Lex et Societatis, Vol. IV/No. 1/Jan/2016

dokumen-dokumen yang mirip
KONSEKUENSI HUKUM BAGI SEORANG ARBITER DALAM MEMUTUS SUATU PERKARA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NO. 30 TAHUN 1999

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG - UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

UNDANG - UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

Lex et Societatis, Vol. V/No. 1/Jan-Feb/2017. Kata kunci: Eksekusi putusan, Arbitrase Nasional.

PENEGAKAN HUKUM PENYELESAIAN SENGKETA KETENAGAKERJAAN MELALUI PERADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL. Yati Nurhayati ABSTRAK

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAHAN KULIAH ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DAGANG Match Day 9 ARBITRASE (2)

UNDANG - UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

BAB I PENDAHULUAN. Pada masa sekarang ini banyak terjadi sengketa baik dalam kegiatan di

PELAKSANAAN DAN PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE 1 Oleh : Hendhy Timex 2

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. sengketa yang terjadi diantara para pihak yang terlibat pun tidak dapat dihindari.

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PROSEDUR PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL

Lex Crimen Vol. V/No. 7/Sep/2016. TATA CARA PEMERIKSAAN SENGKETA ARBITRASE MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN Oleh : Gideon Hendrik Sulat 2

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

KEPUTUSAN BADAN ARBITRASE PASAR MODAL INDONESIA NOMOR : KEP 02/BAPMI/ TENTANG PERATURAN DAN ACARA BADAN ARBITRASE PASAR MODAL INDONESIA

BAB II MEKANISME PERMOHONAN PENYELESAIAN DAN PENGAMBILAN PUTUSAN SENGKETA KONSUMEN. A. Tata Cara Permohonan Penyelesaian Sengketa Konsumen

PANDUAN WAWANCARA. proses mediasi terhadap perkara perceraian? b. Apa ada kesulitan dalam menerapkan model-model pendekatan agama?

BAB I KETENTUAN UMUM. Pasal 1

Lex et Societatis, Vol. III/No. 9/Okt/2015

Lex et Societatis, Vol. III/No. 10/Nov/2015

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB III KEKUATAN PUTUSAN BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN DALAM PRAKTEK

BAB V P E N U T U P. forum penyelesaian sengketa yang pada awalnya diharapkan dapat menjadi solusi

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 01 TAHUN 2008 Tentang PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA

file://\\ \web\prokum\uu\2004\uu htm

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lex Administratum, Vol. III/No. 8/Okt/2015

Lex Administratum, Vol. III/No.3/Mei/2015

UNIVERSITAS NAROTAMA SURABAYA 2009

DESAIN TATA LETAK SIRKUIT TERPADU. Perhatikan desain-desain handphone berikut:

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. Bentuk sengketa beraneka ragam dan memiliki sekian banyak liku-liku yang

KETUA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 01 TAHUN Tentang

BAB IV PENYELESAIAN SENGKETA BISNIS

BAB III TINJAUAN TEORITIS. Undang-Undang No 9 Tahun 1999 berjudul Undang-Undang tentang Perlindungan

BAB I PENDAHULUAN. * Dosen Pembimbing I ** Dosen Pembimbing II *** Penulis. A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. menimbulkan pengaruh terhadap berkembangnya transaksi-transaksi bisnis yang

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 02 TAHUN 2002 TENTANG TATA CARA PENYELENGGARAAN WEWENANG MAHKAMAH KONSTITUSI OLEH MAHKAMAH AGUNG

BAB I PENDAHULUAN. tahap pembangunan diberbagai bidang, sehingga mempengaruhi sebagian bidang

PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL. OLEH : Prof. Dr. H. Gunarto,SH,SE,Akt,M.Hum

PROSES PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DAN JURUS MENGHINDARI BIAYA PERKARA 1. Oleh: Agus S. Primasta, S.H. 2.

PROSES PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DAN JURUS MENGHINDARI BIAYA PERKARA 1 Oleh: Agus S. Primasta, S.H. 2

BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN

UU No. 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan dunia usaha yang diwarnai dengan semakin. pihak yang terlibat dalam lapangan usaha tersebut, sangat berpotensi

PROSEDUR PENYELESAIAN SENGKETA DENGAN ARBITRASE DI INDONESA Oleh: Suwardjo Dosen Kopertis VI Jateng Dpk. Pada Fakultas Hukum Universitas Surakarta.

BAB II PENGATURAN ATAS JUAL BELI SAHAM DALAM PERSEROAN TERBATAS DI INDONESIA. dapat dengan mudah memahami jual beli saham dalam perseroan terbatas.

Undang Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2000 Tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu

Gubernur Jawa Barat PERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR : 93 TAHUN 2014 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA BARAT,

PENYELESAIAN SENGKETA PERDATA DI LUAR PENGADILAN MELALUI ARBITRASE 1 Oleh : Hartarto Mokoginta 2

Lex et Societatis, Vol. IV/No. 7/Juli/2016

PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA. Oleh: NY. BASANI SITUMORANG, SH., M.Hum. (Staf Ahli Direksi PT Jamsostek)

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 01 TAHUN Tentang PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA

Oleh: Marhendi, SH., MH. Dosen Fakultas Hukum Untag Cirebon

PPHI H. Perburuhan by DR. Agusmidah, SH, M.Hum

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Berdasarkan Pasal 1 Angka 4 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang

Lex et Societatis, Vol. III/No. 3/Apr/2015

Lex Privatum Vol. V/No. 5/Jul/2017. penyunan dan penandatanganan akta kesepakatan. Kata kunci: Penyelesaian sengketa, perbankan, mediasi

BAB I PENDAHULUAN. Pertumbuhan dan perkembangan ekonomi Indonesia pada umumnya. tidak dapat dipisahkan dari pertumbuhan dan perkembangan pelaku-pelaku

SURAT KESEPAKATAN PERDAMAIAN TERINTEGRASI DALAM PUTUSAN PENGADILAN AGAMA

FUNGSI MAHKAMAH AGUNG DALAM MENERIMA PENINJAUAN KEMBALI SUATU PERKARA PIDANA 1 Oleh: Eunike Lumi 2

BAB I PENDAHULUAN. dipungkiri tidak hanya berdampak pada peningkatan kondisi perekonomian

BAB I PENDAHULUAN. Sejalan dengan berdirinya lembaga-lembaga perekonomian yang menerapkan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan Umum tentang Hukum Ketenagakerjaan. Menurut Undang - Undang Nomor 13 Tahun 2003 Pasal 1 ayat (1) Tentang

Langkah-langkah yang harus dilakukan Pemohon banding:

BAB IV PENUTUP. (perkara Nomor: 305/Pdt.G/BANI/ 2014/PNJkt.Utr) adalah sebagai berikut:

KETUA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. (sengketa hubungan industrial) di Indonesia belum terlaksana sebagaimana

TINJAUAN YURIDIS MENGENAI PERANAN ARBITRASE DALAM PENYELESAIAN SENGKETA DAGANG

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 19/PUU-XIII/2015 Batas Waktu Penyerahan/Pendaftaran Putusan Arbitrase Internasional

DRAFT REVISI PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2008 TENTANG PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN

BADAN ARBITRASE NASIONAL INDONESIA

Lex Administratum, Vol. V/No. 9/Nov/2017

PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL. Oleh : Dr. Abdul Rachmad Budiono, S.H., M.H. A. Pendahuluan

BAB I PENDAHULUAN. membuat manusia mampu menjalani kehidupannya. Contoh kecil yaitu manusia tidak bisa

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

3 Lihat UU No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa. Keuangan (Bab VI). 4 Lihat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No.

BAB III PERAN DAN FUNGSI LEMBAGA KERJASAMA (LKS) BIPARTIT DALAM PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL

Oleh Helios Tri Buana

Lex Administratum, Vol. V/No. 3/Mei/2017

SIFAT KHUSUS PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL MENURUT UNDANG UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL

PROBLEMATIKA KEWENANGAN PENGADILAN NEGERI MENJATUHKAN PUTUSAN DALAM SENGKETA BISNIS YANG MEMPUNYAI KLAUSULA ARBITRASE

I. PENDAHULUAN. kebutuhannya begitu juga dengan perusahaan, untuk menjalankan suatu perusahaan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

BAB III BADAN ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA KONSTRUKSI INDONESIA (BADAPSKI) SEBAGAI

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG DESAIN INDUSTRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERAMPASAN ASET TINDAK PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 26/PUU-XV/2017 Pembatalan Putusan Arbitrase

dengan hukum atau yang tidak dapat dilaksanakan atau yang memuat iktidak tidak baik (Pasal 17 ayat 3).

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Makalah Peradilan Tata Usaha Negara BAB I PENDAHULUAN

2012, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165, Ta

Transkripsi:

PELAKSANAAN DAN PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 1999 1 Oleh : Martin Surya 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana cara pelaksanaan dan pembatalan putusan arbitrase dan bagaimana proses penyelesaian sengketa arbitrase. Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif dan dapat disimpulkan: 1. Dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tigapuluh) hari terhitung sejak tanggal putusan di ucapkan, lembar asli atau salinan otentik putusan arbitrase diserahkan dan di daftarkan oleh Arbiter atau kuasanya kepada Panitera Pengadilan Negeri. Penyerahan dan pendaftaran tersebut dilaksanakan dengan cara melakukan pencatatan. Dalam rangka pelaksanaan putusan arbitrase nasional, ada beberapa tahap yang akan dilalui yaitu tahap pendaf taran putusan arbitrase dan tahap eksekusi putusan arbitrase. Permohonan pembatalan putusan harus diajukan secara tertulis kepada Ketua Pengadilan Negeri dan Ketua Pengadilan Negeri dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari telah menentukan sikap menerima atau menolak permohonan pembatalan tersebut. Apabila permohonan pembatalan untuk seluruh atau hanya sebagian dari putusan arbitrase. 2. Proses penyelesaian sengketa arbitrase dimulai dengan mengajukan permohonan arbitrase. Pada surat permohonan itu harus dilampirkan salinan naskah sengketa kepada arbiter atau majelis arbiter (akta kompromis); atau perjanjian klausula bahwa sengketa yang akan timbul dari perjanjian tersebut akan diputus oleh arbiter atau majelisa rbitrase. Dalam surat permohonan harus memuat ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 Undang- Undang Nomor 30 Tahun 1999. Tahap kedua pihak tidak menunjuk arbiter maka ketua arbitrase yang dipilihakan menunjuk suatu tim yang terdiri atas tiga orang arbiter yang akan memeriksa dan memutus sengketanya. Dan tahap yang ketiga proses pemeriksaan dan tenggang waktu yang diperlukan menurut Undang-UndangNomor 30 Tahun 1999, para pihak dalam suatu perjanjian yang tegas dan tertulis bebas untuk menentukan proses pemeriksaan arbitrase yang dipergunakan dalam persidangan sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999. Kata kunci: Pembatalan putusan, Arbitrase. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Suatu hal yang penting untuk mengidentifikasikan alasan-alasan utama mengapa arbitrase lebih disukai pada tahuntahun belakangan ini, terutama dalam transaksi yang murni nasional. Pertama, dalam banyak kasus arbitrase dapat dilaksanakan dengan segera dan cepat tanpa litigasi, terutama dimana pengadilan dibanjiri dengan banyak kasus melebihi apa yang mereka tangani. 3 Kedua, arbitrase biasanya melibatkan arbitrator yang sudah mempunyai keahlian dalam materi atau substansi persengketaan yang akan mereka sidangkan. Ketiga pengadilan semakin mau atau setuju mengeksekusi keputusan pengadilan arbitrase. Misalnya Mahkamah Agung Republik Indonesia mengesahkan peraturan pada bulan april 1990 tentang penerapan eksekusi keputusan arbitrase. 4 Pilihan untuk menyelesaikan sengketa di luar pengadilan didasarkan pada pertimbangan bahwa pengadilan tidak lagi menarik dan tidak menjamin kepastian hukum dalam penyelesaian sengketa akibat lambatnya kinerja peradilan. Di samping itu saat ini lembaga peradilan dinilai sudah tidak netral lagi dalam mengadili perkara (unfairplay). Sedang jika sengketa diselesaikan melalui arbitase para pihak dapat memilih sendiri hukumnya dan arbiter yang akan memeriksa perkara. Demikian pula dengan penyelesaian melalui mediasi, konsiliasi dan negosiasi para pihak dapat menentukan tata cara penyelesaian sengketa dan langkah-langkah yang diambil berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak 1 Artikel Skripsi. Dosen Pembimbing : Prof. Dr Telly Sumbu., S.H., M.H; Grees Thelma Mozes., S.H., M.H 2 Mahasiswa pada Fakultas Hukum Unsrat, NIM. 120711004 3 John W. Head, Pengantar Umum Hukum Ekonomi, Elips II, Jakarta, 2002, hal 42. 4 Ibid, hal 43. 88

Arbitrase ini pun tidak lagi digunakan di kalangan kerabat saja, sekarang ini hubungan bisnis telah lintas batas negara sifatnya.karenanya pula, para pihak terlibat di dalamnya terdiri dari berbagai latar belakang ekonomi, budaya dan sosial yang berlainan.pendek kata, arbitrase dewasa ini melibatkan para pihak yang saling berbeda latar belakangnya. 5 Pelaku pasar mengkehendaki penyelesaian sengketa dagang harus dilakukan dengan agar tidak menganggu kegiatan ekonomi.hal itu seiring dengan terjadinya perubahan sistem ekonomi yang semula bercorak ekonomi negara menjadi ekonomi pasar. Oleh karena itulah diperlukan suatu perangkat hukum yang lebih ramah terhadap kebutuhan pasar. Para pelaku pasar yang terlibat dalam aktifitas ekonomi perdagangan memerlukan perangkat hukum baru yang tidak saja mampu memberikan jaminan kepastian hukum bagi mereka dalam hal terjadi sengketa yang berkaitan dengan aktifitasnya masingmasing. Pembentukan lembaga arbitrase sebagai salah satu alternatif penyelesaian sengketa merupakan upaya penyediaan perangkat dan sarana hukum dalam memenuhi kebutuhan pasar, karena pola dan sistem penyelesaian sengketa melalui arbitrase memenuhi prinsip efisiensi dan efektifitas yang berlaku dalam ekonomi pasar. Pembentukan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa juga merupakan upaya pemerintah Republik Indonesia dalam menyediakan perangkat hukum guna memenuhi kebutuhan pasar. Pembentukan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 juga untuk menyongsong pemberlakuan liberalisasi dan globalisasi perdagangan dan ekonomi di Indonesia. Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan di atas, maka penulis tertarik untuk mengangkat judul PELAKSANAAN DAN PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE MENURUT UNDANG- UNDANG NOMOR 30 TAHUN 1999. B. PERUMUSAN MASALAH 1. Bagaimana cara pelaksanaan dan pembatalan putusan arbitrase? 5 Huala Adolf, Arbitrase Komersial Indonesia, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, hal 3. 2. Bagaimana proses penyelesaian sengketa arbitrase? C. METODE PENELITIAN Metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah metode kepustakaan atau library research yaitu suatu metode penelitian yang digunakan dengan jalan untuk mempelajari buku-buku literatur, peraturan perundang-undangan, dan bahan-bahan tertulis lainnya untuk menunjang penulisan skripsi ini. PEMBAHASAN A. Pelaksanaan Dan Pembatalan Arbitrase 1. Pelaksanaan Putusan Arbitrase Instansi atau pejabat yang berwenang untuk melaksanakan atau mengeksekusi putusan arbitrase adalah Pengadilan Negeri, sedangkan majelis arbitrase yang mengeluarkan atau menjatuhkan putusan tidak memiliki kewenangan untuk memerintahkan dan menjalankan eksekusi. Ketidakadaan kewenangan majelis arbitrase ini disebabkan karena majelis tersebut tidak bersifat yudisial. 6 Dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal putusan di ucapkan, lembar asli atau salinan otentik putusan arbitrase diserahkan dan di daftarkan oleh Arbiter atau kuasanya kepada Panitera Pengadilan Negeri. Penyerahan dan pendaftaran tersebut dilaksanakan dengan cara melakukan pencatatan. 7 Penandatanganan pada bagian akhir atau di pinggir putusan oleh Panitera Pengadilan Negeri dan arbiter atau kuasanya yang menyerahkan, dan selanjutnya catatan tersebut menjadi dan merupakan akta pendaftaran. Pencatatan tersebut merupakan satu-satunya dasar bagi pelaksanaan putusan arbitrase oleh pihak yang berkepentingan atas pelaksanaan putusan arbitrase tersebut. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 menentukan bahwa jika pencatatan tersebut tidak dilakukan sesuai atau dalam jangka waktu yang ditentukan, maka putusan arbitrase tersebut tidak dapat dilaksanakan.selain itu 6 Zaeni Asyhadie, Hukum Bisnis Prinsip dan Pelaksanaannya di Indonesia, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005, hal 219. 7 GunawanWidjaja dan Ahmad Yani, Hukum Arbitrase, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2000, hal 96. 89

Undang-Undang juga mewajibkan Arbiter atau kuasanya untuk menyerahkan putusan dan lembar asli pengangkatan sebagai Arbiter, salinan otentiknya kepada Panitera Pengadilan Negeri. Sebelum memberikan perintah pelaksanaan, diberikan hak untuk memeriksa terlebih dahulu apakah putusan arbitrase tersebut telah diambil dalam satu proses yang sesuai, di mana : 8 1) Arbiter atau majelis arbitrase yang memeriksa dan memutuskan perkara telah di angkat oleh para pihak sesuai dengan kehendak mereka; dan 2) Perkara yang diserahkan untuk diselesaikan oleh arbiter atau majelis arbitrase tersebut adalah perkara yang menurut hukum yang dapat diselesaikan dengan arbitrase, serta 3) Putusan yang dijatuhkan tersebut tidak bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum. 4) Satu hal yang perlu diperhtikan disini adalah bahwa selain ketiga hal tersebut di atas, ketua pengadilan Negeri tidak diberikan kewenangan untuk memeriksa alasan atau pertimbangan dari putusan arbitrase. Jika menurut pertimbangan Ketua Pengadilan Negeri ada satu atau lebih syarat dari ketiga syarat tersebut diatas yang tidak dipenuhi, maka Ketua Pengadilan Negeri dapat menolak permohonan pelaksanaan eksekusi dan terhadap putusan Ketua Pengadilan Negeri tersebut tidak terbuka upaya hukum apapun.perintah Ketua Pengadilan Negeri ditulis pada lembar asli dan salinan otentik putusan arbitrase. Putusan arbitrase yang telah di bubuhi perintah Ketua Pengadilan Negeri tersebut, dilaksanakan sesuai ketentuan pelaksanaan putusan dalam perkara perdata yang putusanya telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Dalam hal ini maka berlakulah ketentuan Umum yang berlaku bagi pelaksanaan putusan perkara Perdata. 2. Pembatalan Putusan Arbitrase Menurut Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 8 Ibid, hal 97. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa tidak menyatakan dengan jelas, apakah pembatalan putusan arbitrase ini berlaku umum bagi segala jenis putusan arbitrase, khususnya yang berhubungan dengan pembagian putusan arbitrase ke dalam putusan arbitrase nasional dan putusan arbitrase internasional atau putusan arbitrase asing. Pasal 70 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 secara tegas disebutkan bahwa permohonan pembatalan terhadap putusan arbitrase dapat diajukan oleh para pihak apabila putusan tersebut diduga mengandung unsur-unsur sebagai berikut: 9 a) Surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan, ternyata diakui palsu atau dinyatakan palsu; b) Setelah putusan diambil ditemukan adanya dokumen yang bersifat menentukan, yang disembunyikan oleh pihak lawan; atau c) Putusan diambil dari hasil tipumuslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa. Apabila ditelaah ketentuan Pasal 70 di atas bahwa pembatalan putusan arbiter atau majelis arbitrase baru akan terjadi apabila diajukan oleh pihak yang merasa dirugikan terhadap putusan tersebut, jadi bukan batal dengan sendirinya tetapi harus berdasarkan inisiatif dari pihak. 10 Sama halnya dengan syarat perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata menyangkut syarat subjektif maka para pihak yang merasa dirugikan mempunyai hak untuk membatalkan perjanjian tersebut jika perjanjian dianggap mengandung catat hukum yakni terdapat unsur paksaan, kekeliruan dan penipuan. 11 Permohonan pembatalan putusan arbitrase tersebut harus diajukan secara tertulis kepada ketua pengadilan negeri dimana putusan arbitrase tersebut didaftarkan dan dicatat, dalam jangka waktu selambat-lambatnya 30 9 Lihat, Pasal 70 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. 10 Susilawetty, Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Ditinjau Dalam Perspektif Peraturan Perundang- Undang, Gramata Publishing, Jakarta, 2013, hal 11. 11 Lihat, Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. 90

(tiga puluh) hari terhitung sejak hari penyerahan dan pendaftaran putusan arbitrase yang telah didaftarkan di kantor panitera pengadilan negeri. 12 Putusan arbitrase yang dapat dimintakan pembatalannya dikantor panitera pengadilan negeri. Pengadilan atas permohonan dari para pihak tersebut akan memanggil diselenggarakannya sidang peradilan, yang tunduk pada ketentuan hukum acara perdata pada umumnya. Pihak-pihak yang mendalilkan adanya unsur-unsur yang memenuhi syarat pembatalan harus membuktikannya disidang pengadilan. 13 Atas dasar proses peradilan tersebut, maka pengadilan akan menjatuhkan putusan yang menerima maupun menolak permohonan pembatalan yang diajukan tersebut. Putusan atas permohonan pembatalan ditetapkan oleh ketua pengadilan negeri dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak permohonan pembatalan diterima. Rumusan pasal 72 ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa apabila permohonan pembatalan putusan arbitrase dikabulkan, ketua pengadilan negeri menentukan lebih lanjut akibat pembatalan atas seluruh atau sebagian putusan arbitrase. 14 Setiap permohonan pembatalan putusan arbitrase yang diajukan ketua pengadilan dapat membatalkan hanya sebagian dari putusan arbitrase tersebut. Sebagai akibat pembatalan tersebut, ketua pengadilan negeri dapat meminta kepada arbiter yang sama atau arbiter lainnya untuk memeriksa kembali perkara tersebut ataupun menyatakan bahwa sengketa tersebut tidak berada di bawah kewenangan para pihak untuk diselesaikan melalui arbitrase. Untuk memberikan keadilan bagi para pihak dalam putusan arbitrase, terhadap putusan ketua pengadilan negeri tersebut, Undang- Undang Nomor 30 Tahun 1999 membuka kemungkinan untuk mengajukan permohonan banding (kasasi) langsung kepada Mahkamah Agung yang akan memutuskan dalam tingkat pertama dan terakhir. 15 Untuk menciptakan sistem peradilan yang cepat guna lebih memberikan kepastian hukum bagi para pihak, Mahkamah Agung berkewajiban untuk mempertimbangkan serta memutuskan permohonan banding (kasasi) atas putusan ketua pengadilan negeri tersebut dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah permohonan banding (kasasi) tersebut diterima oleh Mahkamah Agung. 16 Sebagai penutup dapat dikatakan bahwa memang tidak dapat dipungkiri bahwa meskipun arbitrase cenderung dianggap merupakan penyelesaian bisnis yang terbaik, dengan menghindari publikasi maupun dengan sistem peradilan yang relatif lebih cepat dan murah, namun adakalanya, bergantung sepenuhnya pada itikad baik yang ada pada para pihak dalam perjanjian pokok, sampai pada tingkat tertentu. Penyelesaian melalui arbitrase juga dapat memberikan ketidaknyamanan bagi para pihak. Jika kita lihat pada penjelesan yang telah diberikan, kemungkinan pembatalan putusan arbitrase oleh ketua pengadilan negeri atas permohonan salam satu pihak dalam putusan arbitrase, dikhawatirkan dapat menjadi salah satu alasan untuk menciptakan kepastian hukum dan keadilan dalam dunia hukum di Indonesia. 17 B. PROSES PENYELESAIAN SENGKETA ARBITRASE Menurut ketentuan Pasal 34 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, penyelesaian sengketa melalui arbitrase dapat dilakukan dengan menggunakan lembaga nasional atau internasional berdasarkan kesepakatan para pihak. Jika penyelesaian sengketa melalui suatu lembaga atau badan arbitrase, prosedur yang akan dipergunakan adalah prosedur yang ditetapkan oleh badan yang bersangkutan. 18 12 GunawanWidjajan, SeriHukumBisnisAlternalif Penyelesaian Sengketa, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001, hal 97. 13 GunawanWidjaja dan Ahmad Yani, Op-Cit, hal 167. 14 Lihat, Pasal 72 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. 15 Susilawetty, Op-Cit, hal 10. 16 GunawanWidjaja dan Ahmad Yani, op-cit, hal 168. 17 Ibid, hal 169. 18 Lihat, Pasal 34 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. 91

Apabila para pihak telah setuju atau sepakat untuk mengajukan sengketa mereka kepada Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI, atau dalam klausula arbitrase telah diperjanjikan bahwa sengketa yang timbul akan diselesaikan menurut peraturan prosedur BANI dan diperjanjikan pula akan diselesaikan oleh para arbiter yang ditunjuk oleh badan tersebut, prosedurnya adalah sebagai berikut: 1) Permohonan arbitrase Prosedur arbitrase menurut Peraturan Prosedur Arbitrase BANI (yang berlaku mulai tanggal 3 desember 1977, diperbaiki tanggal 3 desember 1980), dalam tahap pertama dimulai dengan mengajukan permohonan arbitrase, dan surat permohonan tersebut akan didaftar oleh sekretaris BANI dalam suatu register yang khusus untuk itu. Surat permohonan tersebut harus memuat: a. Nama lengkap dan tempat tinggal (tempat kedudukan) kedua belah pihak yang berselisih; b. Uraian singkat tentang duduknya perkara; dan c. Apa yang dituntut. 2) Para pihak tidak menunjuk arbiter Apabila para pihak tidak menunjuk seorang arbiter, maka ketua BANI akan menunjuk suatu tim yang terdiri atas tiga orang arbiter yang akan memeriksa dan memutussengketanya. Jika sengketa itu dianggapnya sederhana dan mudah, ketua BANI akan menunjuk seorang arbiter tunggal untuk memeriksa dan memutusnya. Arbiter ditunjuk oleh ketua BANI itu dipilih dari para anggota tidak tetap (BANI). 19 3) Proses pemeriksaan dan tenggang waktu yang diperlukan Menurut Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, para pihak dalam suatu perjanjian tegas dan tertulis bebas untuk menentukan acara (proses pemeriksaan) arbitrase yang digunakan dalam persidangan sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tersebut. Demikian juga para pihak bebas menentukan jangka waktu dan 19 Joni Emirzon, Alternatif Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan Negosiasi, Mediasi, Konsiliasi, dan Arbitrase), PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2001, hal 109. tempat diselenggarakannya pemeriksaan/ persidangan. Termasuk arbiter atau majelis arbiter yang akan memutuskan. Berbeda dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, peraturan prosedur BANI mengatur secara lengkap proses pemeriksaan dan tata cara yang diperlukan. Proses pemeriksaan dan tata cara menurut peraturan prosedur BANI yang akan diberlakukan apabila memang para pihak bersepakat untuk menggunakannya. Jelasnya proses pemeriksaan dan tata cara menurut peraturan prosedur BANI adalah sebagai berikut: segera setelah diterima jawaban dari si termohon, atas perintah ketua BANI, salinan jawaban tersebut diserahkan kepada pemohon. Bersamaan dengan itu, ketua BANI memerintahkan kepada kedua belah pihak untuk menghadap di muka sidang arbitrase pada waktu yang ditetapkan. Apabila pada hari yang telah ditetapkan lagi itu termohon tanpa suatu alasan tidak datang menghadap juga, maka pemeriksaan akan diteruskan tanpa hadirnya termohon dan tuntutasn pemohon akan kecuali tuntutan itu oleh majelis dianggap tidak berdasarkan hukum atau keadilan. 20 Selambat-lambatnya 14 hari terhitung mulai hari dikeluarkannya perintah itu dengan pemberitahuan bahwa mereka boleh mewakilkan kepada seorang kuasa dengan surat kuasa khusus. Apabila si termohon, setelah lewat 30 hari sebagaimana disebutkan dalam perintah pertama ketua BANI, tidak menyampaikan jawabannya, ketua BANI akan memerintahkan memanggil kedua belah pihak. PENUTUP A. Kesimpulan 1. Dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tigapuluh) hari terhitung sejak tanggal putusan di ucapkan, lembar asli atau salinan otentik putusan arbitrase diserahkan dan di daftarkan oleh Arbiter atau kuasanya kepada Panitera Pengadilan Negeri. Penyerahan dan pendaftaran tersebut dilaksanakan dengan cara melakukan pencatatan. Dalam rangka pelaksanaan putusan arbitrase nasional, 20 Joni Emirzon,Ibid, hal 111. 92

ada beberapa tahap yang akan dilalui yaitu tahap pendaf taran putusan arbitrase dan tahap eksekusi putusan arbitrase. Permohonan pembatalan putusan harus diajukan secara tertulis kepada Ketua Pengadilan Negeri dan Ketua Pengadilan Negeri dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari telah menentukan sikap menerima atau menolak permohonan pembatalan tersebut. Apabila permohonan pembatalan untuk seluruh atau hanya sebagian dari putusan arbitrase. 2. Proses penyelesaian sengketa arbitrase dimulai dengan mengajukan permohonan arbitrase. Pada surat permohonan itu harus dilampirkan salinan naskah sengketa kepada arbiter atau majelis arbiter (akta kompromis); atau perjanjian klausula bahwa sengketa yang akan timbul dari perjanjian tersebut akan diputus oleh arbiter atau majelisa rbitrase. Dalam surat permohonan harus memuat ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999. Tahap kedua pihak tidak menunjuk arbiter maka ketua arbitrase yang dipilihakan menunjuk suatu tim yang terdiri atas tiga orang arbiter yang akan memeriksa dan memutus sengketanya. Dan tahap yang ketiga proses pemeriksaan dan tenggang waktu yang diperlukan menurut Undang- UndangNomor 30 Tahun 1999, para pihak dalam suatu perjanjian yang tegas dan tertulis bebas untuk menentukan proses pemeriksaan arbitrase yang dipergunakan dalam persidangan sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999. B. Saran 1. Kepada pihak-pihak yang tertarik untuk mengambil langkah penyelesaian masalah melalui lembag aarbitrase di Indonesia, agar lebih mengetahui arbitrase itu sendiri. Apa yang harus dipersiapkan terlebih dahulu, dan konsekuensi dari arbitrase. Agar tidak terjadi suatu masalah dalam pelaksanaan atau eksekusi putusan arbitrase. 2. Kepada pihak-pihak yang sering menggunakan arbitrase sebagai solusi untuk menyelesaikan sengketa mereka agar mengetahui proses-proses yang akan ditempuh dalam penyelesaian sengketa Arbitrase, agar pihak-pihak tersebut tidakakan dirugikan atau mendapat kendala yang berat dalam prosesnya nanti. DAFTAR PUSTAKA Adolf, Huala.,Arbitrase Komersial Internasional (EdisiRevisi), PT Raja GrafindoResada, Jakarta, 2003. Asyhadie, Zaeni.,Hukum Bisnis Prinsip dan Pelaksanaannya di Indonesia, PT Raja GrafindoPersada, Jakarta, 2005. Emirzon, Joni.,Alternatif Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan (Negosiasi, Mediasi, Konsiliasi, danarbitrase, PT GramediaPustakaUtama, Jakarta, 2001. Fuady, Munir.,Arbitrase Nasional Alternatif dan Penyelesaian Sengketa Bisnis, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003. Head, John W., Pengantar Umum Hukum Ekonomi, Elips II, Jakarta, 2002. Khoidin, M., Hukum Arbitrase Bidang Perdata, Cv. AswajaPressindo, Yogyakarta, 2013. Salam, Moch. Faisal.,Penyelesaian Sengketa Bisnis Secara Nasional dan Internasional, Cv. MandarMaju, Bandung, 2007. Sembiring, Sentosa., Hukum Dagang (Edisi Revisi Cetakan Ketiga), PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2008. Sudiarto, H. dan Zaeni Asyhadie., Mengenal Arbitrase Salah Satu Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis, PT Raja GrafindoPersada, Jakarta 2004. Susilawetty.,Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa di Tinjau dalam Perspektif Peraturan Perundang-Undangan, Gramata Publishing, Jakarta, 2013. Syarifin, PipindanDedahJubaedah.,Hukum Dagang di Indonesia, CvPustakaSetia, Bandung, 2012. Widjaja, Gunawan.,Seri Hukum Bisnis Alternatif Penyelesaian Sengketa, PT Raja GrafindoPersada, Jakarta, 2002., dan Ahmad Yani., Hukum Arbitrase, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 200. 93

SUMBER-SUMBER LAIN Undang-UndangNomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Peraturan Prosedur Arbitrase Badan Arbitrase Nasional Indonesia. Kitab Undang-UndangHukum Perdata. 94