II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi dan Penerapan Agroekologi Pertanian agroekologi atau pertanian ramah lingkungan saat ini mulai banyak dibicarakan dan dianjurkan. Hal ini terjadi karena munculnya isu pencemaran lingkungan akibat dari kegiatan pertanian. Pencemaran terjadi karena usaha dalam peningkatan produksi. Usahatani yang selalu menekankan pada pengolahan tanah yang intensif, penggunaan bibit unggul, pemupukan, irigasi serta pengendalian hama dengan penggunaan pestisida dan bahan-bahan kimia (input eksternal). Penggunaan input-input eksternal ini menyebabkan berkurangnya kesuburan tanah dan menurunnya hasil produksi. Penurunan hasil produksi yang diiringi dengan meningkatnya pertumbuhan populasi penduduk, menyebabkan terjadinya kelaparan dan kurang gizi di beberapa tempat. Keadaan ini, memberikan dorongan bagi para ilmuwan untuk melakukan kemajuan di bidang sains dan inovasi teknologi. Sistem pertanian yang terlebih dahulu dilakukan menjadi sebuah permasalahan dalam bidang pertanian. Permasalahan yang dimaksud adalah pertanian terdahulu atau konvensional menyebabkan penurunan kualitas lingkungan yang akan menyebabkan penurunan produksi. Sehingga para ilmuwan memikirkan pengembangan di bidang pertanian yang lainnya. Sekarang ini, telah mulai dikembangkan pertanian yang berprinsip pada ekologi, keselarasan dengan manusia, sosial dan budaya yang mampu meningkatkan hasil produksi pertanian yang dikenal dengan agroekologi (Pretty et al., 2007). Agroekologi adalah bagian dari pertanian berkelanjutan yang menggambarkan hubungan alam, ilmu sosial, ekologi, masyarakat, ekonomi, dan 9
lingkungan yang sehat. Agroekologi diterapkan berdasarkan pada pengetahuan lokal dan pengalaman dalam pemenuhan kebutuhan pangan lokal. Agroekologi sebagai pertanian berkelanjutan mempunyai empat konsep sebagai kunci keberlangsungan pertanian yaitu produktivitas, ketahanan, keberlanjutan, dan keadilan (PANNA, 2009). Selain itu, Jiwo (2009) mendefinisikan agroekologi sebagai ilmu yang mempelajari hubungan biotik dan abiotik di bidang pertanian, dan secara sederhana dimaknai sebagai ilmu lingkungan pertanian 3. Penerapan pertanian agroekologi berbasis pada ekologi dan berkonsep pada keberlanjutan dari hasil pertanian, lingkungan dan ekologinya. Sistem pertanian ini merupakan pertanian di masa mendatang karena dapat menjadi sebagai alternatif solusi dalam mengatasi krisis pangan. Penerapan sistem pertanian ini mengalami beberapa tantangan, dengan keadaan masyarakat yang belum begitu memahami tentang keadaan lingkungan. Sehingga masih banyak petani atau masyarakat yang lebih memilih menggunakan sistem pertanian konvensional yang berorientasi pada keuntungan. Terkait dengan hal ini, yang dapat membenarkan masyarakat untuk tetap melakukan pertanian konvesional, yaitu tulisan Gliessman dalam bukunya The Ecological Sustainable Food System mengatakan bahwa awal perkembangan pertanian agroekologi hanya di fokuskan pada skala kecil, sehingga tidak dapat memenuhi pangan global (Gliessman, 2007). Masyarakat mengartikan bahwa agroekologi tidak dapat memberikan keuntungan secara ekonomi. Oleh karena itu, informasi tentang 3 http://mkundarto.wordpress.com/2009/10/01/mengenal-agroekologi/. Diakses tanggal: 26 Mei 2010. 10
agroekologi baik itu keuntungan maupun perkembangan, dan penerapan masih perlu disosialisasikan. Agroekologi memberikan pengetahuan dan metodologi yang dibutuhkan untuk pembangunan pertanian yang ramah lingkungan, produktif, dan menguntungkan secara ekonomi. Beberapa negara telah menerapkan sistem pertanian agroekologi, diantaranya petani kecil di Mexico, Guatemala, Honduras, Nicaragua, Afrika, Amerika Serikat, serta Indonesia. Penerapan agroekologi di masing-masing negara mempunyai strategi yang berbeda-beda. Seperti yang dilakukan oleh petani di Afrika mereka mengubah input menjadi output dengan sistem polikultur. Sistem ini dilakukan oleh petani dalam skala kecil yang dapat memproduksi padi, buah, sayur, dan dapat juga menghasilkan binatang ternak. Selanjutnya, penerapan pertanian agroekologi di Mexico cenderung pada pertanian organik dengan pengaturan perputaran waktu panen, penggunaan pupuk organik, dan irigasi air yang bersih (PANNA, 2009). Adapun strategi lain dari penerapan agroekologi yaitu sistem agroforestry. International Council for Research in Agroforestry mendefinisikan agroforestry sebagai suatu sistem pengolaan lahan yang berasaskan kelestarian, yang dapat meningkatkan hasil lahan secara keseluruhan, dengan mengkombinasikan tanaman pohon-pohonan dan tanaman hutan secara bersama-sama pada lahan yang sama. Pertanian ini juga menerapkan cara pengelolaannya sesuai dengan kebudayaan penduduk setempat. Nair (1982) mendefinisikan agroeforestry sebagai suatu nama kolektif untuk sistem penggunaan lahan dimana tanaman keras berkayu ditanaman bersamaan dengan tanaman pertanian dan hewan, dengan tujuan peningkatan hasil. Selain itu, agroforestry menggunakan sistem 11
tanaman penutup, sistem ini menggunakan tanaman polong sebagai pengganti pupuk tanah, meningkatkan keadaan biologi dan melindungi dari hama (Finch dan Sharp, 1976) dalam (Alteiri, 1995). Sedangkan di Indonesia penerapan pertanian agroekologi lebih cenderung kepada pertanian tradisional. Pertanian tradisional adalah pertanian yang bersumber dari tradisi pertanian keluarga yang menghargai, menjamin, dan melindungi keberlanjutan alam untuk mewujudkan kembali budaya pertanian (Serikat Petani Indonesia, 2010). Penerapan pertanian ini bertujuan memutus ketergantungan petani terhadap input eksternal. 2.2. Manfaat Ekonomi dan Lingkungan dari Penerapan Agroekologi Petani melakukan usahatani dengan tujuan mendapatkan keuntungan dan manfaat (profit dan benefit) yang maksimum dalam proses produksi. Usahatani adalah organisasi dari alam (lahan) dan merupakan upaya petani dalam memanfaatkan seluruh sumberdaya (tanah, pupuk, tenaga kerja, modal dan lainlain) yang ditujukan kepada produksi di lapangan pertanian yang sengaja diusahakan oleh seseorang atau sekumpulan orang sebagai pengelolanya (Firdaus, 2008). Usaha yang dilakukan petani pun berbagai macam, seperti penggunaan pupuk dan pestisida untuk dapat meningkatkan hasil produksi. Selain itu, petani mengikuti perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan dalam penerapan sistem-sistem pertanian untuk dapat memperoleh keuntungan dan manfaat yang maksimum. Gittinger (1986) mendefinisikan manfaat adalah sesuatu yang membantu suatu tujuan usaha. Lebih lanjut Gittinger (1986) menjelaskan bahwa manfaat nyata proyek-proyek pertanian dapat diperoleh dari kenaikan nilai 12
produksi dan pengurangan biaya. Pendapatan adalah selisih antara total penerimaan dan total pengeluaran (biaya), dapat dirumuskan sebagai berikut: Π = TR TC...(2.1) Dimana: Π = Pendapatan (Rp) TR = Total Revenue (Rp) TC = Total Cost (Rp) Dapat dijabarkan: TR = P*Q dan TC = Px*Qx...(2.2) Sehingga dapat dituliskan: Π = P*Q Px*Qx.(2.3) Dimana: P = Harga output (Rp/unit) Q = Jumlah output yang dihasilkan (Unit) Px = Harga input (Rp/unit) Qx = Jumlah input yang digunakan (Unit) Kriteria yang digunakan: Π = 0 ; maka titik impas Π > 0 ; maka untung Π < 0 ; maka rugi Setelah melakukan sistem perhitungan dengan menggunakan rumus di atas, petani dapat memperkirakan keuntungan yang akan diperoleh. Keuntungan menggambarkan potensi ekonomi dan baiknya suatu usaha untuk dilakukan. Petani akan menerapkan sistem pertanian yang mempunyai potensi ekonomi yang baik dan memberikan manfaat bagi petani. Selanjutnya Gittinger (1986) memaparkan beberapa aspek penting dalam menentukan keuntungan yang akan diperoleh dari penanaman investasi. Adapun aspek yang perlu dipertimbangkan dalam menentukan keuntungan adalah aspek teknis, institusional, sosial, komersil, finansial, dan ekonomi. 13
Keuntungan dan manfaat usahatani agroekologi di Indonesia sudah dirasakan oleh Budi Santoso seorang petani di Lampung. Penerapan agroekologi mampu menghemat input produksi pertanian sebesar 50%, selain itu keuntungan lain yang diperoleh adalah kemampuan memproduksi tanaman tomat dan kopi dalam lahan yang sama 4. Keuntungan dan manfaat agroekologi dapat dilihat dari hasil penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Alteiri (1991) yang menyatakan bahwa agroekologi potensial dalam melawan kelaparan. Penelitian Alteiri menyatakan analisis potensi ekonomi dari penerapan agroekologi dapat dilakukan dengan pendekatan efisiensi penggunaan input bagi petani. Penelitian Alteiri mengenai perbedaan penggunaan input dilakukan pada pertanian industri dan agroekologi. Peningkatan produksi pada pertanian industri (A) membutuhkan input eksternal yang tinggi dan menghasilkan karbon yang juga tinggi sebagai hasil dari penyederhanaan sistem produksi, yang dapat mengurangi variasi tanaman serta produktivitas yang rendah. Pertanian agroekologi (C) tidak menghasilkan karbon yang tinggi karena penggunaan input ektsternal yang rendah. Penggunaan input eksternal yang rendah mampu meningkatkan produksi dan produktivitas. Penggunaan input eksternal dapat menyebabkan pengeluaran biaya yang lebih tinggi bagi petani. Penilaian terhadap biaya karbon bahwa pertanian industri akan menghasilkan karbon yang lebih tinggi sehingga muncul biaya sosial yang akan menyebabkan biaya pada pertanian industri lebih tinggi dibandingkan dengan 4 SPI. http://www.spi.or.id/?p=2159. Diakses: tanggal 8 Juni 2010. 14
agroekologi. Biaya sosial adalah biaya yang harus dikeluarkan oleh produsen atau perusahaan ketika biaya kerusakan lingkungan akibat proses produksi dibebankan pada perusahaan atau produsen. Selanjutnya, pengembangan pertanian industri kurang ramah lingkungan dibandingkan agroekologi yang lebih cenderung pada pengetahuan lokal dalam mengelola lingkungan. Pengetahuan lokal masyarakat tentang lingkungan meliputi pengetahuan tentang merawat tanah secara tradisional, mencegah hama tanaman dengan memanfaatkan sumberdaya yang ada disekitar, dan melakukan siklus tanam yang dapat menjaga kesuburan tanah. Berikut Gambar 2 menunjukkan perbandingan antara pertanian agroekologi dan pertanian industri. Persediaan pangan per unit lahan/air C C= Agroekologi, input eksternal rendah dan beragam A = Industrial, (tinggi input produksi eksternal) A B= produtivitas saat ini B Rendah...DayaAdaptasi/kenyal. Tinggi Tinggi.....Biaya karbon...rendah Tinggi...Ketahanan Pangan.Tinggi Rendah...pengetahuan lokal Tinggi Sumber: Diadopsi dan Modifikasi dari Mulvany (2010). Gambar 2. Perbandingan Agroekologi terhadap Pertanian Industri. 15
2.3. Pengaruh Penerapan Agroekologi terhadap Pendapatan Petani Penerapan agroekologi dapat memberikan dampak yang baik bagi lingkungan. Dampak yang baik bagi lingkungan dikarenakan dalam penerapan pertanian ini berkonsep pada ekologi, dengan melakukan pengurangan atau menghilangkan penggunaan input kimia, mengganti manajemen pertanian untuk mendapatkan nutrisi tanaman dan melindungi tanaman dari hama (Alteiri, 1993). Berikut beberapa penelitian yang telah dilakukan oleh para ilmuwan, yaitu: lebih menekankan pada sistem penerapan agroekologi (Gliessman, 2007), dimensi baru agroekologi (Clements dan Anil, 2004), prinsip dan strategi pertanian berkelanjutan dalam sistem pertanian (Alteiri, 1995), dan pertanian agroekologi dapat memenuhi kebutuhan makanan untuk miliaran orang (Pretty, 2002). Penelitian yang menunjukan pengaruh pendapatan petani dengan adanya penerapan agroekologi telah dilakukan oleh PANNA, yang menunjukan adanya keuntungan dari penerapan pertanian ini. Salah satunya adalah peningkatan terhadap pendapatan rumah tangga bagi petani. Namun, penelitian yang mengestimasi manfaat agroekologi dan estimasi pendapatan petani belum banyak dilakukan. Sehingga penelitian ini penting untuk dilakukan. Melakukan estimasi pendapatan petani, perlu menguasai beberapa konsep yang berkaitan dengan pendapatan petani yaitu konsep usahatani, konsep pendapatan petani, dan konsep pemasaran. 2.3.1. Konsep Usahatani Petani agroekologi mempunyai strategi dalam melakukan peningkatan dan pengembangan hasil pertaniannya. Strategi yang dilakukan oleh sebagian petani di Indonesia yaitu pertanian yang bersumber dari tradisi pertanian keluarga atau 16
pertanian tradisional. Strategi ini dilakukan oleh sekelompok petani yang sering dikenal dengan usahatani. Menurut Rahim dan Hastuti (2008) usahatani adalah ilmu yang mempelajari tentang cara petani mengelola input atau faktor-faktor produksi (tanah, tenaga kerja, modal, teknologi, dan benih) dengan efektif, efisien, dan kontinyu untuk menghasilkan produksi yang tinggi sehingga pendapatan usahatani meningkat. Selanjutnya Rahim dan Hastuti (2008) mengklasifikasikan usahatani sebagai berikut: a. Usahatani Perorangan Usahatani perorangan dilakukan secara perorangan dan faktor produksi dimiliki secara perorangan. Kelebihannya dapat bebas mengembangkan pertaniannya, sedangkan kelemahannya kurang produktif. b. Usahatani Kolektif Usahatani kolektif merupakan usahatani yang dilakukan bersama-sama atau kelompok dan faktor produksi seluruhnya dikuasai oleh kelompok sehingga hasilnya dibagi oleh anggota. c. Usahatani kooperatif Usahatani kooperatif merupakan usahatani yang dikelola secara kelompok dan tidak seluruh faktor produksi dikuasai oleh kelompok, hanya kegiatan yang dilakukan bersama-sama. 2.3.2. Konsep Pendapatan Petani Usahatani dapat dikatakan berhasil dengan melakukan estimasi pendapatan yang diperoleh petani dalam mengelola usahataninya. Pendapatan dapat didefinisikan sebagai sisa dari pengurangan nilai penerimaan yang diperoleh 17
dengan biaya yang dikeluarkan. Pendapatan juga didefinisikan oleh Rahim dan Hastuti (2008) sebagai selisih antara penerimaan dan semua biaya. Pendapatan meliputi pendapatan kotor atau pendapatan total dan pendapatan bersih. Pendapatan total merupakan selisih antara penerimaan total dengan pengeluaran total, sedangkan pendapatan bersih adalah selisih antara pendapatan petani dengan biaya yang digunakan dalam produksi usahatani. Biaya atau pengeluaran usahatani merupakan nilai penggunaan sarana produksi yang digunakan untuk menghasilkan output. Biaya usahatani dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu biaya tetap (fixed cost) dan biaya tidak tetap (variable cost) yang digolongkan berdasarkan sifatnya. Biaya tetap adalah biaya yang tidak ada kaitannya dengan jumlah barang yang diproduksi, contoh: biaya sewa lahan. Sedangkan biaya tidak tetap adalah biaya yang akan berubah ketika terjadi penambahan satu-satuan output yang diproduksi (Soekartawi dan Brian, 1986). 2.3.3. Konsep Pemasaran Pemasaran adalah kegiatan manusia yang diarahkan pada usaha memuaskan keinginan dan kebutuhan melalui proses pertukaran (Rahim dan Hastuti, 2008). Sedangkan (Sudiyono, 2002) dalam (Rahim dan Hastuti, 2008) mendefinisikan pemasaran pertanian merupakan sejumlah kegiatan yang ditujukan untuk memberi kepuasan dari barang dan jasa yang dipertukarkan kepada konsumen. Pemasaran dalam hal ini adalah pemasaran komoditas pertanian. Komoditas pertanian yang dihasilkan dari penerapan sistem agroekologi. Output yang dihasilkan dengan penerapan sistem pertanian ini tidak begitu memiliki perbedaan 18
dengan hasil pertanian organik. Namun, karena sistem pertanian yang baru dan tentunya produk yang dihasilkan juga harus dipromosikan terlebih dahulu melalui sistem pemasaran. Sehingga, diperlukannya lembaga pemasaran untuk dapat memenuhi permintaan konsumen terhadap komoditas sesuai waktu, tempat yang sesuai dengan permintaan konsumen. 19