lebih dari 100.000 pasien pada setiap tahunnya menjalani hemodialisa (Smeltzer, 2002). Data dari United State Renal Data System (USRDS) bahwa jumlah GGT yang menjalani dialysis di Amerika Serikat pada akhir 1991 mencapai 142.488 orang dan 119.085 orang diantaranya menjalani hemodialisa. Di Indonesia, berdasarkan data PT. ASKES (1999) ada sekitar 3.000 penderita GGT yang menjalani hemodialisa, ini belum termasuk hemodialisa yang dibiayai perusahaan swasta maupun atas biaya sendiri (Gatot, 2003). Menurut data rekam medik dari Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Dr.
Pirngadi Medan pada tahun 2008 terdapat sekitar 12.970 kunjungan ke instalasi hemodialisa sedangkan pada tahun 2009 sebanyak 11.949 kunjungan yang melakukan terapi hemodialisa. Bagi penderita gagal ginjal terminal, hemodialisa akan mencegah kematian. namun demikian, hemodialisa tidak menyembuhkan atau memulihkan penyakit ginjal dan tidak mampu mengimbangi hilangnya aktivitas metabolik atau endokrin yang dilaksanakan ginjal dan dampak dari gagal ginjal dan terapinya terhadap kualitas hidup pasien. Pasien-pasien ini harus menjalani terapi hemodialisa sepanjang hidupnya, biasanya 3 kali seminggu selama paling sedikit 3 atau 4 jam per kali terapi (Smeltzer, 2002). Pada proses hemodialisa, aliran darah ke ginjal dialihkan melalui membran semipermiabel dari ginjal tiruan sehingga produk-produk sisa metabolisme dapat dikeluarkan dari tubuh. (Almatsier, 2006). Pada pasien yang menjalani terapi hemodialisa, intervensi diet memegang peran penting, diet yang berimbang sangat mereka perlukan untuk tetap fit ketika ginjal mereka sudah tidak lagi berfungsi pada kapasitas yang penuh. Untuk mempertahankan kondisi yang lebih baik dari pasien dialisis mereka perlu mengkomsumsi jenis dan jumlah makanan yang tepat setiap hari. Untuk mencapai hasil dialisis yang baik, pasien dialisis perlu mengontrol diet mereka sehingga mampu mengontrol produk limbah dan cairan yang terakumulasi diantara penanganan atau tindakan dialisis. Pasien dialisis perlu mendapatkan asupan protein, kalori, cairan, vitamin dan mineral yang tepat setiap hari. Diet yang baik untuk pasien dialisis adalah kecukupan dalam asupan protein,
kecukupan kalori, rendah kalium, rendah natrium, rendah fosfor dan cairan yang terkontrol (Cahyaningsih, 2010). Tujuan diet pada pasien gagal ginjal terminal yang melakukan terapi hemodialisa adalah untuk mencegah defisiensi gizi serta mempertahankan dan memperbaiki status gizi, agar pasien dapat melakukan aktivitas normal, menjaga keseimbangan cairan dan elektrolit dan menjaga akumulasi produk sisa metabolisme tidak berlebihan (Almatsier, 2006). Menurut penelitian yang dilakukan oleh Cahyaningsih tahun 2010 status nutrisi merupakan prediktor yang kuat terhadap pasien, termasuk mortalitas dan kualitas hidup pasien. Hal ini diperkuat seperti yang dikatakan Nunuk Mardiana yang disampaikan dalam kegiatan Indonesian Nephrology Nurse Association (PPGII) pada tahun 2008 bahwa terdapat bukti yang menunjukan bahwa status nutrisi yang buruk pada saat penderita mulai memerlukan dialisis merupakan prediktor kuat peningkatan mortalitas pada masa dialisis. Hasil studi pendahuluan di RSUD Dr. Pirngadi Medan, terdapat sekitar 15 % pasien dengan jadwal hemodialisa lebih cepat dari jadwal yang seharusnya, 20 % datang dengan keadaan sesak, 30% yang mengalami kekurangan gizi, 40 % mengalami komplikasi penumpukan cairan yang berlebihan, 50% mengalami peningkatan berat badan dari yang seharusnya. Hal ini disebabkan karena pengetahuan dan kepatuhan pasien yang masih kurang dalam menjalankan terapi diet yang dianjurkan.
Perencanaan pengaturan diet cukup sulit dan diet sukar diikuti oleh pasien, akan tetapi bila itu tidak dipatuhi akan memberikan konsekwensi yang merugikan (Sidabutar,1992). Menurut Ley dan Spelman dalam Niven (2002) tak seorang pun dapat mematuhi instruksi jika ia salah paham tentang instruksi yang diberikan kepadanya, hal ini disebabkan oleh kegagalan profesional kesehatan dalam memberikan informasi yang lengkap kepada pasien. Komunikasi yang baik oleh perawat dalam memberikan pendidikan kesehatan haruslah dipahami oleh pasien yang menjalani terapi hemodialisa, sehingga dapat meningkatkan pengetahuan pasien tentang diet yang dianjurkan (Smeltzer, 2002). Dalam hal ini peran perawat sangat penting untuk memberikan dorongan positif kepada pasien untuk mengontrol dietnya (Grodner, et.al. 1996). Salah satu faktor yang mendukung kepatuhan adalah meningkatnya interaksi profesional kesehatan dengan pasien. Pasien membutuhkan penjelasan tentang kondisinya, apa penyebabnya dan apa yang dapat mereka lakukan dengan kondisi seperti itu. Untuk meningkatkan interaksi tenaga kesehatan dengan pasien, diperlukan suatu komunikasi yang baik oleh tenaga kesehatan. Dengan komunikasi, seorang tenaga kesehatan dapat memberikan informasi yang lengkap guna meningkatkan pengetahuan pasien dalam setiap instruksi yang diberikan kepadanya, sehingga diharapkan lebih dapat meningkatkan kepatuhan pasien dalam menjalankan terapi (Niven, 2002). Strategi untuk meningkatkan pengetahuan dan kepatuhan pasien adalah dukungan profesional kesehatan dan pemberian informasi (Niven, 2002). Hal ini
dapat terwujud dengan melakukan komunikasi kepada pasien. Komunikasi perawat yang diarahkan pada pencapaian tujuan untuk menyembuhkan pasien merupakan salah satu karakteristik komunikasi terapeutik (Purwanto, 1994). Penerapan komunikasi terapeutik dalam pelayanan perawatan mempunyai peran yang besar terhadap kemajuan kesehatan pasien. Komunikasi terapeutik meningkatkan hubungan interpersonal dengan klien sehingga akan tercipta suasana yang kondusif dimana klien dapat mengungkapkan perasaan dan harapanharapannya (Sundberg, 1989). Kondisi saling percaya yang telah dibangun diantara perawat dan pasien tersebut akan mempermudah pelaksanaan dan keberhasilan program pengobatan (Stuart G.W., et al, 1998). Komunikasi yang baik dapat meningkatkan pengetahuan dan kepatuhan klien dalam hal pengobatan dan perawatan penyakitnya (Anggraini, 2009). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Palestin (2002) pada pasien di poliklinik penyakit dalam RSU dr. Sardjito Yogyakarta dengan disain eksperimen semu one group before and after intervention design menyatakan bahwa secara statistik terdapat pengaruh yang bermakna setelah pemberian komunikasi terapeutik terhadap pengetahuan dan kepatuhan dalam pengobatan pada pasien diabetes mellitus. Kemudian penelitian yang dilakukan Kristiana (2004) dapat disimpulkan bahwa komunikasi terapeutik dapat meningkatkan pengetahuan, sikap dan kepatuhan berobat pada penderita pulpitis di Poli gigi Puskemas Pucang Sewu kota Surabaya.
Dari hasil wawancara dan observasi di Instalasi Hemodialisa RSUD Dr. Pirngadi Medan terdapat sekitar 60% pasien dengan pengetahuan yang kurang, sehingga pasien sering bertanya tentang makanan yang dianjurkan, makanan yang tidak diperbolehkan dan makanan yang berprotein tinggi. Terdapat sekitar 30% pasien tidak mematuhi diet yang dianjurkan. Kurangnya pengetahuan dan ketidakpatuhan pasien ini diasumsikan karena kurang optimalnya komunikasi terapeutik yang dilakukan perawat. Berdasarkan hasil observasi dan wawancara beberapa perawat, dapat disimpulkan bahwa komunikasi yang dilakukan perawat di Instalasi hemodialisa RSUD Dr. Pirngadi Medan hanya sekedar saja dalam pengertian perawat tidak pernah melakukan sesi khusus untuk merencanakan pemberian materi tentang diet dengan melakukan komunikasi terapeutik, dan komunikasi yang dilakukan belum menunjukan komunikasi terapeutik. Melalui komunikasi terapeutik diharapkan terjadi perubahan dalam diri klien (Suryani, 2005). Sehingga dengan komunikasi terapeutik diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan pasien atau kepatuhan pasien untuk mematuhi diet yang dianjurkan pada hemodialisa, sehingga tidak terjadi komplikasi dan meningkatkan kualitas hidup pasien yang menjalankan terapi hemodialisa Dari permasalahan diatas peneliti ingin meneliti tentang pengaruh komunikasi terapeutik perawat terhadap pengetahuan dan kepatuhan dalam menjalankan terapi diet pada pasien hemodialisa di RSUD Dr. Pirngadi Medan.
1.2. Permasalahan Dari latar belakang diatas maka yang menjadi permasalahan penelitian adalah bagaimana pengaruh komunikasi terapeutik terhadap pengetahuan dan kepatuhan dalam menjalankan terapi diet pada pasien hemodialisa di RSUD Dr. Pirngadi Medan. 1.3. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian adalah untuk menganalisis pengaruh komunikasi terapeutik terhadap pengetahuan dan kepatuhan dalam menjalankan terapi diet pada pasien hemodialisa di RSUD Dr. Pirngadi Medan. 1.4. Hipotesis Hipotesis dalam penelitian ini adalah ada pengaruh komunikasi terapeutik terhadap pengetahuan dan kepatuhan dalam menjalankan terapi diet pada pasien hemodialisa di RSUD Dr. Pirngadi Medan. 1.5. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi : 1. Ilmu Pengetahuan Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan pengaruh komunikasi terapeutik terhadap pengetahuan dan kepatuhan.
2. Tenaga Kesehatan (perawat) Sebagai sumber informasi yang dapat membantu perawat dalam meningkatkan pelayanan keperawatan yang berhubungan dengan penerapan komunikasi terapeutik untuk meningkatkan pengetahuan dan kepatuhan pasien hemodialisa dalam menjalankan terapi diet. 3. Rumah Sakit Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber informasi bagi RSUD Dr. Pirngadi Medan bahwa pentingnya penerapan komunikasi terapeutik bagi seorang perawat yang berdampak pada pengetahuan dan kepatuhan pasien untuk menjalankan terapi diet pada pasien hemodialisa, sehingga dapat mengurangi dampak yang ditimbulkan dari kurangnya pengetahuan dan ketidakpatuhan diet yaitu angka kejadian pasien yang maju dari jadwal yang seharusnya, pasien malnutrisi, kenaikan berat badan yang berlebihan, terjadinya komplikasi karena cairan yang berlebih pada pasien hemodialisa dapat teratasi sehingga meningkatkan efektifitas hemodialisa dan meningkatkan kualitas hidup pasien yang menjalankan terapi hemodialisa