BAB II TINJAUAN PUSTAKA

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. toksin ke dalam aliran darah dan menimbulkan berbagai respon sistemik seperti

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Sepsis merupakan salah satu masalah kesehatan utama penyebab kesakitan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang penelitian. permeabilitas mikrovaskular yang terjadi pada jaringan yang jauh dari sumber infeksi

BAB I PENDAHULUAN. dengan imunitas pejamu, respon inflamasi, dan respon koagulasi (Hack CE,

BAB 1 PENDAHULUAN. Infeksi bakteri yang berkembang menjadi sepsis, merupakan suatu respons

BAB III. METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. satu kegawatdaruratan paling umum di bidang bedah. Di Indonesia, penyakit. kesembilan pada tahun 2009 (Marisa, dkk., 2012).

BAB I PENDAHULUAN. Sepsis merupakan salah satu masalah kesehatan serius yang terjadi di

BAB I PENDAHULUAN. systemic inflammatory response syndrome (SIRS) merupakan suatu respons

BAB 1 PENDAHULUAN. 2014). Pneumonia pada geriatri sulit terdiagnosis karena sering. pneumonia bakterial yang didapat dari masyarakat (PDPI, 2014).

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Pneumonia merupakan bentuk infeksi saluran napas. bawah akut yang tersering. Sekitar 15-20% kasus

BAB I PENDAHULUAN. dunia (Musher, 2014). Penumonia komunitas merupakan penyakit infeksi saluran

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Sindrom klinik ini terjadi karena adanya respon tubuh terhadap infeksi, dimana

BAB 1 PENDAHULUAN. Sepsis adalah terjadinya SIRS ( Systemic Inflamatory Respon Syndrome)

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang. adalah penyakit infeksi pada saluran pernapasan yang

BAB I PENDAHULUAN. Infeksi saluran napas bawah masih tetap menjadi masalah utama dalam

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Sepsis didefinisikan sebagai adanya mikroorganisme atau toksin /zat beracun

BAB I PENDAHULUAN. Infeksi neonatus khususnya sepsis neonatorum sampai saat ini masih

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Penyakit hati menahun dan sirosis merupakan penyebab kematian kesembilan di

BAB III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan uji klinis dengan metode Quasi Experimental dan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. PCT pertama kali diidentifikasi dari sel medullary tiroid carcinoma. PCT

BAB 1 PENDAHULUAN. Pada sepsis terjadi proses inflamasi sistemik atau systemic inflammatory

BAB I PENDAHULUAN. Menurut World Health Organization (WHO) ditingkat dunia AKB berkisar sekitar 37 per 1000

BAB I PENDAHULUAN. kurang lebih 21 hari. Albumin mengisi 50% protein dalam darah dan menentukan

BAB I PENDAHULUAN. Sepsis menimbulkan suatu respon imun yang berlebihan oleh tubuh

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Sepsis adalah suatu kumpulan gejala inflamasi sistemik (Systemic Inflammatory

BAB I PENDAHULUAN. Meningitis adalah kumpulan gejala demam, sakit kepala dan meningismus akibat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. juta dolar Amerika setiap tahunnya (Angus et al., 2001). Di Indonesia masih

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sepsis dan syok sepsis merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas di

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. tubuh yang berlebihan terhadap infeksi. Sepsis sering terjadi di rumah sakit

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Penyakit infeksi dengue adalah penyakit yang disebabkan oleh virus

BAB I PENDAHULUAN. diikuti oleh kompensasi anti-inflamasi atau fenotip imunosupresif yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. juga dihadapi oleh berbagai negara berkembang di dunia. Stroke adalah penyebab

BAB I PENDAHULUAN. denyut/menit; 3. Respirasi >20/menit atau pa CO 2 <32 mmhg; 4. Hitung leukosit

BAB I PENDAHULUAN. Sepsis didefinisikan sebagai adanya infeksi bersama dengan manifestasi

BAB I PENDAHULUAN. Sepsis merupakan sindroma klinik akibat respon yang berlebihan dari sistem

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Management of Severe Sepsis and Septic Shock: 2012, sepsis didefinisikan

BAB 1 PENDAHULUAN. bedah pada anak yang paling sering ditemukan. Kurang lebih

BAB I PENDAHULUAN. khususnya trias kematian (hipotermia, asidosis dan koagulopati) yang kini

BAB I PENDAHULUAN. kematian yang tertinggi seluruh dunia. Sepsis merupakan. penyebab kematian yang ke-10 terbesar di Amerika Serikat,

BAB I PENDAHULUAN. morbiditas dan mortalitas pada bayi dan anak-anak. Infeksi mikroba. intrinsik untuk memerangi faktor virulensi mikroorganisme.

BAB I PENDAHULUAN. Kanker ovarium adalah suatu massa atau jaringan baru yang. abnormal yang terbentuk pada jaringan ovarium serta mempunyai sifat

BAB I PENDAHULUAN. paru. Bila fungsi paru untuk melakukan pembebasan CO 2 atau pengambilan O 2 dari atmosfir

BAB I PENDAHULUAN. pengisian alveoli oleh eksudat, sel radang dan fibrin. Pneumonia masih

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Gangguan ginjal akut (GnGA), dahulu disebut dengan gagal ginjal akut,

BAB I PENDAHULUAN. berhasil mencapai target Millenium Development Goal s (MDG s), peningkatan

BAB I PENDAHULUAN. multiorgan, ini disebut septic shock. Sepsis merupakan SIRS (Systemic. tempat infeksi, maka ini disebut dengan sepsis berat.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Apendisitis akut adalah peradangan dari apendiks vermiformis, merupakan salah satu

BAB I PENDAHULUAN. bentuk nodul-nodul yang abnormal. (Sulaiman, 2007) Penyakit hati kronik dan sirosis menyebabkan kematian 4% sampai 5% dari

BAB I PENDAHULUAN. salah satu aspek yang penting dan banyak digunakan bagi perawatan pasien yang

I. PENDAHULUAN. Demam tifoid merupakan masalah kesehatan yang penting di negara-negara

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang penelitian. dengan morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Banyak pasien yang meninggal

BAB I PENDAHULUAN. seluruh rumah sakit di Indonesia dengan angka kematian 5,7%-50% dalam tahun

BAB 1 PENDAHULUAN. Influenza adalah suatu penyakit infeksi saluran pernafasan. akut yang disebabkan oleh virus influenza. Penyakit ini dapat

BAB I PENDAHULUAN. dengan dokter, hal ini menyebabkan kesulitan mendiagnosis apendisitis anak sehingga 30

BAB I PENDAHULUAN. Demam tifoid merupakan suatu penyakit infeksi sistemik yang. disebabkan oleh Salmonella typhi yang masih dijumpai secara luas di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. terjadinya komplikasi yang lebih berbahaya. diakibatkan oleh sepsis > jiwa pertahun. Hal ini tentu menjadi

BAB I PENDAHULUAN. masih menjadi masalah kesehatan global bagi masyarakat dunia. Angka kejadian

BAB 6 PEMBAHASAN. pneumonia yang terjadi pada pasien dengan bantuan ventilasi mekanik setelah 48

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Infeksi virus dengue maupun demam berdarah dengue (DBD) merupakan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

ANGKA KEJADIAN PNEUMONIA PADA PASIEN SEPSIS DI ICU RSUP DR.KARIADI SEMARANG LAPORAN AKHIR HASIL PENELITIAN KARYA TULIS ILMIAH

BAB 1 PENDAHULUAN. jamur, dan parasit (Kemenkes RI, 2012; PDPI, 2014). Sedangkan infeksi yang

BAB 1 PENDAHULUAN. disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis tidak dikategorikan ke dalam

BAB 5 PEMBAHASAN. penelitian terdiri atas pria sebanyak 21 (51,2%) dan wanita sebanyak 20

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang Penelitian. baru atau berulang. Kira-kira merupakan serangan pertama dan

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. kelompok penyakit yang berhubungan dengan infeksi. Penyakit ini banyak ditemukan

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit paru obstruktif kronik atau yang biasa disebut PPOK merupakan

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Dalam sepuluh tahun terakhir terdapat beberapa perkembangan baru

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kanker ovarium merupakan keganasan yang paling. mematikan di bidang ginekologi. Setiap tahunnya 200.

BAB I PENDAHULUAN. sesak nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan menurun, malaise,

BAB I PENDAHULUAN. pasien tersebut. Pasien dengan kondisi semacam ini sering kita jumpai di Intensive

BAB I PENDAHULUAN. Pneumonia merupakan infeksi akut di parenkim paru-paru dan sering

B A B I PENDAHULUAN. Sampai saat ini sepsis masih merupakan masalah utama kesehatan dan

BAB 1 PENDAHULUAN. Stroke secara nyata menjadi penyebab kematian dan kecacatan di seluruh

BAB 1 PENDAHULUAN. Diagnosis tuberkulosis (TB) paru pada anak masih menjadi masalah serius hingga saat ini. Hal

BAB I PENDAHULUAN. kedokteran disebut dengan Systemic Lupus Erythematosus (SLE), yaitu

EARLY DETECTION AND TREATMENT OF SEPSIS. dr. Eko Setijanto, Sp.An,KIC Intensive Care Unit, DR Moewardi Hospital

BAB 1 PENDAHULUAN. negara berkembang disebabkan oleh bakteri terutama Streptococcus pneumoniae,

BAB I PENDAHULUAN. sebagai trauma mayor karena tulang femur merupakan tulang yang sangat kuat, sehingga

I. PENDAHULUAN. Air merupakan komponen terbesar dari tubuh sekitar 60% dari berat badan

BAB 1 PENDAHULUAN. neonatus dan 50% terjadi pada minggu pertama kehidupan (Sianturi, 2011). Menurut data dari

ORIGINAL ARTICLE. Hubungan Perubahan Kadar Prokalsitonin dengan Respons Terapi Community-Acquired Pneumonia di RS Wahidin Sudirohusodo, Makassar

BAB I PENDAHULUAN. penyebab yang belum diketahui sampai saat ini, ditandai oleh adanya plak eritema

BAB VI PEMBAHASAN. Selama penelitian bulan Januari Juni 2011 terdapat 20 subjek yang memenuhi

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang. Angina pektoris stabil adalah salah satu manifestasi. klinis dari penyakit jantung iskemik.

BAB I PENDAHULUAN. virus DEN 1, 2, 3, dan 4 dan ditularkan oleh nyamuk Aedes aegepty dan Aedesal

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh Salmonella typhi (S.typhi), bersifat endemis, dan masih

Transkripsi:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Biomarker pada Pneumonia Pneumonia merupakan kumpulan gejala (demam, nyeri pleuritik, sesak nafas) dan tanda (infiltrat paru) yang berasal dari sistem pernapasan namun dapat mempengaruhi penderitanya secara sistemik (Lim WS dkk, 2009). Sebagai penyakit infeksi, PK dapat menstimulasi proses inflamasi dimana terjadi pelepasan sitokin pro inflamasi dan mediator lipid ke sistemik serta menyebabkan gangguan sistem hemostasis yang ditandai dengan keadaan hiperkoagulasi (Kaplan V dkk, 2003). Selain masalah morbiditas dan mortalitas yang tinggi, seringkali pneumonia tidak memberi tanda klinik yang jelas. Hal ini menimbulkan hambatan diagnosis yang akhirnya menyebabkan keterlambatan terapi (Capelastegui dkk, 2006). Dalam suatu analisis Receiving Operating Characteristic (ROC) yang bertujuan untuk menilai akurasi diagnostik dari PK (yang dikonfirmasi dengan radiologik) dengan kondisi medik lainnya. Didapatkan kelemahan gambaran klinik ( seperti demam, batuk, produksi sputum, temuan auskultasi yang abnormal) dalam mendiagnosis PK dengan Area Under Cover (AUC) sebesar 0,79. Temuan ini dapat dibandingkan dengan jumlah total leukosit (AUC: 0,69); CRP (AUC: 0,76) dan PCT (AUC: 0,88) (Mira JP dkk, 2008; Muller B dkk, 2007; Christ Crain M dkk, 2010). Dari studi ini dapat disimpulkan bahwa biomarker seperti CRP, terutama PCT dapat berperan banyak dalam diagnosis PK (Christ Crain M dkk, 2010). Hingga saat ini, biomarker belum memiliki definisi yang universal. Akan tetapi, biomarker dipahami sebagai suatu biomolekul yang timbul akibat suatu proses fisiologik maupun patologik. Biomarker yang ideal adalah suatu biomarker yang tidak dapat dideteksi atau yang nilainya sangat rendah dalam keadaan non inflamasi dan akan meningkat dalam keadaan inflamasi yang selanjutnya akan mengalami penurunan saat proses inflamasi mereda (Capelastegui A dkk, 2006). Dalam hal membantu tegaknya diagnosis pneumonia, beberapa biomarker telah dikenal, seperti: CRP, leukosit total, immunoglobulin, PCT dan Triggering Receptor Expressed on Myeloid cell-1 (TREM-1). Beberapa biomarker lain yang 4

masih dalam tahap studi untuk penggunaannya pada pneumonia antara lain: copeptin, kortisol, endotoksin dan proadrenomedullin (Capelastegui A dkk, 2006). Saat ini, PCT dikenal sebagai biomarker yang manfaatnya terus diteliti. Konsentrasi PCT yang hanya meningkat pada infeksi bakteri dan tetap rendah pada infeksi virus membuat biomarker ini banyak digunakan untuk penyakit seperti sepsis, meningitis dan pneumonia. Tampaknya PCT dapat sebagai faktor prognosis pada keadaan sepsis dan pneumonia (Hendlund J dkk, 2000; Masia M dkk, 2005). 2.2 Procalcitonin Procalcitonin adalah prohormon calcitonin, berupa peptida yang terdiri atas 116 asam amino (Gambar 2.2.1.) yang dilepaskan oleh sel C tiroid dalam keadaan normal dan konsentrasinya sangat rendah (<0,05 ng/ml, dengan alat yang paling sensitive didapatkan nilai 0,033±0,003 (Kosanke R dkk, 2008). Pada infeksi mikroba akan terjadi peningkatan ekspresi gen CALC-I yang menyebabkan lepasnya PCT dari seluruh sel parenkim dan sel-sel yang terdiferensiasi di hati maupun sel-sel mononuclear (Summah H dkk, 2009; ChastreJ dkk, 2006). Pelepasan mediator inflamasi PCT dapat diinduksi melalui 2 proses, antara lain (Cairns C dkk, 2010) : 1. Terlepasnya toksin yang ada di dalam mikroba (endotoksin) 2. Respon immunitas selluler yang diperantarai oleh sitokin pro inflamasi seperti: Interleukin 1b, Interleukin 6 dan TNF-alpha. Sumber : Tannafos, 2008 (19) Gambar 2.2.1. Struktur Procalsitonin 5

PCT merupakan molekul yang dianggap sebagai bentuk primitif dari pertahanan bakterial yang bekerja sebelum sistem immun yang lebih efektif bekerja (Cairn C dkk, 2010. Akan tetapi, perlu juga diketahui bahwa keadaan seperti trauma, pembedahan, syok kardiogenik, luka bakar, sindroma distress pernapasan, infeksi nekrosis setelah pancreatitis akut dan reaksi penolakan jaringan pada transplantasi dapat meningkatkan kadar PCT (Summah H dkk, 2009; Maier M dkk, 2009; Tseng JS dkk, 2008; Jung DY dkk, 2008). Rendahnya kadar PCT tidak selalu meniadakan infeksi bakteri. Keadaan false negative ini dapat disebabkan antara lain: tahap awal infeksi, infeksi terlokalisir, endokarditis infeksi subakut, infeksi oleh kuman atipikal (terutama kuman intraselluler) (Cairn C dkk, 2010). PCT akan meningkat setelah 2-3 jam induksi dari endotoksin. Kadarnya kemudian terus naik secara cepat hingga menjadi ratusan nanogram per ml pada sepsis berat dan syok sepsis, mencapai plateau pada 6 12 jam. PCT akan terus meningkat dan menetap dalam 48 jam lalu turun ke nilai normal dalam 2 hari jika pengobatan berhasil dan ini menunjukkan prognosis yang baik. Jika kadar PCT terus meningkat dan tidak turun menunjukkan kegagalan terapi. Waktu paruh dari PCT sekitar 20 24 jam. Namun dipengaruhi oleh fungsi ginjal. Pada gangguan ginjal waktu paruh dapat memanjang hingga 35 jam (Cairn C dkk, 2010). Penigkatan kadar PCT pada infeksi bakteri lebih tinggi dibanding infeksi parasit (cthnya : plasmodium sp), beberapa jenis jamur meskipun mikroorganisme ini juga merangsang makrofag untuk menghasilkan sitokin proinflamasi. Berbagai studi telah menyimpulkan bahwa PCT jarang sekali meningkat pada keadaan murni infeksi virus. Keadaan ini diakibatkan oleh rangsangan virus terhadap makrofag yang akan menghasilkan interferon gamma (IFN-gamma) yang kemudian akan menghambat sintesa tumor necrosis alpha ((TNF-alpha). TNF-alpha merupakan salah satu mediator inflamasi yang merangsang pelepasan PCT. Studi oleh Moulin dkk dan Holm A dkk mendapatkan peningkatan kadar PCT pada pasien pneumonia dengan kuman Streptococcus pneumonia dan Hemophilus Influenzae baik pada anak-anak maupun dewasa. Ingram dkk mendapatkan kenaikan PCT yang tidak tinggi pada pasien yang terinfeksi H1N1 (Gilbert DN dkk, 2010; Aabenhus R dkk, 2011). 6

Telah dikenal beberapa jenis pemeriksaan komersil PCT dengan sensitifitas yang berbeda-beda, seperti ILMA (immunoluminometric assay/lia; sensitifitas 0,3 ng/ml)(cairn C dkk, 2010), BRAHMS PCT-Q (sensitifitasnya 0,5 ng/ml) (Muller B dkk, 2007; Schuetz P dkk, 2011), VIDAS BRAHMS PCT (sensitifitas 0,09) ((Cairn C dkk, 2010; Schuetz P dkk, 2011), BRAHMS PCT KRYPTOR (rentang 0,02-5000 ng/ml)(muller B dkk, 2007; Irwin AD dkk, 2011), Elecsys BRAHMS PCT (rentang 0,02-100 ng/ml)( Irwin AD dkk, 2011) yang menggunakan alat berbeda-beda namun dengan metode deteksi yang sama sandwich principle. Pada pemeriksaan ini, antibody pertama akan berikatan secara spesifik dengan katalcin dan terikat di suatu coated tube (tabung yang dilapisi) sedangkan antibody kedua akan berikatan dengan terminal dari molekul calcitonin. Antibodi kedua ini akan dilabel dengan luminescent tracer dan akan berikatan dengan tabung yang sudah mengikat CCP-1 (calcitonin peptide-i). Pengukuran kadar PCT selanjutnya dilakukan dengan luminometer yang akan menerima signal dari antibody yang terikat luminescent tracer. Teknik pengukuran yang berlapis ini disebut metode sandwich (Schuetz P dkk, 2011). Dengan bervariasinya teknik maupun alat dalam pengukuran PCT maka penting untuk mengetahui apa yang digunakan sebelum interpretasi hasil dilakukan. Penggunaan PCT-Q, dengan nilai ambang terendah 0,5 ng/ml, angka ini masih 10 kali lipat dari nilai normal PCT dan cukup banyak pasien dengan infeksi ringan yang tidak terdeteksi. Demikian juga dengan PCT-ILMA/LIA, hasilnya tidak dapat dipercaya jika nilai bilirubin dan trigliserida sangat tinggi. Saat ini, VIDA PCT dengan mampu mendeteksi nilai PCT terendah 0,09 ng/ml dan PCT KRYPTOR dan Elecsys merupakan uji yang paling sensitive dan akurat (Schuetz P dkk, 2011). Sebelum memilih alat uji perlu diperhitungkan kondisi klinis yang dihadapi seperti : a. Fokus Infeksi Infeksi saluran nafas, meningitis, infeksi intra abdomen, pancreatitis, dll. Setiap fokusnya infeksi memiliki perbedaan nilai PCT yang diharapkan. Infeksi yang sifatnya terlokalisir umunya juga menghasilkan nilai PCT yang lebih rendah (Cairn C dkk, 2010; Schuetz P dkk, 2011). 7

b. Immunosupresi Infeksi bakteri pada penderita HIV akan meningkatkan kadar PCT, namun nilainya tidak akan meningkat tajam dibanding pasien dengan HIV negative (Cairn C dkk, 2010; Schuetz P dkk, 2009). Penggunaan steroid tampaknya tidak mempengaruhi PCT (Cairn C dkk, 2010). c. Usia Pada periode neonatus kadar PCT akan sangat tinggi. Pada anak-anak batasan kadar PCT belum jelas. Terdapat beberapa bukti bahwa kadar PCT rendah pada usia lanjut (Cairn C dkk, 2010; Schuetz P dkk, 2009). 2.3. Peran PCT dalam Diagnostik Dalam hal diagnostik, peran PCT sudah sangat jelas. Studi yang membandingkan PCT dengan CRP dalam membedakan proses infeksi dan inflamasi menunjukkan keunggulan PCT dengan sensitivitas (85% Vs 78%) dan spesifisitas (83% Vs 60%). PCT juga lebih sensitif dalam membedakan infeksi bakteri dengan infeksi virus (Christ Crain M dkk, 2010). Simon dkk, dalam studinya secara tegas menyimpulkan bahwa dengan nilai cut off PCT < 0,25 ng/ml maka PK berat sudah dapat disingkirkan (Christ Crain M dkk, 2006; Christ Crain M dkk, 2010; Gilbert DN dkk, 2010). Sejak Pasteur dan Sternberg berhasil mengkultur peneumococcus dari darah pada tahun 1881dan Christian Gram berhasil mewarnainya 5 tahun kemudian, dalam diagnosis pneumonia dibutuhkan pembuktian kuman sehingga pengobatan dapat berdasarkan kuman penyebab (Gilbert DN dkk, 2010). Hingga saat ini, meskipun fasilitas identifikasi kuman yang sudah maju, sebanyak 70% pasien yang terdiagnosis pneumonia komunitas dari radiologik tidak dijumpai kuman penyebab. Keadaan ini selanjutnya akan mempersulit keputusan klinisi untuk memulai antibiotik. Dalam keadaan ini studi oleh Christ Crain dkk memberi batasan kadar PCT 0,25 ng/ml mengindikasikan penyebab bakteri dan dapat dimulai dengan pemberian antimikroba (Summah H dkk, 2009; Gilbert DN dkk, 2010). (Gambar 2.3.1.) 8

Sumber : Am J Respir Crit Care Med, 2006 Gambar 2.3.1. Manfaat Procalsitonin Pada Infeksi Saluran Nafas Bawah 2.4 PCT dalam menentukan prognostik Masia dkk mendapatkan bahwa nilai PCT akan meningkat sesuai dengan skor derajat keparahan PSI dan hal ini berhubungan dengan peningkatan mortalitas dan komplikasi yang terjadi. Hal ini berbeda dengan hasil yang didapatkan oleh Boevic dkk yang menegaskan tidak ada hubungan antara PCT dengan nilai skor PSI (Lim WS dkk, 2009). Sebagai alat prognostik, studi oleh huang dkk melibatkan 2000 penderita PK yang diketahui dari klinis dan radiologik, kemudian 1.651 pasien diikutsertakan dalam kohort selama 30 hingga 90 hari, setelah diambil serum PCT pada hari pertama. Juga dilakukan stratifikasi derajat keparahan PK dengan Pneumonia Severity Index dan CURB-65. Hasilnya didapatkan juga kadar PCT < 0,1 ng/ml memilki angka kematian hari ke 30 dan ke 90 akibat PK yang rendah meskipun skor PSI berada pada grup IV dan V. Keadaan ini juga dijumpai pada pasien dengan skor CURB-65 3. Studi di atas menunjukkan bahwa sebagai alat prognostik kadar PCT lebih baik dibandingkan dari PSI dan CURB-65 (clinical scoring system)(lim WS dkk, 2009; Mandel LA dkk, 2007). 9

Pada studi Masia dkk, PCT dihubungkan dengan skor PSI derajat keparahan pneumonia. Pada penderita PSI yang rendah (PSI kelas I-II), PCT ternyata dapat memprediksi kuman penyebab pneumonia. Kadar PCT akan meningkat pada pneumonia bakteri dibanding dengan non-bakteri. Pada penderita dengan PSI yang tinggi (PSI kelas III-IV) PCT lebih merupakan alat prognostik dibanding dengan diagnostic (Lim WS dkk, 2009; Mandel LA dkk, 2007; Queroll Ribelles JM dkk, 2004). Adanya inkonsistensi dalam beberapa studi yang mencoba mencari hubungan antara PCT dengan dengan skor prognostik seperti PSI dan CURB-65 mendorong Kruger dkk melakukan suatu studi pada 1671 pasien PK dan melaporkan bahwa kadar PCT dapat memprediksi keparahan dan dampak klinik PK dengan akurasi yang sama dengan skor CRB 65. Pada studi ini skor prognostik CURB-65 dimodifikasi untuk mempermudah penelitian dilakukan di sarana kesehatan primer. Pada studi ini didapati kadar PCT 0,228 ng/ml pada awal pasie n masuk memiliki resiko kematian yang rendah akibat PK. Temuan ini hampir mendekati angka yang didapatkan oleh Christ Crains dkk 0,25 ( ng/ml) ( Queroll Ribelles JM dkk, 2004). Dalam studi retrospektif mendapatkan kadar PCT > 1,5 ng/ml pada pasien PK yang terinfeksi Legionella sp memiliki resiko kematian dan kebutuhan akan fasilitas rawatan ICU yang cukup tinggi (Schuetz P dkk, 2009). Schuetz dkk mencoba membandingkan kenaikan CRP, leukosit dengan PCT dalam menilai resiko kematian dalam 90 hari. Hasilnya, PCT memiliki akurasi yang lebih baik akan tetapi antara pasien yang meninggal dengan yang selamat, tidak dijumpai rentang (range) PCT yang besar. Sedangkan jika PK dibagi sesuai dengan derajat keparahan, maka didapatkan rentang nilai PCT yang besar (Schuetz P dkk, 2009). Peran PCT sebagai prognostik pneumonia tidak hanya pada PK. Di Indonesia, Rumende dalam disertasinya membandingkan PCT dengan Lipopolysaccharide- Binding Protein (LBP) sebagai prognostik pasien dengan ventilator associated pneumonia (VAP) yang dirawat di ruang rawat intensif di RSCM. Hasilnya, PCT lebih sensitive dibanding LBP (80-81,3% VS 60-73%) dalam menentukan kematian pasien VAP, akan tetapi keduanya memilki spesifisitas yang rendah (25-30%). Disimpulkan bahwa peningkatan PCT dapat menjadi petunjuk adanya respon tubuh 10

terhadap infeksi bakteri oleh makrofag yang aktif sedangkan LBP yang dihasilkan oleh sel alveoli tipe 2 lebih menunjukkan beratnya keterlibatan paru. Jika kedua biomarker ini digabungkan, sensitifitasnya akan meningkat menjadi 88,5-96,3% dengan spesifisitas 53,2-66,7% untuk menentukkan prognostik pasien VAP (Jung DY dkk, 2008). 2.5 Skor Klinis Pasien Penilaian derajat keparahan pneumonia merupakan komponen penting dalam tatalaksana PK. Hal ini membuat munculnya berbagai sistem skoring PSI, CURB-65, modified ATS (m-ats) dsb. Skor PSI (Tabel 2.5.1) diperkenalkan pada tahun 1997 yang melibatkan 50.000 penderita pneumonia. Skor ini terdiri atas beberapa variabel klinik yang membagi pasien menjadi 5 tingkatan berdasarkan risiko kematian dalam 30 hari (klas I= 0,1 0,4%; klas II= 0,6-0,7%; klas III= 0,9 2,8%; klas IV= 4 10%; klas V: 27%). Skor PSI menunjukkan kemampuan prediksi yang baik dengan AUC: 0,74-0,83 dan direkomendasikan pemakaiannya oleh American Thoracic Society (ATS) dan Infectious Disease Society of America (IDSA). Akan tetapi, terlalu kompleks dan banyaknya variabel yang harus dinilai membuat system skor ini tidak praktis digunakan dalam klinik sehari-hari (Singanayam dkk, 2009; Mandel LA dkk, 2007). Skor CURB-65 diperkenalkan oleh British Thoracic Society (BTS) pada tahun 2003 yang melibatkan 12.000 penderita pneumonia, terdiri atas 5 kategori yang dihubungkan dengan resiko kematian dalam 30 hari. Skor 0-1 masuk dalam kategori skor kematian yang rendah dimana skor 0 = 0,7% dan skor 1 = 3,2%. Skor 2 = 13% masuk kategori kematian sedang dan skor>3 masuk dalam skor kematian tinggi ( 3 = 17%, 4=41,5% dan 5 = 57%). Kemampuan prediksi dari skor ini hampir sama dengan prediksi yaitu dengan AUC : 0,73-0,83. Keunggulan CURB-65 terletak pada variabel yang digunakan lebih praktis dan mudah diingat. ATS dalam guideline PK yang terbaru menyadari kompleksisitas dari skor PSI dan merekomendasikan penggunaan CURB-65 (Singanayam dkk, 2009; Mandel LA dkk, 2007). 11

Baik skor PSI dan CURB-65 sama-sama memilki kelemahan yang sama, yaitu masih bergantung pada hasil pemeriksaan laboratorium. Keadaan ini melahirkan CRB-65 yang menghilangkan unsur ureum. Manfaat dari skor CRB-65 ini dapat digunakan oleh dokter umum di tingkat layanan primer. Skor ini dikatakan performa yang sama dengan PSI dan CURB-65 dengan AUC : 0,69-0,78. Sayangnya, penggunaan skor ini belum teruji dengan jumlah sampel yang besar seperti pendahulunya sehingga validasinya masih perlu diuji (Singanayam A dkk, 2009; Bont J dkk, 2008). Tabel 2.5.1.Pneumonia Severity Index (PSI) Sumber : NEJM, 1997 12

Selain petanda inflamasi, system koagulasi juga dikatakan memiliki potensi dalam menilai resiko kematian penderita PK. Aktifasi system koagulasi dan aktifitas fibrinolisis merupakan gambaran yang dijumpai pada keadaan sepsis berat (Christ Crain M dkk, 2010). Querol-Ribelles dkk, mencoba menghubungkan kadar plasma D- dimer terhadap mortalitas pada 302 pasien PK. Hasilnya adalah kematian lebih banyak terjadi pada pasien dengan D-dimer yang tinggi (3.786 VS 1.609 ng/ml dengan p<0,00001). Selain itu, didapatkan juga hubungan linear antara D-dimer dengan skor PSI (Querol-Ribelles dkk, 2004). 2.6. Sepsis Akibat Pneumonia Komunitas Di Amerika Serikat, lebih dari 1 juta penderita PK setiap tahunnya dan 10% dari penderita harus dirawat di ICU (Intensive Care Unit). Pada PK yang dirawat jalan mortalitas diperkirakan < 5%, jika penderita PK dirawat inap maka mortalitas meningkat hingga 12% dan akan semakin meningkat menjadi 22% jika pasien dipindahkan ke ICU. Keadaan ini disebabkan perjalanan PK menjadi sepsis berat (PK berat) yang ditandai dengan adanya disfungsi organ (Laterre PF dkk, 2005). Sepsis merupakan suatu respon inflamasi sistemik terhadap infeksi, dimana lipolisakarida atau toksin dilepaskan ke dalam sirkulasi darah sehingga terjadi aktivasi proses inflamasi. Sepsis ditandai dengan perubahan suhu tubuh, perubahan jumlah leukosit, tachycardia dan tachypnea. Sedangkan sepsis berat adalah sepsis yang ditandai dengan hipotensi atau disfungsi organ atau hipoperfusi organ (American College of Chest Physician, 1992). Pada tahun 1992, menurut The American College of Chest Physician (ACCP) and The Society for Critical Care Medicine (SCCM) Consensus Conference on Standardized Definitions of Sepsis, telah mempublikasikan suatu consensus dengan defenisi baru dan kriteria diagnosis untuk sepsis dan keadaan-keadaan yang berkaitan dan menetapkan kriteria Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS), sepsis berat dan syok sepsis dibawah ini : - Bakteremia : ditemukan bakteri didalam darah, dibuktikan dengan biakan. 13

- SIRS : manifestasi klinis inflamasi sistemik yang dapat merupakan respon infeksi (mis. Sepsis) atau non infeksi (mis luka bakar, pancreatitis), ditandai 2 atau lebih tanda sebagai berikut : 1. Temp : >38 0 C atau kurang dari 36 0 C 2. Denyut nadi > 90x/menit 3. Respirasi > 20x/menit atau PaCO 2 < 32 mmhg 4. Leukosit darah > 12.000/mm 3, < 4000 mm 3 atau netrofil batang > 10% - Sepsis : infeksi disertai dengan SIRS. - Sepsis berat : sepsis disertai dengan disfungsi organ, hipoperfusi atau hipotensi yang meliputi asidosis laktat, oliguria atau perubahan akut status mental. - Syok sepsis : syndrome sepsis yang disertai dengan hipotensi. - Hipotensi : tek darah < 90 mmhg atau berkurang 40 mmhg dari tek.darah normal pasien - Multiple Organ Dysfunction syndrome : disfungsi lebih dari 1 organ atau lebih, memerlukan intervensi untuk mempertahankan homeostasis. Dremsizov dkk melakukan studi untuk menilai kemampuan SIRS dalam memprediksi terjadinya sepsis, sepsis berat dan kematian pada pasien PK. Hasil yang didapat antara lain 50% dari penderita PK yang dirawat akan jatuh ke sepsis. Selain itu, jika dibanding dengan PSI, kriteria SIRS tidak lebih baik dalam memprediksi perburukan sepsis pada PK. Implikasi klinis dari studi ini adalah dapat digunakannya PSI bukan hanya untuk skor prognosis tetapi juga sebagai petunjuk adanya disfungsi organ (Dremsizov dkk, 2006). 14