I.1 Latar belakang BAB I PENDAHULUAN Limbah cair yang mengandung zat warna telah banyak dihasilkan oleh beberapa industri domestik seperti industri tekstil dan laboratorium kimia. Industri-industri tekstil ini setiap harinya menghasilkan limbah cair dari proses produksi yang dilakukan di pabrik tersebut. Limbah-limbah dari proses produksi industri tekstil ini tidak diolah dengan baik, sehingga sering mencemari lingkungan sekitarnya. Pada umumnya limbah cair yang berwarna tersebut dibuang ke sungai-sungai terdekat dari pabrik. Dampak dari pencemaran tersebut dapat menyebabkan terganggunya ekosistem dalam air. Demikian pula terhadap limbah cair yang dihasilkan oleh laboratorium-laboratorium kimia. Air limbah dari industri tekstil maupun laboratorium kimia biasanya mengandung zat warna berbahaya maupun logam berat yang dapat mengalami oksidasi di dalam air sehingga dapat mengurangi kadar oksigen dalam air. Zat warna merupakan bahan kimia yang umumnya digunakan pada industri percetakan, tekstil, dan pewarna sintetis. Pencemaran lingkungan akibat pembuangan limbah zat berwarna dapat menghambat aktivitas fotosintesis (Jing dkk., 2013). Air limbah yang mengandung zat warna sangat berbahaya karena sebagian besar zat warna sukar teurai (non biodegradabel), bersifat resisten, dan toksik sehingga jika dibuang ke lingkungan perairan tanpa penanganan terlebih dahulu dapat menyebabkan pencemaran yang serius bagi sumber air yang mengakibatkan rusaknya ekologi lingkungan dan dapat menganggu kesehatan manusia. Menurut Sen dan Demirer (2003) zat warna tekstil mengandung senyawa azo (R-N=N-R ) dengan rantai organik yang sama atau berbeda dan turunan benzena. Zat warna sendiri dapat menyebabkan kenaikan Biological Oxygen Demand (BOD) dan menularkan penyakit melalui air (Gupta dkk., 1988). Salah satu zat warna yang menjadi limbah di industri maupun laboratorium kimia adalah biru metilen dengan rumus molekul C16H18N3SCl. 1
2 Biru metilen banyak digunakan di industri-industri karena biru metilen merupakan zat warna dasar dan mempunyai kelarutan yang baik. Di dalam pewarnaan pada proses produksi di industri tekstil, biru metilen terikat hanya sekitar 5% sedangkan sisanya sebanyak 95% terbuang sebagai air limbah (Liu dkk., 2007). Dengan demikian, kontribusi air limbah dari biru metilen ini ke lingkungan perairan sangat besar sehingga dapat menganggu ekosistem perairan dan menimbulkan berbagai penyakit, seperti keracunan, kerusakan organ, kanker, tekanan darah tinggi, asma bronchioli, pengaruh pada janin yang dapat mangakibatkan lahir cacat (cacat bawaan), gangguan pertumbuhan baik fisik maupun psikis, gangguan pada sistem ginjal dan kelenjar pencernaan, serta dapat mengakibatkan kerapuhan pada tulang. Menurut Peraturan Pemerintah No. 22 Tahun 1990, kadar maksimum biru metilen yang berada di dalam perairan ditetapkan sebesar 10 mg L -1. Oleh karena itu, diperlukan penanganan khusus terhadap limbah zat warna biru metilen tersebut di perairan sehingga konsentrasinya di perairan dapat dikurangi atau diperkecil. Apabila konsentrasi dari biru metilen ini dapat dikendalikan di perairan, maka ekosistem air dapat terjaga keseimbangannya. Dengan demikian, permasalahan tentang banyaknya zat warna yang terkandung dalam limbah cair masih terus berkembang dan memerlukan penyelesaian secara nyata. Dewasa ini, banyak penelitian tentang pengolahan air limbah melalui proses adsorpsi dengan menggunakan polimer yang termodifikasi agar dapat menyerap air limbah yang mengandung logam berat maupun air limbah yang mengandung zat warna berbahaya. Dibandingkan dengan metode lain seperti filtrasi maupun pengendapan, adsorpsi merupakan salah satu metode pengolahan limbah yang tidak memerlukan biaya tinggi (Gottipati dkk., 2010). Bahan yang dapat digunakan sebagai material adsorben pada umumnya memiliki massa molekul relatif besar seperti poli(vinil alkohol), (Li dkk., 2011), zeolit (Hamidpour dkk., 2010), karbon aktif (Ho dan McKay, 1998; Rodriguez dkk., 2009; Kannan dan Sundram, 2001), lempung (Maradang dkk., 2014; Gurses dkk., 2006), dan kitosan (Zulti dkk., 2012; Saha dkk., 2010; Yang dkk., 2014).
3 Kitosan merupakan kopolimer dari N-asetil-D-glukosamin dan D- glukosamin. Dengan massa molekular yang tinggi, kitosan menunjukkan kelarutan yang rendah di dalam air dan kebanyakan pelarut organik. Namun, sebagai basa lemah, kitosan larut dalam medium asam dengan mengalami protonasi gugus amino (Xie dkk., 2012). Kitosan telah luas penggunannya pada sistem transpor obat maupun pelepasan berbagai obat (Muzzarelli, 2009; Xie dkk., 2012). Hal ini dikarenakan kitosan merupakan adsorben yang berpotensi sebab harganya yang murah dan adanya gugus amino pada kitosan yang memberikan sifat adsorpsi untuk banyak ion logam dan pewarna organik (An-Chong dkk., 2006; Saha dkk., 2010). Pada penelitian terdahulu banyak dilakukan pembuatan membran kitosan maupun membran kitin sebagai adsorben baik terhadap adsorpsi ion logam berat seperti tembaga (Cu) (Ghaee dkk., 2010), nikel (Ni) (Ghaee dkk., 2012) maupun terhadap zat warna berbahaya seperti jingga metil (Siswati dkk., 2014; Anggraeny dkk., 2014; Mardila dkk., 2014). Akan tetapi sintesis membran yang banyak dilakukan dalam penelitian terdahulu dilakukan secara terpisah. Proses sintesis untuk kitosan dan pektin yang dilakukan secara terpisah atau menyendiri tersebut diketahui menghasilkan hasil adsorpsi yang kurang baik yaitu hasil kapasitas adsorpsi menjadi relatif kecil. Hal ini dikarenakan hidrofilisitas kitosan yang sangat rendah dan hidrofilisitas pektin yang sangat tinggi. Dengan demikian, Tuny (2013) membuat suatu membran Kompleks Polielektrolit (PEC) kitosan-pektin untuk memaksimalkan proses adsorpsi terhadap biru metilen. Namun, dalam penelitian tersebut membran kompleks PEC kitosan-pektin yang dihasilkan berbentuk pejal sehingga waktu penyerapannya terhadap biru metilen menjadi lama. Dengan demikian, dilakukan kembali penelitian mengenai studi adsorpsi biru metilen dengan membran makropori kitosan-pektin tertaut silang glutaraldehida menggunakan silika sebagai porogen. Membran yang akan dibuat dalam penelitian ini akan memiliki struktur berpori sehingga dapat dimanfaatkan untuk adsorpsi biru metilen karena mempunyai kapasitas adsorpsi yang lebih besar dari membran pejal atau penggunaan kitosan dan pektin secara terpisah.
4 An-Chong dkk. (2006) telah menggunakan natrium klorida sebagai porogen untuk mempersiapkan adsorben membran kitosan. Penggunaan natrium klorida sebagai porogen ini cukup berhasil dalam proses adsorpsi, namun belum dilakukan pembuatan adsorben menggunakan membran kitosan-pektin. Pada penelitian ini, membran makropori kitosan-pektin akan dibuat dengan menggunakan glutaraldehida sebagai agen pentaut silang atau cross-linker dan silika sebagai porogen serta aplikasinya untuk adsorpsi zat warna biru metilen. Beberapa parameter yang digunakan dalam kajian adsorpsi desorpsi di penelitian ini antara lain variasi ph larutan, variasi waktu kontak, variasi ukuran pori porogen. Dengan dilakukannya penelitian ini diharapkan diperoleh adsorben yang terbaik untuk mengadsorpsi biru metilen dalam waktu penyerapan yang relatif lebih cepat dan diperoleh hasil adsorpsi terbaik. Penggunaan silika sebagai porogen diharapkan dapat meningkatkan kemampuan adsorpsi dari membran makropori kitosan-pektin. I.2 Rumusan Masalah Beberapa permasalahan yang dapat dirumuskan berdasarkan latar belakang tersebut adalah sebagai berikut: a. Bagaimana proses preparasi membran makropori kitosan-pektin? b. Bagaimana pengaruh perbandingan komposisi membran makropori kitosanpektin terhadap adsorpsi biru metilen? c. Apa saja parameter yang mempengaruhi laju adsorpsi membran makropori kitosan-pektin terhadap biru metilen? d. Bagaimana pengaruh variasi porogen terhadap kemampuan membran makropori kitosan-pektin dalam mengadsorpsi biru metilen? e. Model isoterm adsorpsi apakah yang sesuai dalam kajian adsorspsi biru metilen dengan membran makropori kitosan-pektin ini?
5 I.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penelitian ini dilakukan dengan tujuan sebagai berikut: a. Mempelajari pembuatan membran makropori kitosan-pektin tertaut silang glutaraldehida. b. Mempelajari pengaruh perbandingan komposisi membran makropori kitosanpektin terhadap adsorpsi biru metilen. c. Mempelajari parameter yang mempengaruhi laju adsorpsi biru metilen dengan menggunakan membran makropori kitosan-pektin tertaut silang glutaraldehida. d. Mempelajari pengaruh variasi porogen terhadap kemampuan membran makropori kitosan-pektin dalam mengadsorpsi biru metilen. e. Mengetahui model isoterm adsorpsi yang sesuai dalam kajian adsorpsi biru metilen pada membran makropori kitosan-pektin. I.4 Manfaat penelitian a. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat khususnya dalam penanganan limbah di perairan dengan menggunakan adsorben berupa membran makropori kitosan-pektin. b. Menghasilkan membran makropori kitosan-pektin dengan hasil adsorpsi yang lebih baik dan waktu adsorpsi yang lebih efisien dengan menggunakan silika sebagai porogen. c. Penelitian ini diharapkan dapat memperluas wawasan tentang penggunaan porogen dan pengaruh komposisi kitosan-pektin terhadap adsorpsi zat berwarna biru metilen di perairan yang dapat mengurangi limbah zat berwarna.