V. HASIL DAN PEMBAHASAN

dokumen-dokumen yang mirip
HASIL SAMPING INDUSTRI GULA TEBU

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PG. TJOEKIR PENERAPAN INDUSTRI HIJAU BY: EDWIN RISANANTO SURABAYA, 16 FEBRUARI 2017

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Penyaringan nira kental pada proses pengkristalan berfungsi untuk

III. METODOLOGI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Latar Belakang Pendirian Pabrik Sejarah Perkembangan Pabrik

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. memiliki gugus hemiasetal. Oleh karena itu sukrosa di dalam air tidak berada

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

AUDIT KINERJA PROSES PENGOLAHAN PADA PABRIK GULA

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. pemurnian nira yang ternyata masih mengandung zat zat bukan gula dari proses

LIFE CYCLE ASSESSMENT OF SUGAR AT CANE SUGAR INDUSTRY

IV. KEADAAN UMUM PERUSAHAAN

BAB I PENDAHULUAN. bumi ini yang tidak membutuhkan air. Hasil penelitian menunjukkan bahwa

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Tebu (Saccarum officinarum L) termasuk famili rumput-rumputan. Tanaman

Lampiran 1 Daftar Wawancara

LAPORAN KERJA PRAKTEK PT PG CANDI BARU SIDOARJO. Diajukan oleh : Elizabeth Silvia Veronika NRP: Lovitna Novia Puspitasari NRP:

Tebu dari kebun dikirim ke pabrik menggunakan beberapa model angkutan : trailer (tebu urai), truk

BAB I. Indonesia tidak dapat terus menerus mengandalkan diri dari pada tenaga kerja

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman tebu, jika digiling akan menghasilkan air dan ampas dari tebu,

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

- Menghantar/memindahkan zat dan ampas - Memisahkan/mengambil zatdengan dicampur untuk mendapatkan pemisahan (reaksi kimia)

01 PABRIK GULA PG. KEBON AGUNG MALANG JAWA TIMUR

LAMPIRAN. Universitas Sumatera Utara

Pabrik Gula dari Nira Siwalan dengan Proses Fosfatasi-Flotasi

LAPORAN HASIL PENELITIAN PEMBUATAN BRIKET ARANG DARI LIMBAH BLOTONG PABRIK GULA DENGAN PROSES KARBONISASI SKRIPSI

3 METODOLOGI PENELITIAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tebu ( Saccharum officinarum L.) merupakan tanaman penting sebagai penghasil

BAB II LANDASAN TEORI

PRINSIP KONSERVASI ENERGI PADA PROSES PRODUKSI. Ir. Parlindungan Marpaung HIMPUNAN AHLI KONSERVASI ENERGI

PEMBUATAN GULA MERAH DENGAN BAHAN DASAR TEBU (SACCHARUM OFFICIANARUM)

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tapioka merupakan salah satu bentuk olahan berbahan baku singkong, Tepung

Pabrik Gula (PG) Kebon Agung merupakan salah satu perusahaan. keteknikan pertanian di Indonesia yang mengolah tebu menjadi gula. PG.

Analisis Produksi Emisi CO 2 Pada Industri Gula Di PT. Perkebunan Nusantara X (Persero) Tbk. (Studi Kasus Di Pabrik Gula Lestari)

PRODUKSI GULA CAIR DARI PATI SAGU SULAWESI TENGGARA

PENELITIAN EKSTRAKSI HEMAT AIR SEBAGAI UPAYA PENEKANAN SUMBER DAYA ALAM DENGAN MEMODIFIKASI SISTEM IMBIBISI DI UNIT GILINGAN PABRIK GULA

RATIH VOL.1 Edisi 1 ISSN

II. TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN

Perencanaan Sistem Pengolahan Air Limbah Domestik di Kecamatan Sidoarjo, Kabupaten Sidoarjo

I. Pendahuluan. A. Latar Belakang. B. Rumusan Masalah. C. Tujuan

3 KARAKTERISTIK LOKASI DAN PERALATAN YANG DIGUNAKAN UNTUK PENELITIAN

Efisiensi PLTU batubara

II. DESKRIPSI PROSES

PERENCANAAN UNIT SENTRIFUGASI, PENGEMASAN DAN PENGGUDANGAN PABRIK GULA TEBU SHS 1A DENGAN KAPASITAS PRODUKSI 2000 KUINTAL PER HARI

I. PENDAHULUAN. Industri sawit merupakan salah satu agroindustri sangat potensial di Indonesia

BAB II LANDASAN TEORI. panas. Karena panas yang diperlukan untuk membuat uap air ini didapat dari hasil

BAB I PENDAHULUAN. Kabupaten Langkat Sumatera Utara. Pabrik tersebut terletak di Jalan Binjai-Stabat. KM 32 dan beranjak ± 4000 m dari jalan utama.

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang.

BAB PENGOLAHAN AIR LIMBAH INDUSTRI TEPUNG BERAS

BAB II PABRIK GULA KWALA MADU (PGKM) SEBELUM TAHUN 1984

BAB II GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN Sejarah Perusahaan PT. Perkebunan Nusantara II Pabrik Gula

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Tidak dapat dipungkiri bahwa minyak bumi merupakan salah satu. sumber energi utama di muka bumi salah. Konsumsi masyarakat akan

INDUSTRI PENGOLAHAN GULA PT. PABRIK GULA CANDI BARU SIDOARJO LAPORAN PRAKTEK KERJA INDUSTRI PENGOLAHAN PANGAN

Peneliti : Budi Santoso Fakultas Teknik Industri Univesitas Gunadarma PROSES PEMBUATAN GULA DARI TEBU PADA PG X

BAB I PENDAHULUAN. hidup. Namun disamping itu, industri yang ada tidak hanya menghasilkan

BAB I PENDAHULUAN. Gula pasir merupakan kebutuhan pokok strategis yang memegang peran

BAB I PENDAHULUAN. limbah organik dengan proses anaerobic digestion. Proses anaerobic digestion

BAB III PROSES PEMBAKARAN

PENGOLAHAN AIR SUNGAI UNTUK BOILER

BAB II LANDASAN TEORI

Gambar. Diagram tahapan pengolahan kakao

PEMBUATAN KOMPOS DARI LIMBAH PADAT ORGANIK YANG TIDAK TERPAKAI ( LIMBAH SAYURAN KANGKUNG, KOL, DAN KULIT PISANG )

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penggunaan minyak bumi terus-menerus sebagai bahan bakar dalam dunia

PENGOLAHAN BATU BARA MENJADI TENAGA LISTIRK

PEMBUATAN TEPUNG JAGUNG

BAB I PENDAHULUAN. berbagai macam kegiatan seperti mandi, mencuci, dan minum. Tingkat. dimana saja karena bersih, praktis, dan aman.

BAB 1 PENDAHULUAN. sebagai salah satu cara untuk memantau kinerja produksinya. Pengukuran

HASIL DAN PEMBAHASAN

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Thermodinamika Teknik Mesin

PEMISAHAN CAMPURAN proses pemisahan

BAB I PENDAHULUAN. Banyaknya jumlah kendaraan bermotor merupakan konsumsi terbesar pemakaian

ANALISA PEMAKAIAN BAHAN BAKAR DENGAN MELAKUKAN PENGUJIAN NILAI KALOR TERHADAP PERFOMANSI KETEL UAP TIPE PIPA AIR DENGAN KAPASITAS UAP 60 TON/JAM

PRINSIP DASAR KRISTALISASI

TEKNOLOGI TEPAT GUNA PENGOLAHAN SAMPAH ANORGANIK

BIOGAS DARI KOTORAN SAPI

Untuk Daerah Tertinggal

Gbr. 2.1 Pusat Listrik Tenaga Gas dan Uap (PLTGU)

TEKNOLOGI BERSIH PABRIK GULA KEBON AGUNG MALANG

MINYAK KELAPA. Minyak diambil dari daging buah kelapa dengan salah satu cara berikut, yaitu: 1) Cara basah 2) Cara pres 3) Cara ekstraksi pelarut

Prarancangan Pabrik Gipsum dengan Proses Desulfurisasi Gas Buang PLTU dengan Kapasitas Ton/Tahun BAB I PENDAHULUAN

OPTIMALISASI EFISIENSI TERMIS BOILER MENGGUNAKAN SERABUT DAN CANGKANG SAWIT SEBAGAI BAHAN BAKAR

PERENCANAAN KETEL UAP PIPA API DENGAN KAPASITAS UAP HASIL 4500 Kg/JAM TEKANAN KERJA 9 kg/cm 2 BAHAN BAKAR AMPAS TEBU

PEMBUATAN BIOBRIKET DARI LIMBAH FLY ASH PABRIK GULA DENGAN PEREKAT LUMPUR LAPINDO

Nama : Nur Arifin NPM : Jurusan : Teknik Mesin Fakultas : Teknologi Industri Pembimbing : DR. C. Prapti Mahandari, ST.

BAB I PENDAHULUAN. perusahaan untuk menghasilkan suatu barang. Pentingnya masalah

KIMIA TERAPAN (APPLIED CHEMISTRY) (PENDAHULUAN DAN PENGENALAN) Purwanti Widhy H, M.Pd Putri Anjarsari, S.Si.,M.Pd

BAB II LANDASAN TEORI. dari tempurung dan serabut (NOS= Non Oil Solid).

BAB II. Prinsip Kerja Mesin Pendingin

PEMANFAATAN LIMBAH KAYU (BIOMASSA) UNTUK PEMBANGKIT LISTRIK. PT. Harjohn Timber. Penerima Penghargaan Energi Pratama Tahun 2011 S A R I

INOVASI PEMANFAATAN BRINE UNTUK PENGERINGAN HASIL PERTANIAN. PT Pertamina Geothermal Energi Area Lahendong

II. TINJAUAN PUSTAKA. Hujan merupakan unsur iklim yang paling penting di Indonesia karena

BAB III DASAR TEORI SISTEM PLTU

Recovery Logam Ag Menggunakan Resin Penukar Ion

GREEN INCINERATOR Pemusnah Sampah Kota, Industri, Medikal dsbnya Cepat, Murah, Mudah, Bersahabat, Bermanfaat

ENERGI BIOMASSA, BIOGAS & BIOFUEL. Hasbullah, S.Pd, M.T.

BAB II LANDASAN TEORI

Seminar Nasional IENACO 2015 ISSN: PENERAPAN GREEN PRODUCTIVITY UNTUK PENINGKATAN PRODUKTIVITAS DAN KINERJA LINGKUNGAN DI PABRIK GULA SRAGI

VII. FAKTOR-FAKTOR DOMINAN BERPENGARUH TERHADAP MUTU

Prinsip kerja PLTG dapat dijelaskan melalui gambar dibawah ini : Gambar 1.1. Skema PLTG

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Transkripsi:

V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. IDENTIFIKASI SIKLUS HIDUP GULA Siklus hidup gula terjadi pada proses produksi gula di pabrik, yaitu mulai dari tebu digiling hingga menjadi produk gula yang siap untuk dipasarkan. Dalam siklus hidup gula melibatkan komponen-komponen yang mempengaruhi proses terbentuknya gula. Dalam penelitian ini dilakukan analisis terhadap penggunaan bahan tambahan dan energi secara kuantitatif dengan membandingkan antara target RKAP (Rencana Kegiatan dan Anggaran Perusahaan) dengan realisasi pada musim giling tahun 2011 di PG Subang. Boiler Gambar 6. Siklus hidup gula di PG Subang Pada Gambar 6 menunjukkan bahwa pada proses produksi gula di PG Subang menghasilkan limbah maupun produk samping. Limbah yang dihasilkan berdasarkan siklus hidup gula di PG Subang berupa limbah padat, limbah cair, dan limbah udara, namun limbah tersebut dapat dimanfaatkan kembali. Untuk limbah padat, ampas tebu digunakan untuk bahan bakar boiler yang akan menghasilkan gas CO 2 yang kemudian akan diserap kembali oleh tanaman tebu, sedangkan blotong dimanfaatkan sebagai pupuk organik untuk tanaman tebu. Limbah cair yang dihasilkan dari proses produksi gula dapat berupa uap air hasil proses penguapan, dimana uap air tersebut akan digunakan kembali sebagai air umpan untuk boiler, serta limbah cair lainnya yang berasal dari limbah proses produksi akan diolah di IPAL sehingga dapat dimanfaatkan untuk pengairan tebu. Untuk produk samping seperti molasses dimanfaatkan untuk spirtus dan pembuatan monosodium glutamate (MSG). Bahan baku utama yang digunakan PG Subang dalam menghasilkan gula berasal dari tanaman tebu. Bagian tanaman (on farm) adalah tempat dibentuknya gula baik secara kualitas maupun secara kuantitas. Penggunaan bahan baku dan tambahan pada kegiatan budi daya tebu sangat berpengaruh terhadap rendemen dan produktivitas tebu yang dihasilkan. Pada prinsipnya untuk meningkatkan rendemen dan produktivitas tebu dapat dilaksanakan melalui penataan varietas, penyediaan bibit yang sehat dan murni, optimalisasi waktu tanam, pengaturan kebutuhan air, pemupukan berimbang, pengendalian hama, penentuan awal giling yang tepat, penentuan kebun tebu yang ditebang dengan 25

menggunakan analisa kemasakan, penebangan tebu secara bersih, dan pengangkutan tebu secara cepat. Pelaksanaan pengangkutan tebu yang telah ditebang harus sesegera mungkin karena jika tebu yang telah ditebang dibiarkan di lahan bahkan sampai menginap maka akan terjadi penurunan rendemen yang pada akhirnya dapat mengakibatkan kerugian bagi perusahaan. Perbandingan antara data RKAP (Rencana Kegiatan dan Anggaran Perusahaan) dengan realisasi musim giling tahun 2011 bagian tanaman dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Data perbandingan RKAP dan realisasi pada tahun 2011 bagian tanaman Uraian Satuan RKAP Realisasi Persentase (%) Luas Areal ha 5.401 5.016,47 92,88 Jumlah tebu yang dihasilkan ku 4.248.400 3.460.183,2 81,45 Produktivitas tebu ku/ha 787 690 87,67 Produk SHS ku 292.752,6 229.905 79,23 Rendemen % 6,87 6,69 97,38 Sumber : PG Subang (2011) Pada Tabel 5 menunjukkan bahwa terjadi penurunan produktivitas tebu yang mengakibatkan penurunan persentase rendemen. Luas areal lahan yang rencananya akan ditebang seluas 5.401 ha, pada realisasinya hanya seluas 5.016,47 ha yang ditebang, atau sekitar 92,88 % dari target perencanaan. Selain itu rendemen juga mengalami penurunan dari perencanaan awal, yaitu dari 6,87 % menjadi 6,69 %, atau sekitar 97,38 % dari target. Dilihat dari segi kegiatan budi daya tebu, hal ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya teknik budi daya yang kurang optimal sehingga mempengaruhi kualitas tebu yang dihasilkan sehingga tebu tidak layak untuk ditebang, mutu bibit bukan termasuk varietas unggul sehingga mempengaruhi kandungan gula yang terdapat pada tebu, selain itu manajemen tebang angkut yang kurang optimal. Waktu penebangan tebu yang tepat adalah saat pol tebu optimal yang dilakukan pada analisa pendahuluan, setelah diketahui pol tebu yang optimal, sesegera mungkin tebu ditebang dan diangkut ke pabrik gula untuk digiling. Namun pada kenyataannya tebu masih terlalu lama ditimbun di kebun maupun di cane yard sehingga mengakibatkan kadar gula dalam tebu menurun karena proses respirasi berjalan terus atau terjadi penguraian sukrosa, jika tebu sudah tiba di cane yard sebaiknya langsung digiling pada hari yang sama atau tidak boleh lebih dari 24 jam dari waktu kedatangan tebu, karena kadar gula dalam tebu akan menurun jika lebih dari 24 jam dan kemungkinan tebu sudah mulai rusak sehingga lebih sukar untuk diolah menjadi gula. PG Subang memiliki kebun tebu yang tersebar di beberapa daerah, masing-masing daerah dikelompokkan berdasarkan rayon dan radius (jarak antara kebun tebu dengan pabrik gula). Radius dari PG Subang terdapat delapan radius, yaitu: radius 1 (1-5 km), radius 2 (6-10 km), radius 3 (11-14 km), radius 4 (15-20 km), radius 5 (21-40 km), radius 6 (41-50), radius 7 (51-60 km), dan radius 8 (61-70 km). Produktivitas masing-masing radius berbeda, hal ini dapat dipengaruhi oleh kondisi tanah, iklim, dan teknik budi daya yang dilakukan. 26

Gambar 7. Produktivitas tebu rata-rata pada tiap radius tahun 2011 Pada Gambar 7 menunjukkan bahwa tiap radius menghasilkan produktivitas yang berbeda. Berdasarkan standar deviasi yang diperoleh, menujukkan bahwa radius 1, 2, 3, 4, 5, 6, dan 8 produktivitasnya tidak berbeda nyata, sedangkan pada radius 7 jika dibandingkan dengan radius lainnya, produktivitas tebu tidak berbeda nyata. Pada radius 7 hanya satu wilayah yang dijadikan kebun tebu, hal ini dapat disebabkan pengaruh kondisi tanah dan iklim yang kurang cocok untuk ditanami tebu, selain itu dapat disebabkan karena kurangnya lahan untuk ditanami tebu. Gambar 8. Rendemen gula rata-rata pada tiap bulan dalam masa giling (DMG) tahun 2011 Pada Gambar 8 menunjukkan bahwa rendemen gula rata-rata pada bulan Mei dan Juni dibandingkan dengan bulan Juli berbeda nyata, namun tidak berbeda nyata dengan rendemen gula rata-rata di bulan Agustus, September, dan Oktober. Rendemen gula rata-rata pada bulan Juli dibandingkan dengan Agustus, September, dan Oktober tidak berbeda nyata. Berdasarkan Gambar 8 dapat dilihat bahwa pada bulan Mei dan Juni rendemen gula yang dihasilkan masih rendah, namun pada bulan Juli terjadi peningkatan rendemen gula. Pada bulan Juli menunjukkan kinerja produksi gula terjadi peningkatan, banyaknya gula yang dihasilkan diimbangi dengan banyaknya tebu yang digiling sehingga mempengaruhi besarnya rendemen yang dihasilkan. Dilihat dari segi proses produksi gula di pabrik, penurunan rendemen yang terjadi dipengaruhi oleh inefisiensi kinerja dalam produksi gula di pabrik. Proses produksi gula di pabrik melalui beberapa tahapan proses diantaranya proses ekstraksi, pemurnian, penguapan, kristalisasi, putaran, pengeringan, dan penyelesaian. Dalam tiap tahapan proses tersebut masih banyak terjadi inefisiensi, hal ini dapat disebabkan karena kinerja mesin yang kurang optimal, serta sanitasi di sekitar area 27

stasiun yang kurang baik karena adanya mikroorganisme yang dapat mempengaruhi kualitas dan kuantitas nira. Dengan terjadinya inefisiensi tersebut, mengakibatkan gula yang dihasilkan menjadi lebih sedikit dari target yang sudah direncanakan di awal, sehingga rendemen yang dihasilkan menjadi lebih kecil. Siklus hidup gula di PG Subang dapat dilihat dari tebu digiling hingga menjadi produk gula yang siap untuk dipasarkan. Dalam siklus hidup tersebut, tebu hasil dari pemanenan dibawa ke pabrik untuk digiling dan diambil niranya. Nira yang terdapat dalam tebu mengandung sukrosa yang nantinya diproses menjadi gula. Setelah diperoleh nira kemudian dilakukan pemurnian agar menjadi nira jernih dan terbebas dari kotoran maupun zat bukan gula lainnya dengan penambahan bahan kimia, yaitu: belerang, kapur tohor, dan flokulan. Selanjutnya nira jernih diuapkan dan menghasilkan nira yang lebih pekat dan kental. Nira kental kemudian dilanjutkan dengan proses kristalisasi, pada intinya proses ini bertujuan untuk membentuk nira kental menjadi krital gula dengan menggunakan evaporator agar air yang terkandung dalam nira diuapkan dan alat pan masakan dalam kondisi vakum. Setelah menjadi kristal gula dilanjutkan dengan proses putaran untuk memisahkan larutan gula yang masih terdapat pada kristal gula, kemudian dilanjutkan dengan pengeringan, pengemasan, dan penyimpanan di gudang gula. Gula yang dihasilkan oleh PG Subang adalah GKP (Gula Kristal Putih) atau SHS (Super High Sugar) 1A yang dikemas dalam kemasan 50 kg dan 1 kg. Gula tersebut kemudian dipasarkan dan dikonsumsi oleh masyarakat. Siklus hidup gula berhenti hingga gula dikonsumsi oleh masyarakat, sehingga tidak ada perlakuan reuse, recycle, maupun recovery dari gula yang sudah dihasilkan. B. INVENTARISASI BAHAN TAMBAHAN DAN ENERGI Analisis inventori merupakan bagian dari komponen LCA yang meliputi input dan output bahan baku, energi, limbah dan produk samping yang dihasilkan selama siklus daur hidup produk. Pengumpulan data dilakukan secara kuantitatif yang diperoleh dari PG Subang berdasarkan pengamatan dan perhitungan yang telah dilakukan. Data yang dimasukkan ke dalam data inventori ini berisi data mengenai proses produksi gula di pabrik. Industri gula memiliki parameter atau indikator efisiensi proses produksi terutama di bagian pabrikasi atau proses pengolahan tebu di pabrik. Indikator efisiensi tersebut antara lain mill extraction (ME), boiling house recovery (BHR), overall recovery (OR), pol tebu dan rendemen, yang dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Indikator efisiensi pabrik gula di Indonesia tahun 2002-2004 Komponen Efisiensi pabrik gula (%) Efisiensi normal (%) ME (Mill Extraction) 84-85 95 BHR (Boiling House Recovery) 70-80 90 OR (Overall Recovery) 59-79 85 Pol tebu 8-11 14 Rendemen 5 8,5 12 Sumber : P3GI (2001) 28

1. Penggunaan Bahan Tambahan pada Proses Produksi Gula Proses produksi gula di PG Subang dilakukan pada beberapa stasiun, yaitu stasiun gilingan, stasiun pemurnian, stasiun penguapan, dan stasiun kristalisasi. Kinerja pabrik gula dapat dilihat dari persentase rendemen yang dihasilkan. Data perolehan rendemen di PG Subang pada lima periode terakhir (2007-2011) dapat dilihat pada Tabel 7. Uraian Tabel 7. Data rendemen gula di PG Subang tahun 2007 2011 Satuan Tahun 2007 2008 2009 2010 2011 Tebu digiling ton 298.027,63 311.849,66 296.552,03 343.725,17 343.646,88 Gula SHS ton 22.933,7 26.083,3 19.833,8 19.592,3 22.990,50 Rendemen % 7,70 8,36 6,69 5,70 6,69 Sumber : PG Subang (2011) Berdasarkan Tabel 7 di atas, diketahui bahwa pada musim giling tahun 2008 rendemen yang dihasilkan sangat tinggi yaitu 8,36 %, sedangkan rendemen terendah yaitu 5,70 % pada musim giling tahun 2010. Hal ini dapat dipengaruhi oleh banyaknya tebu giling, dimana hal ini berkaitan dengan sistem budi daya dan pemanenan tebu, selain itu dipengaruhi dari gula SHS yang dihasilkan dimana produksi gula SHS tersebut dipengaruhi oleh kinerja pada bagian pabrikasi di tiap stasiun pengolahan. Oleh karena itu, untuk mencapai rendemen yang tinggi perlu dilakukan optimalisasi pada proses produksi gula. Namun berdasarkan Tabel 7, menunjukkan terjadinya peningkatan kinerja produksi pada tahun 2011 dibandingkan dengan tahun sebelumnya yaitu 2010, hal ini dapat dilihat berdasarkan jumlah tebu yang digiling terjadi penurunan dari tahun 2010, namun jumlah gula SHS yang diperoleh lebih besar sehingga rendemen menjadi meningkat dari 5,70 % menjadi 6,69 %. Dengan perbandingan data tersebut menunjukkan bahwa rendemen yang dihasilkan selain dipengaruhi oleh kegiatan budi daya tanaman tebu yang menghasilkan tebu untuk digiling, juga dipengaruhi oleh kinerja proses pengolahan tebu di pabrik dalam menghasilkan gula SHS. Berikut ini akan dibahas mengenai tiap stasiun dalam pabrik yang ada di PG Subang. Neraca bahan secara umum pada proses produksi gula di PG Subang dapat dilihat pada Lampiran 7. a. Stasiun gilingan Tebu yang sudah dicacah dengan menggunakan cane cutter dan unigrator menghasilkan sabut tebu yang akan diperah menggunakan mesin penggiling di stasiun gilingan. Hasil perahan sabut tebu akan menghasilkan nira dan sisanya adalah ampas. Dalam stasiun gilingan ditambahkan air imbibisi yang berfungsi agar proses ekstraksi nira dari tebu berlangsung secara optimal sehingga dapat mengekstrak gula dari tebu sebanyak-banyaknya. Neraca bahan yang terdapat di stasiun gilingan dapat dilihat pada Tabel 8. Kinerja gilingan sangat mempengaruhi output yang dihasilkan proses penggilingan. Kendala yang sering terjadi di stasiun gilingan adalah mesin tidak beroperasi dikarenakan rusak sehingga mengakibatkan tebu mengalami penundaan penggilingan. Selain itu, dalam proses penggilingan seringkali nira mentah yang dihasilkan tercecer sehingga mengakibatkan loss. Produk samping yang dihasilkan dari proses penggilingan adalah ampas tebu (bagasse). Jumlah ampas tebu yang dihasilkan 29

pada musim giling tahun 2011 di PG Subang sebesar 31,81 % dari jumlah tebu yang digiling. Ampas tebu dimanfaatkan sebagai bahan bakar ketel uap (boiler). Tabel 8. Neraca bahan di stasiun gilingan tahun 2011 Data Satuan Input Output Tebu digiling ton 343.646,88 Air imbibisi ton 85.362,30 Ampas ton 109.303,6 Nira mentah ton 316.215,33 Loss ton 3.490,25 Loss % 1,01 Sumber : PG Subang (2011) Berdasarkan Tabel 8, menunjukkan terjadinya loss sebesar 1,01 %, hal ini dipengaruhi oleh kinerja gilingan. Kinerja di stasiun gilingan dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya: mutu tebu, alat kerja pendahuluan, setelan gilingan, tekanan hidrolik, putaran rol gilingan, air imbibisi, umpan tebu saat masuk gilingan, dan operator. Mutu tebu yang layak giling adalah pol tebu > 10%, HK (Hasil bagi Kemurnian) nira mentah 74-84 %, kotoran tebu max 5%, dan kadar sabut 13-16 %. Alat kerja pendahuluan seperti cane cutter dan unigrator mempengaruhi kinerja gilingan yang diukur berdasarkan nilai Preparation Index (PI) dengan ketentuan nilai PI untuk cane cutter 65-70 %, unigrator 80-85 %, dan hammer 86-95 %, semakin tinggi PI maka sel yang terbuka semakin banyak dan akan diperoleh ekstraksi yang optimal. Setelan gilingan sangat mempengaruhi hasil ekstraksi. Penyetelan gilingan bertujuan untuk mengatur kedudukan rol-rol dan ampas sehingga pemadatan sabut optimal dan memberikan jalan untuk keluarnya nira yang telah terperah. Setelan gilingan yang memadai akan menghasilkan pemerahan yang optimal. Faktor yang mempengaruhi setelan gilingan diantaranya kapasitas giling, sabut % tebu, ukuran rol, jumlah rol, dan putaran rol (Subekti 2010). Tekanan hidrolik akan berpengaruh pada proses ekstraksi, dimana semakin besar tekanan maka semakin besar ektraksi. Namun besarnya tekanan hidrolik harus diperhitungkan dengan pemakaian dan kekuatan peralatan. Putaran rol gilingan dibuat sekecil mungkin agar memberi kesempatan pada nira melepaskan diri dari rol, sehingga pada waktu ampas masuk, rol sudah kering dan melepaskan nira dari rol dengan arah yang berlawanan dengan putarannya. Jika putarannya terlalu cepat, nira tidak ada kesempatan melepaskan diri dari rol, rol menjadi basah dan nira terhisap kembali oleh ampas. Jumlah imbibisi akan berpengaruh terhadap ekstraksi gilingan. Makin besar jumlah air imbibisi, ekstraksi makin meningkat. Menurut Hugot (1960), dengan penambahan imbibisi di PG Subang sebesar 24,84 %, maka ekstraksi yang dihasilkan sekitar 94,25 %. Umpan tebu yang masuk ke stasiun gilingan harus sesuai dengan bukaan kerja pada mesin gilingan serta harus kontinu sehingga dapat menghasilkan ekstraksi yang optimal. Selain itu, di stasiun gilingan juga dipengaruhi oleh operator yang menjadi kunci keberhasilan dalam ekstraksi gilingan. Operator harus mengikuti dan melaksanakan standar operasional yang telah ditetapkan sebelumnya (Subekti 2010). 30

Tabel 9. Kinerja di stasiun gilingan Parameter Satuan Tolok Ukur Realisasi Pol tebu % > 10 9,1 HK nira mentah % 74 84 73,2 Kotoran tebu % Maks 5 30 Sumber : Subekti (2010) Berdasarkan Tabel 9, % pol tebu yang diperoleh PG Subang hanya sekitar 9,1 %, sedangkan berdasarkan tolok ukur dalam penentuan tebu yang layak giling, % pol tebu sebaiknya > 10 %. Hal ini menunjukkan banyaknya kandungan gula dalam tebu masih sedikit dan kurang layak untuk digiling, sehingga akan berdampak terhadap perolehan gula yang dihasilkan dan rendemen akan semakin kecil. Selain itu, untuk Hasil bagi Kemurnian (HK) nira mentah juga tidak memenuhi standar yaitu berkisar 74-84 %, sedangkan untuk realisasinya di PG Subang hanya 73,2 %. Kotoran tebu juga mempengaruhi kualitas dari tebu yang akan digiling, berdasarkan tolok ukur untuk tebu yang layak giling, besarnya kotoran tebu maksimal 5 % (0,05), sedangkan banyaknya kotoran pada tebu berdasarkan realisasi di PG Subang sebanyak 0,3 hal ini menunjukkan tebu yang akan digiling kurang bersih karena masih banyak mengandung kotoran di dalamnya. Semakin tinggi kotoran dalam tebu, maka semakin rendah kualitas nira yang akan dihasilkan, selain itu mesin dalam pengolahan tebu akan membutuhkan lebih banyak energi untuk memisahkan zat bukan gula dengan zat gula karena banyaknya zat bukan gula yang masih terkandung dalam nira. Tabel 10. Angka pengawasan di stasiun gilingan Parameter Satuan Tolok ukur Realisasi HPB1 % > 60 57,61 HPBtotal % > 90 85,34 HPG % > 92 86,81 PSHK % 96 98 95,71 KNT % > 80 77,84 Faktor campur % 50 61,43 Dilution factor 0,95 1,05 1,27 Sumber : Subekti (2010) Dalam proses ekstraksi tebu terdapat beberapa istilah dalam pengawasan gilingan (Tabel 10) dalam mengevaluasi kinerja di stasiun gilingan, yaitu HPB 1, HPB total, HPG, PSHK, KNT, faktor campur, dan dilution factor. Perhitungan untuk pengawasan gilingan dapat dilihat pada Lampiran 5. Hasil pemerahan Brix Gilingan 1 (HPB 1 ) menyatakan banyaknya brix nira yang terperah (terekstrak) di gilingan 1 per 100 brix tebu giling dengan angka standar HPB 1 > 60 %. Berdasarkan perhitungan data PG Subang diperoleh HPB 1 sebesar 57,61 %, hal ini menunjukkan hasil perahan brix nira pada gilingan 1 belum optimal karena tidak mencapai angka standar. HPB total adalah banyaknya brix nira mentah yang terekstrak tiap 100 brix dalam tebu giling dengan angka standar HPB total > 90 %. HPB total di PG Subang sebesar 85,34 %, hal ini menunjukkan target tidak tercapai karena pengaruh dari brix nira yang dihasilkan dari tiap gilingan. Brix nira menunjukkan banyaknya zat terlarut pada nira, yang terdiri dari zat gula dan bukan gula. Semakin tinggi HPB menunjukkan semakin banyak zat 31

terlarut pada nira yang diperoleh dari proses penggilingan, tidak tercapainya brix nira yang diperoleh dapat dipengaruhi oleh kinerja pada proses gilingan yang kurang optimal, seperti: kinerja mesin, mutu tebu, sabut % tebu, dan lain-lain. Hasil Pemerahan Gula (HPG) menyatakan banyaknya pol nira mentah yang terekstrak tiap 100 pol dalam tebu giling, dengan angka standar HPG > 92 %. Berdasarkan perhitungan yang dilakukan pada Lampiran 5, HPG yang diperoleh sebesar 86,81 %, hal ini menunjukkan banyaknya pol atau zat gula yang terekstrak lebih sedikit. Pol atau zat gula yang tidak terekstrak kemungkinan ikut terbawa dalam ampas tebu, pol ampas yang dihasilkan di PG Subang sebesar 2,66 %, sedangkan berdasarkan aturan standar pol ampas adalah 2 %. Semakin tinggi pol ampas menunjukkan semakin banyak zat gula yang terkandung dalam ampas, hal ini merupakan salah satu penyebab terjadinya losses atau zat gula yang hilang pada proses gilingan. Perbandingan Selaras Hasil bagi Kemurnian (PSHK) menyatakan perbandingan adanya penurunan HK nira perahan pertama terhadap HK nira mentah dengan range standar untuk nilai PSHK adalah 96-98 %. PSHK yang diperoleh di PG Subang sebesar 95,71 %, hal ini menunjukkan target tidak tercapai, angka PSHK yang rendah atau < 96 % mengidentifikasikan terjadinya kerusakan gula akibat pengasaman oleh bakteri di stasiun gilingan. Kadar Nira Tebu (KNT) menunjukkan banyaknya nira dalam tebu yang berhasil diperah pada gilingan 1. Berdasarkan perhitungan KNT yang diperoleh di PG Subang adalah 77,84 %, hal ini menunjukkan tidak tercapainya standar KNT yaitu > 80 %. Banyaknya nira yang tidak berhasil diperah oleh unit gilingan menunjukkan adanya nira yang terkandung dalam ampas, sehingga terjadi inefisiensi di stasiun gilingan. Faktor Campur (FC) merupakan parameter untuk menilai cara pemberian imbibisi sudah tepat, merata dan tercampur dengan sempurna, dan nilai FC standar adalah sekitar 50. Faktor campur yang diperoleh di PG Subang adalah 61,43 %, hal ini menunjukkan bahwa cara pemberian imbibisi belum optimal. Dilution Factor merupakan angka yang digunakan untuk menilai jumlah air imbibisi yang diberikan di unit gilingan, standar dilution factor berkisar antara 0,95-1,05. Jika nilai dilution factor 1, menunjukan jumlah air imbibisi yang diberikan tepat. Nilai dilution factor < 0,95 menunjukkan jumlah imbibisi yang diberikan terlalu besar, sedangkan untuk nilai dilution factor > 1,05 menunjukkan jumlah imbibisi yang diberikan terlalu kecil. Nilai dilution factor di PG Subang diperoleh nilai 1,27, hal ini menunjukkan jumlah imbibisi yang diberikan di stasiun gilingan untuk proses pemerahan terlalu kecil. b. Stasiun Pemurnian Aliran bahan di stasiun pemurnian PG Subang terjadi proses dimana nira mentah menghasilkan nira jernih (encer) dengan penambahan kapur tohor (CaO), gas belerang (SO 2 ), dan flokulan. Proses pemurnian yang digunakan oleh PG Subang adalah dengan metode sulfitasi alkalis (Gambar 9). Pemurnian menggunakan sulfitasi alkalis dilakukan dengan pemberian larutan kapur hingga ph nira 10,5 kemudian ditambahkan gas SO 2 hingga ph nira menjadi 7,0-7,3 (Halim 1973). Pada proses sulfitasi alkalis menggunakan gas sulfit (SO 2 ) atau gas belerang dengan menghembuskan gas tersebut ke cairan nira dengan menggunakan pompa sirkulasi sehingga dalam tangki akan mengalami overflow. Gas belerang yang ditambahkan dibuat dengan cara membakar belerang dalam suatu tabung dengan suhu mencapai 200 o C. Setelah dilakukan proses sulfitasi alkalis, nira mentah dilakukan pengendapan dan penyaringan untuk memisahkan nira dari kotorannya sehingga dihasilkan nira jernih dan blotong. 32

Gambar 9. Pemurnian nira proses sulfitasi alkalis Produk samping yang dihasilkan berupa blotong dan nira tapis (filtrat) yang masih mengandung sukrosa. Nira tapis akan diproses kembali untuk didaur ulang di dalam bak tunggu kemudian dialirkan ke proses pemanasan pada stasiun pemurnian. Pengeluaran zat bukan gula secara optimal terjadi apabila ph nira mentah antara 7,3-7,8 dan ph nira encer dipertahankan antara 7,0 7,4. Namun jika ph nira encer lebih dari 7,4 akan memberi dampak negatif karena terjadi perpecahan zat gula yang mereduksi semakin besar sehingga nira encer berubah warna menjadi hitam (reaksi browning), selain itu timbul asam organik yang mengikat kapur sehingga kandungan kapur meningkat. Kandungan kapur yang tinggi dalam nira encer mengakibatkan timbulnya inkrustasi pada evaporator dan pan masakan (kristalisasi) yang dapat menghambat perpindahan panas sehingga konsumsi uap meningkat. Kandungan kapur yang tinggi juga dapat mempersulit proses kristalisasi serta meningkatkan pembentukan molasses, hal ini mengakibatkan semakin banyak kandungan sukrosa yang terbawa pada molasses. Dengan demikian, penentuan kandungan kapur dalam nira encer merupakan analisa yang sangat penting dalam rangka pengawasan produksi gula. Adapun neraca bahan di stasiun pemurnian dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11. Neraca bahan di stasiun pemurnian tahun 2011 Data Satuan Input Output Nira mentah ton 316.215,33 Kapur tohor ton 464,08 Flokulan ton 1.816 Belerang ton 101.887 Blotong ton 11.164,5 Nira encer ton 304.814,80 Loss ton 2.516,11 Loss % 0,79 Sumber : PG Subang (2011) Hasil samping dari proses pemurnian adalah blotong dan filtrat. Blotong yang dihasilkan adalah 3,5 % dari tebu yang digiling, sedangkan di PG Subang blotong yang dihasilkan sebesar 3,25 % dari tebu yang digiling. Jumlah blotong ini dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti proses penyaringan yang dilakukan pada alat door clarifier dan pada RVF serta nira jernih yang dihasilkan 33

dari proses pemurnian. Output dalam proses pemurnian sangat dipengaruhi oleh besarnya jumlah kadar sukrosa (pol) dan kecilnya kerusakan kadar sukrosa yang dihasilkan. Komponen yang terpenting pada stasiun pemurnian adalah ph, suhu, dan waktu. Apabila komponen tersebut berjalan dengan stabil maka proses pemurnian akan lancar, hal ini pula yang akan mempengaruhi output yang akan dihasilkan seperti nira encer, blotong, dan loss yang dihasilkan. Losses yang dihasilkan dari stasiun pemurnian sebesar 0,79 % dari nira mentah yang dihasilkan. Oleh karena itu perlu pengawasan yang tepat terhadap ph, suhu, dan waktu pada stasiun pemurnian agar berjalan secara optimal. Tabel 12. Angka pengawasan di stasiun pemurnian Parameter Tolok ukur Realisasi Pol blotong (%) < 2 2,42 Belerang < 0,05 ton/100 ton tebu 0,028 ton/100 ton tebu Kapur tohor < 0,16 ton/100 ton tebu 0,14 ton/ 100 ton tebu Flokulan 3-4 ppm 5 ppm Sumber : Soebekti (2001) Pengawasan pada stasiun pemurnian (Tabel 12) diantaranya: % pol blotong < 2 %, belerang < 0,05 ton/100 ton tebu, kapur < 0,16 ton/100 ton tebu, dan flokulan 3-4 ppm terhadap tebu. Berdasarkan data PG Subang, % pol blotong sebesar 2,42 %, hal ini menunjukkan banyaknya zat gula yang ikut terbawa pada blotong sehingga terjadi losses. Pemakaian kapur di PG Subang sudah tepat yaitu 0,14 ton/100 ton tebu, fungsi penggunaan kapur tohor adalah untuk pemurnian nira mentah, penetral asam, serta sebagai desinfektan agar mikroorganisme yang terdapat dalam nira dapat mati. Belerang yang ditambahkan di PG Subang adalah 0,028 ton/100 ton tebu, hal ini sudah sesuai dengan aturan standar. Fungsi penambahan belerang adalah untuk reaksi pembakaran yang menghasilkan gas SO 2 untuk proses sulfitasi, selain itu belerang juga berfungsi untuk menetralisir kelebihan susu kapur dan menyerap atau menghilangkan zat warna pada nira. Penggunaan flokulan di PG Subang adalah 5 ppm terhadap tebu, hal ini kurang sesuai dengan standar. Fungsi penambahan flokulan adalah untuk mempercepat proses pengendapan kotoran dalam clarifier sehingga proses pengendapan berlangsung lebih cepat dan untuk meningkatkan densitas nira kotor sehingga akan lebih mudah untuk disaring. c. Stasiun Penguapan Proses yang terjadi di stasiun penguapan adalah nira encer menghasilkan nira kental dengan menggunakan uap bekas, dari proses penguapan menghasilkan air kondensat yang dipergunakan kembali sebagai air umpan boiler. Neraca bahan di stasiun penguapan dapat dilihat pada Tabel 13. Tabel 13. Neraca bahan di stasiun penguapan tahun 2011 Data Satuan Input Output Nira encer ton 304.814.80 Nira kental ton 68.191.36 Air diuapkan ton 236.623.44 Loss ton - Sumber : PG Subang (2011) 34

Berdasarkan data PG Subang tahun 2011, % brix nira encer yang akan dipekatkan dalam evaporator sebesar 12,10 %, namun % brix nira kental yang dihasilkan hanya sebesar 52,88 %. Hal ini menunjukkan tidak tercapainya brix nira kental yang dihasilkan dari aturan standar yaitu sebesar 60-64 % brix. Kendala yang sering terjadi di stasiun penguapan adalah nira kental yang dihasilkan tidak mencapai brix yang optimal sehingga nira yang terbentuk masih belum mengental. Upaya yang seharusnya dilakukan untuk mengatasi kendala ini adalah dengan menyediakan sarana untuk mendaur-ulang nira kental agar dapat diuapkan kembali, sehingga pengontrolan kondisi badan evaporator dan kinerja mesin evaporator dapat bekerja dengan baik. Selain itu dipengaruhi oleh kondisi evaporator yang seharusnya dalam kondisi vakum, kondisi badan evaporator yang kurang vakum biasanya disebabkan aliran air injeksi pada kondensor berjalan cepat sehingga terjadi penurunan tekanan pada aliran setelah diinjeksikan dan uap hasil penguapan secara langsung akan bergerak dari tekanan tinggi menuju tekanan rendah atau mengalami peristiwa difusi. Oleh karena itu, apabila kondisi vakum pada badan evaporator tidak berjalan secara optimal, maka air yang diinjeksikan perlu ditambah dengan aliran yang optimum. Kurangnya jumlah steam disebabkan oleh banyaknya pipa sebagai pelapis badan evaporator terbuka sehingga aliran uap akan kontak dengan udara luar dan melakukan pindah panas secara konveksi. Selain itu, luas permukaan pipa kontak pada badan evaporator perlu diperluas untuk lebih meningkatkan kontak nira dengan pipa sehingga pindah panas akan berlangsung dengan baik. Mekanisme pindah panas badan mesin evaporator yang kurang efisien disebabkan kurangnya jumlah steam dan banyaknya kerak yang menempel pada pipa uap akibat dari penguraian gula pereduksi yang berubah menjadi asam organik. Kerak yang menempel pada pipa uap dapat dikurangi apabila proses pada stasiun pemurnian dapat dioptimalkan terutama pada pembentukan inti endapan. d. Stasiun Kristalisasi dan Sentrifugasi Pada stasiun masakan (kristalisasi) terjadi proses dimana nira kental yang dikristalkan, kemudian didinginkan, dan disentrifugasi dapat menghasilkan gula SHS, tetes, stroop dan klare yang diolah kembali menjadi gula dan bibit untuk masakan. Neraca bahan pada stasiun masakan dan putaran dapat dilihat pada Tabel 14. Tabel 14. Neraca bahan di stasiun kristalisasi dan sentrifugasi tahun 2011 Data Satuan Input Output Nira kental ton 68.191,36 Tetes ton 16.887 Gula SHS ton 22.835,14 Uap nira ton 18.649,58 Air jatuhan ton 4.091,48 Loss ton 5.728,16 Sumber : PG Subang (2011) Pada stasiun kristalisasi terdapat beberapa alternatif proses kristalisasi. Alternatif model proses kristalisasi yang diterapkan di PG Subang adalah model A-C-D, karena lebih mengutamakan kualitas gula dan nilai hasil kemurnian (HK) nira kental sebesar 82-84 %. Kandungan gula dalam molasses yang sangat kecil menyebabkan molasses tidak bisa diolah kembali dalam proses, tetapi molasses 35

dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan alkohol atau spirtus, pembuatan MSG dan produk olahan lainnya. Setelah melalui proses penggilingan, proses pemurnian, proses penguapan, proses pemasakan, proses pengkristalan, dan proses pemutaran, gula kemudian dikemas dalam kemasan 50 kg dan kemasan kecil 1 kg. Setelah dikemas, gula siap untuk dipasarkan. SNI untuk gula kristal putih (GKP) atau gula SHS dapat dilihat pada Tabel 15. Tabel 15. SNI 01-3140-2001 untuk Gula Kristal Putih Kriteria Uji Satuan GKP 1 Warna kristal % min 90 Warna larutan (ICUMSA) IU maks 250 Berat jenis butir mm 0,8 1,2 Susut pengeringan % b/b maks 0,1 Polarisasi ( o Z 20 o C) Z min 99,6 Gula pereduksi % b/b maks 0,10 Abu % b/b maks 0,10 Bahan asing tidak larut derajat maks 5 Belerang dioksida (SO 2 ) mg/kg maks 30 Timbal (Pb) mg/kg maks 2 Tembaga (Cu) mg/kg maks 2 Arsen (As) mg/kg maks 1 Pada stasiun kristalisasi, besarnya loss yang dihasilkan sebesar 8,4 %, losses yang hilang bisa diketahui dari perbandingan nilai HK (Hasil bagi Kemurnian), % brix, dan % pol. Pengawasan dalam stasiun kristalisasi diantaranya: HK masakan D 59 60, HK tetes 32, HK masakan C 71-72, dan HK klare SHS maksimal 90. Hasil bagi Kemurnian (HK) menyatakan perbandingan banyaknya pol (zat gula) dalam 100 bagian brix. HK masakan D di PG Subang adalah 56,36 hal ini menunjukkan rendahnya pol (zat gula) dalam brix. HK tetes di PG Subang sebesar 30,63, hal ini sudah sesuai dengan aturan standar karena semakin rendah HK tetes maka semakin rendah zat gula yang ikut terbawa pada tetes. HK masakan C di PG Subang adalah 69,55, hal ini menunjukkan rendahnya zat gula yang terdapat dalam brix masakan C. HK klare SHS di PG Subang sebesar 93,59, hal ini menunjukkan semakin banyak zat gula dalam cairan nira yang belum terkristalkan dan melebihi aturan standar yang seharusnya yaitu maksimal 90. 2. Penggunaan Energi pada Proses Produksi Gula Pada proses produksi gula, energi digunakan untuk menggerakkan seluruh mesin produksi. Kegiatan produksi ini membutuhkan energi dalam jumlah yang besar, besarnya kebutuhan energi pada produksi gula dipengaruhi oleh jumlah mesin produksi yang harus bekerja, jumlah kapasitas produksi, dan jangka waktu proses produksi. Energi yang digunakan pada proses produksi dihasilkan dari bahan bakar, uap, dan listrik. Energi uap yang dihasilkan berasal dari proses pembakaran ampas tebu dari proses gilingan. Jika jumlah ampas tebu yang dihasilkan kurang, maka diperlukan bahan bakar tambahan untuk mencukupi kebutuhan proses pembakaran seperti penggunaan IDO (Industrial Diesel Oil), kayu bakar, dan solar. Namun hal ini dapat menurunkan efisiensi karena dengan pemakaian bahan bakar tambahan tersebut dapat meningkatkan biaya produksi dan dapat menurunkan produksi gula karena kebutuhan uap untuk pabrikasi tidak tercukupi disebabkan exhaust steam tidak tercapai sehingga pabrik berhenti giling. 36

Kualitas kerja mesin-mesin produksi di PG Subang saat ini, mulai tidak optimal. Hal ini dikarenakan usia dari mesin-mesin produksi sudah cukup tua. Perbaikan dan penggantian mesinmesin produksi selalu dilakukan di setiap akhir musim giling, akan tetapi tidak dapat dilakukan secara optimal. Kondisi ini menyebabkan energi yang digunakan untuk proses produksi semakin besar, sehingga memberikan dampak yang kurang baik bagi industri gula. Banyaknya energi yang terbuang akibat kebocoran dan kerusakan yang terjadi pada mesin-mesin produksi akan mempengaruhi kualitas kerja mesin-mesin produksi dan menyebabkan waktu yang digunakan cukup lama, sehingga memberikan peluang yang cukup besar terhadap pemborosan energi. Salah satu langkah untuk meningkatkan efisiensi energi yaitu dengan dilakukan konservasi energi, yaitu dengan melakukan penghematan atau pengurangan pemakaian energi tanpa mengurangi produktivitas produksi karena efisiensi penggunaan energi dapat mempengaruhi daya saing dan harga jual di pasaran. a. Bahan Bakar Dalam industri gula, bahan bakar merupakan kebutuhan primer dari suatu industri yang berfungsi sebagai sumber tenaga utama penggerak proses produksi. Pada proses produksi gula, bahan bakar yang digunakan untuk menghasilkan uap di stasiun boiler adalah ampas tebu. Pada umumnya ampas tebu tidak mampu mencukupi kebutuhan pembakaran, maka harus disediakan bahan bakar dalam bentuk lain dalam jumlah yang cukup untuk menghindari terhentinya penggilingan karena kekurangan bahan bakar. Pada PG Subang bahan bakar tambahan yang digunakan adalah IDO. Penggunaan bahan bakar pada produksi gula dipengaruhi oleh proses yang terjadi di stasiun gilingan, antara lain ampas tebu yang dihasilkan, penambahan air imbibisi, serta tingkat pemerahan nira. Penambahan air imbibisi pada dasarnya berfungsi untuk meningkatkan rendemen gula yang dihasilkan, semakin banyak air imbibisi yang ditambahkan, maka semakin banyak pula zat gula (sukrosa) yang terlarut dalam nira hasil perahan tebu. Namun dengan peningkatan jumlah air imbibisi mengakibatkan peningkatan kadar air ampas yang dihasilkan, hal ini disebabkan sabut pada tebu bersifat absorbent yang mudah menyerap cairan, sehingga semakin banyak sabut maka kemampuan ampas menyerap cairan akan semakin besar sehingga kadar air ampas meningkat. Kadar air ampas yang tinggi dapat mempengaruhi nilai pembakaran ampas untuk boiler. Kadar air ampas yang tinggi menyebabkan nilai pembakaran ampas menjadi rendah karena ampas menjadi sulit terbakar. Hal ini dapat menyebabkan kurang sempurnanya pembakaran ampas pada boiler sehingga dapat terjadi berhenti giling akibat pasokan uap dari boiler berkurang. Untuk mengantisipasi terjadinya berhenti giling maka diperlukan bahan bakar tambahan seperti IDO sebagai pengganti ampas tebu dan sebagai bahan bakar tambahan untuk meningkatkan energi pembakaran pada boiler. Penggunaan IDO sebagai bahan bakar dapat meningkatkan biaya produksi, karena biaya bahan bakar yang dikeluarkan untuk IDO lebih besar daripada biaya bahan bakar ampas tebu, oleh karena itu penggunaan IDO harus dilakukan seoptimal mungkin. Efisiensi energi bahan bakar dipengaruhi oleh proses yang terjadi pada boiler. Proses pembakaran ampas tebu di stasiun boiler dipengaruhi oleh nilai kalori ampas, jumlah ampas, kadar air ampas, dan pol ampas. Kandungan kalori ampas tebu sangat mempengaruhi kinerja dari boiler, apabila kalori ampas tebu rendah maka kinerja boiler akan menurun. Nilai kalori ampas dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu kadar air dan kandungan pol ampas. Untuk meningkatkan kalori ampas tebu, maka perlu dilakukan optimalisasi kinerja gilingan dan penambahan air imbibisi yang dapat mempengaruhi kadar air dan kandungan pol ampas, sehingga nilai kalor ampas meningkat. Penggunaan bahan bakar tahun 2011 di PG Subang dapat dilihat pada Tabel 16. 37

Tabel 16. Penggunaan bahan bakar pada proses produksi gula di PG Subang tahun 2011 Data Satuan RKAP Realisasi Persentase (%) Ampas yang dibakar ton 140.000 101.273 72,34 IDO Liter 400.000 174.258 43,56 Gula SHS ton 34.994 22.990,5 65,7 Tebu ton 424.845 343.646,88 80,89 Solar Liter 100.000 84.820 84,82 Energi dari ampas tebu Kkal 2,83 x 10 11 1,94 x 10 11 68,55 Energi dari IDO Kkal 3,71 x 10 9 1,62 x 10 9 43,67 Energi dari solar Kkal 9,06 x 10 8 7,68 x 10 8 84,77 Sumber : Data PG Subang (2011) Catatan : Nilai kalor ampas tebu sempurna = 2.018 Kkal/kg ampas Nilai kalor ampas tebu (real) = 1.777 Kkal/kg ampas Nilai kalor IDO = 9.270 Kkal/Liter Nilai kalor solar = 9.063 Kkal/Liter Berdasarkan Tabel 15 menunjukkan bahwa pemakaian ampas tebu untuk bahan bakar boiler berdasarkan RKAP musim giling tahun 2011 memiliki nilai energi sebesar 2,83 x 10 11 Kkal sedangkan realisasinya yaitu sebesar 1,94 x 10 11 Kkal atau 68,55 % dari target. Penggunaan IDO pada musim giling tahun 2011 dianggarkan sebanyak 400.000 Liter, namun pada realisasinya tidak mencapai anggaran IDO yang telah ditentukan. Hal ini mengakibatkan meningkatnya efisiensi penggunaan energi dari IDO, yaitu dari 3,71 x 10 9 Kkal menjadi 1,62 x 10 9 Kkal atau 43,67 % dari target. Optimalisasi kinerja gilingan dapat dilakukan dengan mengatur kembali setelan gilingan, yaitu dengan mengatur putaran dan tekanan gilingan sehingga dapat meningkatkan kemampuan perahan, hal ini dapat mengakibatkan kadar air dan gula dalam ampas tebu dapat menurun dan nira yang dihasilkan menjadi lebih banyak. Optimalisasi gilingan dapat mempengaruhi penggunaan ampas sebagai bahan bakar, hal ini disebabkan ampas yang dihasilkan memiliki kadar air yang lebih rendah sehingga lebih mudah terbakar dan dapat mengurangi penggunaan bahan bakar tambahan seperti IDO. Selain itu, pol ampas juga akan menjadi lebih rendah, sehingga jumlah gula yang terbuang dalam ampas tebu dapat menurun. Selain itu, diperlukan optimalisasi pada mesin dan peralatan saat maintenance dengan memodifikasi atau pergantian mesin dan peralatan. b. Listrik Kebutuhan energi listrik di PG Subang tidak tergantung dari PLN, karena PG Subang mampu memenuhi kebutuhan listrik sendiri dari dua buah turbin alternator yang proses kerjanya menggunakan turbin uap. Energi listrik yang dihasilkan digunakan untuk mendukung proses produksi gula di pabrik seperti menggerakkan motor-motor listrik pada mesin dan penerangan. Pemakaian energi listrik sangat erat kaitannya dengan kinerja pabrik gula atau rendemen. Semakin rendah pemakaian energi listrik maka semakin tinggi pula kinerja pabrik gula. Dalam menggunakan teknologi konvensional, untuk memproduksi 1 kwh energi listrik diperlukan 10 kg ampas, tetapi dengan teknologi modern hanya dibutuhkan 2 kg ampas (Lamonica et al. 2005). Energi listrik yang dihasilkan berdasakan RKAP sebesar 5,48 x 10 12 Kkal, sedangkan realisasinya sebesar 5,6 x 10 12 Kkal atau 97,86 % dari target. Penggunaan listrik di tiap stasiun berbeda, tergantung dari spesifikasi mesin, jumlah mesin, efisiensi mesin, dan lama waktu operasi mesin. Penghematan penggunaan listrik dapat dilakukan dengan optimalisasi penggunaan peralatan, yaitu dengan mengaktifkan alat pada kapasitas optimalnya dan menon-aktifkan alat ketika alat sedang 38

tidak digunakan. Selain itu, optimalisasi ketika maintenance dengan melakukan perawatan, perbaikan, modifikasi atau pergantian mesin dan peralatan. Data penggunaan listrik di PG Subang dapat dilihat pada Tabel 17. Tabel 17. Data penggunaan listrik pada proses produksi gula di PG Subang tahun 2011 Data Satuan RKAP Realisasi Efisiensi listrik % 15 18,94 Tebu yang digiling ton 424.845 343.646,88 Konsumsi energi listrik kwh 6.372.675 6.508.040 Sumber : Data PG Subang (2011) c. Uap Uap merupakan sumber tenaga utama di PG Subang. Penggunaan uap sebagai sumber tenaga memiliki beberapa keuntungan, diantaranya: (1) uap dihasilkan dari air yang murah dan mudah didapat, (2) uap tidak berbau, (3) uap sangat mudah disalurkan dan diatur, (4) uap memiliki nilai panas yang tinggi, dan (5) panas dari uap dapat dimanfaatkan berulang-ulang. Tenaga uap di PG Subang dihasilkan dari boiler untuk memutar turbin kemudian disambungkan ke generator yang akan menghasilkan gaya gerak listrik. PG Subang memiliki dua buah generator yang menggunakan turbin uap, yaitu TG1 dan TG 2. Uap baru yang dihasilkan (life steam) kemudian didistribusikan ke power house, stasiun gilingan, dan stasiun boiler. Life steam yang digunakan kemudian menghasilkan uap bekas (exhaust steam) yang digunakan untuk pabrikasi yaitu ke juice heater, evaporator, dan pan masakan. Uap hasil pemakaian di pabrikasi kemudian dimasukkan ke dalam kondensat menjadi air kondensat yang kemudian dikembalikan ke stasiun boiler sebagai air pengisi ketel. Konsumsi uap pada musim giling tahun 2011 di PG Subang dapat dilihat pada Tabel 18 dibandingkan dengan data perencanaan konsumsi uap tahun 2011 (RKAP 2011). Tabel 18. Penggunaan uap di PG Subang tahun 2011 Data Satuan RKAP Realisasi Produksi uap ton 191.180 202.547,8 Tebu yang digiling ton 424.845 343.646,88 Waktu giling hari 143 134 Efisiensi uap % 45 58,94 Sumber : Data PG Subang (2011) Berdasarkan Tabel 18, efisiensi uap berdasarkan tebu yang digiling pada RKAP 2011 per hari adalah 45 %, sedangkan realisasinya adalah 58,94 %. atau 76,35 % dari target. Perbedaan nilai efisiensi uap dipengaruhi oleh adanya perbedaan jumlah tebu tergiling, lama giling, dan kadar air yang terkandung dalam ampas tebu. Semakin banyak jumlah tebu tergiling, maka mesin produksi semakin besar mengonsumsi uap karena proses produksi akan membutuhkan waktu yang lebih lama dan tenaga yang besar. Jumlah pemakaian air imbibisi juga mempengaruhi penggunaan uap karena uap juga digunakan secara langsung pada proses produksi di stasiun penguapan. Semakin besar jumlah air 39

imbibisi yang ditambahkan di stasiun gilingan maka semakin besar pula jumlah air yang harus diuapkan di stasiun penguapan. Efisiensi penggunaan uap dapat mempengaruhi mutu serta jumlah produk gula SHS yang dihasilkan. Peningkatan efisiensi penggunaan uap dapat dilakukan dengan cara peningkatan kinerja boiler, yaitu dengan pembenahan atau penggantian saluran yang bocor pada sistem uap, penggunaan kontrol otomatis untuk memastikan uap hanya digunakan ketika dibutuhkan. Selain itu, pembenahan pada turbin juga perlu dilakukan dengan pengujian kinerja dan pembersihan turbin secara teratur untuk meningkatkan efisiensi. C. ANALISIS DAMPAK Analisis dampak dilakukan untuk mengetahui kemungkinan dampak lingkungan yang terjadi pada setiap tahapan dalam siklus hidup gula. Dampak terhadap lingkungan dapat mengakibatkan berkurangnya kemampuan alam untuk mendukung kelangsungan hidup manusia. Dampak lingkungan yang timbul dapat berupa dampak tidak langsung dan dampak langsung. Dampak tidak langsung ini umumnya berhubungan dengan masalah sosial masyarakat seperti urbanisasi, perilaku, kriminalitas, dan sosial budaya. Dampak langsung yang dapat timbul akibat kegiatan industri diantaranya pencemaran udara, pencemaran air, dan pencemaran daratan atau tanah. Pencemaran tersebut perlu dihindari untuk menjaga kelestarian lingkungan. PG Subang merupakan salah satu industri yang mengolah bahan pertanian (agroindustri) menjadi produk jadi berupa gula SHS (Super High Sugar) atau GKP (Gula Kristal Putih). Proses produksi gula tidak terlepas dari limbah (waste) dan produk samping (by-product) yang dihasilkan selama proses berjalan. Limbah yang dihasilkan pabrik gula merupakan limbah yang didominasi oleh bahan-bahan organik, walaupun tidak menutup kemungkinan menghasilkan limbah anorganik. Hal ini terkait dengan bahan baku, bahan tambahan, dan bahan bakar yang digunakan adalah bahan-bahan organik. Limbah yang dihasilkan di PG Subang terbagi menjadi beberapa jenis dan dilakukan penanganan yang berbeda antara satu jenis limbah dengan limbah yang lainnya. Jenis limbah yang dihasilkan pada produksi gula ini berupa limbah cair, limbah padat, limbah udara, dan limbah B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun). Diagram alur limbah di PG Subang dapat dilihat pada Lampiran 6. 1. Limbah Padat Limbah padat pada PG Subang pada dasarnya terdiri atas limbah padat yang dapat dimanfaatkan kembali secara langsung atau tidak langsung (by-product) dan limbah padat yang tidak dapat dimanfaatkan kembali (dibuang). Limbah padat dihasilkan di pabrik gula karena bahan baku yang digunakan adalah tebu dimana tebu merupakan tanaman yang kaya serat dan serabut, sedangkan yang dibutuhkan pabrik gula adalah nira, sehingga akan terdapat limbah padat dari tebu yang digunakan. Limbah padat yang dihasilkan pada proses produksi gula di PG Subang ini adalah ampas tebu (bagasse), blotong, abu ketel, dan limbah domestik (gabungan). Dalam upaya pengelolaan limbah padat, PG Subang telah mengoptimalkan kinerja pengelolaan limbah padat, yaitu melakukan pencatatan berupa log book mengenai jumlah limbah padat yang dihasilkan dan yang dimanfaatkan, selanjutnya menyampaikan secara berkala ke KLH dan BPLHD. Selain itu, upaya yang telah dilakukan PG Subang adalah menyediakan truk pengangkut blotong dan abu ketel untuk dibuang ke tempat khusus di kebun untuk proses pengeringan yang selanjutnya digunakan untuk pupuk tanaman tebu serta memanfaatkan blotong dan abu ketel sebagai pupuk 40

organik atau kompos untuk tanaman tebu sendiri. Data kuantitatif limbah padat dan pemanfaatannya di PG Subang dapat dilihat pada Tabel 19. Tabel 19. Data kuantitatif limbah padat dan pemanfaatannya di PG Subang tahun 2011 Jenis limbah Jumlah (ton) Pemanfaatan Ampas tebu (bagasse) 109.303,6 Bahan bakar boiler Blotong 11.164,5 Pupuk organik Abu ketel 7.444,99 Pupuk organik Sumber : Data PG Subang (2011) a. Ampas tebu (bagasse) Ampas yang dihasilkan dari stasiun gilingan langsung dikirim ke stasiun boiler untuk digunakan sebagai umpan pembakaran, sedangkan untuk ampas yang berlebih dan belum termanfaatkan sebagai umpan boiler disalurkan ke gudang ampas yang terletak di belakang stasiun boiler. Hampir seluruh ampas yang dihasilkan dimanfaatkan sebagai bahan bakar boiler, karena PG Subang menggunakan ampas sebagai bahan bakar boiler. Ampas yang tersedia di gudang ampas sangat banyak sekali sampai melebihi kapasitas penyimpanan gudang ampas sehingga banyak ampas yang diletakkan di luar gudang penyimpanan. Kelebihan ampas tersebut diletakkan di ruangan terbuka, hal ini mengakibatkan banyak serbuk ampas yang beterbangan di sekitar gudang ampas yang dapat mengganggu penglihatan dan kesehatan orang yang berada di sekitar gudang ampas tersebut. Partikel serbuk ampas tersebut dapat menimbulkan berbagai macam penyakit saluran pernafasan apabila tidak ditangani dengan benar. Pada saat menarik nafas, udara yang mengandung partikel akan terhirup ke dalam paru-paru. Ukuran partikel yang masuk ke dalam paru-paru akan menentukan letak penempelan atau pengendapan partikel tersebut. Partikel yang berukuran kurang dari 5 mikron akan tertahan di saluran nafas bagian atas, sedangkan partikel berukuran 3-5 mikron akan tertahan pada saluran pernafasan bagian tengah, partikel yang berukuran lebih kecil, 1 sampai 3 mikron akan masuk ke dalam kantung udara paru-paru, menempel pada alveoli, partikel lebih kecil lagi yaitu kurang dari 1 mikron akan ikut keluar saat nafas dihembuskan. Pneumokoniosis adalah penyakit saluran pernafasan yang disebabkan oleh adanya partikel yang masuk atau mengendap ke dalam paru-paru. Penyakit pneumokoniosis banyak jenisnya, tergantung dari jenis partikel yang masuk atau terhisap ke dalam paru-paru (Wardhana 1994). Komposisi ampas tebu dapat dilihat pada Tabel 20. Tabel 20. Komposisi bagasse Analisis Kandungan (%) Karbon (C) 47 Hidrogen (H) Oksigen Ash (Abu) 6,5 44 2,5 Sumber: Anonim (2008) 41

Selain itu, terjadinya losses pada stasiun gilingan dapat disebabkan karena adanya kandungan gula (pol) yang ikut terbawa dalam ampas. Adanya kandungan gula pada ampas dapat menimbulkan karamel pada dinding-dinding pipa pada stasiun boiler sehingga heat transfer menjadi turun dan pembakaran di boiler menjadi terhambat, sehingga diperlukan energi panas yang lebih besar. Kualitas ampas sebagai bahan bakar boiler dipengaruhi oleh nilai kalorinya, semakin tinggi kualitas ampas berarti semakin tinggi nilai kalorinya. Kualitas ampas dipengaruhi pula oleh kadar air ampas, dengan meningkatkan efisiensi gilingan, diharapkan kadar air ampas keluar gilingan akhir lebih kecil dari 50 % dan kadar gula (pol) 2,5 % (Saechu 2009). Menurut rumus Pritzelwitz (Hugot 1986); Net Calorific Value/NCV = 4250-48 w 10 pol, dimana w menunjukkan kadar air ampas, dari perhitungan tersebut menunjukkan bahwa nilai kalor dipengaruhi oleh kadar air dan pol ampas, semakin rendah pol dan kadar air yang terkandung dalam ampas, maka nilai kalor yang dihasilkan semakin tinggi. Nilai kalor ampas di PG Subang masih rendah yaitu 1.777 Kkal, hal ini disebabkan oleh kadar air dan kandungan gula pada ampas yang masih tinggi yaitu kadar air sebesar 52,08 % dan pol ampas sebesar 2,66 %. Oleh karena itu, untuk menghasilkan nilai kalor yang tinggi, diusahakan kadar air ampas < 50 % dan pol ampas < 2 %, dengan begitu nilai kalor yang dihasilkan akan mengalami peningkatan sebesar 2,9 % yaitu menjadi 1.830 Kkal. Untuk mendapatkan nilai kalor dengan pembakaran sempurna yaitu 2.018 Kkal dengan pol ampas sebesar 2 %, maka kadar air yang terkandung dalam ampas sebesar 46,92 % atau penurunan kadar air sebesar 9,9 %. Untuk optimasi kualitas ampas dapat ditempuh dengan menurunkan kadar air ampas melalui penerapan teknologi pengeringan, yaitu dengan memanfaatkan energi panas dari gas buang cerobong boiler yang masih memiliki suhu hingga di atas 225 o C. Dengan penurunan kadar air ampas dari 50 % menjadi 40 % maka nilai bakar per kg ampas akan dapat meningkat hingga 2.305 Kkal atau nilai bakar per kg ampas relatif akan meningkat hingga 6 %, sehingga untuk bahan bakar boiler di pabrik gula akan dapat meningkatkan produksi uap hingga 10 %. Penerapan teknologi pengeringan ampas tersebut telah banyak diandalkan oleh banyak pabrik gula di luar negeri (Maranhao 1980; Abilio dan Faul 1987). Untuk optimasi pemanfaatan energi ampas di pabrik gula juga tidak terlepas dari faktor kehilangan panas akibat radiasi, kondensasi, kebocoran pada pipa distribusi uap dan bejana proses, isolasi, pengerakan, dan korosi yang kurang sempurna. Kerugian panas akibat dari hal-hal tersebut dapat mencapai 5 % dan pada kondisi terburuk dapat mencapai hingga 12 % dari produksi uap. Melalui penanganan yang optimal, kehilangan tersebut dapat ditekan hingga kondisi normal 1 %, keadaan tersebut antara lain dapat ditandai oleh dinginnya udara dalam pabrik sehingga para operator dapat bekerja dengan nyaman dan tidak gerah (Saechu 2009). b. Blotong Sifat fisis blotong berupa padatan halus yang menyerupai tanah, berwarna hitam, namun lebih ringan. Blotong yang dihasilkan PG Subang sekitar 3,5 ton/jam (3% tebu). Blotong yang dihasilkan PG Subang ini ditampung di tempat khusus pembuangan kemudian diangkut menggunakan truk khusus pengangkut blotong untuk disimpan di tempat penyimpanan blotong. Blotong di PG Subang dimanfaatkan untuk dijadikan sebagai bahan pembuatan pupuk organik sebagai campuran pupuk kompos, dan sebagai pupuk alami yang langsung dimanfaatkan untuk tanaman tebu di kebun dan disebar ke lahan tebu secara menyeluruh. Kandungan logam pada blotong dapat dilihat pada Tabel 21. 42