BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Filariasis pada umumnya dikenal sebagai penyakit kaki gajah. Penyakit ini

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I. Pendahuluan. A. latar belakang. Di indonesia yang memiliki iklim tropis. memungkinkan nyamuk untuk berkembang biak dengan baik

Proses Penularan Penyakit

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh cacing filaria dan ditularkan oleh nyamuk Mansonia, Anopheles,

BAB I PENDAHULUAN. distribusinya kosmopolit, jumlahnya lebih dari spesies, stadium larva

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. volatile. Definisi minyak atsiri adalah senyawa yang pada umumnya berwujud

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Filariasis limfatik atau lebih dikenal dengan. penyakit kaki gajah adalah salah satu masalah kesehatan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. manusia, yaitu Plasmodium vivax, Plasmodium falciparum, Plasmodium

BAB I PENDAHULUAN UKDW. sebagai vektor penyakit seperti West Nile Virus, Filariasis, Japanese

I. PENDAHULUAN. aegypti. Penyakit ini dapat menyerang semua orang dan dapat. kejadian luar biasa atau wabah (Satari dkk, 2005).

BAB I PENDAHULUAN. I.1.Latar Belakang. Filariasis limfatik atau Elephantiasis adalah. penyakit tropis yang disebabkan oleh parasit di mana

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Demam berdarah dengue (DBD), merupakan penyakit yang masih sering

I. PENDAHULUAN. merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat di negara negara

I. PENDAHULUAN. dan mematikan bagi manusia, seperti demam berdarah (Aedes aegypti L.), malaria

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. dan merupakan penyakit yang banyak ditemukan di daerah tropis dan sub-tropis.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. vektor dari agen penyakit. Nyamuk tersebar luas di seluruh dunia, termasuk di

BAB I PENDAHULUAN. organisme termasuk manusia. Manusia selalu berinteraksi dengan lingkungannya

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

UJI EFEKTIVITAS MINYAK ATSIRI BUNGA KENANGA (Canangium odoratum Baill) TERHADAP DAYA BUNUH LARVA NYAMUK Culex quinquefasciatus SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN. salah satu masalah kesehatan yang sangat penting karena kasus-kasus yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penyakit menular merupakan penyakit yang dapat. ditularkan melalui hewan perantara (vektor).

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit yang masih menjadi fokus utama masyarakat Internasional serta

II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Gigitan nyamuk sering membuat kita risau karena. rasanya yang gatal. Akan tetapi nyamuk tidak hanya

BAB I PENDAHULUAN. klasifikasinya nyamuk dibagi dalam dua subfamili yaitu Culicinae yang terbagi

IDENTIFIKASI FILARIASIS YANG DISEBABKAN OLEH CACING NEMATODA WHECERERIA

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Tjitrosoepomo (1993), klasifikasi sirih (Piper bettle L.) adalah

BAB I PENDAHULUAN.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Vektor dalam arti luas adalah pembawa atau pengangkut. Vektor dapat berupa

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pada anggota badan terutama pada tungkai atau tangan. apabila terkena pemaparan larva infektif secara intensif dalam jangka

I. PENDAHULUAN. Nyamuk Aedes Agypti merupakan vektor virus dengue penyebab penyakit

Bab I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara yang mengalami 2 musim, salah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. hari berikutnya hujan lagi. Kondisi tersebut sangat potensial untuk

II. TINJAUAN PUSTAKA. 1. Klasifikasi Dan Morfologi Nyamuk Culex quinquefasciatus Say

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Nyamuk termasuk jenis serangga dalam ordo diptera, dari kelas insecta.

BAB 1 PENDAHULUAN. Deklarasi Milenium yang merupakan kesepakatan para kepala negara dan

FAKTO-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN FILARIASIS DI PUSKESMAS TIRTO I KABUPATEN PEKALONGAN

TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi, Anatomi dan Morfologi Nyamuk

UJI EFEKTIFITAS MINYAK ATSIRI BUNGA MELATI (Jasminum sambac L) TERHADAP DAYA BUNUH LARVA NYAMUK CULEX (Culex quinquefasciatus)

PENYAKIT-PENYAKIT DITULARKAN VEKTOR

BAB I PENDAHULUAN. 1

BAB 1 PENDAHULUAN. disebabkan oleh infeksi cacing filaria dan ditularkan oleh berbagai jenis nyamuk.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB II LANDASAN TEORI. Spesies : Allium fistulosum L. (Plantamor, 2011; USDA, 2006) banyak dibudidayakan di negara-negara Asia Timur, seperti Jepang,

BAB I PENDAHULUAN. gangguan kesehatan pada masyarakat dan mempelajari upaya untuk. penanggulangan dan pencegahannya (Notoadmodjo, 2011).

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Filariasis (penyakit kaki gajah) adalah penyakit menular yang

I. PENDAHULUAN. Demam Berdarah Dengue (DBD) atau Dengue Hemorrhagic Fever (DHF)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kedudukan nyamuk Aedes sp dalam klasifikasi hewan menurut Soegijanto (2006)

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. serangga yaitu Aedes spesies. Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah. penyakit demam berdarah akut, terutama menyerang anak-anak dengan

I. PENDAHULUAN. bagi manusia, seperti demam berdarah, malaria, kaki gajah, dan chikungunya

II. TINJAUAN PUSTAKA. 1. Klasifikasi Pandan Wangi (Pandanus amaryllifolius Roxb.)

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sapi ongole merupakan keturunan sapi liar yang dijinakkan di India. Di

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan

KBM 8 : Arthropoda Sebagai Vektor dan Penyebab Penyakit didik.dosen.unimus.ac.id

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. a. Latar Belakang. Nyamuk Aedes aegypti merupakan salah satu vektor. yang membawa penyakit demam berdarah dengue.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Demam Berdarah Dengue (DBD) pertama kali ditemukan. tahun 1953 di Fillipina. Selama tiga dekade berikutnya,

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Nyamuk merupakan serangga yang seringkali. membuat kita risau akibat gigitannya.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

1 Universitas Kristen Maranatha

BAB I PENDAHULUAN. oleh virus dengue dengan tanda-tanda tertentu dan disebarkan melalui gigitan

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang berada di daerah tropis, sehingga. merupakan daerah endemik bagi penyakit-penyakit yang penyebarannya

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

NYAMUK SI PEMBAWA PENYAKIT Selasa,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. perusak tanaman dan nyamuk. Pada kelompok serangga nyamuk lebih

I. PENDAHULUAN. Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan penyakit infeksi di daerah tropis

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pada tahun 2013 jumlah kasus baru filariasis ditemukan sebanyak 24 kasus,

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. Penyakit demam berdarah dengue (DBD) merupakann penyakit yang. berkaitan erat dengan kenaikan populasi vektor Aedes aegypty.

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981) Spodoptera litura F. dapat diklasifikasikan

BAB I PENDAHULUAN. berperan sebagai perantara (vektor) beberapa jenis penyakit terutama Malaria

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Demam Berdarah Dengue (DBD) masih menjadi masalah kesehatan di. Berdasarkan data Dinas Kesehatan kota Bandar Lampung Januari hingga 14

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

PENGARUH KONSENTRASI EKSTRAK TEMU LAWAK (Curcuma xanthorrhiza) TERHADAP JUMLAH NYAMUK Aedes aegypti YANG HINGGAP PADA TANGAN MANUSIA

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BALAI LITBANG P2B2 BANJARNEGARA IDENTIFIKASI DAN PEMBEDAHAN NYAMUK

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. (DBD) Filariasis. Didaerah tropis seperti Indonesia, Pada tahun 2001, wabah demam

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Serangga mempunyai berbagai peran di ekosistem yang oleh manusia

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Morfologi Bawang Merah ( Allium ascalonicum L.)

BAB I PENDAHULUAN. sering disebut sebagai vektor borne diseases. Vektor adalah Arthropoda atau

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. menyebabkan anemia dan dapat menurunkan produktivitas kerja (Kemenkes, gejala malaria pada tahun 2013 (WHO, 2014).

Transkripsi:

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Filariasis pada umumnya dikenal sebagai penyakit kaki gajah. Penyakit ini termasuk penyakit tropis pada manusia yang disebabkan oleh cacing Wuchereria bancrofi, Brugia malayi, Brugia timori, melalui perantara nyamuk Culex quinquefasciatus, Anopheles, Aedes, Armigeres dan Mansonia. Nyamuk Culex quinquefasciatus merupakan vektor dari cacing Wuchereria bancrofti (Depkes RI, 2008). Angka kejadian filariasis semakin meningkat bahkan sampai menyebabkan kematian. Data tahun 2004, melaporkan bahwa 120 juta orang di 81 negara terinfeksi filariasis di dunia. Daerah endemik lebih berisiko terkena infeksi filariasis (WHO, 2010). Di Indonesia, jumlah kasus filariasis yang dilaporkan dari tahun 2000-2009 sudah sebanyak 11.914 kasus (Soepardi, 2010). Filariasis dapat menyebabkan limfadenistis, limfangitis, adenolimfangitis yang disertai demam, sakit kepala, rasa lemah dan timbulnya abses. Selain itu, elefantiasis pada daerah tungkai, lengan, testis, vulva, dan payudara, yang dapat mengganggu penampilan dan aktivitas seseorang (WHO, 2010). Filariasis juga menyebabkan kecacatan dan bersifat kronis (Eldridge, 2008). Banyak cara dapat dilakukan untuk mencegah gigitan nyamuk Culex quinquefasciatus, yaitu kelambu pada saat tidur, memakai baju dan celana panjang, serta repellent (Sukowati, 2010). Repellent yang beredar di pasaran umumnya mengandung bahan sintetis beracun DEET (diethyltoluamide) dengan 1

2 konsentrasi 10-15%. DEET memiliki kemampuan melindungi kulit dari gigitan nyamuk selama 8 jam (Kardinan, 2007). Penggunaan sediaan repellent tersebut harus digunakan dengan hati-hati, terutama pada anak-anak karena DEET memiliki beberapa kekurangan, yaitu mengiritasi kulit, kemerahan dan gatal pada kulit (BPOM, 2014). Selain itu, DEET dapat menyebabkan ruam, bengkak, iritasi mata. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian untuk menemukan repellent baru yang terbuat dari bahan alami dengan pertimbangan lebih aman, ramah lingkungan dan disukai oleh masyarakat (Patel dkk., 2012). Tanaman obat yang berkhasiat sebagai repellent antara lain zodia (Sianipar, 2010), jahe emprit dan jahe merah (Sari dkk., 2014), kenikir (Tagetes erecta L) (Hutagalung dkk., 2013), sirih (Widawati, 2014), selasih (Kardinan, 2007), dan lain sebagainya. Umumnya, senyawa aktif yang terkandung dalam repellent di pasaran adalah minyak atsiri. Selain itu, senyawa aktif dalam tanaman yang diduga memiliki aktivitas repellent adalah alkaloid (Debboun dkk., 2015). Senyawa golongan alkaloid memiliki bau yang khas (Wiryowidagdo, 2008) dan rasa pahit yang dapat mengakibatkan semua hewan termasuk serangga tidak menyukainya (Hopkins dan Huner, 2008). Walaupun, belum diketahui mekanisme alkaloid secara pasti dalam menolak nyamuk. Umumnya, alkaloid bersifat basa karena mengandung satu atau lebih atom nitrogen (Harborne, 1987). Alkaloid sebagai basa bebas dapat larut dalam pelarut organik, salah satunya yaitu etanol 70% (Saxena, 2007). Ekstrak etanol bawang daun juga mengandung senyawa aktif alkaloid. Selain itu, bawang daun juga mengandung flavonoid, fenolik, steroid, glikosida dan tanin (Siregar dkk., 2015).

3 Tanaman bawang daun umumnya dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai sayuran, dan campuran makanan (Setiawati dkk., 2007). Bawang daun dengan bau khasnya dapat dimanfaatkan sebagai pengusir serangga pada tanaman kedelai (Kusheryani dan Aziz, 2006). Berdasarkan kemampuan bawang daun yang telah dimanfaatkan dalam mengusir serangga pada tanaman kedelai, maka tanaman ini kemungkinan dapat digunakan untuk mengusir serangga lainnya (Kusheryani dan Aziz, 2006). Namun, penelitian tentang bawang daun (Allium fistulosum L.) sebagai repellent belum pernah dilakukan. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk menguji aktivitas repellent ekstrak etanol bawang daun (Allium fistulosum L.) terhadap nyamuk Culex quinquefasciatus. Permasalahan utama dari repellent bahan alam yaitu efek repellent yang cepat hilang seiring berjalannya waktu. Oleh karena itu, penelitian ini juga menguji lamanya interval waktu aplikasi repellent ekstrak etanol bawang daun terhadap efektivitas repellentnya. Adiyasa dkk., (2014) dan Wasiah (2014) menyatakan bahwa semakin tinggi konsentrasi ekstrak, daya proteksi repellent semakin tinggi. Sementara itu, semakin lama waktu pengujian, maka daya proteksi repellent semakin berkurang. Berdasarkan uraian tersebut, dalam penelitian ini dilakukan variasi konsentrasi ekstrak dan interval waktu pengujian. B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, maka permasalahan penelitian dapat dirumuskan sebagai berikut :

4 1. Apakah ekstrak etanol bawang daun (Allium fistulosum L.) mempunyai aktivitas repellent terhadap nyamuk Culex quinquefasciatus? 2. Apakah peningkatan konsentrasi ekstrak etanol bawang daun dan peningkatan interval waktu pengujian mempengaruhi daya proteksi terhadap nyamuk Culex quinquefasciatus? 3. Apakah ekstrak etanol bawang daun mengandung senyawa aktif golongan alkaloid yang diduga memiliki aktivitas repellent terhadap nyamuk Culex quinquefasciatus? C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk : 1. Membuktikan aktivitas repellent ekstrak etanol bawang daun (Allium fistulosum L.) terhadap nyamuk Culex quinquefasciatus. 2. Mengetahui pengaruh peringkat konsentrasi ekstrak etanol bawang daun dan peningkatan interval waktu pengujian terhadap daya proteksi nyamuk Culex quinquefasciatus. 3. Mengidentifikasi kandungan senyawa alkaloid dalam ekstrak etanol bawang daun. D. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat yaitu sebagai salah satu upaya mencegah penyebaran penyakit filariasis dengan repellent nabati dari bahan alam yang aman digunakan, sehingga meminimumkan efek

5 berbahaya dari bahan- bahan kimia yang digunakan di pasaran. Selain itu, meningkatkan pemanfaatan bahan alam dari ekstrak bawang daun sebagai repellent yang lebih efektif, serta meningkatkan nilai ekonomi dari tanaman bawang daun. E. Tinjauan Pustaka 1. Tanaman Bawang Daun (Allium fistulosum L.) a. Klasifikasi Tanaman Urutan klasifikasi tanaman bawang daun (Backer dan Bakhulzen, 1968) sebagai berikut : Kerajaan Divisi Kelas Bangsa Suku Marga : Plantae : Magnoliophyta (Tumbuhan berbiji) : Liliopsida (Monocotyledoneae) : Liliales : Amaryllidaceae : Allium Jenis : Allium fistulosum L. Nama lokal : Bawang Daun b. Morfologi Tanaman Tanaman bawang daun (Allium fistulosum L.) (gambar 1) merupakan salah satu tanaman sayur yang umum dijumpai sebagai campuran makanan (Setiawati dkk., 2007). Tanaman bawang daun berbentuk rumput atau rumpun dengan ketinggian mencapai 60 cm atau lebih. Akar

6 bawang daun berbentuk serabut pendek yang tumbuh dan berkembang ke semua arah di sekitar permukaan tanah. Bawang daun tidak memiliki akar tunggang. Panjang akar bawang daun sekitar 8-2 cm. Akar bawang daun dapat tumbuh dengan baik pada tanah yang gembur, subur dan mudah menyerap air. Batang bawang daun memiliki dua macam batang yaitu batang sejati dan semu. Batang sejati berbentuk cakram, berukuran sangat pendek dan terletak pada bagian dasar yang berada dalam tanah. Batang semu berwarna putih atau hijau keputih-putihan, terbentuk dari pelepah-pelepah daun yang saling membungkus dengan kelopak daun yang lebih muda sehingga berbentuk seperti batang. Batang semu terletak di atas permukaan tanah. Batang semu biasanya dikonsumsi sebagai campuran makanan (Cahyono, 2005). Daun tanaman bawang daun berbentuk bulat, memanjang, berlubang menyerupai pipa dan ujungnya runcing (Rukmana, 1995). Daunnya merupakan bagian tanaman yang sering dikonsumsi sebagai bumbu atau penyedap sayuran. Bunga bawang daun tergolong sempurna (bunga jantan dan betina terdapat pada satu bunga), memiliki bentuk payung majemuk atau payung berganda dan berwarna putih. Bunga bawang daun mekar dari luar ke arah pusat (Cahyono, 2005). Gambar 1. Tanaman bawang daun (Allium fistulosum L.) (koleksi pribadi)

7 c. Kandungan Senyawa Aktif Ekstrak tanaman bawang daun memiliki senyawa bioaktif meliputi flavonoid, fenolik, steroid, glikosida, alkaloid dan tanin (Siregar dkk., 2015). Menurut Debboun dkk (2015) senyawa alkaloid diduga memiliki aktivitas repellent. d. Khasiat Tanaman Tanaman bawang daun dengan bau khasnya dapat dimanfaatkan sebagai pengusir serangga (Kusheryani dan Aziz, 2006). Bawang daun memiliki khasiat untuk memudahkan pencernaan makanan, menghilangkan lendir dalam kerongkongan (Rukmana, 1995), menyembuhkan rematik, antibakteri, sukar kencing, bengkak-bengkak dan penambah darah. Akar bawang daun digunakan untuk mengobati mual dan cacingan (Cahyono, 2005). Selain itu, bawang daun juga memiliki khasiat sebagai antioksidan (Siregar dkk., 2005), sebagai antihiperkolesterolemia (Utami dkk., 2015) dan sebagai larvasida (Resitarani, 2014). 2. Nyamuk Culex quinquefasciatus a. Klasifikasi Nyamuk Culex quinquefasciatus Urutan klasifikasi nyamuk Culex quinquefasciatus (Mishra, 2014 dan Wilkerson, 2010) sebagai berikut : Kerajaan Divisi Kelas : Animalia : Arthropoda : Insecta

8 Ordo Bangsa Marga Jenis : Diptera : Culicidae : Culex : Culex quinquefasciatus Say b. Morfologi nyamuk Culex quinquefasciatus Nyamuk Culex quinquefasciatus (gambar 2) memiliki beberapa ciri, yaitu tubuhnya dibedakan atas kaput, toraks, abdomen dan mempunyai tiga pasang kaki dan sepasang antena (Borror dkk., 1992). Nyamuk Culex quinquefasciatus berwarna coklat, berukuran sedang, dengan bintikbintik putih di bagian dorsal abdomen. Kepala nyamuk Culex quinquefasciatus umumnya bulat atau sferik dan memiliki sepasang mata, sepasang antena, sepasang palpi yang terdiri atas lima segmen dan satu probosis antena yang terdiri atas 15 segmen. Nyamuk Culex quinquefasciatus tidak memiliki rambut pada spiracular maupun pada post spiracular. Ciri lain dari nyamuk Culex quinquefasciatus yaitu saat menusuk kaki belakangnya sedikit terangkat (Mishra, 2014; Setiawati, 2000). Gambar 2. Nyamuk Culex quinquefasciatus dewasa (Eldridge, 2008).

9 c. Daur Hidup Nyamuk Daur hidup nyamuk Culex quinquefasciatus mulai dari telur hingga menjadi dewasa membutuhkan waktu sekitar 14 hari. Nyamuk Culex quinquefasciatus bermetamorfosis secara sempurna. Nyamuk betina saat bertelur akan mencari tempat yang sesuai, seperti genangan air yang lembab, dan meletakkannya di atas permukaan air secara bergerombol seperti rakit (Bhattacharya dan Basu, 2016). Nyamuk Culex quinquefasciatus sekali bertelur menghasilkan 120-200 telur. Telur akan menetas menjadi larva terjadi sekitar 1-2 hari. Perkembangan larva nyamuk sangat cepat dan membutuhkan waktu selama 4-6 hari (Eldridge, 2008). Umumnya, larva nyamuk mengalami empat masa pertumbuhan dari larva instar I sampai larva instar IV. Pertumbuhan larva menjadi pupa berlangsung di dalam air membutuhkan waktu 8-14 hari. Perkembangan larva instar I menjadi larva instar II, larva instar III dan larva instar IV ditandai dengan pengelupasan kulit. Selanjutnya, larva instar IV akan berubah menjadi pupa, kemudian pupa berubah menjadi nyamuk membutuhkan waktu 1-2 hari. Nyamuk dewasa kemudian melakukan perkawinan dan kehidupannya berada di udara (Depkes RI, 2004). d. Perilaku menggigit nyamuk Perilaku menggigit nyamuk berpengaruh terhadap risiko penularan filariasis. Nyamuk yang menjadi vektor filariasis dari cacing Wuchereria bancrofti adalah Culex quinquefasciatus (Depkes RI, 2008). Nyamuk ini memiliki aktivitas mengginggit tertinggi pada malam hari, baik di dalam

10 rumah maupun di luar rumah (Ramadhani dan Yunianto, 2009). Selain itu, nyamuk ini memiliki sifat cenderung lebih menyukai menggigit manusia dibanding dengan hewan ternak (antrophofilik) (Depkes RI, 2008). Menurut Febriyanto dkk (2008), salah satu faktor risiko tingginya penularan filariasis adalah kebiasaan masyarakat yang sering keluar rumah pada malam hari. Aktivitas pada malam hari yang dilakukan penduduk khususnya laki-laki seperti meronda, menjadikan penularan filariasis mudah terjadi. Hal ini menyebabkan, kasus filariasis pada laki-laki lebih besar daripada pada perempuan karena umumnya laki-laki lebih sering kontak dengan vektor (Depkes RI, 2008). Selain itu, faktor yang sangat berpengaruh terhadap penularan filariasis adalah lingkungan. Nyamuk culex tumbuh dan berkembang biak pada saluran air yang tercemar, selokan dan genangan air yang kotor. Sementara itu, cacing Wuchereria bancrofti memiliki habitat yang sama yaitu didaerah perkotaan yang kumuh, seperti di tanah yang becek dan selokan (Windiastuti dkk., 2013). 3. Filariasis Filariasis merupakan penyakit tropis yang disebabkan oleh tiga spesies cacing parasit yaitu Wuchereria bancrofti, Brugia malayi dan Brugia timori, yang ditularkan ke manusia oleh perantara nyamuk. Di Indonesia teridentifikasi 23 spesies nyamuk dari 5 genus yang menjadi vektor filariasis, yaitu nyamuk Culex, Anopheles, Aedes, Armigeres dan Mansonia. Nyamuk Culex

11 quinquefasciatus merupakan vektor dari cacing Wuchereria bancrofti (Depkes RI, 2008). Di tahun 2004, diperkirakan 120 juta orang di 81 negara terinfeksi filariasis dan diperkirakan 1,34 miliar orang yang hidup di daerah endemik lebih berisiko terinfeksi sebanyak 65%, serta sekitar 40 juta orang cacat dan lumpuh (WHO, 2010). Di Indonesia, dilaporkan bahwa jumlah kasus filariasis dari tahun 2000-2009 sudah sebanyak 11.914 kasus (Soepardi, 2010). Filariasis merupakan penyakit yang bersifat kronis, jika tidak mendapatkan pengobatan yang tepat, maka dapat menyebabkan limfadenistis, limfangitis, adenolimfangitis yang disertai demam, sakit kepala, rasa lemah dan timbulnya abses. Selain itu, elefantiasis pada daerah tungkai, lengan, testis, vulva, dan payudara, yang dapat mengganggu penampilan dan aktivitas seseorang. Penyakit filariasis memberikan dampak sosial budaya yang cukup besar, dampak ekonomi serta mental secara psikologis. Selain itu, filariasis mengakibatkan pembesaran abnormal bagian tubuh, menyebabkan rasa sakit dan cacat permanen, sehingga penderita tidak dapat bekerja secara optimal dan hidupnya selalu tergantung pada orang lain (WHO, 2010). Cara penularan filariasis di dalam tubuh manusia yaitu nyamuk betina yang terinfeksi menyimpan larva infektif tahap III, ketika nyamuk menggigit orang maka larva akan keluar dari probosis dan secara aktif akan masuk ke dalam tubuh melalui luka gigitan. Larva tersebut akan berpindah memasuki sistem kelenjar limfe dan berkembang menjadi cacing dewasa, kemudian membentuk sarang yang menyebabkan penyumbatan yang menimbulkan pembengkakan dan demam (WHO, 2013). Cacing dewasa betina akan

12 menghasilkan 10.000 atau lebih mikrofilaria atau larva yang hidup dalam aliran darah tubuh manusia. Mikrofilaria akan bermigrasi dari sistem getah bening dan saluran darah untuk mencapai ke pembuluh darah perifer, sering kali bertepatan ketika nyamuk lain menggigit. Nyamuk betina akan menghisap darah bersama mikrofilaria. Di dalam tubuh nyamuk, mikrofilaria akan menembus dinding lambung dan pindah ke otot thorak untuk berkembang menjadi stadium larva I. Mikrofilaria akan berubah bentuk dari stadium larva I menjadi larva III (infektif) membutuhkan waktu 10-12 hari. Selanjutnya, mikrofilaria stadium larva III (infektif) akan bergerak menuju ke bagian kepala dan probosis nyamuk yang siap ditularkan. (Cato, 2005; WHO, 2013; Depkes RI, 2008). Penularan filariasis berbeda dengan penularan pada malaria dan demam berdarah, cara penularan tersebut menyebabkan tidak mudahnya penularan dari orang satu ke orang lain karena seseorang dapat dikatakan terinfeksi filariasis, apabila orang tersebut mendapat gigitan nyamuk berkali-kali. Kemampuan nyamuk untuk mendapatkan mikrofilaria sangat terbatas. Nyamuk yang menghisap darah yang mengandung mikrofilaria terlalu banyak dapat mengalami kematian, tetapi jika terlalu sedikit menghisap akan memperkecil penularan mikrofilaria stadium larva L3 (Depkes RI, 2008). Ada beberapa cara pencegahan untuk memutuskan penyebaran filariasis oleh nyamuk Culex quinquefasciatus. Beberapa cara tersebut adalah kemoterapi preventif (WHO, 2010), menggunakan kelambu celup cypermethrin 100 EC (Haryono, 2015), kelambu pada saat tidur, memakai baju dan celana panjang, serta repellent (Sukowati, 2010).

13 4. Repellent Repellent merupakan bahan yang digunakan untuk menolak serangga maupun hewan lainnya (Sudarmo, 2007). Ada dua jenis repellent yaitu repellent yang berasal dari bahan sintetis dan bahan alam. Repellent yang terbuat dari bahan sintetis umumnya lebih efektif dan tahan lama dalam melindungi kulit dari gigitan nyamuk. Namun, repellent sintetis memiliki kekurangan yaitu menyebabkan ruam, bengkak, iritasi mata, tekanan darah rendah, syok anafilaksis, dan bahkan menyebabkan kematian. Beberapa contoh dari repellent sintetis yaitu DEET, picaridin, permethrin, dan lain-lain. Sementara itu, repellent dari bahan alam memiliki kelebihan tidak lengket, tidak beracun, dan ramah lingkungan serta lebih aman terhadap kulit yang sensitif. Kekurangan dari repellent bahan alam yang mengandung minyak atsiri yaitu efeknya mudah hilang karena sifatnya yang mudah menguap (Patel dkk., 2012). Beberapa contoh dari repellent bahan alam yaitu Buzz Away (mengandung serai, cedarwood, eucalyptus dan minyak sereh), Hijau Ban (mengandung serai, kayu putih, lavender, safrole, peppermint dan bergaptene bebas minyak bergamot) dan lain-lain (Peterson dan Coats, 2001). Repellent yang beredar di pasaran umumnya mengandung bahan sintetis beracun DEET (Dietyltoluamide) dengan konsentrasi 10-15%. DEET memiliki kemampuan melindungi kulit dari gigitan nyamuk selama 8 jam (Kardinan, 2007). Penggunaan sediaan repellent tersebut harus digunakan dengan hati-hati, terutama pada anak-anak karena DEET memiliki beberapa kekurangan, yaitu mengiritasi kulit, kemerahan dan gatal pada kulit (BPOM, 2014). Selain itu, DEET dapat menyebabkan ruam, bengkak, iritasi mata (Patel dkk., 2012).

14 Karbondioksida, asam laktat dan bau lainnya yang berasal dari kulit manusia atau hewan dapat bertindak sebagai penarik untuk nyamuk betina. Repellent umumnya bekerja dengan cara menutupi bau asam laktat dan karbondioksida yang terdapat dalam keringat manusia, dengan cara memblokade reseptor asam laktat yang berada di antena nyamuk, sehingga nyamuk tidak dapat mencium bau, dan nyamuk akan kehilangan kontak dengan manusia. Selain itu, repellent juga memiliki aroma yang tidak disukai oleh nyamuk (Patel dkk., 2012). Nyamuk dapat mendeteksi bau darah pada jarak 2,5 meter melalui antena nyamuk (BPOM, 2014). F. Landasan Teori Ekstrak bawang daun memiliki kandungan senyawa aktif flavonoid, fenolik, steroid, glikosida, alkaloid dan tanin (Siregar dkk., 2015). Salah satu senyawa aktif yang diduga memiliki aktivitas repellent adalah golongan alkaloid (Dobboun dkk., 2006). Senyawa golongan alkaloid memiliki bau yang khas (Wiryowidagdo, 2008) dan rasa pahit yang dapat mengakibatkan semua hewan termasuk serangga tidak menyukainya (Hopkins dan Huner, 2008). Walaupun, belum diketahui mekanismenya secara pasti dalam menolak nyamuk. Umumnya, alkaloid bersifat basa karena mengandung atom nitrogen. Alkaloid sebagai basa bebas dapat larut dalam pelarut organik, salah satunya yaitu etanol 70% (Saxena, 2007).

15 Semakin tinggi konsentrasi ekstrak, daya proteksi repellent semakin tinggi. Sementara itu, semakin lama waktu pengujian, maka daya proteksi repellent semakin berkurang (Adiyasa dkk., 2014; Wasiah, 2014). G. Hipotesis Ekstrak etanol bawang daun (Allium fistulosum L.) mempunyai aktivitas repellent terhadap nyamuk Culex quinquevasciatus. Aktivitas repellent sangat dipengaruhi oleh konsentrasi dan waktu. Ekstrak etanol bawang daun mengandung senyawa aktif golongan alkaloid yang diduga memiliki aktivitas sebagai repellent.