KARAKTERISTIK BALOK LAMINASI DARI KAYU SENGON

dokumen-dokumen yang mirip
BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III BAHAN DAN METODE

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Balok Laminasi

PENGARUH SUHU PEREBUSAN PARTIKEL JERAMI (STRAW) TERHADAP SIFAT-SIFAT PAPAN PARTIKEL RINO FARDIANTO

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

TINJAUAN PUSTAKA. Batang kelapa sawit mempunyai sifat yang berbeda antara bagian pangkal

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Badan Standardisasi Nasional (2010) papan partikel merupakan

Pengaruh Variasi Sambungan Satu Ruas dan Dua Ruas Bambu Terhadap Kekuatan Balok Laminasi Bambu Tali MUJAHID

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

PEMILAHAN KAYU AFRIKA DAN AKASIA DENGAN MENGGUNAKAN MPK PANTER OLEH: EVALINA HERAWATI, S.Hut, M.Si NIP

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei - Oktober Pembuatan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA. (waferboard) yang terbuat dari limbah kayu yang ditemukan oleh ilmuwan Amerika

KAYU LAMINASI. Oleh : Yudi.K. Mowemba F

PENGUJIAN SIFAT MEKANIS PANEL STRUKTURAL DARI KOMBINASI BAMBU TALI (Gigantochloa apus Bl. ex. (Schult. F.) Kurz) DAN KAYU LAPIS PUJA HINDRAWAN

BAB III METODE PENELITIAN

III. METODOLOGI. 3.3 Pembuatan Contoh Uji

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Cross Laminated Timber (CLT) 1) Definisi 2) Manfaat dan Keunggulan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

METODOLOGI PENELITIAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

PENGARUH PERENDAMAN PANAS DAN DINGIN SABUT KELAPA TERHADAP KUALITAS PAPAN PARTIKEL YANG DIHASILKANNYA SISKA AMELIA

KARAKTERISTIK SIFAT ANATOMI DAN FISIS SMALL DIAMETER LOG SENGON (Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen) DAN GMELINA (Gmelina arborea Roxb.

BAB III METODE PENELITIAN

4 PENGARUH KADAR AIR PARTIKEL DAN KADAR PARAFIN TERHADAP KUALITAS PAPAN KOMPOSIT

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III BAHAN DAN METODE

PEMANFAATAN TEKNOLOGI LAMINASI DALAM PEMBUATAN RUMAH KAYU

BAB I PENDAHULUAN. Untuk memenuhi kebutuhan industri perkayuan yang sekarang ini semakin

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA. perabot rumah tangga, rak, lemari, penyekat dinding, laci, lantai dasar, plafon, dan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BALOK LAMINASI DARI KAYU KELAPA (Cocos nucifera L)

METODOLOGI. Kehutanan dan pengujian sifat mekanis dilaksanakan di UPT Biomaterial

BAB III BAHAN DAN METODE

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

PENGARUH PROPORSI CAMPURAN SERBUK KAYU GERGAJIAN DAN AMPAS TEBU TERHADAP KUALITAS PAPAN PARTIKEL YANG DIHASILKANNYA FATHIMA TUZZUHRAH ARSYAD

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 8 Histogram kerapatan papan.

TINJAUAN PUSTAKA. sedangkan diameternya mencapai 1 m. Bunga dan buahnya berupa tandan,

KARAKTERISTIK GLUED LAMINATED TIMBER DARI TIGA JENIS KAYU BERDIAMETER KECIL DENGAN DUA KETEBALAN LAMINA RAHMA NUR KOMARIAH

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian 3.2 Alat dan Bahan Test Specification SNI

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

III. METODOLOGI PENELITIAN

Spesifikasi kelas kekuatan kayu bangunan yang dipilah secara masinal

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAHAN DAN METODE. Waktu dan Tempat

BAB III METODOLOGI. Gambar 3 Bagan pembagian batang bambu.

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI. Tabel 6 Ukuran Contoh Uji Papan Partikel dan Papan Serat Berdasarkan SNI, ISO dan ASTM SNI ISO ASTM

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

PENGARUH PENGAWETAN TERHADAP SIFAT MEKANIS TIGA JENIS KAYU RENDY KURNIAWAN RACHMAT

TEKNIK PEMBUATAN BAMBU LAMINASI BERSILANG SEBAGAI BAHAN MEBEL DAN BANGUNAN

TINJAUAN PUSTAKA. Tabel 1. Produksi Kayu Gergajian dan Perkiraan Jumlah Limbah. Produksi Limbah, 50 %

PENGARUH KADAR RESIN PEREKAT UREA FORMALDEHIDA TERHADAP SIFAT-SIFAT PAPAN PARTIKEL DARI AMPAS TEBU AHMAD FIRMAN ALGHIFFARI

SIFAT FISIS MEKANIS PANEL SANDWICH DARI TIGA JENIS BAMBU FEBRIYANI

Jenis-jenis kayu untuk konstruksi Bangunan

PEMBUATAN PRODUK BAMBU KOMPOSIT. 1. Dr. Ir. IM Sulastiningsih, M.Sc 2. Prof. Dr. Drs. Adi Santoso, M.Si 3. Dr. Krisdianto, S.Hut., M.

Kayu lapis untuk kapal dan perahu

PENGARUH LAMA WAKTU PENUMPUKAN KAYU KARET (Hevea brasiliensis Muell. Arg.) TERHADAP SIFAT - SIFAT PAPAN PARTIKEL TRIDASA A SAFRIKA

METODE PENELITIAN. Kualitas Kayu Jabon (Anthocephalus cadamba M.) dilaksanakan mulai dari bulan. Hutan Fakultas Kehutanan Universitas Sumatera Utara.

TINJAUAN PUSTAKA. Adapun taksonomi tanaman kelapa sawit menurut Syakir et al. (2010) Nama Elaeis guineensis diberikan oleh Jacquin pada tahun 1763

BABII TINJAUAN PUSTAKA. Bab ini berisi tentang teori dari beberapa sumber buku seperti buku - buku

KADAR AIR TITIK JENUH SERAT BEBERAPA JENIS KAYU PERDAGANGAN INDONESIA ARIF RAKHMAN HARIJADI

PENGOLAHAN KAYU (WOOD PROCESSING) Abdurachman. Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan

KAJIAN SIFAT FISIS KAYU SENGON (Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen) PADA BERBAGAI BAGIAN DAN POSISI BATANG

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB III METODE PENELITIAN. sesuai dengan SNI no. 03 tahun 2002 untuk masing-masing pengujian. Kayu tersebut diambil

SURAT KETERANGAN Nomor : '501K13.3.3rrU/2005

SIFAT SIFAT DASAR PAPAN COMPLY YANG MENGGUNAKAN PEREKAT POLIURETAN DAN MELAMINE FORMALDEHIDA TRY ANGGRAHINI KARANGAN

BAB I PENDAHULUAN. dengan target luas lahan yang ditanam sebesar hektar (Atmosuseno,

6 PENGARUH SUHU DAN LAMA PENGEMPAAN TERHADAP KUALITAS PAPAN KOMPOSIT

ANALISIS BALOK BERSUSUN DARI KAYU LAPIS DENGAN MENGGUNAKAN PAKU SEBAGAI SHEAR CONNECTOR (EKSPERIMENTAL) TUGAS AKHIR

BAB I PENDAHULUAN. Kayu merupakan salah satu sumber alam yang bersifat dapat diperbarui.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

METODE PENELITIAN. Fakultas Kehutanan Univesitas Sumatera Utara Medan. mekanis kayu terdiri dari MOE dan MOR, kerapatan, WL (Weight loss) dan RS (

TINJAUAN PUSTAKA. Bambu Tali. kayu dengan masa panen 3-6 tahun. Bahan berlignoselulosa pada umumnya dapat

BAB IV PEMBAHASAN. (a) (b) (c) Gambar 10 (a) Bambu tali bagian pangkal, (b) Bambu tali bagian tengah, dan (c) Bambu tali bagian ujung.

Papan partikel SNI Copy SNI ini dibuat oleh BSN untuk Pusat Standardisasi dan Lingkungan Departemen Kehutanan untuk Diseminasi SNI

TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman ekaliptus mempunyai sistematika sebagai berikut: Hutan Tanaman Industri setelah pinus. Ekaliptus merupakan tanaman eksotik

BAHAN DAN METODE. Waktu dan Tempat Penelitian. Bahan dan Alat

KARAKTERISTIK BALOK LAMINASI DARI KAYU MANGIUM (Acacia mangium Willd.) The Characteristics of Glued-Laminated Beams Made from Mangium Wood

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. lama berkembang sebelum munculnya teknologi beton dan baja. Pengolahan kayu

MATERI DAN METODE. Materi Penelitian

Transkripsi:

KARAKTERISTIK BALOK LAMINASI DARI KAYU SENGON (Paraserianthes falcataria (L.) Nielson), MANII (Maesopsis eminii Willd.), DAN AKASIA (Acacia mangium Engl.) Oleh: RIMA JENTIKA PERMATA SARI DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011

RINGKASAN Rima Jentika P. E24070066. Karakteristik Balok Laminasi dari Kayu Sengon (Paraserianthes falcataria (L.) Nielson), Manii (Maesopsis eminii Willd.), dan Akasia (Acacia mangium Engl.). Dibimbing oleh Prof. Dr. Ir. Muh. Yusram Massijaya, MS dan Ir. Hj. Nurwati Hadjib, MS. Kayu sengon, manii, dan akasia yang digunakan pada penelitian ini adalah kayu berdiameter kecil dari jenis tanaman cepat tumbuh dan berkualitas rendah sehingga tidak sesuai jika digunakan untuk keperluan struktural. Salah satu pemanfaatan kayu dengan kualitas rendah adalah dengan pembuatan balok laminasi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik balok laminasi sebagai kayu struktural berdasarkan standar JAS 234:2003 dan pengaruh kombinasi kayu akasia-sengon, dan akasia-manii terhadap sifat keteguhan lentur dan keteguhan patah balok laminasi serta membandingkannya dengan balok laminasi yang tidak dikombinasikan. Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah kayu sengon (Paraserianthes falcataria (L.) Nielson), manii (Maesopsis eminii Willd.), dan akasia (Acacia mangium Engl.). Perekat yang digunakan adalah isosianat. Ada lima jenis balok laminasi yang dibuat yaitu balok laminasi sengon, manii, akasia, campuran akasia-sengon, dan campuran akasia-manii. Hasil penelitian menunjukkan bahwa lima jenis balok laminasi memiliki sifat fisis berupa kadar air yang memenuhi standar JAS 234:2003. Nilai kerapatan tertinggi dimiliki oleh balok laminasi akasia yang disusun oleh lamina dengan berat jenis paling tinggi. Berdasarkan pengujian sifat mekanis diketahui bahwa balok laminasi akasia memiliki nilai MOE dan MOR yang paling tinggi tetapi nilai keteguhan rekatnya rendah. Nilai MOE dan MOR dipengaruhi oleh kerapatan kayu, pola penyusunan lamina, cacat kayu dan posisi sambungan pada saat pembebanan. Rendahnya nilai keteguhan rekat balok laminasi akasia disebabkan oleh adanya kandungan ekstraktif yang menghalangi penetrasi dan pematangan perekat. Kata kunci : Kayu sengon, manii, akasia, isosianat, sifat fisis dan mekanis.

KARAKTERISTIK BALOK LAMINASI DARI KAYU SENGON (Paraserianthes falcataria (L.) Nielson), MANII (Maesopsis eminii Willd.), DAN AKASIA (Acacia mangium Engl.) Oleh: RIMA JENTIKA PERMATA SARI E24070066 SKRIPSI Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011

LEMBAR PENGESAHAN Judul Penelitian :Karakteristik Balok Laminasi dari Kayu Sengon (Paraserianthes falcataria (L.) Nielson), Manii (Maesopsis eminii Willd.), dan Akasia (Acacia mangium Engl.) Nama Mahasiswa :Rima Jentika P NRP :E24070066 Departemen :Hasil Hutan Menyetujui Pembimbing I Pembimbing II Prof. Dr. Ir. Muh. Yusram Massijaya, MS Ir. Hj. Nurwati Hadjib, MS NIP. 19641124 198903 1 004 NIP. 19501212197903 2 002 Mengetahui Ketua Departemen Hasil Hutan Dr. Ir. I Wayan Darmawan, M.Sc NIP. 19660212 199103 1 002

PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Karakteristik Balok Laminasi dari Kayu Sengon (Paraserianthes falcataria (L.) Nielson), Manii (Maesopsis eminii Willd.), dan Akasia (Acacia mangium Engl.) merupakan hasil karya tulis saya sendiri dengan bimbingan dan arahan dari dosen pembimbing Prof. Dr. Ir. Muh. Yusram Massijaya, MS dan Ir. Hj. Nurwati Hadjib, MS. Skripsi ini belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka bagian akhir skripsi. Bogor, September 2011 Rima Jentika P E24070066

RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Desa Pematang Kolim, Kabupaten Sarolangun Propinsi Jambi pada tanggal 24 Juli 1989 sebagai anak pertama dari tiga bersaudara dari pasangan Ermansyah SPd dan Haryati. Pendidikan sekolah dasar ditempuh di SDN 92/VII Pematang Kolim I pada tahun 1995-2001, Pendidikan Lanjutan Tingkat Pertama di SMP 4 Sarolangun pada tahun 2001-2004, dan Pendidikan Lanjutan Tingkat Atas di SMAN 1 Jambi pada tahun 2004-2007. Pada tahun 2007, penulis melanjutkan pendidikan di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Beasiswa Utusan Daerah (BUD). Selama perkuliahan, selain mengikuti kegiatan akademis penulis juga berpartisipasi dalam organisasi kemahasiswaan yaitu Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Kehutanan di tahun 2008-2009. Penulis juga mengikuti organisasi himpunan profesi mahasiswa (Himpro) DHH yang bernama Himpunan Mahasiswa Hasil Hutan (Himasiltan) tahun 2009-2010 sebagai anggota. Pada tahun 2008 penulis mengikuti kepanitiaan Masa Pengenalan Kampus Mahasiswa Baru (MPKMB) sebagai anggota divisi medis, dan kepanitiaan dalam diskusi publik One Day Dialog The Solution to Combat Dessertification & Draught in Indonesia pada tahun 2009. Pada tahun 2011 penulis melaksanakan kegiatan praktek kerja lapang di PT. Andatu Lestari Plywood, Lampung dengan topik Mempelajari Aspek Proses Produksi di PT. Andatu Lestari Plywood, Lampung. Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, penulis melakukan penelitian dengan judul Karakteristik Balok Laminasi dari Kayu Sengon (Paraserianthes falcataria (L.) Nielson), Manii (Maesopsis eminii Willd.), dan Akasia (Acacia mangium Engl.) dibawah bimbingan Prof. Dr. Ir. Muh. Yusram Massijaya, MS dan Ir. Hj. Nurwati Hadjib, MS.

UCAPAN TERIMA KASIH Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, karena atas rahmat dan karunia-nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Karakteristik Balok Laminasi dari Kayu Sengon (Paraserianthes falcataria (L.) Nielson), Manii (Maesopsis eminii Willd.), dan Akasia (Acacia mangium Engl.). Untuk itu, penulis mengucapkan terima kasih yang mendalam dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada: 1. Kedua orang tua tercinta yang senantiasa mengajarkan untuk selalu berpikir positif, bersabar, mendoakan tanpa henti dalam penyelesaian skripsi ini. Adikadikku tercinta (Nengsih Ermawati dan Nurma akmarina) yang senantiasa mendukung dan menghibur penulis serta menjadi motivasi bagi penulis. 2. Pemerintah Propinsi Jambi, khususnya Dinas Pendidikan Propinsi Jambi beserta lembaga terkait yang telah memberi bantuan biaya pendidikan selama 4 tahun untuk menuntut ilmu di Institut Pertanian Bogor. 3. Bapak Prof. Dr. Ir. Muh. Yusram Massijaya, MS dan ibu Ir. Nurwati Hadjib MS selaku dosen pembimbing yang telah melibatkan penulis dalam proyek penelitiannya dan memberikan pengetahuan, nasehat, kesabaran, serta arahan dalam penulisan skripsi ini. 4. Seluruh staf pengajar Departemen Hasil Hutan dan Fakultas Kehutanan IPB yang telah memberikan ilmu yang bermanfaat. 5. Bapak Prof. Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, M.Sc selaku dosen penguji atas kesediaan untuk hadir dan saran yang diberikan untuk perbaikan skripsi ini. 6. Bapak Prof. Dr. Ir. Surdiding Ruhendi, M.Sc selaku pimpinan sidang atas kesediaan untuk hadir dan saran yang diberikan untuk perbaikan skripsi ini. 7. Yennova Sari selaku senior dan rekan seperjuangan penulis selama proses penelitian berlangsung yang senantiasa memberikan arahan dan dukungan bagi penulis.

8. Teknisi Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Hutan dan Pengolahan Hasil Hutan, Laboratorium Sifat Fisis dan Mekanis kayu (mbak Ani, pak Endang, dan pak Haris) yang telah membantu penulis selama proses penelitian dilakukan. 9. Windu Iriayanto yang selalu mendukung, mengajarkan untuk selalu bersabar dan berpikir dewasa serta membantu penulis dari awal penelitian hingga sidang selesai. 10. Rekan-rekan seperjuangan Beasiswa Utusan Daerah (BUD) Jambi, Ana Agustina, Noriyanti, Esi, dan teman-teman lainnya yang tidak dapat disebukan satu persatu atas dukungan dan perhatiannya hingga penulis menyelesaikan skripsi ini. 11. Sahabat-sahabatku Ria, Ana, Wina, Fetri, Jucy, Yuni, Dian, dan Wawat yang senantiasa memberikan dukungan, doa dan bantuannya. 12. Rekan-rekan tercinta di Departemen Hasil Hutan angkatan 44, Ana, Fetri, Ria, Jucy, Desy, Irma, Wina, Hafiz, Aya, Vita, Dina, Citra, Yano, Dyah, Nia, Rama, Rospita dan seluruh teman DHH 44 yang tidak bisa disebutkan satu persatu atas dukungan doa, bantuan selama penyelesaian skripsi dan kebersamaannya. 13. Seluruh staf Tata Usaha Departemen Hasil Hutan (ibu susi, ibu laya, bapak fatur), staf perpustakaan (ibu Lina) dan staf lainnya yang tidak dapat disebutkan satupersatu. Terima kasih atas bantuan yang telah diberikan kepada penulis untuk mempersiapkan seminar dan sidang hasil penelitian. 14. Keluarga besar Himpunan Mahasiswa Jambi (HIMAJA) demi hubungan kekeluargaan dan kebersamaannya di IPB. 15. Kepada pihak-pihak yang belum disebutkan namanya, penulis mengucapkan terima kasih, semoga semua kebaikan kalian di balas oleh Allah SWT. Penulis, Bogor 2011 Penulis

i KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT karena berkat limpahan berkah, rahmat dan karunia-nya sehingga penulisan skripsi dapat terselesaikan. Skripsi dengan judul Karakteristik Balok Laminasi dari Kayu Sengon (Paraserianthes falcataria (L.) Nielson), Manii (Maesopsis eminii Willd.), dan Akasia (Acacia mangium Engl.) merupakan laporan akhir dari penelitian yang dilaksanakan pada bulan Mei-September 2010, disusun sebagai salah satu syarat dalam memperoleh gelar Sarjana Kehutanan di Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Banyak pihak yang telah membantu pelaksanaan penelitian hingga pada penulisan skripsi ini. Penulis menyadari bahwa masih terdapat kekurangan dan keterbatasan dalam penulisan skripsi ini. Dengan demikian, tidak tertutup kemungkinan adanya harapan besar dari penulis atas kritik dan saran yang dapat disampaikan untuk pengembangan karya ilmiah ini. Semoga karya ini dapat bermanfaat dan dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya. Bogor, September 2011 Rima Jentika P E24070066

ii DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR... i DAFTAR ISI... ii DAFTAR TABEL... iv DAFTAR GAMBAR... v DAFTAR LAMPIRAN... vi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang... 1 1.2 Tujuan Penelitian... 2 1.3 Manfaat Penelitian... 2 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Balok Laminasi. 3 2.1.1 Sejarah Balok Laminasi... 3 2.1.2 Penggunaan Balok Laminasi... 3 2.1.3 Kelebihan dan Kekurangan Balok Laminasi... 4 2.1.4 Proses Pembuatan Balok Laminasi... 4 2.2 Perekat untuk Balok Laminasi... 5 2.3 Sifat Fisis dan Mekanis Balok Laminasi... 5 2.3.1 Sifat Fisis... 6 2.3.2 Sifat Mekanis... 7 2.4 Keterangan Singkat Jenis Kayu Yang Diteliti... 8 2.4.1 Kayu Sengon (Paraserianthes falcataria (L) Nielson)... 8 2.4.2 Kayu Manii (Maesopsis Eminii)... 9 2.4.3 Kayu Akasia ( Acacia mangium Engl)... 9 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian... 11 3.2 Bahan dan Alat... 11 3.3 Metode Pembuatan Contoh Uji... 11 3.3.1 Pembuatan dan Pengeringan Lamina... 11 3.3.2 Pemilahan Lamina dengan Mesin Pemilah Kayu Panter... 12 3.3.3 Penyusunan Lamina... 13

iii 3.3.4 Perekatan Lamina... 13 3.3.5 Pengempaan... 14 3.3.6 Pengkondisian dan Finishing... 14 3.4 Pengujian Balok Laminasi... 14 3.4.1 Pengujian Sifat Fisis... 14 3.4.1.1 Kadar Air Balok Laminasi... 14 3.4.1.2 Kerapatan Kayu... 15 3.4.2 Pengujian Sifat Mekanis Balok Laminasi... 15 3.4.2.1 Pengujian Keteguhan Lentur (Modulus of Elasticity, MOE). 15 3.4.2.2 Pengujian Keteguhan Patah (Modulus of Rupture, MOR)... 16 3.4.2.3 Pengujian Keteguhan Rekat... 16 3.5 Analisis Data... 17 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Sifat Fisis... 19 4.1.1 Kadar Air... 19 4.1. 2 Kerapatan Kayu... 21 4.2 Sifat Mekanis... 22 4.2. 1 Keteguhan Lentur (Modulus of Elasticity, MOE)... 23 4.2.2 Keteguhan Patah (Modulus of Rupture, MOR)... 26 4.2.3 Keteguhan Rekat... 28 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan... 31 5.2 Saran... 31 DAFTAR PUSTAKA... 32 LAMPIRAN... 35

iv DAFTAR TABEL No. Halaman 1. Perbandingan nilai MOE lamina dan balok laminasi... 25

v DAFTAR GAMBAR No. Halaman 1. Susunan balok laminasi.... 13 2. Pola pembebanan pengujian MOE dan MOR... 16 3. Bentuk contoh uji keteguhan rekat... 17 4. Histogram kadar air... 20 5. Histogram kerapatan... 21 6. Histogram nilai MOE... 23 7. Histogram nilai MOR... 27 8. Histogram nilai keteguhan rekat... 29

vi DAFTAR LAMPIRAN No Halaman 1. Nilai Kerapatan dan MOE dari lamina sengon, manii, dan akasia. 36 2. Hasil pengujian sifat fisis balok laminasi.... 41 3. Hasil pengujian sifat mekanis balok laminasi...... 42 4. Hasil analisis keragaman sifat fisis balok laminasi.. 45 5. Hasil analisis keragaman sifat mekanis balok laminasi... 48.

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menurut Rohadi (2010) bentuk usaha tanaman kayu yang paling menonjol pada saat ini adalah hutan rakyat. Hutan rakyat merupakan hutan yang tumbuh di atas tanah yang dibebani hak milik maupun hak lainnya dengan ketentuan luas minimum 0,25 ha dan penutupan tajuk tanaman kayu-kayuan lebih dari 50% atau pada tahun pertama sebanyak minimal 500 tanaman/ hektar. Jenis kayu yang berasal dari hutan tanaman memiliki persentase kayu muda yang cukup besar dibandingkan dengan kayu yang berasal dari hutan alam sehingga kualitasnya kurang baik. Kayu sengon, manii, dan akasia merupakan jenis tanaman yang dikembangkan dalam hutan rakyat. Ketiga jenis kayu tersebut merupakan jenis kayu cepat tumbuh. Kayu yang digunakan pada penelitian adalah kayu sengon, manii dan akasia yang berdiameter kecil sehingga memiliki kualitas rendah dan tidak sesuai jika digunakan untuk keperluan sruktural. Untuk memenuhi kayu struktural dengan dimensi yang tidak bergantung pada diameter kayu, dikembangkanlah bentuk struktur yang bukan berasal dari kayu utuh melainkan komponen laminasi yang dibuat melalui proses perekatan. Dalam pembuatan balok laminasi, kayu-kayu dengan kualitas rendah dapat dimanfaatkan sehingga meningkatkan efisiensi penggunaan kayu. Selain itu balok lamina dapat dibuat dalam berbagai variasi bentuk, ukuran, dan jumlah lapisan sehingga dapat menghasilkan ukuran yang relatif besar. Balok laminasi merupakan salah satu produk rekayasa yang dibuat dengan cara menggabungkan dua atau lebih kayu gergajian yang direkat dengan arah sejajar serat satu sama lain ( Moody et al. 1999). Dalam pembuatan balok laminasi, lamina yang mempunyai mutu lebih tinggi diletakkan pada bagian luar balok laminasi sedangkan lamina dengan mutu rendah diletakkan pada bagian dalam yang mendapat tegangan lebih kecil.

2 1.2 Tujuan Tujuan penelitian ini adalah : 1. Mengetahui karakteristik balok laminasi sebagai kayu struktural berdasarkan standar JAS 234:2003. 2. Mengetahui pengaruh kombinasi kayu akasia-sengon, dan akasia-manii terhadap sifat keteguhan lentur dan keteguhan patah balok laminasi serta membandingkannya dengan balok laminasi yang tidak dikombinasikan. 1.3 Manfaat Memberi informasi kepada masyarakat umum mengenai pemanfaatan kayu berdiameter kecil dan berkualitas rendah.

3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Balok Laminasi Balok laminasi atau yang dikenal sebagai glulam (glued-laminated timber) merupakan salah satu produk kayu rekayasa tertua. Glulam adalah suatu teknik menggabungkan dua atau lebih kayu gergajian yang direkat dengan arah sejajar serat satu sama lain (Moody et al. 1999; Stark et al. 2010). Bodig dan Jayne (1982) menyatakan bahwa berdasarkan posisi pembebanan, balok laminasi dibedakan menjadi balok laminasi horizontal dan vertikal. Sedangkan berdasarkan penampangnya balok laminasi dibagi menjadi balok I, balok T, balok I ganda, balok pipa atau kotak dan stressed-skin panel. Balok lamina adalah balok yang diperoleh dari hasil perekatan papan tipis yang disusun sejajar serat menggunakan perekat. Balok lamina lebih efisien dibandingkan kayu utuh karena dapat dibuat dengan menggabungkan jenis kayu bermutu rendah dan kayu bermutu tinggi (Abdurrachman dan Hadjib 2005). 2.1.1 Sejarah Balok Laminasi Balok laminasi pertama kali digunakan di Eropa sebagai konstruksi auditorium di Basel, Switzerland pada tahun 1893 dan dikenal dengan sebutan Hetzer System. Aplikasinya pada saat itu masih terbatas karena perekat yang digunakan tidak tahan air (Moody et al. 1999). Pada tahun 1934, Forest Product Laboratory di Madison, Wisconsin mendirikan sebuah bangunan yang menggunakan balok laminasi untuk konstruksinya. Balok laminasi untuk bangunan tersebut diproduksi oleh sebuah perusahaan di Peshtigo, Wisconsin yang didirikan oleh imigran Jerman yang membawa teknologi tersebut ke Amerika Serikat (Moody et al. 1999). Selama perang dunia II, kebutuhan akan elemen struktural yang besar untuk mendirikan bangunan militer seperti gudang dan hangar pesawat terbang, menambah ketertarikan pada balok laminasi. Perkembangan resin tahan air memungkinkan penggunaan balok laminasi untuk jembatan dan aplikasi eksterior lainnya (Moody et al.1999). Menurut Abdurrachman dan Hadjib (2005) pemakaian balok laminasi di Indonesia belum banyak berkembang karena

4 memerlukan biaya investasi yang tinggi sehingga menyebabkan harga produk laminasi lebih mahal dari kayu gergajian konvensional. 2.1.2 Penggunaan Balok Laminasi Hermawan (1996) menyatakan bahwa kayu laminasi dipakai pada konstruksi konstruksi bangunan (gedung olahraga, gedung pertunjukkan, hangar pesawat terbang), furniture, alat olahraga dan penggunaan lain yang dalam penerapannya kadang-kadang dikombinasikan dengan kayu lapis atau papan partikel. Selain itu Moody et al. (1999) menyebutkan berbagai macam penggunaan balok laminasi adalah pada bangunan komersial, rumah, jembatan, dan penggunaan struktur lain seperti tower transmisi listrik, tonggak listrik dan penggunaan lain untuk memenuhi persyaratan ukuran dan bentuk yang tidak dapat dicapai dengan menggunakan tiang kayu konvensional. 2.1.3 Kelebihan dan Kekurangan Balok Lamina Menurut (Moody et al. 1999; Stark et al. 2010), balok laminasi dibandingkan dengan kayu gergajian ataupun produk struktural lainnya, memiliki kelebihan berupa : 1. Ukuran. Balok laminasi dapat dibuat dengan ukuran yang besar dari pohon berdiameter kecil. 2. Nilai arsitektur. Dengan melengkungkan bahan baku kayu gergajian selama proses pembuatan balok laminasi, berbagai nilai arsitektur dapat diperoleh. 3. Pengeringan. Kayu gergajian yang digunakan dalam pembuatan balok laminasi harus dikeringkan terlebih dahulu sehingga cacat pada balok laminasi dapat diminimalkan. 4. Keragaman kualitas lamina. Dapat menggunakan lamina berkualitas rendah dan lamina berkualitas baik. Lamina berkualitas baik diletakkan pada bagian atas dan bawah balok sedangkan lamina berkualitas rendah diletakkan pada bagian tengah balok. 5. Ramah lingkungan. Bahan bakunya dapat diperbarui.

5 Serrano (2003) menyatakan dengan ringkas bahwa keuntungan penggunaan balok laminasi adalah meningkatkan sifat kekuatan dan kekakuan kayu, memberikan pilihan bentuk geometri lebih beragam, memungkinkan untuk penyesuaian kualitas lamina dengan tingkat tegangan yang diinginkan dan meningkatkan akurasi dimensi dan stabilitas bentuk. Kelemahan balok laminasi antara lain memerlukan keahlian dan keterampilan khusus selama proses pembuatannya, harga perekat yang tinggi, dan produk balok laminasi yang panjang dan berbentuk lengkung akan menyulitkan dalam proses pengangkutan (Moody et al. 1999). 2.1.4 Proses Pembuatan Balok Laminasi Bowyer et al. (2003) menyatakan bahwa proses produksi balok laminasi meliputi penyambungan ujung, pelaburan perekat, menggabungkan lamina, dan pemberian tekanan. Sementara itu, (Moody et al. 1999; Stark et al. 2010) menguraikan proses pembuatan balok laminasi terdiri dari pengeringan dan pemilahan lamina, penyambungan ujung lamina, perekatan permukaan, dan penyelesaian akhir. 2.2 Perekat untuk Balok Laminasi Perekatan merupakan interaksi antara permukaan perekat dengan permukaan bahan yang akan direkatkan. Adanya interaksi antara perekat dan bahan yang akan direkat menyebabkan adanya ikatan yang kuat antara kedua bahan tersebut. Tiga tahapan proses pengikatan perekat yaitu persiapan permukaan bahan yang akan direkat untuk memperoleh interaksi terbaik antara perekat dan bahan yang akan direkatkan, kontak antara perekat dengan permukaan yang direkat, dan pengeringan perekat (Frihat 2005). Vick (1999) menyatakan bahwa perekat yang dapat digunakan untuk keperluan eksterior adalah phenol formaldehyde (PF), resorcinol formaldehyde (RF), phenol resorcinol formaldehyde (PRF), isocyanate dan melamin formaldehyde (MF). Perekat isosianat yang digunakan untuk balok laminasi berbentuk emulsi cair yang terpisah dengan hardenernya dan dicampurkan bila akan digunakan. Menurut Ruhendi et al. (2007), keunggulan perekat isosianat adalah kebutuhan lebih sedikit, suhu lebih rendah, siklus pengempaan lebih

6 singkat, stabilitas dimensi lebih tinggi tanpa formaldehid. Perekat ini unggul dalam proses aplikasi dan mutu produknya, bergantung kepada reaktivitas yang tinggi dari isosianat radikal N-C-O. Polaritas yang kuat membuat senyawa pembawa radikal ini memiliki potensi adesi yang tinggi dan sangat potensial membentuk ikatan kovalen dengan substrat yang memiliki hidrogen yang reaktif. 2.3 Sifat Fisis dan Mekanis Balok Laminasi 2.3.1 Sifat Fisis Sifat fisis merupakan sifat dasar kayu yang berperan penting dan erat hubungannya dengan struktur kayu (Tsoumis 1991). Sifat fisis kayu yang pada balok laminasi yang diuji adalah: 1. Kadar Air Menurut Tsoumis (1991) kadar air adalah berat air yang terdapat dalam kayu yang dinyatakan dalam persen terhadap berat kering tanurnya. Kandungan kadar air pada papan berfluktuasi karena kayu bersifat higroskopis, dimana kayu mampu menarik dan menyerap air dari lingkungan sekitarnya (Ken 2006). Ken (2006) menyatakan bahwa kandungan kadar air pada kayu segar (fresh cut) berkisar antara 40%-250%. Perbedaan ini dipengaruhi oleh jenis kayu dan bagian kayu itu sendiri, yaitu kayu gubal, teras atau empulur. Kayu gubal memiliki kandungan kadar air yang lebih tinggi dibandingkan kayu teras dan empulur. Sifat fisik dan mekanis, ketahanan kayu terhadap serangga perusak, dan stabilitas dimensi pada suatu produk kayu dipengaruhi oleh jumlah air yang dikandung oleh kayu tersebut (Tsoumis 1991). Kadar air pada balok lamina berkisar antar 8-15% (Bowyer et al. 2003). 2. Kerapatan Tsoumis (1991) menyatakan bahwa sifat fisis dan mekanis kayu berhubungan erat dengan berat jenis dan kerapatan kayu. Kerapatan didefinisikan sebagai masa per unit volume. Biasanya dinyatakan dengan kg/m³ atau gram/cm³. Sedangkan berat jenis merupakan perbandingan antara kerapatan bahan dengan kerapatan air, besarnya berat jenis kayu

7 berbeda-beda sesuai dengan perbedaan dalam struktur kayu dan perbandingan antara jumlah dinding sel dan rongga sel. Kerapatan kayu bervariasi dipengaruhi oleh posisi kayu dalam batang, kondisi lingkungan tempat tumbuh, dan struktur anatomi kayu. Pada komponen utama kayu, kerapatan terdiri atas kerapatan vertikal dan kerapatan horizontal. Pada arah vertikal, bagian kayu yang posisinya lebih tinggi memiliki kerapatan rendah. Pada arah horizontal kerapatan dipengaruhi oleh umur, kayu yang umurnya lebih muda memiliki kerapatan lebih rendah (Tsoumis 1991). 2.3.2 Sifat Mekanis Sifat mekanis kayu merupakan karakteristik penting pada produk kayu yang digunakan sebagai penggunaan struktural. Sifat mekanis kayu merupakan ukuran ketahanan terhadap gaya luar yang cenderung merubah bentuk benda. Ketahanan kayu tersebut tergantung pada besarnya gaya dan cara pembebanan (Tsoumis 1991). Beberapa sifat mekanis penting untuk menilai kekuatan kayu diantaranya adalah modulus elastisitas (modulus of elasticity, MOE), modulus patah (modulus of rupture, MOR), dan keteguhaan rekat. 1. Keteguhan lentur (MOE) Kekakuan kayu ialah suatu ukuran kekuatan dalam kemampuannya menahan perubahan bentuk atau lengkungan. Kekakuan tersebut dinyatakan dalam modulus elastisitas atau keteguhan lentur (Dumanau 1999). Menurut Tsoumis (1991) elastisitas adalah sifat benda yang mampu kembali ke kondisi semula dalam bentuk dan ukurannya ketika beban yang mengenainya dihilangkan. 2. Keteguhan patah (MOR) Bila pemberian beban telah melewati batas proporsi maka setelah beban dilepaskan balok kayu akan mengalami perubahan bentuk tetap. Jika pembebanan diteruskan, balok kayu akan mengalami kerusakan dan lamakelamaan akan patah. Keadaan ini menyatakan ukuran kekuatan balok kayu dan juga sifat kritis kayu yang biasa disebut MOR (Wahyuni 2005).

8 3. Keteguhan Rekat Keteguhan rekat merupakan nilai yang mampu dicapai atau dipertahankan oleh kayu yang direkat. Keteguhan rekat diketahui dengan melakukan uji geser pada balok laminasi yang direkat. Menurut Dumanau (1999), keteguhan geser ialah ukuran kekuatan kayu dalam hal kemampuannya menahan gaya-gaya yang membuat suatu bagian kayu tersebut bergeser atau bergelingsir ke bagian lain di dekatnya. Terdapat tiga macam keteguhan geser yaitu keteguhan geser sejajar arah serat, keteguhan geser tegak lurus arah serat, dan keteguhan geser miring serat. 2.4 Keterangan Singkat Jenis Kayu yang diteliti 2.4.1 Kayu Sengon (Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen) Martawijaya et al. (1989) menyatakan bahwa kayu sengon merupakan jenis tanaman yang dapat tumbuh pada tanah yang tidak subur, tanah kering, maupun tanah becek. Jenis ini menghendaki iklim basah sampai agak kering, pada dataran rendah hingga pegunungan sampai ketinggian 1500 m dari permukaan laut. Tinggi pohon sampai 40 m dengan panjang batang bebas cabang 10-30 m, diameter sampai 80 cm. Kayu Sengon memiliki warna teras dan gubal yang sukar dibedakan, warnanya putih abu-abu kecoklatan atau putih merah kecoklatan pucat. Tekstur kayu sengon agak kasar sampai kasar, arah serat terpadu dan kadang-kadang lurus sedikit bercorak (Pandit dan Kurniawan 2008). Kayu sengon dapat digolongkan sebagai kayu daun lebar yang mempunyai pori berbentuk bulat besar dan sebagian besar soliter dan sisanya merupakan pori gabungan yang terdiri 2-3 pori (Pandit 1989). Pandit dan Kurniawan (2008) menyatakan bahwa berat jenis rata-rata kayu sengon adalah 0,33 (0,24-0,49), kelas awet IV-V, dan kelas kuat IV-V. Kayu sengon dapat digunakan untuk bahan baku pembuatan peti, papan partikel, papan serat, papan semen.

9 2.4.2 Kayu Manii (Maesopsis eminii Engl.) Menurut Jocker (2002) dalam Herawati (2008) kayu manii (Maesopsis eminii Engl.) termasuk ke dalam famili Rhamnaceae, dikenal dengan beberapa nama lokal seperti pohon payung, musizi, afrika dan manii. Jenis ini tumbuh di dataran rendah sampai hutan sub pegunungan sampai ketinggian 1.800 m di atas permukaan laut. Kayu manii biasanya ditanam di dataran rendah dan tumbuh baik pada ketinggian 600-900 m di atas permukaan laut dengan curah hujan 1.200-3.600 mm/ tahun dan musim kering sampai 4 bulan. Kayu manii termasuk dalam kelas kuat III-IV dengan berat jenis kering udara 0,43 (0,34-0,46) (Agus 2009). Sedangkan Jocker (2002) dalam Herawati (2008) menyatakan bahwa kayu manii merupakan jenis pohon cepat tumbuh dan serba guna. Kayunya berkekuatan sedang sampai kuat, yang dapat digunakan untuk konstruksi, kotak, dan tiang. Jenis ini juga banyak ditanam untuk sumber kayu bakar. 2.4.3 Kayu Akasia (Acacia mangium Willd.) Kayu akasia mangium merupakan salah satu jenis tanaman cepat tumbuh (fast growing species) dan mudah tumbuh (adaptive) pada kondisi lahan yang tidak subur tingkat kesuburannya dengan ph rendah, tanah berbatu, dan tanah yang telah mengalami erosi. Riap tumbuh dapat mencapai 2,5-3,5 cm/ tahun. (Pusat Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan 2003 dalam Prawira 2006). Awang dan Taylor (1993) dalam Herawati (2008) menyatakan bahwa secara umum kayu akasia dapat mencapai tinggi 25-35 m dengan bebas cabang melebihi setengah dari total tinggi. Diameternya dapat mencapai lebih dari 60 cm. Pada lahan yang miskin, pohon biasanya lebih kecil dengan rata-rata tinggi antara 7 dan 10 m. Pohon yang masih muda berwarna hijau, kulit kasar dan beralur, berwarna abu-abu atau coklat. Warna bagian teras pada kayu akasia adalah coklat pucat sampai coklat tua, kadang-kadang coklat zaitun sampai coklat kelabu, batasnya tegas dengan gubal berwarna kuning pucat sampai kuning jerami. Kayu akasia memiliki tekstur halus sampai agak kasar dan merata, arah serat lurus, kadang-kadang berpadu,

10 permukaan agak mengkilap dan licin dengan tingkat kekerasan agak keras sampai keras. Berdasarkan ciri anatominya, kayu akasia memiliki pori yang baur, soliter dan berganda radial yang terdiri atas 2-3 pori, kadang-kadang sampai 4, diameter agak kecil (Pandit dan Kurniawan 2008). Pandit dan Kurniawan (2008) menyatakan bahwa berat jenis rata-rata kayu akasia adalah 0,61 (0,43-0,66), kelas awet III, dan kelas kuat II-III. Kayu Akasia dapat digunakan sebagai bahan konstruksi ringan sampai berat, rangka pintu, jendela, perabot rumah tangga, lantai, dinding papan, tiang, tiang pancang, gerobak dan rodanya, alat-alat pertanian, kotak dan batang korek api, papan partikel, papan serat, vinir dan kayu lapis, pulp dan kertas, kayu bakar dan arang. Dari hasil penelitian Ginoga (1998) berat jenis kering udara kayu akasia umur 10 tahun rata-rata 0,47 dengan kisaran antara 0,45-0,49.

11 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Pembuatan contoh uji dilakukan di PT. Mayora II Sukabumi, Jawa Barat. Pengujian dilakukan di Laboratorium Sifat Fisis dan Mekanis Kayu, Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Hutan dan Pengolahan Hasil Hutan, Jl. Gunung Batu, Bogor, Jawa Barat. Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei- September 2010. 3.2 Bahan dan Alat Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah kayu sengon (Paraserianthes falcataria (L.) Nielson), manii (Maesopsis eminii Willd.), akasia (Acacia mangium Engl.) yang diperoleh dari Sukabumi dengan ukuran diameter berkisar antara 25-30 cm. Perekat yang digunakan adalah isosianat. Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah gergaji mesin, mesin serut, kilang pengering, mesin pelabur perekat, mesin kempa dingin, mesin pemilah kayu (MPK) panter, oven, timbangan, meteran, moisture meter, dan kaliper. 3.3 Metode Pembuatan Contoh uji 3.3.1 Pembuatan dan Pengeringan Lamina Log kayu akasia, manii, dan sengon digergaji menjadi lembaran papan dengan ukuran panjang, lebar, dan tebalnya berturut-turut adalah 300,5 cm x 8,5 cm x 2,5 cm. Papan-papan tersebut kemudian dikeringkan di dalam kilang pengering kombinasi tenaga surya dan tungku hingga diperoleh kadar air + 9 %. Papan yang sudah kering dibuat lamina dengan ukuran 300 cm x 8 cm x 2 cm dengan seluruh permukaan diserut halus. Pengeringan papan dilakukan dengan tujuan untuk mempertinggi kestabilan dimensi papan lamina, dan mempermudah proses perekatan kayu. Papan lamina yang memiliki ukuran panjang kurang dari 300 cm disambung dengan metode sambungan jari-jari (finger joint). Ukuran panjang finger joint adalah + 28 mm (1,1 inch).

12 3.3.2 Pemilahan Papan Lamina dengan Mesin Pemilah Kayu Panter Pemilahan lamina dilakukan untuk mengelompokkan kayu ke dalam beberapa kelas mutu. Lamina dipilah menggunakan Mesin Pemilah Kayu (MPK) Panter. Prosedur penggunaan MPK Panter adalah sebagai berikut: 1. Lamina yang akan dipilah diletakkan di atas tumpuan. 2. Beban A (1/2 kg) diletakkan di atas lamina tepat di atas jarum penyetara penimbangan. 3. Penyetara penimbangan kasar dan halus diatur sampai mistar panter menunjukkan awal pembacaan. 4. Beban B (1/2 kg) ditambahkan, kemudian angka yang tertera pada mistar dicatat (y 1 ). 5. Beban diturunkan, lamina dibalik dan dipilah ulang dengan teknik pemilahan yang sama seperti langkah sebelumnya, catat angka mistar panter yang terjadi (y 2 ). Nilai MOE dari setiap lamina diperoleh dengan menggunakan rumus: Keterangan MOE : modulus elastisitas (kg/cm²) P : beban standar (kg) l : jarak sangga (cm) y : defleksi yang terjadi akibat beban P b : lebar penampang (cm) h : tebal penampang (cm) FK : faktor koreksi kalibrasi alat Nilai MOE yang diperoleh dikelompokkan berdasarkan rentang tertentu dengan simbol E1, E2, dan E3. Nilai E1 > E2 > E3.

13 3.3.3 Penyusunan Lamina Penyusunan lamina berdasarkan nilai MOE yang diperoleh dari pemilahan menggunakan MPK Panter. Lamina dengan nilai MOE yang lebih tinggi diletakkan pada bagian luar balok laminasi yang akan dibuat. Sedangkan lamina dengan nilai MOE yang lebih rendah diletakkan pada bagian dalam balok laminasi. Balok laminasi yang akan dibuat dikelompokkan menjadi lima jenis yang terdiri dari balok laminasi sengon, manii, akasia, balok laminasi campuran akasia-sengon, dan akasia-manii. Balok laminasi tersebut disusun dengan enam lapis lamina dan terdiri dari empat ulangan. Balok laminasi campuran disusun berdasarkan berat jenis kayunya. Kayu dengan berat jenis tinggi diletakkan pada bagian luar balok lamina. 12 cm 300 cm 8 cm Gambar 1 Susunan balok laminasi 3.3.4 Perekatan Lamina Perekat yang digunakan adalah isosianat. Teknik pelaburan yang digunakan adalah single spread (perekat dilaburkan pada salah satu permukaan bidang rekat) dengan berat labur perekat 200 g/m².

14 3.3.5 Pengempaan Pengempaan dilakukan dengan cara menempatkan lamina yang telah diberi perekat pada plat kempa kemudian dilakukan penekanan dengan tekanan sebesar 8-14 kg/cm². Lamanya waktu pengempaan adalah satu jam pada suhu ruangan. 3.3.6 Pengkondisian Balok laminasi hasil pengempaan dingin ditempatkan di ruangan terbuka selama satu minggu. Penyerutan balok laminasi dilakukan untuk membersihkan perekat sisa yang dihasilkan dari proses pengempaan dan pemotongan sisi maupun pemotongan ujung balok laminasi untuk mendapatkan ukuran yang diinginkan. 3.4 Pengujian Balok Laminasi 3.4.1 Pengujian Sifat Fisis 3.4.1.1 Kadar Air Balok Laminasi Pengujian kadar air dilakukan menggunakan contoh uji yang dipotong sepanjang 5 cm dari salah satu ujung balok laminasi. Jumlah contoh uji yang digunakan sebanyak empat ulangan untuk setiap jenis balok laminasi. Potongan balok lamina tersebut ditimbang pada suhu kering udara untuk mengetahui berat awal kering udara (B1). Contoh uji kemudian dimasukkan ke dalam oven dengan suhu (103 + 2 C) selama 24 jam. Kemudian, contoh uji dikeluarkan dari oven dan diletakkan di dalam desikator kemudian ditimbang sampai berat konstan (B2). Besarnya kadar air dihitung dengan rumus: Keterangan B1 : berat contoh uji kering udara (gram) B2 : berat contoh uji kering tanur (gram)

15 3.4.1.2 Kerapatan Kayu Pengujian kerapatan dilakukan menggunakan contoh uji yang dipotong 5 cm dari ujung balok laminasi. Volume (V) potongan contoh uji tersebut diperoleh dari pengukuran dimensi panjang, lebar, dan tebalnya. Potongan contoh uji yang telah diukur dimensinya ditimbang untuk mendapatkan berat kering udara (B1). Besarnya kerapatan dihitung dengan rumus: Keterangan: B1 : berat contoh uji kering udara (gram) V : volume kering udara (cm³) 3.4.2 Pengujian Sifat Mekanis Balok Laminasi 3.4.2.1 Pengujian Keteguhan Lentur (Modulus of Elasticity, MOE) Contoh uji yang digunakan untuk pengujian keteguhan lentur adalah balok laminasi dengan ukuran panjang, lebar dan tebalnya secara berturut-turut 300 cm x 8 cm x 12 cm. Pengujian dilakukan menggunakan alat UTM (Universal Testing Machine) dengan dua titik beban. Pola pembebanan pengujian sesuai dengan standar JAS 2003 seperti pada Gambar 2. h S b l Gambar 2 Pola pembebanan pengujian MOE dan MOR Nilai MOE balok laminasi dihitung menggunakan rumus :

16 Keterangan P : perbedaan beban atas dan beban bawah (kg) l : jarak sangga (cm) s : jarak antara dua titik pembebanan (cm) y : defleksi yang terjadi akibat beban P (cm) b : lebar contoh uji (cm) h : tebal contoh uji (cm) 3.4.2.2 Pengujian Keteguhan Patah (Modulus of Rupture, MOR) Teknik pengujian yang dilakukan sama dengan teknik pengujian pada keteguhan lentur balok laminasi. Pengujian keteguhan lentur dilakukan untuk mengetahui ukuran kemampuan benda untuk menahan beban lentur maksimum sampai saat benda tersebut mengalami kerusakan. Nilai MOR dihitung dengan rumus: Keterangan Pb : beban maksimum pada saat kayu rusak (kg) l : jarak sangga (cm) s : jarak antara dua titik pembebanan (cm) b : lebar contoh uji (cm) h : tebal contoh uji (cm) 3.4.2.3 Pengujian Keteguhan Rekat Pengujian keteguhan rekat dilakukan dengan cara memberikan pembebanan yang dilakukan pada arah sejajar serat. Nilai beban maksimum dibaca ketika contoh uji mengalami kerusakan. Bentuk contoh uji yang digunakan untuk pengujian keteguhan rekat dapat dilihat pada Gambar 3.

17 0.5 cm 5 cm Garis rekat 5 cm Gambar 3 Bentuk contoh uji untuk keteguhan rekat 3.5 Analisis Data Sistem pengolahan data yang digunakan pada penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) faktorial, yang terdiri dari satu faktor yaitu jenis kayu dengan lima taraf perlakuan yaitu balok sengon, akasia, manii, campuran akasia-sengon, dan akasia-manii. Model rancangan percobaan statistik yang digunakan dalam penelitian adalah sebagai berikut: Y ij = μ + ρ i + ε ij Keterangan : : nilai respon dari unit percobaan terhadap jenis perlakuan balok laminasi μ ρ i i j : nilai tengah populasi sebenarnaya : pengaruh jenis kayu pada taraf ke-i : galat percobaan dari perlakuan ke-i pada pengamatan ke-j : jumlah perlakuan :1,2,3,4 (ulangan)

18 Pengolahan data dilakukan menggunakan windows microsoft excel 2007 dan program SPSS 16.0. Perlakuan yang dinyatakan berpengaruh terhadap respon dalam analisis sidik ragam kemudian diuji lanjut dengan menggunakan Duncan Multiple Range Test (DMRT)

19 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Sifat Fisis Sifat fisis balok laminasi pada dasarnya dipengaruhi oleh sifat fisis lamina pembentuknya. Sifat fisis yang dibahas pada penelitian ini adalah kadar air balok laminasi dan kerapatannya. 4.1.1 Kadar Air Menurut Tsoumis (1991), kadar air adalah berat air yang terdapat dalam kayu yang dinyatakan dalam persen terhadap berat kering tanurnya. Perubahan kayu terjadi karena kayu bersifat higrokopis. Kayu mampu menarik dan menyerap air dari udara dan mengembang ketika kelembaban relatif tinggi dan akan menyusut ketika kelembaban relatif rendah. Perubahan ukuran kayu menjadi permasalahan yang besar dalam proses pengerjaan kayu (Ken 2006). Sifat higroskopis pada kayu mempengaruhi jumlah kadar air yang dikandung oleh kayu. Kadar air balok laminasi dipengaruhi oleh kadar air lamina penyusunnya dan kondisi lingkungan. Air dalam kayu mempengaruhi kedalaman penetrasi perekat dan waktu pematangan perekat cair. Dalam penggabungannya, air yang banyak terdapat pada kayu akan menghambat ikatan dari cairan perekat. Pada umumnya, ikatan perekat yang baik terjadi pada tingkat kadar air 6-14% (Ruhendi et al. 2007). Bowyer et al. (2003) menyatakan bahwa kadar air untuk balok laminasi tidak melebihi 15%. Antara lamina yang saling bersebelahan perbedaan kadar air tidak melebihi 5%. Hal ini dilakukan agar distribusi kadar air merata sehingga menghindari tekanan akibat penyusutan dan pengembangan yang menyebabkan kerusakan pada sambungan. Moody et al. (1999) menyebutkan bahwa kebanyakan pabrik menggunakan lamina dengan kadar air 12% atau sedikit lebih rendah, hal ini dikarenakan kadar air pada kisaran ini mendekati kesetimbangan dan memudahkan proses penyambungan ujung. Perangin-angin (2000) menyatakan bahwa kadar air kesetimbangan untuk daerah Bogor 15% (dalam ruangan) dan 18 % (di luar ruangan).

20 Perbedaan kadar air pada lima jenis balok laminasi dapat dilihat dari histogram di bawah. Gambar 4 Histogram kadar air Dari Gambar (4) dapat dilihat bahwa kadar air pada lima jenis balok laminasi tidak berbeda jauh. Nilai kadar air balok laminasi sengon berkisar antara (9,89-10,30)% dengan rata-rata sebesar 9,83%, nilai kadar air balok laminasi manii berkisar antara (9,71-11,26)% dengan rata-rata sebesar 10,48%, nilai ratarata kadar air balok laminasi akasia berkisar antara (12,64-14,87)% dengan ratarata sebesar 13,57%, nilai kadar air balok laminasi campuran akasia-sengon berkisar antara (9,13-10,30)% dengan rata-rata sebesar 9,85%, dan nilai kadar air balok laminasi campuran akasia-manii berkisar antara (9,99-11,01)% dengan ratarata sebesar 10,47%. Nilai kadar air kelima jenis balok laminasi ini memenuhi standar JAS 234:2003 dimana nilai kadar air maksimum balok laminasi adalah 15%. Hasil pengujian analisis statistik pada taraf nyata 5% menunjukkan bahwa nilai uji kadar air dari kelima jenis balok laminasi berbeda nyata, hal tersebut menjelaskan bahwa variasi kombinasi lamina menghasilkan nilai kadar air yang berbeda dan uji lanjut Duncan dapat dilakukan. Uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa balok laminasi akasia berbeda nyata dengan empat jenis balok laminasi lainnya. Perbedaan ini terjadi karena kayu akasia tersusun oleh lamina yang memiliki kerapatan paling tinggi sehingga dinding selnya lebih tebal dan memiliki air terikat pada dinding sel yang lebih besar ( Sulistyawati dan Ruhendi 2008).

21 Semakin rendah kadar air di bawah titik jenuh serat kekuatan kayu akan semakin meningkat. Ken (2006) menyatakan ketika kayu mulai mengering kandungan air yang berada di rongga sel akan menguap, lama kelamaan akan habis sedangkan air terikat yang terdapat pada dinding sel akan jenuh dengan uap air. Kadar air pada kondisi ini disebut titik jenuh serat. Apabila pengeringan berlangsung pada kondisi di bawah titik jenuh serat kelembaban akan diambil dari dinding sel dan akan menyebabkan pengerutan, pengerasan dan pengkakuan pada serat. Akibatnya, kekerasan dan kekenyalan dinding sel akan naik diikuti dengan kenaikan kekuatan kayu (Agustin 2005). 4.1.2 Kerapatan Kayu Kerapatan kayu berhubungan langsung dengan kekuatannya. Dinding serat yang tebal dapat menghasilkan tegangan yang lebih besar sehingga kayu berkerapatan tinggi akan lebih kuat, lebih keras dan lebih kaku dibandingkan kayu berkerapatan rendah (Ruhendi et al. 2007). Berdasarkan hasil penimbangan berat dan pengukuran volume kering udara, diperoleh nilai kerapatan balok laminasi sengon berkisar antara (0,25-0,33) dengan rata-rata 0,29, nilai kerapatan balok laminasi manii berkisar antara (0,54-0,60) dengan rata-rata 0,57, nilai kerapatan balok laminasi akasia berkisar antara (0,56-0,60) dengan rata-rata 0,58, nilai kerapatan balok laminasi campuran akasiasengon berkisar antara (0,25-0,30) dengan rata-rata 0,29, dan nilai kerapatan balok laminasi akasia-manii berkisar antara (0,53-0,56) dengan rata-rata 0,55. Gambar 5 Histogram kerapatan balok laminasi

22 Hasil uji analisis statistik pada taraf nyata 5 % menunjukkan bahwa nilai pengujian kerapatan pada kelima jenis balok laminasi berbeda nyata, hal tersebut menjelaskan bahwa variasi kombinasi lamina menghasilkan nilai kerapatan yang berbeda dan uji Duncan dapat dilanjutkan. Berdasarkan uji lanjut Duncan, kerapatan balok laminasi sengon dan akasia-sengon tidak berbeda nyata tetapi berbeda nyata dengan balok laminasi manii, akasia dan campuran akasia-manii. Variasi nilai kerapatan kayu terjadi sebagai akibat dari adanya perbedaan ketebalan dinding serat. Kecenderungan serat yang memiliki dinding tebal dan lumen kecil memiliki kerapatan tinggi, sebaliknya serat yang memiliki dinding tipis dan lumen besar memiliki kerapatan yang rendah (Ruhendi et al. 2007). Kerapatan kayu berkaitan erat dengan berat jenisnya. Bowyer et al. (2003) mendefinisikan kerapatan sebagai perbandingan berat kayu dengan volumenya. Sedangkan berat jenis adalah perbandingan kerapatan benda dengan kerapatan air. Air pada temperature 4ºC atau 39,2ºF mempunyai kerapatan sebesar 1 gram/cm 3. Oleh karena itu air pada temperatur tersebut dijadikan sebagai benda standar. Kerapatan air akan berkurang bila temperaturnya dinaikkan, tetapi perubahannya sangat kecil, sehingga dapat diabaikan bila pengukuran dilakukan pada suhu kamar (Tsoumis 1991). Semakin tinggi kerapatan maka semakin tinggi pula berat jenisnya. Berdasarkan Gambar (5) dapat diketahui bahwa kerapatan balok laminasi akasia memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan balok laminasi lainnya. Hal ini terjadi karena lamina penyusunnya adalah kayu akasia yang memiliki berat jenis lebih tinggi dibandingkan kayu lainnya. Pandit (2008) menginformasikan bahwa berat jenis rata-rata kayu akasia adalah 0,69 dengan kisaran (0,69-0,84), kayu sengon memiliki berat jenis rata-rata 0,33 dengan kisaran (0,24-0,49). Menurut Agus (2009) kayu manii termasuk dalam kelas kuat III-IV dengan berat jenis kering udara 0,43 (0,34-0,46). 4.2 Sifat Mekanis Sifat mekanis kayu merupakan sifat yang berhubungan dengan ukuran kemampuan kayu untuk menahan gaya luar yang bekerja padanya. Sifat mekanis

23 yang diuji pada penelitian ini adalah keteguhan lentur (MOE), keteguhan patah (MOR), dan keteguhan rekat balok laminasi. 4.2.1 Keteguhan Lentur (Modulus of Elasticity, MOE) Keteguhan lentur biasa disimbolkan dengan MOE. Wangard (1950) dalam Rostina (2001) menerangkan bahwa dalam pengujian keteguhan lentur statis, suatu balok akan mengalami lenturan apabila ditengah-tengah antara kedua penyangga balok tersebut diberikan beban terpusat. Akibat adanya beban tersebut, serat kayu pada bagian atas akan mengalami tekan maksimum dan pada bagian bawah akan mengalami gaya tarik maksimum, sedangkan pada garis netral akan terjadi tegangan secara maksimum. Oleh sebab itu, Bodig dan Jayne (1982) menganjurkan sebaiknya kayu yang memiliki kekakuan bahan tinggi ditempatkan pada permukaan atas dan bawah balok laminasi, sedangkan kayu dengan kekakuan rendah ditempatkan mendekati bagian tengah balok laminasi. Dengan cara ini kekakuan balok laminasi akan meningkat. Hasil pengujian keteguhan lentur balok laminasi dengan sistem pembebanan two point loading menunjukkan nilai MOE lima jenis balok laminasi. Gambar 6 Histogram nilai MOE

24 Dari Gambar (6) dapat dilihat bahwa nilai rata-rata MOE balok laminasi sengon adalah 60364,04 kg/cm² dengan kisaran (49058,49-68191,61) kg/cm² nilai rata-rata MOE balok laminasi manii adalah 84956,59 kg/cm² dengan kisaran (72661,56-91122,13) kg/cm², nilai rata-rata MOE balok laminasi akasia adalah 100503,96 kg/cm² dengan kisaran (90673,86-111935,89) kg/cm², nilai rata-rata MOE balok laminasi campuran akasia-sengon adalah 75872,79 kg/cm² dengan kisaran (71586,98-76203,32) kg/cm², dan nilai rata-rata MOE balok laminasi campuran akasia-manii adalah 84458,45 kg/cm² dengan kisaran (72568.98-99770,18) kg/cm². Mengacu pada standar JAS 234:2003 nilai MOE minimum adalah sebesar 75.000 kg/cm 2, maka ada satu jenis balok laminasi yang tidak memenuhi standar yaitu balok laminasi sengon. Balok laminasi sengon memiliki nilai MOE yang tidak memenuhi standar JAS 234:2003 dikarenakan kayu sengon itu sendiri tergolong kedalam kayu yang memiliki kualitas rendah. Berdasarkan hasil pengujian kerapatan diketahui bahwa balok laminasi sengon memiliki nilai kerapatan yang lebih rendah dibandingkan dengan balok laminasi lainnya. Bowyer dan Haygren (1982) menyatakan bahwa keteguhan lentur dan keteguhan patah meningkat jika berat jenis kayu tinggi dan berat jenis itu sendiri berbanding lurus dengan kerapatan kayu. Hasil analisis statistik pada taraf nyata 5% menunjukan bahwa nilai MOE dari kelima jenis balok laminasi berbeda nyata, hal tersebut menjelaskan bahwa variasi kombinasi lamina memberikan pengaruh yang berbeda terhadap nilai MOE dan uji Duncan dapat dilanjutkan. Berdasarkan uji lanjut Duncan diketahui bahwa balok laminasi campuran akasia-sengon, akasia-manii, dan manii tidak berbeda nyata tetapi ketiga jenis balok laminasi tersebut berbeda nyata dengan balok laminasi sengon dan berbeda nyata pula dengan balok laminasi akasia. Nilai MOE rata-rata balok laminasi akasia memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan balok laminasi lainnya, hal ini dikarenakan sifat kelenturan balok laminasi tergantung pada mutu lamina penyusunnya. Semakin tinggi mutu lamina penyusunnya maka semakin tinggi pula kekuatan balok laminasi yang dihasilkan. Prinsip penyusunan balok laminasi untuk dua jenis kayu yang berbeda pada penelitian ini adalah dengan cara meletakkan lamina yang memiliki nilai

25 MOE lebih tinggi pada bagian luar balok laminasi dan meletakkan lamina dengan nilai MOE yang lebih rendah pada bagian dalamnya. Dari kegiatan tersebut dapat diketahui bahwa nilai MOE balok laminasi akasia 18,9% lebih tinggi dibandingkan balok laminasi campuran akasia-manii dan 32,46% lebih tinggi dari balok laminasi campuran akasia-sengon. Hal ini menunjukkan bahwa adanya penyusunan lamina dengan cara mengkombinasikan jenis kayu yang memiliki berat jenis tinggi dengan kayu yang memiliki berat jenis rendah dalam proses pembuatan balok laminasi dapat menurunkan kualitas kayu yang pada awalnya memiliki berat jenis tinggi. Namun, prinsip penyusunan tersebut dapat meningkatkan kualitas kayu dengan berat jenis rendah. Dari Gambar (6) dapat dilihat bahwa balok laminasi yang disusun dari campuran lamina akasia-sengon memiliki nilai MOE yang lebih tinggi dibandingkan balok laminasi sengon. Apabila dibandingkan dengan nilai MOE lamina penyusunnya, maka nilai MOE balok laminasi ini lebih besar daripada nilai terendah maupun nilai tertinggi lamina penyusunnya. Penyusunan lamina berdasarkan nilai MOE dapat meningkatkan efisiensi penggunaan kayu. Tabel 1. Perbandingan nilai MOE lamina dan balok laminasi Kode lamina MOE lamina (kg/cm² ) MOE balok laminasi (kg/cm²) S 4726,74-40815,43 49058,49-68191,61 M 6128,23-64649,44 72661,56-91122,128 A 2966,66-92616,00 90673,85-111935,89 AS 2971,22-49694,08 71586,98-76203,32 AM 5276,15-89308,29 72568,98-99770,18 Sebagai pembanding nilai MOE balok laminasi dari beberapa hasil penelitian lain dari balok laminasi ukuran pemakaian, nilai MOE balok laminasi kayu kelapa sebesar 11,34 x 10⁴-2,0 x 10⁴ kg/cm² (Rostina 2001), balok laminasi akasia dengan perekat lignin sebesar 8,4 x 10⁴ kg/cm² (Hadjib dan Abdurrachman 2006), balok laminasi akasia dengan perekat Water Based Polymer Isocyanate (WBPI) sebesar 8,41 x 10⁴-13,67 x 10⁴ kg/cm² (Herawati 2008). Perbedaan nilai MOE yang diperoleh dibandingkan hasil penelitian lain disebabkan oleh

26 perbedaan jenis kayu yang digunakan, jumlah lapisan penyusun, dan pola penyusunan lamina. 4.2.2 Keteguhan Patah (Modulus of Rupture, MOR) Apabila ada balok dengan beban tegak lurus sumbu memanjangnya dan balok ditumpu pada kedua ujungnya, balok tersebut akan mengalami tegangan dan akan mengalami perubahan bentuk. Tegangan yang muncul adalah tegangan normal dan tegangan geser. Tegangan normal ini biasanya disebut tegangan lentur (tarik atau tekan). Tegangan lentur maksimum biasa disimbolkan dengan MOR (Mardikanto et al. 2011). Dari hasil pengujian di laboratorium menggunakan contoh uji dalam ukuran pemakaian dengan dua beban diletakkan di tengah bentang diperoleh nilai rata-rata MOR balok laminasi sengon adalah 197 kg/cm dengan kisaran (164,93-193,16) kg/cm, nilai rata-rata MOR balok laminasi manii adalah 240,05 kg/cm dengan kisaran (210,52-322,76) kg/cm, nilai rata-rata MOR balok laminasi akasia adalah 253,26 kg/cm dengan kisaran (174,69-367,41) kg/cm, nilai ratarata MOR balok laminasi campuran akasia-sengon adalah 150,03 kg/cm dengan kisaran (121,92-187,19) kg/cm, nilai rata-rata MOR balok laminasi campuran akasia-manii adalah 204,51 kg/cm dengan kisaran (169,73-244,65) kg/cm. Mengacu pada standar JAS 234:2003, nilai MOR minimum adalah 300 kg/cm 2 sehingga kelima jenis balok laminasi tersebut tidak memenuhi standar untuk kayu konstruksi.

27 Gambar 7 Histogram nilai MOR Berdasarkan analisis statistik pada taraf nyata 5% menunjukan bahwa nilai MOR dari lima jenis balok laminasi tidak berbeda nyata dan uji lanjut Duncan tidak perlu dilakukan. Berdasarkan Gambar (7) dapat diketahui bahwa balok laminasi akasia mempunyai nilai MOR yang paling tinggi dibandingkan balok laminasi lainnya. Selanjutnya diikuti oleh balok laminasi manii, akasia-manii, sengon dan akasia-sengon. Pada umumnya jenis kayu yang memiliki kerapatan tinggi cenderung kekuatannya semakin meningkat karena kerapatan dan kekuatan patah suatu bahan berbanding lurus (Bowyer et al. 2003). Balok laminasi campuran akasia-sengon memiliki nilai MOR yang lebih rendah dibandingkan dengan balok laminasi sengon, padahal nilai MOE balok laminasi campuran akasia-sengon memiliki nilai MOE yang lebih besar. Hal ini terjadi karena MOR merupakan hasil perhitungan yang dipengaruhi oleh besarnya P max yang dihasilkan dari pengujian dan dimensi penampang balok laminasi. Dimensi yang dimaksud adalah lebar dan tinggi balok laminasi. Perbedaan dimensi penampang balok akan mempengaruhi nilai MOR yang dihasilkan. Kasus serupa terjadi pada penelitian Sulistyawati (2009) balok laminasi dengan ketebalan lamina 2 cm dan disusun oleh tiga lapis lamina ditemukan beberapa hasil pengujian balok laminasi yang memiliki nilai MOE lebih tinggi