BAB III KEKERASAN SEKSUAL DALAM RUMAH TANGGA MENURUT UNDANG-UNDANG NO. 23 TAHUN A. Penyusunan Undang-undang No.

dokumen-dokumen yang mirip
BAB III DESKRIPSI PASAL 44 AYAT 4 UU NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG KETENTUAN PIDANA KEKERASAN SUAMI KEPADA ISTERI DALAM RUMAH TANGGA

KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

Kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PEREMPUAN DAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA. Oleh: Chandra Dewi Puspitasari

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. pada era reformasi adalah diangkatnya masalah kekerasan dalam rumah tangga

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

- Secara psikologis sang istri mempunyai ikatan bathin yang sudah diputuskan dengan terjadinya suatu perkawinan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

BUPATI PATI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PATI,

BAB I PENDAHULUAN. Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) sebenarnya bukan hal yang baru

"PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEREMPUANSEBAGAI KORBAN TINDAK PIDANA KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DI KABUPATEN LUWU TIMUR" BAB I PENDAHULUAN

BUPATI POLEWALI MANDAR

Wajib Lapor Tindak KDRT 1

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI BANGKA SELATAN PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG

Institute for Criminal Justice Reform

BUPATI SUKOHARJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG

Hadirkan! Kebijakan Perlindungan Korban Kekerasan Seksual. Pertemuan Nasional Masyarakat Sipil Untuk SDGs Infid November 2017

PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH

BAB I PENDAHULUAN. Kekerasan terhadap perempuan merupakan suatu fenomena yang sering

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kekerasan secara umum sering diartikan dengan pemukulan,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Rumah tangga merupakan unit yang terkecil dari susunan kelompok

DEKLARASI TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN. Diproklamasikan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

BUPATI BANGKA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA BARAT NOMOR 13 TAHUN 2013 PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN KEKERASAN

BAB I PENDAHULUAN. oleh pemerintah dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. yang didukung oleh umat beragama mustahil bisa terbentuk rumah tangga tanpa. berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

BAB I PENDAHULUAN. Pandangan tersebut didasarkan pada Pasal 28 UUD 1945, beserta

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK TENGAH TAHUN 2009 NOMOR 3

BUPATI BADUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 15 TAHUN 2013 TENTANG PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN KEKERASAN

PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. kekerasan. Tindak kekerasan merupakan suatu tindakan kejahatan yang. yang berlaku terutama norma hukum pidana.

BAB I PENDAHULUAN. sosial yang khususnya berkaitan dengan hukum, moralitas serta ketidakadilan.

BAB I PENDAHULUAN. proses saling tolong menolong dan saling memberi agar kehidupan kita. saling mencintai, menyayangi dan mengasihi.

PEMERINTAH KABUPATEN JEMBER PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN KEKERASAN KABUPATEN JEMBER

BUPATI PENAJAM PASER UTARA PROVINSI KALIMANTAN TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN PENAJAM PASER UTARA NOMOR 5 TAHUN 2014 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Hukum berkembang mengikuti perubahan zaman dan kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. ciptaan makhluk hidup lainnya, Hal tersebut dikarenakan manusia diciptakan dengan disertai

BAB III KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA PRESPEKTIF HUKUM POSITIF (UNDANG-UNDANG R.I NOMOR 23 TAHUN 2004)

PEMERINTAH KABUPATEN BOJONEGORO

Dengan Persetujuan Bersama. DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN:

BAB I PENDAHULUAN. memberikan efek negatif yang cukup besar bagi anak sebagai korban.

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN WONOGIRI

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SUKOHARJO,

BAB I PENDAHULUAN. dari perkawinan itu adalah boleh atau mubah. Namun dengan melihat

BAB I PENDAHULUAN. berpendidikan menengah ke atas dengan penghasilan tinggi sekalipun sering

PEMERINTAH KABUPATEN SUMENEP

I. TINJAUAN PUSTAKA. kekerasan itu tidak jauh dari kebiasaan kita. Berdasarkan Undang-undang (UU) No. 23 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. sesutu tentang tingkah laku sehari-hari manusia dalam masyarakat agar tidak

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan kepribadian setiap anggota keluarga. Keluarga merupakan

BAB I PENDAHULUAN. kematian dan cedera ringan sampai yang berat berupa kematian.

PERSPEKTIF GENDER DALAM UNDANG-UNDANG KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA. Oleh: Wahyu Ernaningsih

MAKALAH. Pengadilan HAM dan Hak Korban Pelanggaran Berat HAM. Oleh: Eko Riyadi, S.H., M.H.

BAB I PENDAHULUAN. kaum perempuan yang dipelopori oleh RA Kartini. Dengan penekanan pada faktor

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEBUMEN NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN KORBAN KEKERASAN BERBASIS GENDER

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang Undang Perlindungan Anak

LEMBARAN DAERAH NOMOR 2 TAHUN 2013 PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUDUS NOMOR 2 TAHUN TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. berpartisipasi serta berhak atas perlindungan dari tindak kekerasan dan. diskriminasi serta hak sipil dan kebebasan.

BAB I PENDAHULUAN. dan merupakan salah satu tempat pembentukan kepribadian seseorang. Dalam

BAB I PENDAHULUAN. tidak bisa menangani masalahnya dapat mengakibatkan stres. Menurut

2015 PENGARUH PROGRAM BIMBINGAN INDIVIDUA TERHADAP KEHARMONISAN KELUARGA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SUKOHARJO,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Banyak pihak merasa prihatin dengan maraknya peristiwa kekerasan

BAB I PENDAHULUAN. gender. Kekerasan yang disebabkan oleh bias gender ini disebut gender related

PEMERINTAH KABUPATEN POSO

WALIKOTA DENPASAR PERATURAN DAERAH KOTA DENPASAR NOMOR 4 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN KEKERASAN

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia

PEMERINTAH KABUPATEN LUMAJANG

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Kekerasan adalah perbuatan yang dapat berupa fisik maupun non fisik,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN OGAN KOMERING ULU

BAB II BATASAN PENGATURAN KEKERASAN FISIK TERHADAP ISTRI JIKA DIKAITKAN DENGAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN MENURUT KETENTUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA

BAB IV PENUTUP. A. Kesimpulan. Berdasarkan pada uraian yang telah diuraikan pada bab hasil dan

PEMERINTAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 74 TAHUN 2014 TENTANG

PEMERINTAH KABUPATEN MADIUN

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Dewasa ini dalam pembaharuan hukum, indonesia telah melahirkan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. yang bahagia dan kekal berdasarkan KeTuhanan Yang Maha Esa. Tujuan

BAB I PENDAHULUAN. Negara merupakan sebuah kesatuan wilayah dari unsur-unsur negara, 1 yang

BAB II PENGATURAN HUKUM MENGENAI KEKERASAN YANG DILAKUKAN OLEH SUAMI TERHADAP ISTRI. A.Kajian Hukum Mengenai Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004

BAB I PENDAHULUAN. sehari-hari, baik di lingkup domestik (rumah tangga) maupun publik.

BAB I PENDAHULUAN. Tuhan Yang Maha Esa tersebut tidak boleh dicabut oleh siapapun termasuk oleh

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi

PEMERINTAH KABUPATEN BANGKA BARAT

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PEMERINTAH KABUPATEN BANGKALAN

Lampiran Usulan Masukan Terhadap Rancangan Undang-Undang Bantuan Hukum

BUPATI BULUNGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUNGAN NOMOR 09 TAHUN 2012 TENTANG PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK TERHADAP TINDAK KEKERASAN

RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Sebagai UU yang Mengatur Tindak Pidana Khusus

PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

Majalah Hukum Forum Akademika

Transkripsi:

BAB III KEKERASAN SEKSUAL DALAM RUMAH TANGGA MENURUT UNDANG-UNDANG NO. 23 TAHUN 2004 A. Penyusunan Undang-undang No. 23 tahun 2004 1. Latar Belakang diterbitkannya Undang-undang No. 23 tahun 2004 Keutuhan dan kerukunan rumah tangga dapat terganggu jika kualitas prilaku dan pengendalian diri tidak terkontrol, pada akhirnya akan menimbulkan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga sehingga timbul ketidakamanan atau ketidakadilan terhadap orang yang berada dalam lingkup rumah tangga. Kekerasan dalam rumah tangga adalah salah satu bentuk kekerasan terhadap perempuan yang paling berbahaya. Hal ini banyak terjadi di masyarakat. Dalam hubungan keluarga perempuan semua umur menjadi sasaran segala bentuk kekerasan, termasuk pemukulan, perkosaan, bentukbentuk lain dari penyerangan seksual, mental dan bentuk kekerasan lain yang dikekalkan oleh sikap-sikap tradisional. Ketergantungan ekonomi, memaksa perempuan untuk bertahan pada hubungan yang didasarkan atas kekerasan. Bentuk-bentuk kekerasan ini menempatkan perempuan pada risiko kekerasan dan paksaan. Juga menempatkan perempuan pada tingkat risiko kesehatan dan paksaan, dan meniadakan kesempatan untuk 44

45 berpartisispasi dalam kehidupan keluarga dan kehidupan publik atas dasar persamaan. 1 Sementara itu, penggunaan kekerasan semakin menjadi-jadi di dalam kehidupan sehari-hari, sehingga seakan-akan diyakini bahwa kekerasan sebagai satu-satunya jalan untuk menyelesaikan konflik dalam rumah tangga. Masalah kekerasan terhadap perempuan merupakan masalah yang serius dan telah terjadi selama bertahun-tahun dan dapat ditemukan di mana-mana, baik di lingkungan keluarga, tempat kerja, masyarakat dan negara. Dengan bentuk fisik, psikis, seksual dan penelantaran rumah tangga dengan pelaku kekerasan baik oleh perorangan, keluarga atau kelompok yang ada dalam rumah tangga. Sistem budaya patriarki, interprestasi agama yang keliru, pengaruh feodalisme maupun kehidupan sosial ekonomi dan politik yang tidak adil bagi perempuan memberikan kesempatan dan peluang terjadinya kekerasan terhadap perempuan. 2 Besarnya kejadian sukar dipastikan karena kekerasan terhadap perempuan lebih merupakan fenomena gunung es, yakni bahwa masih banyak korban-korban kekerasan terhadap perempuan yang tidak melaporkan kasusnya kepada pihak berwajib atau Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) pemerhati perempuan. Ada beberapa sebab mengapa 1 Pusat Kajian Wanita dan Gender UI, Hak Azasi Perempuan: Instrumen Hukum Untuk Mewujudkan Keadilan Gender, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2004, hlm. 55 2 Sri Rejeki Sumaryoto, "Bentuk Dan Sekecil Apapun Kekerasan Terhadap Perempuan Tidak Ditolerir" dalam Portal, Menegpp, go. Id. 8 Januari 2005

46 kekerasan dalam rumah tangga tidak muncul ke permukaan. Pertama, KDRT memiliki ruang lingkup yang relative tertutup karena terjadi dalam ranah (domain) keluarga. Kedua, masyarakat sering menganggap bahwa kekerasan dalam rumah tangga merupakan hal yang wajar karena perlakuan suami yang demikian merupakan hak dari suami istri. Ketiga, KDRT terjadi dalam lembaga yang legal yakni keluarga. Ketiga hal ini menjadikan KDRT sebagai sebuah penyakit yang sulit diobati karena diagnosanya tidak pernah dapat dilakukan. 3 Masalah kekerasan dalam rumah tangga perlu diatur secara khusus dalam sebuah Undang-undang, mengingat konteks permasalahannya yang juga spesifik. Karena KUHP sendiri tidak mengenal istilah kekerasan dalam rumah tangga. Padahal istilah ini penting untuk dikemukakan mengingat ideologi harmonisasi keluarga yang selama ini ditanamkan dalam benak masyarakat maupun aparat hukum, sehingga tidak menganggap serius adanya kekerasan dalam rumah tangga atau hanya menganggap masalah rumah tangga sebagai masalah privat.ruu KDRT menambahkan asas-asas baru dalam hukum pidana yang selama ini tidak dimuat dalam KUHP, yakni: a). Perlindungan dan penegakan hak asasi manusia b). Kesetaraan dan keadilan gender c). Keadilan relasi sosial dan perlindungan bagi korban. 3 Elli N. Hasbianto, "Kekerasan dalam Rumah Tangga: Sebuah Kejahatan yang Tersembunyi", dalam Syafiq Hasyim, Menakar Harga Perempuan, Bandung: Mizan, 1999, hlm. 190.

47 Pentingnya keberadaan RUU KDRT dapat dijelaskan dalam prinsip hukum yakni berpegang pada adagium lex priori : Hukum atau aturan yang baru mengalahkan hukum atau aturan yang lain. Dan Lex spesialis derogat legi generalis: Hukum atau aturan yang bersifat khusus mengalahkan hukum atau aturan yang bersifat umum. 4 Dilihat dari latar belakangya, RUU anti KDRT ini muncul karena Undang-undang yang ada seperti Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) tidak memadai untuk melindungi kaum perempuan. Sejauh ini kekerasan hanya dipandang secara fisik. Padahal kekerasan yang diterima oleh wanita (istri) dapat berwujud psikis maupun seksual. Selain itu, pemahaman aparat penegak hukum juga masih sempit. Ditambah lagi, banyaknya anggapan bahwa KDRT merupakan masalah privat. Tidak ada satu normapun, baik hukum, agama maupun sosial yang memperbolehkan tindak kekerasan terhadap perempuan. Kekerasan bukanlah masalah pribadi suatu keluarga, tetapi merupakan suatu tindakan melawan hukum dan harus dihentikan. Oleh karena itu, RUU KDRT merupakan kebutuhan publik yang harus diselesaikan pembahasannya. Karena kekerasan dalam rumah tangga merupakan pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan serta merupakan salah satu bentuk diskriminasi yang harus dihapuskan.kebanyakan korban kekerasan dalam rumah tangga adalah perempuan dan anak, sehingga harus mendapatkan perlindungan dari negara, keluarga dan masyarakat agar 23 4 Siti Soetami, Pengantar Tata Hukum Indonesia, Bandung : Refika Aditama, 2001, hlm.

48 terhindar dan terbebas dari kekerasan atau ancaman kekerasan. Kenyataannya KDRT banyak terjadi, sedangkan sistem hukum di Indonesia belum menjamin perlindungan yang memadai terhadap kekerasan dalam rumah tangga. 5 Sebagaimana diketahui, dalam kehidupan masyarakat yang masih sarat dengan budaya patriarki, tak terkecuali di Negara Indonesia, perlakuan terhadap kaum perempuan memberikan peluang bagi terjadinya kekerasan terhadap perempuan. Karena itu, masyarakat harus ditingkatkan kesadarannya bahwa kekerasan terhadap perempuan bukan lagi wilayah domestik atau privat, tetapi sudah masuk wilayah publik. Dukungan dari pemerintah untuk segera mengesahkan RUU anti KDRT juga ditunggu, karena keberadaan RUU itu akan menjadi pedoman bagi masyarakat dan khususnya aparat penegak hukum untuk menangani kasus-kasus KDRT. Bagi aparat hukum, seperti polisi, jaksa dan hakim pengesahan RUU anti KDRT memberi keyakinan kepada mereka untuk tegas menindak pelaku KDRT sehingga tidak ada keraguan menangkap, menuntut, dan menghukum dengan pidana berat. Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dalam rapat paripurna pada tanggal 14 September 2004 telah menyetujui dan mengesahkan Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang diajukan oleh pemerintah. Dan sebagaimana kita 5 Sri Rejeki Sumaryoto, "Pengesahan Undang undang Kekerasan dalam Rumah Tangga", dalam Portal Menegpp, go. Id. 26 Oktober 2004

49 ketahui sebelum disetujui tentunya telah melalui tahapan-tahapan pembahasan bersama secara maraton antara Dewan dan pemerintah. Selanjutnya berdasarkan persetujuan DPR, maka rancangan Undang-undang tersebut, dituangkan dalam peraturan perundangan yaitu: Undang Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. 6 Landasan hukum yang mendasari Undang-undang ini, adalah UUD 1945 pasal 28 G. 7 Demikian juga beberapa peraturan perundangundangan yang terkait erat dan sudah berlaku sebelumnya, yaitu: UU No. 1 tahun 1946 tentang KUHP serta perubahannya, UU No. 8 tahun 1981 tentang KUHAP, UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan, UU No. 7 tahun 1984 tentang pengesahan konvensi mengenai penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap wanita dan UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM. 8 Lahirnya Undang-undang No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga merupakan keputusan politik yang diambil oleh legislatif, pemerintah maupun masyarakat, yang patut disyukuri oleh bangsa Indonesia, karena landasan dari pembentukan Undang-undang tersebut berkaitan dengan tujuan mencapai keutuhan dan keharmonisan keluarga, yang dipandang sebagai unsur penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Semboyan keluarga yang kokoh 6 Undang-undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Ygyakarta: Pustaka Pelajar, 2007..hlm. i 7 Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang dibawa kekuasaannya serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi. Lihat UUD 1945 dengan penjelasannya, Semarang: Sari Agung., t.th. hlm. 26 8 Sri Rejeki Sumaryoto, Loc.cit

50 sebagai tiang negara menjadi landasan utama bagi pembentukan yang berkarakter dan menjunjung tinggi nilai-nilai moral yang luhur. Kekerasan dalam Rumah Tangga menurut Undang-undang No. 23 tahun 2004 diartikan sebagai setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. 9 Meskipun Undang-undang No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga mulai diberlakukan sejak tanggal 22 September 2004, tetapi fakta menunjukkan keberadannya belum banyak diketahui masyarakat. Bahkan ironisnya, ada aparat kepolisisan yang tidak mengetahui bahwa Undang-undang tersebut telah diberlakukan. Di sisi lain aparat juga masih enggan memakai Undangundang KDRT dalam proses pembuatan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) dengan alasan belum ada Peraturan Pelaksanaannya (PP). Selain itu adanya anggapan bahwa Undangundang ini merupakan delik aduan masih menjadi alasan beberapa kalangan kepolisian untuk tidak berperan secara aktif dalam kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga."padahal, larangan untuk melakukan kekerasan dalam rumah tangga merupakan delik publik dimana tindakan kekerasan tersebut dapat dilaporkan oleh bukan korban". 9 Ibid, hlm. 4

51 Dengan disahkannya Undang-undang tentang Penghapusan KDRT, ada perubahan paradigma baru dalam memandang permasalahan kekerasan dalam rumah tangga. Kalau selama ini hanya dilihat sebagai masalah privat individual, maka sekarang harus juga dilihat sebagai masalah sosial. Mengingat bahwa kekerasan dalam rumah tangga merupakan tindak kriminal, namun karena tindakannya terjadi di wilayah privat, maka penanganannya harus dilakukan secara hati-hati. Karena baik pelaku maupun korban merupakan anggota dalam lingkup rumah tangga. 2. Tujuan Undang undang No. 23 tahun 2004 Penghapusan kekerasan dalam rumah tangga dilaksanakan berdasarkan empat asas, yaitu: asas penghormatan hak asasi manusia, keadilan dan kesetaraan gender, non diskriminasi dan perlindungan korban. Tujuan dari UU penghapusan KDRT semula adalah sebagai berikut: Pertama, menyatakan bahwa kekerasan dalam rumah tangga adalah kejahatan terhadap kemanusiaan. Kedua, menegaskan hak-hak korban dan kewajiban serta tanggung jawab pemerintah dan masyarakat. Ketiga, menghapus kekerasa dalam rumah tangga sebagai upaya penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan. Keempat, memajukan tindakan afirmatif terhadap berbagai aspek kehidupan perempuan. Namun, terdapat beberapa perubahan setelah diundangkan yaitu: Mencegah segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga, melindungi korban kekerasan dalam

52 rumah tangga, menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga dan memelihara keutuhan rumah tangga yang harmonis yang sejahtera. 10 Dalam pembahasan mengenai tujuan UU ini terjadi perdebatan yang cukup panjang. Kelompok yang tidak setuju pada konsep RUU menghendaki agar RUU ini nantinya tidak akan semakin menimbulkan perpecahan dalam keluarga, tidak akan menambah tingginya angka perceraian di masyarakat. Padahal, tujuan sebenarnya dari UU penghapusan KDRT ini menghendaki agar para suami segera menjadi jera, merasa takut untuk berbuat aniaya sebab akan dikenai sanksi hukum yang berat. Jadi, bukan untuk memudahkan perceraian antara pasangan suami istri. 11 Mengacu kepada tujuan penghapusan kekerasan dalam rumah tangga itu maka meskipun pada umumnya tindak pidana dalam Undangundang ini adalah delik umum, namun ada pula yang bersifat delik aduan, yaitu tindak pidana kekerasan fisik dan psikis ringan serta pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan suami terhadap istri atau sebaliknya. Pencegahan dan perlindungan terhadap kekerasan dalam rumah tangga, seperti kekerasan fisik, psikis dan kekerasan seksual dengan penjatuhan hukuman yang berbeda sebagaimana yang telah diatur dalam pasal 351 KUHP. Undang-undang KDRT ini mengatur tindak kekerasan dari seseorang dengan orang lain yang saling mengenal yang ada dalam lingkup rumah tangga. Karena adanya hubungan itulah maka tindak pidana yang 10 UU PKDRT, Op. Cit., hlm. 6. 11 Siti Musdah Mulia, "Muslimah Reformis: Perempuan Pembaru Keagamaan", Bandung: Mizan, 2005, hlm. 180

53 dijatuhkan kepada pelaku lebih berat daripada yang diatur oleh Undangundang lainya. 12 Tujuan Undang-undang KDRT ini bukan semata-mata untuk menghapuskan segala bentuk kekerasan rumah tangga atau mewujudkan nilai-nilai kesetaraan dan keadilan dalam hubungan laki-laki dan perempuan, tetapi bagian dari perjuangan menciptakan masyarakat yang bebas dari kekerasan dan merupakan bagian dari upaya mewujudkan peradaban dunia yang menghormati hak asasi manusia dan demokratisasi. 3. Proses penyusunan UU penghapusan KDRT No 23 tahun 2004 KUHP tidak menganggap masalah kekerasan dalam rumah tangga sebagai sebuah crime atau kejahatan kriminal. Oleh karena itu, sejumlah kalangan menilai, terutama aktivis perempuan dan kalangan DPR yang berinisiatif merancang UU ini, nilai strategis UU penghapusan KDRT adalah menggeser isu KDRT dari isu privat menjadi isu publik. Berkaitan dengan proses pengajuan maupun pengesahan UU ini, tentu saja ada sejumlah kalangan yang keberatan. Yang paling dominant, seperti yang disampaikan sebagian anggota DPR maupun dari sebagian kalangan umat Islam, mengenai soal urusan rumah tangga yang dianggap sebagai ruang privat. UU ini dikhawatirkan membenarkan orang lain untuk ikut campur tangan dalam urusan internal rumah tangga, dan bahkan ikut mengintervensi rahasia pribadi yang sangat mendasar di antara pasangan suami istri. Oleh karena itu, sebagian yang keberatan dengan UU ini mengajukan usulan alternatifnya, yakni ingin membuat RUU tentang 12 Sri Redjeki Sumaryoto, Op. Cit., hlm. 2.

54 keluarga sakinah atau yang semacamnya. Katanya, yang penting ada kepedulian pemerintah untuk melindungi keluarga agar tetap harmonis dan sakinah, tidak malah bercerai berai. 13 Delapan fraksi DPR (Periode 1999-2004) menerima UU penghapusan KDRT ini. Namun fraksi Reformasi mendukung pengesahan dengan beberapa catatan yaitu berupa penetapan sanksi atas kasus marital rape dalam UU penghapusan KDRT ini agar tetap memberikan kesempatan pada suami istri untuk tetap melanjutkan rumah tangganya. Dengan demikian, begitu di undangkan, UU ini otomatis langsung berlaku, tidak harus menunggu ditandatangani oleh Presiden. UU penghapusan KDRT ini terdiri dari 10 bab, 56 pasal dan 45 ayat yang memuat definisi dan jenis KDRT, pencegahan, tugas pemerintah atau Negara, tugas masyarakat, fungsi lembaga pendampingan, pelayanan kesehatan, perlindungan korban dan saksi hingga sanksinya. Akhirnya pada tanggal 14 September 2004 DPR telah menyetujui RUU penghapusan KDRT untuk disahkan menjadi UU dalam rapat paripurna DPR setelah tertunda selama kurang lebih enam tahun. Dibandingkan Malaysia, Indonesia terkesan lambat merespons permintaan kaum perempuan mengenai perlunya payung hukum bagi perempuan agar terhindar dari pelaku tindak kekerasan. Pada tahun 1994 Malaysia telah mengesahkan akta keganasan dalam rumah tangga, kemudian Indonesia 13 Siti Musdah Mulia, Op.cit, hlm. 183

55 menyusul dengan mengesahkan undang-undang serupa untuk melindungi kaum perempuan dalam ruang privat. 14 Kemudian, dalam rangka mensosialisasikan UU penghapusan KDRT ini Kementrian Pemberdayaan Perempuan pada saat ini sedang mempersiapkan peraturan pemerintah tentang perlindungan hukum dari UU ini oleh karena itu, fokus pertama dari sosialisasi UU penghapusan KDRT ini ditujukan untuk kalangan aparat Kepolisian, aparat Jaksa dan Hakim supaya mereka tahu dan mengerti tentang masalah apa-apa saja yang terkait dengan perlidungan hukum dalam UU penghapusan KDRT ini. B. Kekerasan Seksual dalam Rumah Tangga Menurut Undang Undang No. 23 Tahun 2004 Pasal 8 Kelompok perempuan di seluruh dunia telah memulai proses menuntut kembali seksualitas sebagai suatu kawasan dimana perempuan dapat menolak penindasan atas dirinya. Mereka sedang meneropong pemahaman tentang seksualitas perempuan yang telah di terima, yang mengaitkan sub ordinasi ekonomi dan sosial perempuan dengan subordinasi seksualnya. Dalam proses ini, muncul masalah identitas, kewajiban, kekuasaan, kesenangan, pilihan dan hati nurani, serta kesempatan perempuan untuk memiliki autonomi dalam kawasan intim dari hidupnya sendiri. 15 Dalam membahas kekerasan seksual ini, penulis mencoba untuk memaparkan keterangan yang berkaitan dengan penjelasan pasal 8 Undang 14 Ibid, hlm. 178 15 Julia Cleves Mosse, Half The World, Half A Chance, Terj., Hartian Silawati, Gender dan pembangunan, Yogya: Pustaka Pelajar, 2003, hlm. 70

56 undang No. 23 tahun 2004 mengenai larangan pemaksaan hubungan seksual sebagai kekerasan seksual dalam rumah tangga. Namun sebelumnya, terlebih dahulu penulis akan memaparkan secara sekilas mengenai pasal-pasal dalam Undang undang KDRT No. 23 tahun 2004 yang terkait dengan pokok persoalan di atas selanjutnya penulis akan mengupas pasal 8 secara lebih lanjut. Dalam Undang undang KDRT No. 23 tahun 2004 mengenai Larangan Kekerasan dalam rumah tangga diatur dalam Bab III pasal 5 sampai pasal 9. Pasal 5 berbunyi :" Setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya dengan cara : kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual atau penelantaran rumah tangga". Mengenai kekerasan fisik diatur dalam pasal 6, kekerasan psikis diatur dalam pasal 7 dan penelantaran rumah tanga diatur dalam pasal 9 yang terdiri dari dua ayat. Adapun lebih spesifiknya aturan mengenai kekerasan seksual diatur dalam pasal 8 yang memuat tentang pemaksaan hubungan seksual yang terdiri dari dua huruf beserta penjelasan masing-masing huruf tersebut. Adapun rinciannya sebagai berikut: Kekerasan seksual sebagaimana di maksud dalam pasal 5 huruf c meliputi: a. Pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut.

57 b. Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan /atau tujuan tertentu. 16 Selanjutnya penjelasan pasal tersebut belum dapt menjelaskan arti yang dapat dipahami oleh masyarakat secara umum. Oleh karenanya, masingmasing individu dituntut untuk dapat menafsirkannya sendiri arti dan penjelasan pasal tersebut yang masih sangat umum. Dalam penjelasan hurufhuruf dalam pasal tersebut dapat diuraikan sebagaimana berikut: Di dalam penjelasan pasal 8 huruf a dan b dinyatakan bahwa "Yang dimaksud dengan" Kekerasan seksual dalam ketentuan ini adalah setiap perbuatan yang berupa pemaksaan hubungan seksual, pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak wajar dan / atau tidak di sukai, pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/ atau tujuan tertentu". Dari penjelasan pasal 8 tersebut diatas secara jelas disebutkan bahwa pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak wajar dan / atau tidak di sukai termasuk dalam kategori kekerasan seksual. Sayangnya, ketentuan pasal tersebut kurang memenuhi keterangan yang seharusnya dijelaskan, terutama mengenai kriteria pemaksaan hubungan seksual yang bagaimana sehingga bisa di sebut kekerasan seksual. Tentunya hal ini mengandung persoalan, Karena ketika orang yang dipaksa untuk melakukan hubungan seksual akan mengajukan perkaranya ke pengadilan maka tiap masing-masing orang akan menafsirkan dengan penafsirannya sendiri sesuai denganpemikirannya, 16 UU PKDRT, Op. Cit, hlm. 7

58 sehingga akan menimbulkan akibat yang kurang baik disebabkan adanya perbedaan penafsiran dari masing-masing orang tersebut. Bahkan ketika hakim akan memutuskan perkara yang terkait dengan kekerasan seksual maka sang hakimpun akan mempertimbangkan hasil putusannya dengan penafsirannya sendiri sehingga obyektifitas kekerasan seksual tersebut menjadi kurang tepat. Untuk itu ukuran obyektifitas dari kekerasan seksual perlu di kaji lebih mendalam. Dari penjelasan pasal 8 Undang undang KDRT No. 23 tahun 2004 sebagaimana tersebut di atas dapat di cermati bahwa pemaksaan hubungan seksual secara tidak wajar dan atau tidak di sukai merupakan tindak kekerasan seksual. Bagi pihak yang merasa dirugikan oleh pihak lain dapat mengajukan perkaranya ke pengadilan. Hal ini sangat menarik untuk dikaji lebih mendalam lagi, baik dari segi materi maupun dari segi penerapannya dalam kehidupan masyarakat secara riil. C. Kriteria Pemaksaan Hubungan Seksual Sebagai Kekerasan Seksual Kekerasan dalam rumah tangga sangat mungkin terjadi didalam perkawinan. Sebelum mengungkap lebih jauh mengenai kekerasan ini, harus diketahui terlebih dahulu apa arti kekerasan itu. Menurut pasal 1 Deklarasi PBB pada tanggal 20 Desember 1993 tentang Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan menyatakan bahwa, yang dimaksud dengan kekerasan terhadap perempuan adalah setiap tindakan berdasarkan perbedaan jenis kelamin yang berakibat atau mungkin berakibat kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual atau psikologis, termasuk ancaman tindakan

59 tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang, baik yang terjadi di ranah publik atau dalam kehidupan pribadi. 17 Ruang lingkup terjadinya kekerasan terhadap perempuan meliputi kekerasan dalam rumah tangga atau domestic (KDRT), kekerasan di masyarakat (public), dan kekerasan di wilayah Negara. Hal ini tercermin dalam Deklarasi PBB pada tanggal 20 desember 1993, tentang Dekklarasi penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan, pasal 2 yaitu : "Kekerasan terhadap perempuan harus dipahami mencakup, tetapi tidak hanya terbatas pada tindak kekerasan secara fisik, seksual dan psikologis yang terjadi didalam keluarga, termasuk pemukulan, penyalahgunaan seksual atas anakanak perempuan dalam keluarga, kekerasan yang berhubungan dengan mas kawin, perkosaan dalam perkawinan (Marital Rape), perusakan alat kelamin perempuan dan praktek-praktek kekejaman tradisional lain terhadap perempuan, kekerasan diluar hubungan suami istri dan kekerasan yang berhubungan dengan eksploitasi". 18 Kekerasan dalam rumah tangga merupakan salah satu bentuk kekerasan terhadap perempuan yang paling berbahaya. Hal ini banyak terjadi di masyarakat. Dalam hubungan keluarga, perempuan semua umur menjadi sasaran segala bentuk kekerasan, termasuk pemukulan, perkosaan, bentukbentuk lain dari penyerangan seksual, mental dan bentuk kekerasan lain yang dikekalkan oleh sikap-sikap tradisional. Ketergantungan ekonomi, memaksa perempuan untuk bertahan pada hubungan yang didasarkan atas 17 Ibid, hlm. 66 18 Pusat kajian Wanita dan Gender UI, Op. Cit, hlm. 67

60 kekerasan. Bentuk-bentuk kekerasan ini menempatkan perempuan pada resiko kekerasan dan paksaan. 19 Pemuasan hasrat seksual merupakan salah satu alasan utama perkawinan. Namun makna perkawinan sesungguhnya lebih luas dari pada sekadar seks. Perkawinan juga mencakup aspek-aspek sosial dan psikologis. Suami istri harus dekat dan akrab secara fisikal, psikologis dan emosional. Saling bersimpati dan saling memperlakukan dengan baik dapat melanggengkan cinta bahkan ketika masa-masa penuh gairah telah berlalu. 20 Kata 'pemaksaan hubungan seksual' didalam penjelasan UU No. 23 tahun 2004 pasal 8 hanya dijelaskan secara global yaitu setiap perbuatan yang berupa pemaksaan hubungan seksual dan pemaksaan hubungan sekual dengan cara tidak wajar dan / atau tidak disukai. Akibatnya kata itu mengandung banyak pengertian. Kekerasan itu terjadi bila suami menghendaki istri untuk memenuhi keinginan seksnya kapanpun ia mau tanpa mempedulikan kondisi dan atau persetujuan atau kehendak istri. Kriteria pemaksaan hubungan seksual tersebut terjadi bila istri dipaksa untuk melakukan hubungan seksual secara tidak wajar yaitu seks anal dan seks oral dan istri dipaksa untuk melakukan hubungan seksual yang tidak disukai yaitu ketika dalam keadaan haid, nifas, sakit atau bahkan sedang hamil. Kekerasan seksual dalam perkawinan (Marital Rape) dapat terjadi bila suami menghendaki istri untuk memenuhi keinginan seksnya kapanpun ia mau tanpa mempedulikan kondisi dan atau persetujuan/ kehendak istri. 19 Ibid., hlm. 55 20 Hasan Hatout, Panduan Seks Islami, Jakarta: Pustaka Zahra, 2004, hlm. 31

61 Berdasarkan konteks kejadian tercatat ada empat kriteria kekerasan seksual dalam perkawinan (Marital Rape) yaitu: 1. Hubungan seksual dengan paksaan dan atau kekerasan 2. Hubungan seksual dengan ancaman 3. Hubungan seksual dengan memperturutkan selera/ kehendak sendiri tanpa persetujuan korban 4. Hubungan seksual dengan meggunakan obat-obat terlarang dan minuman beralkohol (untuk meningkatkan kemampuan seks laki-laki, tanpa mempedulikan kemampuan dan /kehendak perempuan). 21 Pada beberapa skala, di saat seorang perempuan jatuh dalam jebakan, baik itu berupa kekerasan maupun kekejaman, ia tidak bisa melakukan apaapa kecuali menangis dan meratapi nasibnya, ia kebingungan dan terjerat dan tidak tahu apa yang harus dilakukan agar bisa keluar untuk membebaskan diri. 22 Menurut penulis, hal itu pula yang banyak terjadi pada seorang istri yang mengalami tindak kekerasan seksual dari suaminya. Ia takut melaporkan tindakan kekerasan suaminya ke pihak berwenang karena ia punya ketergantungan ekonomi padanya. Ia bagaikan makan buah simalakama, disatu sisi jika dia tidak melapor ia akan makin tersiksa karena tindakan kekerasan yang dilakukan merupakan sesuatu siklus yang berulang. Disisi lainnya, jika bersedia melaporkan kekerasan yang dilakukan suaminya, hal yang paling pahit yang akan terjadi adalah perceraian padahal kehidupan 21 Elli Nur Hayati, Kekerasan Seksual, dalam Irwan Martua Hidayana, et.al, Seksualitas: Teori dan Realitas, Jakarta: Program Gender dan Seksualitas FISIP UI bekerjasama dengan The Ford Foundation, 2004, hlm. 143 22 Qasim Amin, The New Women, Terj. Syariful Alam, Sejarah Penindasan Perempuan: Menggugat Islam Laki-laki, Menggurat Islam Perempuan, Yogyakarta: IRciSOD, 2003, hlm. 91

62 ekonomi rumah tangga bergantung pada suami. Maka yang terjadi adalah sang istri memilih untuk tetap bertahan pada hubungan yang didasarkan atas kekerasan.