UPAYA HUKUM BAGI NASABAH YANG DIRUGIKAN AKIBAT BERTRANSAKSI E-BANKING MELALUI AUTOMATIC TELLER MACHINE (ATM)

dokumen-dokumen yang mirip
PERLINDUNGAN dan PEMBERDAYAAN NASABAH BANK DALAM ARSITEKTUR PERBANKAN INDONESIA 1

BAB I PENDAHULUAN. memudahkan para pelanggannya (customer) melakukan transaksi perbankan

BAB I PENDAHULUAN. dana dari masyarakat dan menyalurkannya secara efektif dan efisien pada

BAB I. Pendahuluan. setiap negara. Bank merupakan lembaga keuangan yang menjadi tempat bagi

BAB V PENUTUP. 1. Keabsahan dari transaksi perbankan secara elektronik adalah. Mendasarkan pada ketentuan Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum

BAB IV UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK. A. Perlindungan Hukum Terhadap Nasabah Bank Yang Mengalami

BAB III TANGGUNG GUGAT BANK SYARIAH ATAS PELANGGARAN KEPATUHAN BANK PADA PRINSIP SYARIAH

BAB I PENDAHULUAN. Perlindungan hukum..., Pramita Dyah Hapsari, FH UI, 2011.

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 16/ 1 /PBI/2014 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN JASA SISTEM PEMBAYARAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

(Staf Pengajar FISE Universitas Negeri Yogyakarta)

BAB I PENDAHULUAN. munculnya Internethingga akhirnya tiba di suatu masa dimana penggunaan

Perjanjian Jual Beli Barang Melalui Elektronik Commerce (E-Com)

BAB I PENGANTAR. sependapat dalam buku Bunga Rampai Hukum Ekonomi Dan Hukum

BAB V PENUTUP. 1. Tanggung Jawab Bank Dan Oknum Pegawai Bank Dalam. Melawan Hukum Dengan Modus Transfer Dana Melalui Fasilitas

I. PENDAHULUAN. perekonomian. Kebutuhan masyarakat yang tinggi terhadap sektor masyarakat

SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR: 1/POJK.07/2013 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN SEKTOR JASA KEUANGAN

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS ANDALAS PADANG

ekonomi Kelas X SISTEM PEMBAYARAN DAN ALAT PEMBAYARAN K-13 A. Pengertian Sistem Pembayaran Tujuan Pembelajaran

I. PENDAHULUAN. pembangunan Indonesia itu sendiri diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945.

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA


LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 11/ 11 /PBI/2009 TENTANG PENYELENGGARAAN KEGIATAN ALAT PEMBAYARAN DENGAN MENGGUNAKAN KARTU

PENJELASAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR: 1/POJK.07/2013 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN SEKTOR JASA KEUANGAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dewasa ini, perkembangan ekonomi berkembang sangat pesat.

KETENTUAN DAN PERSYARATAN KHUSUS PEMBUKAAN REKENING INVESTOR

SALINAN SURAT EDARAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR /SEOJK.05/2017 TENTANG PENYELENGGARAAN LAYANAN PINJAM MEMINJAM UANG BERBASIS TEKNOLOGI INFORMASI

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia, yang telah memiliki beberapa Undang-undang yang mengatur tentang

BAB XI TEKNOLOGI PERBANKAN

I. PENDAHULUAN. kemajuan. Dunia perekonomian yang serba maju, secara psikologis berpengaruh pula

BAB I. yang salah satu bentuknya berupa e-banking. 2 Dengan adanya fasilitas

II. TINJAUAN PUSTAKA. sebenarnya tidak terdapat dalam KUHD maupun perundang-undangan lainnya, namun kita dapat

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB V PENUTUP A. KESIMPULAN

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

No.15/13/DASP Jakarta, 12 April 2013 S U R A T E D A R A N

Oleh : IWAN BAYU AJI NIM : C

Sosialisasi PBI Perlindungan Konsumen Sistem Pembayaran Bank Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Bank menurut pengertian umum dapat diartikan sebagai tempat untuk

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

IMPLEMENTASI PERATURAN KLIRING DALAM PERHITUNGAN UTANG PIUTANG WARKAT BILYET GIRO DI BANK MANDIRI CABANG SURAKARTA

PERLINDUNGAN PEMEGANG KARTU KREDIT BERKAITAN DENGAN PERETASAN KARTU KREDIT ABSTRAK

BAB I PENDAHULUAN. dana dari pihak yang mempunyai kelebihan dana (surplus unit) dan menyalurkannya kepada pihak

BAB I PENDAHULUAN. terkait dalam bidang pemeliharaan kesehatan. 1 Untuk memelihara kesehatan

BAHAN KULIAH ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DAGANG Match Day 11 PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN

BAB I PENDAHULUAN. Secara spesifik fungsi bank adalah sebagai agent of trust yang berarti dasar

BAB I PENDAHULUAN. sehari-hari digerakan dengan tenaga manusia ataupun alam. mengeluarkan Peraturan Perundang-undangan No. 15 Tahun 1985 tentang

ekonomi Kelas X BANK DAN LEMBAGA KEUANGAN BUKAN BANK KTSP & K-13 A. Pengertian Bank Tujuan Pembelajaran

A. Latar Belakang Masalah

MEDIASI PERBANKAN, SATU LAGI PROTEKSI TERHADAP NASABAH BANK Oleh: Djoko Retnadi 1

CETAK BIRU EDUKASI MASYARAKAT DI BIDANG PERBANKAN

-1- PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 10/ 3 /PBI/2008 TENTANG LAPORAN KANTOR PUSAT BANK UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA,

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 17/3/PBI/2015 TENTANG KEWAJIBAN PENGGUNAAN RUPIAH DI WILAYAH NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. khususnya dalam menunjang pertumbuhan ekonomi negara. Bank adalah salah

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 7/18/PBI/2005 TENTANG SISTEM KLIRING NASIONAL BANK INDONESIA GUBERNUR BANK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. pengaturan mengenai perekonomian untuk dapat dimanfaatkan bagi

BAB I PENDAHULUAN. hidup seperti ini dikenal dengan gaya hidup modern. Gaya hidup modern adalah

BAB I PENDAHULUAN. Suatu perekonomian yang sehat tentunya tidak lepas dari kemajuan ilmu

No. 11/10 /DASP Jakarta, 13 April 2009 S U R A T E D A R A N


PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 14/ 23 /PBI/2012 TENTANG TRANSFER DANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK BAB I KETENTUAN UMUM

BAB III PERLINDUNGAN KONSUMEN PADA TRANSAKSI ONLINE DENGAN SISTEM PRE ORDER USAHA CLOTHING

TATA CARA PEMBAYARAN BIAYA PENDIDIKAN MAHASISWA YAYASAN PENDIDIKAN TELKOM Menggunakan Student Payment Centre (SPC) Host to Host BNI melalui Channel

RANCANGAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR TAHUN 2013 TENTANG LEMBAGA ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DI SEKTOR JASA KEUANGAN

2 1. Perluasan akses kepesertaan yang tidak terbatas pada Bank Umum Saat ini kepesertaan SKNBI terbatas pada Bank Umum sehingga transfer dana melalui

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

NOMOR 32 TAHUN 1997 TENTANG PERDAGANGAN BERJANGKA KOMODITI

BAB I PENDAHULUAN. keadaan nasabah perbankan saat ini. Nasabah perbankan ibarat putri yang

BAB I PENDAHULUAN. Persaingan yang semakin ketat oleh banyaknya produsen yang terlibat dalam

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 1/ 3 /PBI/1999 TENTANG

OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA RANCANGAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR /POJK.07/2017

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG BANK. keuangan (Financial Intermediary) antara debitur dan kreditur

BAB I PENDAHULUAN. sengketa yang terjadi diantara para pihak yang terlibat pun tidak dapat dihindari.

BAB I PENDAHULUAN. berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Guna mewujudkan

BAB I PENDAHULUAN. Undang Undang Dasar Tahun 1945 yang berbunyi: diselenggarakan berdasarkan demokrasi ekonomi. Demokrasi ekonomi

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 6/ 8 /PBI/2004 TENTANG SISTEM BANK INDONESIA REAL TIME GROSS SETTLEMENT GUBERNUR BANK INDONESIA,

BAB 1 PENDAHULUAN. Instrumen/alat pembayaran merupakan media yang digunakan dalam pembayaran.

Dua yang disebut terakhir adalah layanan yang terkait dengan fasilitas kredit yang diberikan kepada nasabah.

TINJAUAN HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN TERHADAP PERJANJIAN KREDIT BANK DIANA SIMANJUNTAK / D

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan hubungan atau pergaulan antar masyarakat memiliki batasan yang

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 18/9/PBI/2016 TENTANG PENGATURAN DAN PENGAWASAN SISTEM PEMBAYARAN DAN PENGELOLAAN UANG RUPIAH

BAB III KLAUSULA BAKU PADA PERJANJIAN KREDIT BANK. A. Klausula baku yang memberatkan nasabah pada perjanjian kredit

Tinjauan Yuridis Para Pihak dalam Transaksi Pengambilan atau Transfer Dana Melalui Mesin Anjungan Tunai Mandiri (ATM)

BAB I PENDAHULUAN. PT. Pos Indonesia merupakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang

TATA CARA PEMBAYARAN MAHASISWA/I INSTITUT MANAJEMEN TELKOM UNTUK PRODUK STUDENT PAYMENT CENTRE (SPC) BNI MELALUI TELLER, AUTOMATIC TELLER MACHINE

KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL NOMOR KEP- 42/PM/1997 TENTANG TRANSAKSI EFEK KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL, MEMUTUSKAN :

BAB I PENDAHULUAN. Melambatnya pertumbuhan ekonomi global sebagai dampak peningkatan harga

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR. 13/ 8 /PBI/2011 TENTANG LAPORAN HARIAN BANK UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA,

BNI SYARIAH CASH MANAGEMENT SOLUTION

BAB I PENDAHULUAN. pelayanan bagi penggunannya serta membuat lebih efektif dan efisien

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, GUBERNUR BANK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan dunia usaha saat ini sering membutuhkan informasi yang cepat

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2011 TENTANG TRANSFER DANA

SYARAT DAN KETENTUAN LAYANAN MEGA MOBILE & BELANJA DEBIT ONLINE

dilengkapi dengan informasi nomor perkara pengadilan tingkat pertama dan banding serta nama pihak berperkara paling lama 1 x 24 Jam dari waktu

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 17/9/PBI/2015 TENTANG PENYELENGGARAAN TRANSFER DANA DAN KLIRING BERJADWAL OLEH BANK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu jenis jasa bank (service) yang ada di Indonesia adalah jasa kliring

Transkripsi:

Jurnal Cakrawala Hukum, Vol.18, No.1 Juni 2013, hlm. 31-40 e-mail: fhukum@yahoo.com UPAYA HUKUM BAGI NASABAH YANG DIRUGIKAN AKIBAT BERTRANSAKSI E-BANKING MELALUI AUTOMATIC TELLER MACHINE (ATM) Sunarjo Fakultas Hukum Universitas Merdeka Malang Jl. Terusan Raya Dieng No. 62-64 Malang Abstrak Sistem perdagangan yang sedang berkembang di dunia saat ini adalah E-banking, yaitu sistem perdagangan secara elektronik (E-Commerce) yang telah mengubah interaksi antara nasabah dengan bank dari interaksi langsung menjadi interaksi tidak langsung. Salah satu penerapan E-banking yang telah dimanfaatkan oleh masyarakat luas adalah transaksi pengambilan atau transfer dana lewat Automatic Teller Machine (ATM). Kemudahan pembayaran ini di satu sisi menguntungkan bagi nasabah bank karena pembayaran dapat dilakukan dengan praktis dan cepat, tetapi di sisi lain juga dapat menimbulkan masalah hukum. Banyaknya kasuskasus pembobolan ATM dengan berbagai modus operandi akan menimbulkan kerugian yang diderita oleh nasabah bank pengguna transaksi E-banking melalui ATM. Hasil penelitian menunjukan bahwa banyak peraturan yang memberikan perlindungan hukum terhadap nasabah pengguna transaksi E-banking melalui ATM, seperti UU Perbankan, UU Bank Indonesia, UU Perlindungan Konsumen, UU Alternatif Penyelesaian Sengketa, maupun beberapa Peraturan Bank Indonesia tentang Penyelesaian Pengaduan Nasabah dan Mediasi Perbankan. Sedangkan bagi nasabah pengguna transaksi E-banking melalui ATM yang dirugikan dapat melakukan upaya hukum baik melalui jalur di luar pengadilan maupun jalur pengadilan. Jalur di luar pengadilan dapat melalui mediasi, konsiliasi, atau arbitrase. Sedangkan jalur pengadilan dapat dilakukan dengan mengajukan gugatan dengan alas hak wanprestasi ataupun perbuatan melawan hukum. Kata kunci: Automatic Teller Machine (ATM), E-banking, Upaya Hukum Dalam perekonomian yang modern lalu lintas pertukaran barang dan jasa sudah sedemikian cepatnya sehingga memerlukan dukungan tersedianya sistem pembayaran yang handal yang memungkinkan dilakukannya pembayaran secara lebih cepat, efisien, dan aman. Sistem Pembayaran merupakan suatu sistem yang mencakup pengaturan, kesepakatan, kontrak/perjanjian, fasilitas operasional, mekanisme teknis, standar dan prosedur yang membentuk suatu kerangka yang digunakan untuk penyampaian, pengesahan dan penerimaan instruksi pembayaran serta pemenuhan kewajiban pembayaran melalui pertukaran suatu nilai ekonomis (uang) antar pihak-pihak (perorangan, bank, lembaga lainnya) baik domestik maupun crossborder dengan menggunakan instrumen pembayaran (Widjanarto, 2003). Secara umum, sistem pembayaran terdiri atas beberapa komponen berupa kebijakan, instrumen/alat pembayaran, mekanisme kliring dan settlement, kelembagaan, infrastruktur pendukung dan perangkat hukum. Beberapa contoh alat/instrumen pembayaran yang selama ini 31

Jurnal Cakrawala Hukum Vol.18, No.1 Juni 2013: 31-40 telah kita kenal adalah uang, kartu debit, kartu kredit, traveller s cheque, serta alat pembayaran elektronik seperti internet banking, RTGS, transfer kredit melalui kliring dan sebagainya. Dari salah satu sistem perdagangan yang sedang berkembang di dunia perbankan saat ini adalah E-Banking. E-Banking adalah sistem perdagangan secara elektronik (E-Commerce) yang telah mengubah interaksi antara nasabah dan bank dari interaksi langsung menjadi interaksi secara tidak langsung. Dari segi ekonomi sendiri barangkali kemunculan E-Banking telah meningkatkan efisiensi sekaligus telah memberikan keuntungan terhadap sektor perbankan. Menurut Kotler (2005) E Banking sendiri merupakan bagian dari bisnis elektronik yang umum untuk para pembeli dan penjual dengan mencapai, berkomunikasi, dan bertransaksi secara potensial satu sama lain. Pertumbuhan E- Banking tampaknya telah memberikan keleluasaan perbankan dalam memacu pertumbuhan dan perkembangannya. Perbankan bisa mengembangkan pasarnya yang semula dibatasi dengan ruang dan waktu. Kegiatan transaksi konvensional, seperti penarikan uang tunai bisa dilakukan tanpa dibatasi ruang dan waktu. Kemudahan pengembangan layanan nasabah juga dimungkinkan dengan penerapan E-Banking ini (E-Bizz Asia, 2006). Salah satu penerapan E-Banking yang akhir-akhir ini telah dimanfaatkan oleh masyarakat luas adalah transaksi pengambilan atau transfer (pemindahbukuan) dana lewat mesin automatic teller machine atau automatic transaction money atau Anjungan Tunai Mandiri (ATM). ATM merupakan sebuah alat elektronik yang mengijinkan nasabah bank untuk mengambil uang dan mengecek rekening tabungan mereka tanpa perlu dilayani oleh seorang teller manusia. Banyak ATM juga mengijinkan penyimpanan uang atau cek, dan transfer uang. Namun, sarana yang mempermudah transaksi tersebut tidak menutup kemungkinan menimbulkan persoalan hukum. Oleh karena itu, transaksi melalui ATM perlu dikaji dari aspek hukum untuk mencegah terjadinya resiko kerugian di salah satu pihak yang bertransaksi. Perangkat hukum dalam transaksi bisnis diharapkan dapat melindungi hak-hak para pihak sekaligus menjadi problem solving apabila terjadi sengketa di kemudian hari (Simanjuntak, 2007). Dalam prakteknya, transaksi pengambilan dana lewat ATM ternyata sering dikeluhkan oleh nasabah bank. Bahkan disinyalir oknum bank yang tahu detail sistem Anjungan Tunai Mandiri (ATM) berpotensi melakukan modus kejahatan pendebetan rekening tanpa adanya uang keluar. Sinyalemen bernada tudingan ini dilansir sejumlah lembaga swadaya masyarakat, sebagai respons atas banyak keluhan masyarakat. Sudah cukup banyak orang yang dirugikan oleh model kejahatan seperti ini, tetapi sedikit sekali yang bisa diselesaikan, karena bank bersikap minimalis ketika harus mempertanggungjawabkan kerugian nasabah. Khusus mengenai fasilitas ATM sendiri masih ada kelemahan sistem yang dirasakan selama ini. Paling mencolok adalah fakta bahwa kejahatan mendebet rekening tanpa uang keluar di ATM belum disentuh hukum. Kasus yang merugikan nasabah bukan hanya terjadi di bank kecil, namun juga pada bank-bank besar. Di Pematang Siantar, Sumatera Utara, tabungan nasabah di sebuah bank pemerintah tiba-tiba berkurang Rp 30 juta. Tabungan nasabah yang semula Rp 35.275.068, hanya tersaldo Rp 5.275.068. Kasus lain menerpa nasabah lain yang tinggal di kawasan Kelapa Gading, Jakarta Utara. Nasabah tersebut menyetor lewat mesin setor tunai (CDM) sejumlah Rp 2,5 juta. Setoran itu dinyatakan masuk ke dalam rekening saat dicek lewat ATM. Namun, begitu dicetak pada buku tabungan keesokan harinya, saldo tak bertambah, padahal tidak pernah terjadi mutasi dana. Seperti biasa, jawaban pihak bank tidak memuaskan dan memberi tenggat waktu lama untuk menyelesaikannya. Di Tangerang, nasabah bank besar yang mengalami hal aneh. Nasabah tersebut mengambil uang di ATM di SPBU daerah Grogol sebesar Rp.1.000.000. Namun uang tidak keluar tapi saldo 32

Upaya Hukum bagi Nasabah yang Dirugikan Akibat Bertransaksi E-Banking Melalui Automatic Teller Machine (ATM) Sunarjo terdebet. Lucunya, setelah dikomplain, transaksi dinyatakan sah, dan pihak bank menyatakan saldo itu terdebet pada ATM di Tom Square. Seperti biasa, pihak bank tanpa mau repot menyatakan transansaksi sah. (Kompas, 2008). Kekecewaan nasabah lain terjadi pada Rabu, 4 April 2007. Ketika itu si nasabah bermaksud mengambil uang di ATM bank yang sama di Kertajaya sebesar Rp 1.500.000, tetapi ternyata uang yang keluar dari mesin ATM hanya Rp 1.350.000 (kurang Rp 150.000). Anehnya, uang yang dikeluarkan ATM dalam kondisi terlipat-lipat. Ketika kasus ini dilaporkan ke pihak bank, staf bank mengatakan tidak ada kelebihan uang di ATM sebesar Rp 150.000. Pihak bank memperkirakan ada pelanggan lain yang mengambil uang si nasabah yang kebetulan memakai ATM sesudah si nasabah (Jawa Pos, 2007). Uraian kasus di atas merupakan gambaran dari sekian banyak kasus yang mungkin pernah dialami oleh nasabah bank dalam bertransaksi lewat ATM. Umumnya, pihak nasabah berada dalam kedudukan hukum yang lemah, sehingga nasabah mengalami kerugian. Padahal, setiap transaksi bisnis diharapkan selalu menguntungkan para pihak. Adanya pihak yang dirugikan tentu bisa karena faktor kesalahan dari pihak lainnya, kecuali karena faktor force majeure. Tetapi, kerugian itu bisa juga karena kesalahan sendiri. Dalam transaksi lewat ATM yang tiba-tiba rusak umumnya pihak bank cenderung tidak mau dipersalahkan dengan reasoning yang secara hukum masih bisa diperdebatkan. Kelemahan nasabah terletak pada proses pembuktian. Nasabah tidak paham mengenai apa sebenarnya yang terjadi di saat ATM mengalami kerusakan secara tiba-tiba. Nasabah hanya mengandalkan kepercayaan atas sarana transaksi yang disediakan oleh bank yang bersangkutan. Berdasarkan paparan pendahuluan sebelumnya, tujuan dari penelitian ini adalah: (1) untuk mengetahui perlindungan hukum terhadap nasabah yang bertransaksi melalui Automatic Teller Machine (ATM); (2) untuk mengetahui upaya penyelesaian jika terjadi transaksi melalui ATM yang merugikan nasabah. METODE Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum empiris atau sosiologis, yaitu penelitian yang akan mengkaji bagaimana peraturan perundang-undangan diterapkan dalam masyarakat yang diaturnya. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu data primer. Data primer diperoleh melalui penelitian langsung di lapangan dalam hal ini di bank BNI Capem Unmer Malang, yang berupa upaya penyelesaian yang dilakukan oleh nasabah yang dirugikan ketika bertransaksi melalui ATM. Data sekunder juga digunakan sebagai data pendukung, yaitu berbagai peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang perlindungan nasabah yang bertransaksi melalui ATM, Peraturan Bank Indonesia, dokumen perjanjian antara BNI dengan Merchant, dan buku-buku literatur. Kedua data tersebut dikumpulkan dengan cara wawancara dan studi kepustakaan. HASIL Kasus yang terjadi dalam penelitian ini dialami sendiri oleh peneliti. Peneliti merupakan nasabah bank BNI dan sebagai cardholder atau pemegang kartu ATM. Pada tahun 2009 cardholder melakukan transaksi pembelian barang di suatu mall. Pembayaran tidak dilakukan dengan uang tunai melainkan dengan menggunakan ATM. Jadi dalam hal ini ATM merupakan kartu debit, yaitu kartu plastik yang dapat digunakan sebagai alat pembayaran transaksi, dimana dananya merupakan milik pemegang kartu sendiri. Pada saat itu sudah terjadi settlement, yaitu proses penyelesaian transaksi oleh merchant dengan pihak bank melalui EDC (alat yang dipergunakan untuk transaksi kartu yang terhubung secara on 33

Jurnal Cakrawala Hukum Vol.18, No.1 Juni 2013: 31-40 line dengan sistem jaringan bank) agar merchant terbayar dan cardholder tertagih. Karena terjadi kesalahan yang dilakukan oleh pegawai merchant dalam mengetik jumlah pembayaran, maka transaksi kartu yang sudah disettle akhirnya dibatalkan. Kemudian cardholder diberi credit slip (nota kredit), yaitu kertas yang disediakan oleh bank untuk digunakan merchant mencatat pembatalan transaksi kartu yang sudah disettle. Akhirnya karena pembayaran lewat kartu sudah dibatalkan, pegawai mall meminta pembayaran dengan uang tunai dan dibayar. Pembatalan transaksi kartu yang sudah disettle seharusnya secara otomatis mengembalikan dana ke rekening cardholder. Akan tetapi faktanya tidak demikian. Beberapa bulan kemudian yaitu setelah dilakukan penyesuaian saldo, Cardholder baru menyadari bahwa dananya masih tetap terdebet meskipun sudah ada pembatalan transaksi. Selanjutnya cardholder sambil membawa credit slip atau nota kredit mendatangi pihak merchant untuk menanyakan kasus tersebut. Akan tetapi pihak merchant terkesan lepas tangan dan menyuruh cardholder menanyakan ke bank BNI. Pihak bank BNI setelah didatangi juga menyarankan untuk menemui kembali pihak merchant. Dari sini nampak bahwa tidak ada kejelasan mekanisme penyelesaian jika terjadi kasus pembatalan transaksi kartu. Karena merasa dipermainkan akhirnya cardholder mendatangi lagi pihak merchant dan meminta agar kasus ini segera diselesaikan dan paling lama satu minggu dana yang sudah terdebet masuk kembali ke rekening cardholder. Jika tidak dipenuhi maka cardholder akan menggugat lewat pengadilan dan mengekspos kasus tersebut ke media. Upaya ini akhirnya membawa hasil, pihak merchant menghubungi cardholder dan meminta cardholder untuk datang ke bank BNI dan menyerahkan credit slip sebagai bukti pembatalan transaksi. Setelah menunggu hampir dua minggu akhirnya dana kembali ke rekening cardholder. Berdasarkan Ketentuan Umum Perjanjian Kerjasama Merchant dengan BNI angka enam Romawi tentang Transaksi, pihak merchant mempunyai beberapa kewajiban antara lain: memeriksa nominal transaksi baik sebelum maupun sesudah di-input ke dalam mesin EDC (angka 2 butir 6). Selain itu jika terjadi pembatalan transaksi maka pihak merchant wajib (angka 5): Pertama, jika pembatalan terjadi pada hari yang sama dengan tanggal transaksi/sebelum settlement, pihak merchant harus memproses void melalui EDC dan menginformasikan pembatalan tersebut dengan menghubungi pihak Otorisasi Bank. Kedua, jika pembatalan transaksi terjadi setelah tanggal transaksi/sudah dilakukan settlement, maka pihak merchant harus meminta pembatalan transaksi secara tertulis kepada pihak Bank dengan menjelaskan alasan dan kronologisnya serta mengirimkan credit voucher dan form pembatalan yang disediakan oleh bank. Ada kemungkinan kewajiban-kewajiban tersebut tidak dilaksanakan oleh pihak merchant sehingga meskipun terjadi pembatalan transaksi kartu tetapi dana tidak masuk kembali ke cardholder. Hal ini sangat merugikan cardholder sebagai konsumen dari bank. Pembahasan Perlindungan Hukum Bagi Nasabah yang Bertransaksi Melalui ATM Terdapat beberapa asas hukum perdata yang perlu diperhatikan dalam mengkaji transaksi pengambilan uang melalui ATM. Pertama, asas kebebasan berkontrak (Pasal 1338 KUHPdt). Asas ini berbunyi: Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Asas ini memberi kebebasan kepada para pihak untuk mengadakan perjanjian dengan siapa pun, bebas menentukan substansi perjanjian, bebas menentukan pelaksanaan, dan bentuk perjanjian (tertulis atau tidak tertulis). 34

Upaya Hukum bagi Nasabah yang Dirugikan Akibat Bertransaksi E-Banking Melalui Automatic Teller Machine (ATM) Sunarjo Kedua, asas kepastian hukum. Asas ini menggariskan bahwa hakim atau pihak ketiga harus menghormati substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak, sebagaimana layaknya sebuah undangundang. Pihak ketiga tidak boleh melakukan intervensi terhadap substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak. Dalam perkembangannya, asas Pacta Sunt Servanda diberi arti pactum, yang berarti kata sepakat tidak perlu dikuatkan dengan sumpah dan tindakan formalitas lainnya. Dalam transaksi pengambilan uang di ATM, para pihak ialah nasabah di satu pihak dan bank di pihak yang lain. Dengan demikian, penentuan subjek dalam transaksi di mesin ATM tidaklah sulit. Persoalan baru timbul di saat transaksi berlangsung salah satu pihak tidak hadir atau tidak eksis. Transaksi hanya dilakukan sendiri oleh si nasabah tanpa disaksikan atau diketahui oleh pihak bank (tanpa adanya tawar menawar). Berapa dana yang diambil dan kapan transaksi dilakukan oleh nasabah semata-mata diputuskan sendiri oleh nasabah sendiri. Hanya saja, ketika nasabah memutuskan untuk bertransaksi di mesin ATM maka nasabah tersebut otomatis harus tunduk pada ketentuan baku dari pihak bank yang tertera dalam alur-alur atau prosedur yang ditampilkan di layar ATM. Transaksi tanpa didahului dengan proses tawar menawar dalam dunia bisnis dikenal dengan acceptance theory (teori penerimaan), atau dalam literatur Belanda disebut ontvangst theorie. Artinya, kapan perjanjian (transaksi) terjadi dan mengikat para pihak tidak diatur dalam undang-undang. KUH Perdata hanya mengatur mengenai persetujuan kehendak antara para pihak (Pasal 1320). Menurut teori penerimaan, saat terjadi perjanjian tergantung pada kondisi konkrit yang dibuktikan oleh perbuatan nyata (menerima) atau dokumen perbuatan hukum (bukti menerima). Melalui perbuatan nyata itu dapat diketahui peristiwa adanya transaksi (perjanjian), yaitu tempat, hari dan tanggal, dan dokumen yang timbul. Salah satu pihak (nasabah) dianggap sungguh-sungguh menerima setelah ada tindakan nyata, yaitu memasukkan kartu ATM ke mesin ATM dan menekan tombol perintah transaksi serta keluarnya nota transaksi dari mesin. Namun tidak semua mesin ATM menyediakan nota transaksi, cukup mengandalkan data dalam tampilan layar ATM. Kelemahan acceptance theory ialah nasabah mau tidak mau harus menerima segala konsekuensi yuridis yang tertera dalam kesepakatan walaupun nasabah sendiri tidak memahami isi ketentuan baku dari bank. Berdasarkan pasal-pasal dalam Undang-Undang Perbankan dapat diketahui bahwa hubungan bank dengan nasabah penyimpan didasarkan pada perjanjian yang disebut dengan perjanjian penyimpanan dana. Perjanjian penyimpanan dana merupakan dasar hukum antara bank dengan nasabah penyimpan. Berhubung masalah perjanjian diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), maka ketentuan KUH Perdata Buku Ketiga tentang perikatan juga berlaku bagi hubungan hukum antara bank dengan nasabah penyimpan dana. Misalnya pasal 1338 ayat 1 KUH Perdata yang menyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undangundang bagi mereka yang membuatnya seperti undang-undang. Mengikat berarti para pihak yang membuat perjanjian berkewajiban untuk mentaati dan melaksanakan perjanjian. Dengan demikian yang bisa menjadi dasar hukum bagi hubungan bank dengan nasabah penyimpan, yaitu perjanjian penyimpanan dana itu sendiri, UU Perbankan dan peraturan pelaksanaan lainnya. Hubungan antara bank dengan nasabah penyimpan dana selain terdapat hubungan kontraktual juga terdapat hubungan non kontraktual yang sering disebut dengan asas-asas dari hubungan nasabah dengan bank. Asas-asas khusus tersebut antara lain hubungan kerahasiaan, hubungan menjamin simpanan nasabah, hubungan kepedulian terhadap resiko nasabah, dan hubungan kepedulian terhadap pengaduan nasabah. 35

Jurnal Cakrawala Hukum Vol.18, No.1 Juni 2013: 31-40 Hubungan kerahasiaan dapat dilihat dalam pasal 40 UU Perbankan. Dalam pasal tersebut dinyatakan: (1) Bank wajib merahasiakan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya, kecuali dalam hal sebagaimana dimaksud dalam pasal 41, pasal 41A, pasal 42, pasal 43, pasal 44, dan pasal 44A. Ayat (2) berbunyi: Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi pihak terafiliasi. Pelanggaran terhadap karahasiaan bank baik oleh anggota dewan komisaris, direksi, pegawai bank, atau pihak terafiliasi diancam dengan pidana yang cukup berat sesuai pasal 47 ayat (2). Hubungan menjamin simpanan nasabah diatur dalam pasal 37 B UU Perbankan. Pasal tersebut menyatakan dalam ayat (1): Setiap bank wajib menjamin dana masyarakat yang disimpan pada bank yang bersangkutan. Dalam ayat (2) dinyatakan: Untuk menjamin simpanan masyarakat pada bank sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibentuk Lembaga Penjamin Simpanan. Hubungan kepedulian terhadap resiko nasabah diatur dalam UU Perbankan dan Peraturan Bank Indonesia No.7/6/PBI/2005 tentang Transparansi Informasi Produk Bank dan Penggunaan Data Pribadi Nasabah. Untuk Kepentingan nasabah bank wajib menyediakan informasi mengenai kemungkinan timbulnya resiko kerugian sehubungan dengan transaksi nasabah yang dilakukan melalui bank. Sebagai contoh adalah bank selalu memberikan nomor PIN dan buku petunjuk layanan yang berisi informasi penting tentang penggunaan kartu ATM dan resikonya. Hal ini merupakan wujud pelaksanaan kewajiban bank sebagaimana diamanatkan oleh UU Perbankan. Menurut pasal 12 PBI N07/6/PBI/2005, bank yang melanggar ketentuan-ketentuan dalam PBI dikenakan sanksi administrasi sesuai dengan pasal 52 UU Perbankan yang berupa teguran tertulis, dan pelanggaran itu dapat diperhitungkan dengan komponen tingkat kesehatan bank. Sedangkan jika pelanggaran tersebut dilakukan dengan sengaja oleh anggota direksi dan pegawai bank maka yang bersangkutan dapat diadukan oleh nasabah karena telah melakukan tindak pidana dan dijatuhi saksi pidana berdasakan pasal 49 ayat (2) huruf b UU Perbankan. Fungsi lembaga perbankan sebagai perantara pihak-pihak yang memiliki kelebihan dana dengan pihak-pihak yang memerlukan dana membawa konsekuensi pada timbulnya interaksi yang intensif antara bank sebagai pelaku usaha dengan nasabah sebagai konsumen pengguna jasa perbankan. Dalam interaksi yang demikian intensif antara bank dengan nasabah tersebut, bukan suatu hal yang tidak mungkin apabila terjadi friksi yang apabila tidak segera diselesaikan dapat berubah menjadi sengketa antara nasabah dengan bank. Dari berbagai pengalaman yang ada, timbulnya friksi tersebut terutama disebabkan oleh empat hal yaitu 1) informasi yang kurang memadai mengenai karakteristik produk atau jasa yang ditawarkan bank; 2) pemahaman nasabah terhadap aktivitas dan produk atau jasa perbankan yang masih kurang; 3) ketimpangan hubungan antara nasabah dengan bank, khususnya bagi nasabah peminjam dana; dan 4) tidak adanya saluran yang memadai untuk memfasilitasi penyelesaian awal friksi yang terjadi antara nasabah dengan bank (Hadad, 2004). Untuk menyikapi permasalahan tersebut, maka Bank Indonesia sebagai otoritas pengawas industri perbankan berkepentingan untuk meningkatkan perlindungan terhadap kepentingan nasabah dalam berhubungan dengan bank. Mengingat pentingnya permasalahan tersebut, Bank Indonesia telah menetapkan upaya perlindungan nasabah sebagai salah satu pilar dalam Arsitektur Perbankkan Indonesia (API) yang diluncurkan oleh Gubernur Bank Indonesia pada tanggal 9 Januari 2004. API sendiri merupakan suatu cetak biru sistem perbankan nasional yang terdiri dari enam pilar untuk mewujudkan visi sistem perbankan yang sehat, kuat, dan efisien guna menciptakan kestabilan sistem keuangan dalam rangka membantu mendo- 36

Upaya Hukum bagi Nasabah yang Dirugikan Akibat Bertransaksi E-Banking Melalui Automatic Teller Machine (ATM) Sunarjo rong pertumbuhan ekonomi nasional. Enam pilar dalam API adalah 1) struktur perbankan yang sehat; 2) sistem pengaturan yang efektif; 3) sistem pengawasan yang independen dan efektif; 4) industri perbankan yang kuat; 5) infrastruktur yang mencukupi; dan 6) perlindungan nasabah (Bank Indonesia, 2005). Jika selama ini Bank Indonesia selalu berpijak pada UU No. 7/1992 tentang Perbankan sebagaimana diubah dengan UU No. 10/1998 dan UU No. 23/1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana diubah dengan UU No. 3/2004 dalam pengaturan aspek kehati-hatian bank, maka dengan telah berlaku efektifnya UU No. 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen sejak tahun 2001 aspek pengaturan perbankan pun harus diperluas dengan aspek perlindungan dan pemberdayaan nasabah sebagai konsumen pengguna jasa bank. Apabila dilihat dari masa berlaku efektifnya UU Perlindungan Konsumen yaitu tahun 2001, maka sepintas terlihat bahwa Bank Indonesia kurang merespons pemberlakuan undang-undang tersebut. Namun demikian hal ini bukan berarti perlindungan dan pemberdayaan nasabah tidak diperhatikan oleh Bank Indonesia. Pada satu sisi, UU Perlindungan Konsumen tersebut diberlakukan pada saat Bank Indonesia sedang berupaya keras untuk melakukan perbaikan-perbaikan pada sistem perbankan, termasuk didalamnya rekapitalisasi perbankan dan penyempurnaan berbagai ketentuan yang menyangkut aspek kehatihatian. Sementara itu pada sisi lainnya Bank Indonesia sejak awal tahun 2002 mulai menyusun cetak biru sistem perbankan nasional yang salah satu aspek didalamnya tercakup upaya untuk melindungi dan memberdayakan nasabah. Upaya ini kemudian berlanjut dan dituangkan menjadi Pilar ke VI dalam API yang mencakup empat aspek, yaitu mekanisme pengaduan nasabah, pembentukan lembaga mediasi independen, transparansi informasi produk, dan edukasi nasabah. Keempat aspek tersebut dituangkan kedalam empat program API, yaitu: 1) Penyusunan standar mekanisme pengaduan nasabah; 2) Pembentukan lembaga mediasi perbankan independen; 3) Penyusunan standar transparansi informasi produk; 4) Peningkatan edukasi untuk nasabah. Keempat program tersebut saling terkait satu sama lain dan secara bersama-sama akan dapat meningkatkan perlindungan dan pemberdayaan hak-hak nasabah. Secara ideal, implementasi program-program di atas seharusnya dimulai dengan memberikan edukasi kepada masyarakat mengenai kegiatan usaha dan produk-produk keuangan dan perbankan. Edukasi ini selain untuk memperluas wawasan masyarakat mengenai industri perbankan juga ditujukan untuk mendorong peningkatan taraf hidup masyarakat melalui pengenalan perencanaan keuangan. Langkah selanjutnya setelah edukasi adalah dilaksanakannya transparansi mengenai karakteristik produk-produk keuangan dan perbankan. Transparansi ini penting dilakukan agar masyarakat yang berkeinginan untuk menjadi nasabah (calon nasabah) bank mendapatkan informasi yang cukup memadai mengenai manfaat, resiko, dan biaya-biaya yang terkait dengan suatu proses untuk memanfaatkan produk tersebut sudah melalui pertimbangan yang matang dan sesuai dengan kebutuhan calon nasabah. Tidak kalah pentingnya dalam upaya peningkatan dan pemberdayaan nasabah ini adalah keberadaan infrastruktur di bank untuk menangani dan menyelesaikan berbagai keluhan dan pengaduan nasabah. Dalam hal ini, bank harus merespons setiap keluhan dan pengaduan yang diajukan nasabah, khususnya yang terkait dengan transaksi keuangan yang dilakukan nasabah melalui bank tersebut. Untuk menghindari berlarut-larutnya penanganan pengaduan nasabah, diperlukan standar waktu yang jelas dan berlaku secara umum di setiap bank dalam menyelesaikan setiap pengaduan nasabah. Standar waktu ini harus ditentukan sedemikian rupa sehingga dapat dipenuhi dengan baik 37

Jurnal Cakrawala Hukum Vol.18, No.1 Juni 2013: 31-40 oleh bank dan tidak menimbulkan kesan bahwa pengaduan tidak ditangani dengan semestinya oleh bank. Apabila nasabah tidak puas dengan hasil penyelesaian pengaduan yang dilakukan bank, maka perlu pula disediakan media yang dapat menampung penyelesaian sengketa antara nasabah dengan bank. Mengingat sebagian besar nasabah bank adalah nasabah kecil, maka media penyelesaian sengketa nasabah dengan bank haruslah dapat memenuhi unsur sederhana, murah, dan cepat. Sederhana dalam arti proses penyelesaian sengketa dilaksanakan tanpa melalui proses yang berkepanjangan, murah dalam arti tidak menimbulkan beban tambahan yang memberatkan nasabah, dan cepat dalam arti penyelesaian sengketa dilaksanakan dalam jangka waktu relatif singkat. Walaupun secara ideal program-program perlindungan dan pemberdayaan nasabah seharusnya dimulai dengan edukasi kepada masyarakat, Bank Indonesia merasa perlu untuk memprioritaskan program-program lainnya terlebih dahulu, yaitu penanganan pengaduan nasabah, transparansi informasi produk perbankan, dan pembentukan lembaga mediasi perbankan independen. Prioritas pada program-program tertentu ini dilatarbelakangi oleh adanya kebutuhan untuk segera memberikan perlindungan kepada nasabah bank terkait dengan cukup maraknya pengaduan-pengaduan nasabah yang dimuat dalam berbagai media massa. Upaya Penyelesaian jika Terjadi Transaksi Melalui ATM yang Merugikan Nasabah Tidak setiap nasabah pengguna E-banking melalui ATM yang mengalami kerugian dapat mengajukan suatu tuntutan maupun meminta pertanggungjawaban dari bank atau pihak ketiga. Harus dilihat terlebih dahulu, kesalahan yang menimbulkan kerugian tersebut dilakukan oleh siapa. Apabila kerugian materiil yang diderita nasabah bank pengguna E-banking melalui ATM diakibatkan oleh kesalahan dari nasabah bank sendiri, maka nasabah bank tidak dapat menuntut pihak bank karena pihak bank tidak bersalah dan tidak melakukan wanprestasi kepada nasabah bank pengguna E-banking. Sebaliknya jika kerugian materiil yang diderita nasabah pengguna E-banking melalui ATM disebabkan oleh kesalahan dari pihak bank, maka pihak bank harus memenuhi tuntutan nasabah bank serta bertanggung jawab memberikan ganti kerugian sesuai kerugian yang diderita nasabah bank tersebut. Jika kerugian materiil yang diderita nasabah pengguna E-banking melalui ATM disebabkan karena perbuatan pihak ketiga, maka pihak ketiga yang bersalah tersebut harus memenuhi tuntutan serta bertanggungjawab kepada nasabah bank atas dasar perbuatan melawan hukum sebagaimana diatur dalam pasal 1365 KUH Perdata. Penyelesaian sengketa antara nasabah bank sebagai konsumen dengan bank dapat didasarkan pada Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. Khususnya diatur dalam Bab X yang terdiri dari empat pasal yaitu pasal 45, 47, 48 dan pasal 49. Bentuk penyelesaian sengketa menurut pasal 45 ayat 2 Undang-undang Perlindungan Konsumen dapat di tempuh melalui dua cara yaitu: (1) Peradilan atau Litigasi dan (2) di luar peradilan atau non litigasi. Proses pilihan penyelesaian sengketa ini tergantung pada kesepakatan para pihak yang bersengketa. Penyelesaian sengketa melalui jalur pengadilan atau litigasi diatur dalam pasal 48 Undangundang Perlindungan Konsumen yang menyatakan bahwa: Penyeleseian sengketa konsumen melalui pengadilan mengacu pada ketentuan tentang pengadilan umum yang berlaku dengan memperhatikan ketentuan dalam pasal 45. Namun penyelesaian tersebut tidak menuntut kemungkinan dilakukanya penyelesaian secara 38

Upaya Hukum bagi Nasabah yang Dirugikan Akibat Bertransaksi E-Banking Melalui Automatic Teller Machine (ATM) Sunarjo damai oleh para pihak yang bersengketa. Bentukbentuk penyelesaian sengketa konsumen secara damai antara lain negoisasi dan mediasi. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan atau yang lebih dikenal dengan Alternative Dispute Resolution (ADR) dapat ditempuh dengan berbagai cara, yaitu arbitrase, mediasi, konsiliasi, minitrial, summary jury trial, settlement conference serta bentuk lainnya. Dari berbagai cara tersebut, Undang-Undang Perlindungan Konsumen hanya memperkenalkan tiga cara, yaitu arbitrase, konsiliasi, dan mediasi yang merupakan bentuk atau cara penyelesaian sengketa yang dibebankan menjadi tugas BPSK. Kesimpulan Hasil penelitian menunjukkan bahwa nasabah yang bertransaksi melalui ATM mendapatkan perlindungan dengan baik tidak hanya dalam undang-undang tetapi juga dalam Peraturan Bank Indonesia. Peraturan-peraturan tersebut, yaitu Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, Undang-Undang No. 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Undang-Undang No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Alternatif Penyelesaian Sengketa, PBI No. 7/ 6/PBI/2005 tentang Transparansi Informasi Produk Bank dan Penggunaan Data Pribadi Nasabah, PBI No. 7/7/PBI/2005 tentang Penyelesaian Pengaduan Nasabah, dan PBI No. 8/5/PBI/2006 tentang Mediasi Perbankan. Upaya penyelesaian jika terjadi transaksi melalui ATM yang merugikan nasabah adalah dapat dilakukan melalui dua jalur, yaitu jalur di luar peradilan (non litigasi) dan jalur peradilan (litigasi). Jalur di luar peradilan meliputi mediasi, konsiliasi, dan arbitrase yang merupakan bentuk penyelesaian sengketa yang dibebankan menjadi tugas Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK). Sedangkan penyelesaian melalui peradilan dilakukan dengan mengajukan gugatan dengan alas hak wanprestasi maupun perbuatan melawan hukum. Saran Sebaiknya pihak bank melaksanakan dengan baik Arsitektur Perbankan Indonesia (API) khususnya pilar yang ke enam, yaitu perlindungan nasabah. Perlindungan nasabah tersebut dilaksanakan dengan empat program, yaitu penyusunan standar mekanisme pengaduan nasabah, pembentukan lembaga mediasi perbankan independen, penyusunan standar transparansi informasi produk, dan peningkatan edukasi nasabah. Bagi pihak ketiga seperti merchant atau tempat-tempat yang menerima pembayaran dengan menggunakan ATM sebaiknya lebih berhati-hati dalam melakukan pendebetan, sehingga tidak terjadi kekeliruan baik yang tidak disengaja maupun yang disengaja. Apabila terjadi kesalahan dalam hal nominal pendebetan, maka segera dilakukan pembatalan pendebetan dan memberitahukan pembatalan tersebut kepada bank. Selanjutnya pihak bank harus segera memproses pembatalan tersebut, sehingga uang nasabah pengguna ATM yang sudah terdebet segera masuk kembali ke rekening nasabah tanpa menunggu terlebih dulu adanya pengaduan dari nasabah. Daftar Pustaka Buku: Arif, M. Rizal, 2003, Perlindungan Konsumen di Era Pasar Bebas, Warta Konsumen. Badio, S., 2008, Bank dan UU Perlindungan Nasabah, Suara Konsumen, http://www.wikimu.com/news/layanan konsumen.aspx (di-download tanggal 20 Februari 2009). Fuady, Munir, 2002, Perbuatan Melawan Hukum (Tinjauan Kontemporer), PT Citra Aditya Bakti, Bandung. 39

Jurnal Cakrawala Hukum Vol.18, No.1 Juni 2013: 31-40 Goodpaster, Gary, 1995, Tinjauan terhadap Penyelesaian Sengketa, Ghalia Indonesia, Jakarta. Hadad, M.D., 2004, Menanti Mediator Bank-Nasabah, BEI News, Edisi 23, Th.V, November-Desember. Hadad, M.D., 2004, API Terapi Menuju Bank Sehat dan Kuat, BEI News, Edisi 19, Th. V, Maret-April. Kotler, P., 2005, Manajemen Pemasaran Global, Edisi Kelima, Salemba Empat, Jakarta. Naja, D. H. R., 2006, Contract Drafting (Seri Keterampilan Merancang Kontrak Bisnis), Cetakan Kedua, PT Citra Aditya Bakti, Bandung. Nasution, A.Z., 2001, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, Diadit Media, Jakarta. Nasution, A.Z., 2003, Aspek Hukum Perlindungan Konsumen: Tinjauan Singkat UU No. 8 Tahun 1999 L.N. 1999 No. 42, Media Hukum dan Keadilan, Vol. II, No. 8 (Mei). Shofie, Y., 2000, Perlindungan Konsumen dan Instrumeninstrumen Hukumnya, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. Shidarta, 2000, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, PT Grasindo, Jakarta. Simanjuntak, A., 2007, Transaksi Pengambilan atau Transfer Dana Melalui Mesin Anjungan Tunai Mandiri, Jurnal Manajemen dan Kewirausahaan, Vol.9, No.2, (September). Sudaryatmo, 1999, Hukum dan Advokasi Konsumen, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. Umam, K., 2008, Perlindungan Hukum bagi Nasabah Bank Selaku Konsumen di BidangPerbankan,http:// www.khotibwriteinc.blogspot.com/2008/03/ perlindungan-hukum-bagi-nasabah-bank.html, (diakses tanggal 4 Maret 2009). Widjaja, G., & Yani, A., 2001, Hukum tentang Perlindungan Konsumen, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Widjanarto, 2003, Hukum dan Ketentuan Perbankan di Indonesia, Grafiti, Jakarta. Peraturan Perundang-undangan: Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Undang-Undang No. 3 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Peraturan Bank Indonesia No. 7/6/PBI/2005 tentang Transparansi Informasi Produk Bank dan Penggunaan Data Pribadi. Peraturan Bank Indonesia No. 7/7/PBI/2005 tentang Penyelesaian Pengaduan Nasabah. Peraturan Bank Indonesia No. 8/5/PBI/2006 tentang Mediasi Perbankan. 40