BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dan insidensinya semakin meningkat dari tahun ke tahun di seluruh dunia.

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB 1. PENDAHULUAN. Berdasarkan laporan dari International Diabetes Federation (IDF)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. terjadinya penyempitan, penyumbatan, atau kelainan pembuluh nadi

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang American Diabetes Association (ADA) menyatakan bahwa Diabetes melitus

BAB 1 PENDAHULUAN. penduduk dunia meninggal akibat diabetes mellitus. Selanjutnya pada tahun 2003

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. tubuh dan menyebabkan kebutaan, gagal ginjal, kerusakan saraf, jantung, kaki

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut American Diabetes Association, diabetes melitus merupakan suatu kelompok

2 Penyakit asam urat diperkirakan terjadi pada 840 orang dari setiap orang. Prevalensi penyakit asam urat di Indonesia terjadi pada usia di ba

BAB I PENDAHULUAN. Amerika Serikat (Rahayu, 2000). Berdasarkan data American. hipertensi mengalami peningkatan sebesar 46%.

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. menjadi lemah ginjal, buta, menderita penyakit bagian kaki dan banyak

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang penelitian. penduduk dunia seluruhnya, bahkan relatif akan lebih besar di negara-negara sedang

BAB I PENDAHULUAN orang dari 1 juta penduduk menderita PJK. 2 Hal ini diperkuat oleh hasil

BAB 1 PENDAHULUAN. Diabetes mellitus (DM) adalah sekelompok gangguan metabolik. dari metabolisme karbohidrat dimana glukosa overproduksi dan kurang

BAB I PENDAHULUAN. Triple Burden Disease, yaitu suatu keadaan dimana : 2. Peningkatan kasus Penyakit Tidak Menular (PTM), yang merupakan penyakit

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penyakit jantung koroner (PJK) adalah gangguan fungsi jantung dimana otot

BAB I PENDAHULUAN. penyakit kronis telah terjadi di Indonesia seiring dengan kemajuan teknologi dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. lemak, dan protein. World health organization (WHO) memperkirakan prevalensi

BAB I PENDAHULUAN UKDW. pada sel beta mengalami gangguan dan jaringan perifer tidak mampu

BAB I PENDAHULUAN. Pengukuran antropometri terdiri dari body mass index

UKDW BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian. Penyakit kardiovaskular merupakan penyebab nomor satu kematian di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kesejahteraan penduduk saat ini diketahui menyebabkan peningkatan usia harapan

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. penyakit tidak menular banyak ditemukan pada usia lanjut (Bustan, 1997).

UKDW BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Stroke merupakan penyebab kematian dan kecacatan yang utama. Hipertensi

BAB I PENDAHULUAN. Menurut International Diabetes Federation (IDF, 2015), diabetes. mengamati peningkatan kadar glukosa dalam darah.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. WHO (2006) menyatakan terdapat lebih dari 200 juta orang dengan Diabetes

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Gagal ginjal kronik (Chronic Kidney Disease) merupakan salah satu penyakit

BAB 1 PENDAHULUAN. yang sangat serius saat ini adalah hipertensi yang disebut sebagai the silent killer.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit degeneratif merupakan transisi epidemiologis dari era penyakit

BAB 1 PENDAHULUAN. koroner. Kelebihan tersebut bereaksi dengan zat-zat lain dan mengendap di

BAB I PENDAHULUAN. terlupakan, padahal kasusnya cukup banyak ditemukan, hal ini terjadi karena

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. dalam darah dengan bantuan lipoprotein juga merupakan hasil konvert kelebihan

BAB 4 HASIL PENELITIAN

BAB 1 PENDAHULUAN. masalah kesehatan untuk sehat bagi penduduk agar dapat mewujudkan derajat

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Congestive Heart Failure (CHF) atau gagal jantung merupakan salah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. dengan adanya hiperglikemia kronik akibat defisiensi insulin baik relatif maupun

BAB 1 PENDAHULUAN. disebabkan oleh PTM terjadi sebelum usia 60 tahun, dan 90% dari kematian sebelum

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

HUBUNGAN ANTARA STATUS GIZI DAN PENDAPATAN DENGAN TINGKAT KEKAMBUHAN HIPERTENSI DI WILAYAH PUSKESMAS GILINGAN SURAKARTA. Skripsi

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. sedangkan penyakit non infeksi (penyakit tidak menular) justru semakin

BAB I PENDAHULUAN. tekanan darah lebih dari sama dengan 140mmHg untuk sistolik dan lebih dari

BAB I PENDAHULUAN. di negara maju maupun negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Data

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Stroke menurut World Health Organization (WHO) (1988) seperti yang

BAB I PENDAHULUAN. epidemiologi di Indonesia. Kecendrungan peningkatan kasus penyakit

BAB I PENDAHULUAN UKDW. lanjut usia terus meningkat dari tahun ke tahun(rahayu, 2014). Menurut

BAB 5 PEMBAHASAN. IMT arteri karotis interna adalah 0,86 +0,27 mm. IMT abnormal terdapat pada 25

BAB 1 PENDAHULUAN. empedu atau di dalam duktus koledokus, atau pada kedua-duanya (Wibowo et al.,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Obesitas merupakan salah satu masalah kesehatan yang banyak terjadi di

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Depresi adalah suatu gangguan suasana perasaan (mood) yang

BAB 1 PENDAHULUAN. akibat penyakit kardiovaskuler pada tahun 1998 di Amerika Serikat. (data dari

BAB I PENDAHULUAN. penyakit gula. DM memang tidak dapat didefinisikan secara tepat, DM lebih

BAB I PENDAHULUAN. bertahun-tahun ini oleh ahli-ahli di bidang psikosomatik menunjukkan bahwa

BAB I PENDAHULUAN. Hipertensi memiliki istilah lain yaitu silent killer dikarenakan penyakit ini

BAB I PENDAHULUAN. dicapai dalam kemajuan di semua bidang riset DM maupun penatalaksanaan

BAB I PENDAHULUAN. terbesar di dunia. Menurut data dari International Diabetes Federation (IDF)

BAB I PENDAHULUAN. membutuhkannya. Bila kondisi tersebut berlangsung lama dan menetap, maka dapat menimbulkan penyakit hipertensi.

BAB I PENDAHULUAN. selama 24 jam atau lebih dan dapat menyebabkan kematian tanpa adanya

BAB I PENDAHULUAN. insulin, atau kedua-duanya. Diagnosis DM umumnya dikaitkan dengan adanya gejala

BAB 1 PENDAHULUAN. Pembangunan kesehatan adalah upaya yang dilaksanakan oleh semua komponen

BAB I PENDAHULUAN. mengalirkan darah ke otot jantung. Saat ini, PJK merupakan salah satu bentuk

BAB 1 PENDAHULUAN. DM tipe 1, DM tipe 2, DM tipe lain, dan DM gestasional. 2 Angka kejadian DM

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit Jantung Koroner (PJK) merupakan penyakit yang menyerang

UKDW BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Lima belas juta orang di dunia setiap tahunnya terkena serangan

BAB I PENDAHULUAN. 30% dan angka kejadiannya lebih tinggi pada negara berkembang. 1 Menurut. diabetes tipe 2 dan penyakit kardiovaskular.

BAB 1 PENDAHULUAN. koroner, stroke), kanker, penyakit pernafasan kronis (asma dan. penyakit paru obstruksi kronis), dan diabetes.

BAB I PENDAHULUAN. menurun sedikit pada kelompok umur 75 tahun (Riskesdas, 2013). Menurut

BAB 1 PENDAHULUAN. yang cukup banyak mengganggu masyarakat. Pada umumnya, terjadi pada

BAB I PENDAHULUAN. mellitus tingkat kejadiannya terus meningkat di banyak negara di dunia (Lopez et

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang penelitian. Diabetes Melitus (DM) atau kencing manis merupakan penyakit yang

BAB I PENDAHULUAN. makan, faktor lingkungan kerja, olah raga dan stress. Faktor-faktor tersebut

BAB I PENDAHULUAN. Prevalensi obesitas telah meningkat secara dramatis di Amerika Serikat,

PERBEDAAN ANGKA KEJADIAN HIPERTENSI ANTARA PRIA DAN WANITA PENDERITA DIABETES MELITUS BERUSIA 45 TAHUN SKRIPSI

ABSTRAK PREVALENSI DIABETES MELITUS TIPE 2 DENGAN HIPERTENSI DI RSUP SANGLAH DENPASAR TAHUN 2015

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

ABSTRAK GAMBARAN PROFIL LIPID PADA PENDERITA DIABETES MELITUS TIPE 2 YANG DIRAWAT DI RS IMMANUEL BANDUNG PERIODE JANUARI - DESEMBER 2005

BAB I PENDAHULUAN. suatu periode dimana seseorang telah beranjak jauh dari periode terdahulu yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penyakit jantung koroner (PJK) atau di kenal dengan Coronary Artery

BAB I PENDAHULUAN. resiko terjadinya komplikasi akibat DM (Agustina, 2010). Menurut World Health Organization (WHO), Diabetes Melitus (DM)

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia. Dewasa ini perilaku pengendalian PJK belum dapat dilakukan secara

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan

Transkripsi:

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sindrom metabolik dan depresi merupakan dua penyakit yang prevalensi dan insidensinya semakin meningkat dari tahun ke tahun di seluruh dunia. Sindrom metabolik prevalensinya semakin meningkat akibat gaya hidup yang berubah, pola diet tinggi kalori dan aktifitas fisik yang cenderung santai/bermalasmalasan. Tingginya prevalensi obesitas menjadi pemicu meningkatnya prevalensi sindrom metabolik. Pasien sindrom metabolik berisiko untuk mengalami komplikasi diabetes melitus dan penyakit kardiovaskuler yang merupakan salah satu penyebab kematian terbanyak di dunia (Eckel, 2008). Prevalensi sindrom metabolik bervariasi di seluruh dunia, tergantung umur, ras, suku, dan kriteria diagnosis yang digunakan. Prevalensi tertinggi di dunia yang diketahui adalah pada penduduk asli Amerika yaitu hampir 60% pada wanita umur 45-49 tahun dan 45% pada laki-laki umur 45-49 tahun menurut kriteria National Cholesterol and Education Program, Adult Treatment Panel III (NCEP-ATP III). Di Amerika Serikat sindrom metabolik lebih sedikit terjadi pada penduduk laki-laki Amerika Afrika tetapi lebih sering pada wanita Amerika Meksiko. Berdasarkan data National Health and Nutrition Examination Survey (NHANES) III prevalensi sindrom metabolik menurut jenis kelamin di Amerika Serikat adalah 34% untuk laki-laki dan 35% untuk wanita. Di Perancis, sebuah penelitian cohort pada populasi umur 30-64 tahun menunjukkan prevalensi kurang dari 10% untuk masing-masing jenis kelamin, meskipun 17,5% penduduk

2 umur 60-64 tahun mengalami sindrom metabolik. Berkembangnya industrialisasi di seluruh dunia meningkatkan jumlah obesitas dan prevalensi sindrom metabolik secara dramatis, khususnya pada penduduk dewasa tua. Lebih jauh lagi, peningkatan prevalensi dan keparahan obesitas menyebabkan timbulnya sindrom metabolik pada kelompok usia muda (Eckel, 2008). Depresi merupakan gangguan jiwa yang prevalensinya juga semakin banyak di dunia. Sekitar 15% populasi pernah mengalami episode depresi mayor selama hidupnya dan sekitar 6-8% pasien rawat jalan di pusat pelayanan kesehatan primer memenuhi kriteria gangguan ini. Depresi sering tidak terdiagnosis, dan lebih sering diterapi secara tidak adekuat. Sekitar 4-5% pasien depresi akan melakukan bunuh diri, dan sebagian besar sudah berusaha memeriksakan diri ke dokter pada 1 bulan terakhir sebelum kematiannya (Reus, 2008). Pada pasien depresi akan terjadi hiperreaktifitas neuroendokrin yang memacu aksis hipothalamus-pituitari-adrenal dan menyebabkan peningkatan kadar kortisol darah yang dalam jangka lama dapat menyebabkan terjadinya sindrom metabolik. Penanganan depresi dan faktor-faktor risiko sindrom metabolik sangat penting untuk mencegah peningkatan jumlah akumulatif penderita sindrom metabolik serta mencegah komplikasinya (Fan, 2007; Vogelzangs, 2010). Depresi juga mempersulit penanganan sindrom metabolik. Beberapa penelitian menunjukkan adanya depresi mempersulit kontrol glukosa darah pada pasien sindrom metabolik dan diabetes melitus (Zuberi et al., 2011; Pouwer &

3 Snoek, 2001; Zihl et al., 2010). Depresi menurunkan kualitas hidup pada pasien sindrom metabolik dan diabetes melitus (Eren et al., 2008; Hyvarinen et al., 2007). Adanya depresi dapat meningkatkan risiko kejadian sindrom metabolik di waktu mendatang (Vanhala et al., 2009). Di sisi lain adanya sindrom metabolik juga dapat meningkatkan risiko terjadinya depresi di kemudian hari (Dortland et al., 2010; Akbaraly et al., 2011). Hubungan sindrom metabolik dengan depresi bersifat timbal balik dan bervariasi menurut jenis kelamin, usia, pekerjaan serta ras pada populasi penelitian (Akbaraly et al., 2011; Toker et al., 2008; Heiskanen et al., 2009; Akbaraly et al., 2009; Hartley et al., 2012; Meittola et al., 2008). Meskipun demikian ada juga penelitian yang menunjukkan tidak ada hubungan antara depresi dengan sindrom metabolik (Demirci et al., 2011; Hildrum et al., 2009; Foley et al., 2010). Stresor psikososial adalah setiap keadaan atau peristiwa yang menyebabkan perubahan dalam kehidupan seseorang. Karena ada stresor, individu terpaksa harus menyesuaikan diri untuk menanggulangi stresor yang timbul. Dengan perkataan lain stresor adalah suatu keadaan yang dapat menimbulkan stres. Stresor psikososial dapat memicu terjadinya depresi. Stres kronik dapat memicu timbulnya sindrom metabolik. Jenis stresor psikososial dapat dikelompokkan menjadi masalah perkawinan, masalah keluarga, masalah hubungan interpersonal, masalah pekerjaan, lingkungan hidup, masalah hukum, keuangan dan penyakit fisik (Mudjaddid & Shatri, 2009).

4 Faktor risiko sindrom metabolik selain faktor risiko klasik seperti obesitas, kelainan hormonal, tingginya asupan karbohidrat, rendahnya aktifitas fisik, riwayat keluarga, merokok dan konsumsi alkohol juga melibatkan faktor risiko psikososial, tingkat sosial ekonomi, tipe kepribadian dan kesulitan beradaptasi dengan stres (Fan, 2007). Faktor sosial ekonomi dan kebiasaan hidup juga dapat menjadi faktor penyebab timbulnya obesitas yang dapat mengarah pada sindrom metabolik (Bethesda, 2010). Status sosial ekonomi dan tingkat pendidikan diduga menjadi faktor risiko yang memperkuat hubungan antara obesitas dengan gangguan mental. Data penelitian menunjukkan status sosial ekonomi yang rendah khususnya pada wanita meningkatkan risiko terjadinya gangguan mental pada individu obes. Sementara penelitian lain menunjukkan justru status sosial ekonomi tinggi meningkatkan risiko depresi pada pasien obes. Terapi manajemen stres secara efektif membantu pasien obes mengendalikan berat badan dan mood (Gatineau & Dent, 2011). Penelitian meta analisis membuktikan intervensi psikologi dan perilaku mendukung keberhasilan terapi diet pada pasien dengan obesitas (Scottish Intercollegiate Guidelines Network, 2010). Penelitian di Finlandia menunjukkan subjek penelitian yang mengalami peristiwa kehidupan yang membuat stres, khususnya masalah pekerjaan dan keuangan, berisiko lebih tinggi untuk mengalami sindrom metabolik (Pyykkonen et al., 2010). Model patologi yang dikembangkan oleh Vitaliano et al. (2002) menunjukkan adanya hubungan antara stres kronik dengan sindrom metabolik yang akhirnya mengarah pada penyakit jantung koroner, khususnya pada laki-laki

5 dewasa, sedangkan pada wanita hubungannya lebih lemah. Pada wanita pasca menopaus yang menggunakan terapi sulih hormon hubungan ini tidak ditemukan. Tulisan ilmiah Bjontorp (2001) telah memaparkan bahwa stres kronik dapat menimbulkan obesitas sentral dan komorbiditasnya melalui aktifasi aksis Hipothalamus-Pituitari-Adrenal (HPA) dan sistem saraf simpatis yang memicu hiperkortisolisme. Lebih jauh lagi Chrousos (2000) memaparkan bahwa stres dan aktifasi aksis HPA berperan dalam timbulnya sindrom metabolik dengan menimbulkan hiperkortisolisme dan obesitas viseral yang diperantarai glukokortikoid. B. Perumusan Masalah Stresor psikososial atau stres kronik dapat memacu aksis hipothalamuspituitari-adrenal sehingga meningkatkan kortisol dalam darah. Hiperkortisolisme dalam jangka lama dapat menyebabkan timbulnya resistensi insulin atau sindrom metabolik melalui obesitas sentral (Bjontrop, 2001; Vogelzangs, 2010). Hiperkortisolisme dapat menimbulkan gangguan neurobiologi pada amigdala dan korteks frontalis serebri yang bermanifestasi pada gangguan emosi, mood dan depresi (Sharpley, 2009). Stresor psikosial yang tidak diadaptasi dengan baik dapat menimbulkan gejala depresi (Mudjaddid & Shatri, 2009). Permasalahan pada penelitian ini adalah jenis stresor psikososial apa saja yang merupakan faktor risiko terjadinya gejala depresi pada pasien sindrom metabolik. C. Pertanyaan Penelitian Apa saja jenis stresor psikososial yang merupakan faktor risiko timbulnya gejala depresi pada pasien sindrom metabolik?

6 D. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jenis stresor psikososial yang merupakan faktor risiko timbulnya gejala depresi pada pasien sindrom metabolik. E. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan yaitu memberikan informasi mengenai jenis stresor psikososial yang dapat menjadi faktor risiko timbulnya gejala depresi pada pasien sindrom metabolik. Penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi acuan bagi dokter atau klinisi agar dapat menangani pasien sindrom metabolik secara holistik, khususnya dari aspek psikososial. F. Keaslian Penelitian Ada beberapa penelitian yang terkait dengan stresor psikososial, depresi dan sindrom metabolik yang didapatkan dari penelusuran referensi. Pyykkonen et al. (2010) dalam publikasi penelitian yang berjudul Stressful Life Events and the Metabolic Syndrome memaparkan bahwa subjek penelitian yang melaporkan adanya kejadian hidup yang membuat stres khususnya dalam pekerjaan dan keuangan berisiko lebih tinggi untuk mengalami sindrom metabolik. Penelitian ini merupakan penelitian cross sectional berbasis populasi dengan jumlah sampel 3407. Persamaan penelitian tersebut dengan penelitian yang akan dilaksanakan ini adalah sama-sama meneliti tentang stresor psikososial dan kaitannya dengan sindrom metabolik. Perbedaannya adalah penelitian yang akan dilaksanakan ini merupakan penelitian kasus kontrol yang meneliti stresor psikososial sebagai faktor risiko terjadinya depresi pada pasien sindrom metabolik di rumah sakit.

7 Vitaliano et al. (2002) melaporkan penelitian yang berjudul A Path Model of Chronic Stress, the Metabolic Syndrome, and Coronary Heart Disease. Penelitian ini merupakan penelitian cohort dengan jumlah subjek 72 orang dan follow up 27-30 bulan. Model patologi yang disusun menunjukkan bahwa stres kronik dapat menimbulkan sindrom metabolik dan pada akhirnya menimbulkan penyakit jantung koroner. Hubungan ini terutama ditemukan pada pria, hubungan yang lebih lemah ditemukan pada wanita. Wanita yang menggunakan terapi sulih hormon tidak menunjukkan adanya pola ini. Persamaan dengan penelitian yang akan dilakukan adalah meneliti stres kronik dan kaitannya dengan sindrom metabolik. Perbedaannya adalah penelitian yang akan dilakukan ini merupakan penelitian kasus kontrol yang meneliti jenis stresor psikososial yang merupakan faktor risiko gejala depresi pada pasien sindrom metabolik. Raikkonen et al. (2007) melaporkan penelitian yang berjudul Depressive Symptoms and Stressful Life Events Predict Metabolic Syndrome among Middle- Aged Women. Penelitian ini merupakan penelitian cohort dengan subjek 523 wanita, dievaluasi tiap 3 tahun sampai 17 tahun pasca menopaus. Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor psikososial dapat memprediksi terjadinya sindrom metabolik pada wanita usia dewasa. Gejala depresi, kejadian hidup yang membuat stres, serta perasaan mudah marah dan tegang berhubungan dengan risiko kumulatif terjadinya sindrom metabolik. Persamaan penelitian ini dengan penelitian yang akan dilaksanakan adalah sama-sama meneliti stresor psikososial dalam kaitannya dengan sindrom metabolik, sedangkan perbedaannya adalah penelitian yang akan dilakukan ini merupakan penelitian kasus kontrol yang akan

8 meneliti jenis stresor psikososial yang dapat menjadi faktor risiko terjadinya depresi pada pasien sindrom metabolik. Chandola et al. (2006) melaporkan penelitian yang berjudul Chronic Stress at Work and the Metabolic Syndrome: Prospective Study. Penelitian ini merupakan penelitian cohort dengan jumlah sampel 10308 orang dan follow up 14 tahun. Hasil penelitian menunjukkan bahwa stres terutama yang terkait dengan pekerjaan merupakan faktor risiko penting terjadinya sindrom metabolik. Stresor psikososial dalam kehidupan sehari-hari dapat memicu terjadinya penyakit jantung. Persamaan dengan penelitian yang akan dilakukan adalah sama-sama meneliti stres dan sindrom metabolik. Perbedaannya adalah penelitian yang akan dilakukan ini meneliti stresor psikososial, tidak hanya stres terkait pekerjaan, yang dapat menjadi faktor risiko terhadap timbulnya gejala depresi pada pasien sindrom metabolik. Sharpley (2009) melaporkan penelitian literature review yang berjudul Neurobiological Pathways Between Chronic Stress and Depression: Dysregulated Adaptive Mechanism. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa stres kronik dapat memacu terjadinya respon yang berlebihan dari aksis HPA sehingga terjadi hiperkortisolisme. Kondisi hiperkortisolisme mengganggu sistem neurobiologi di amigdala dan korteks frontalis serebri sehingga memicu terjadinya depresi. Penelitian tersebut menjadi salah satu dasar teori yang dijadikan acuan pada penelitian yang akan dilaksanakan ini. Persamaannya adalah sama-sama meneliti kaitan antara stresor psikososial dengan depresi. Perbedaannya adalah penelitian

9 yang akan dilakukan ini merupakan penelitian kasus kontrol yang dilakukan pada subjek dengan sindrom metabolik. Tabel 1. Ringkasan Referensi Utama Penelitian No Nama Peneliti Tahun Metode 1. Pyykkonen et al. 2010 cross sectional Jumlah Sampel Hasil 3407 Subjek penelitian yang melaporkan adanya kejadian hidup yang membuat stres dalam pekerjaan dan keuangan berisiko lebih tinggi mengalami sindrom metabolik. 2. Vitaliano et al. 2002 cohort 72 Stres kronik dapat menimbulkan sindrom metabolik dan penyakit jantung koroner. 3. Raikkonen et al. 2007 cohort 523 Gejala depresi, kejadian hidup yang membuat stress, perasaan mudah marah dan tegang berhubungan dengan risiko kumulatif terjadinya sindrom metabolik. 4. Chandola et al. 2006 cohort 10308 Stres terutama yang terkait dengan pekerjaan merupakan faktor risiko penting terjadinya sindrom metabolik 5. Sharpley 2009 literature Stres kronik dapat memacu aksis review HPA sehingga terjadi hiperkortisolisme. Kondisi hiperkortisolisme mengganggu sistem neurobiologi di amigdala dan korteks frontalis sehingga terjadi depresi. 6. Akabaraly et al. 2009 cohort 5232 Adanya sindrom metabolik berhubungan dengan peningkatan risiko terjadinya gejala depresi di kemudian hari dengan OR 1.38 (95% CI 1.02 1.96). Obesitas sentral, trigliserid tinggi dan kolesterol HDL rendah merupakan faktor prediktif timbulnya gejala depresi. 7. Akbaraly et al. 2011 cohort 4446 Sindrom metabolik berhubungan dengan peningkatan onset baru gejala depresi pada pasien kelompok usia 65-70 tahun (OR 1.73, 95% CI 1.02 2.95). 8. Koponen et al. 2008 cohort Pria dan wanita dengan sindrom metabolik tanpa depresi berisiko untuk mengalami gejala depresi 2,2 kali lipat dibandingkan pria dan wanita tanpa sindrom metabolik dan tanpa gejala depresi.

10 Penelitian Akbaraly et al. (2009 dan 2011) serta penelitian Koponen et al. (2008) menunjukkan pasien sindrom metabolik lebih berisiko untuk mengalami gejala depresi di kemudian hari, baik pada pria, wanita, usia dewasa maupun usia lanjut, dibandingkan populasi tanpa sindrom metabolik. Akbaraly et al. (2009) menyatakan sindrom metabolik berhubungan dengan peningkatan risiko terjadinya gejala depresi di kemudian hari dengan OR 1.38 (95% CI 1.02 1.96) pada populasi usia dewasa. Obesitas sentral, trigliserid tinggi dan kolesterol HDL rendah merupakan faktor prediktif timbulnya gejala depresi. Akbaraly et al. (2009) menyatakan sindrom metabolik berhubungan dengan peningkatan onset baru gejala depresi pada pasien kelompok usia 65-70 tahun (OR 1.73, 95% CI 1.02 2.95). Koponen et al. (2008) menyatakan pria dan wanita dengan sindrom metabolik tanpa depresi berisiko mengalami gejala depresi 2,2 kali lipat dibandingkan pria dan wanita tanpa sindrom metabolik dan tanpa gejala depresi. Ringkasan dari berbagai penelitian di atas dapat dilihat pada tabel 1. Sepengetahuan penulis belum pernah dilakukan penelitian tentang jenis stresor psikososial sebagai faktor risiko depresi pada pasien sindrom metabolik, khususnya di Indonesia. Penelitian lain yang terkait dan dijadikan acuan dalam penelitian ini dicantumkan dalam daftar pustaka.