Salah satu misi yang ingin disampaikan Undang-undang Nomor 7 tahun 1989 yang di

dokumen-dokumen yang mirip
BAB III PENGERTIAN UMUM TENTANG PENGADILAN AGAMA. peradilan di lingkungan Peradilan Agama yang berkedudukan di ibu kota

RINGKASAN PUTUSAN. 1. Pemohon : Suryani 2. Materi pasal yang diuji:

Ditulis oleh Administrator Kamis, 07 Oktober :57 - Terakhir Diperbaharui Kamis, 28 Oktober :12

BAB I PENDAHULUAN. martabat, dan hak-haknya sebagai manusia. faktor-faktor lainnya. Banyak pasangan suami isteri yang belum dikaruniai

Pada prinsipnya asas pada Hukum Acara Perdata juga berlaku di PA Asas Wajib Mendamaikan Asas Persidangan Terbuka Untuk Umum, kec.

BAB I PENDAHULUAN. Perolehan dan peralihan hak atas tanah dapat terjadi antara lain melalui: jual

BAB IV ANALISIS UNDANG-UNDANG NO. 7 TAHUN 1989 TERHADAP PENENTUAN PATOKAN ASAS PERSONALITAS KEISLAMAN DI PENGADILAN AGAMA SURABAYA

Oleh Administrator Kamis, 15 Januari :42 - Terakhir Diupdate Rabu, 22 Desember :51

BAB I PENDAHULUAN. rohani. Dalam kehidupannya manusia itu di berikan akal serta pikiran oleh Allah

BAB IV DASAR PERTIMBANGAN MAHKAMAH AGUNG TERHADAP PUTUSAN WARIS BEDA AGAMA DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

BAB IV. rumah tangga dengan sebaik-baiknya untuk membentuk suatu kehidupan. tangga kedua belah pihak tidak merasa nyaman, tenteram dan mendapaatkan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG NADZIR. Kata nadzir secara etimologi berasal dari kata kerja nazira. yandzaru yang berarti menjaga dan mengurus.

BAB III ANALISIS PASAL 209 KHI TENTANG WASIAT WAJIBAH DALAM KAJIAN NORMATIF YURIDIS

TINJAUAN HUKUM PENYELESAIAN PERKARA PEMBATALAN AKTA HIBAH. (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Surakarta)

BAB IV ANALISIS PUTUSAN SENGKETA WARIS SETELAH BERLAKUNYA PASAL 49 HURUF B UU NO. 3 TAHUN 2006 TENTANG PERADILAN AGAMA

BAB IV. Putusan Pengadilan Agama Malang No.0758/Pdt.G/2013 Tentang Perkara. HIR, Rbg, dan KUH Perdata atau BW. Pasal 54 Undang-undang Nomor 7

BAB III. IZIN POLIGAMI DALAM PUTUSAN NO.1821/Pdt.G/2013/Pa.SDA

BAB I PENDAHULUAN Tentang Peradilan Agama Jo Undang-Undang nomor 3 tahun 2006 tentang

BAB I PENDAHULUAN. Allah SWT telah menjadikan manusia saling berinteraksi antara satu

BAB IV PEMBAHASAN. Dasar pertimbangan hakim dalam mengabulkan permohonan dispensasi nikah dibawah umur di Pengadilan Agama Bantul

BAB III TINJAUAN TEORITIS TENTANG ISBAT NIKAH. Mengisbatkan artinya menyungguhkan, menentukan, menetapkan

BAB IV ANALISIS DUALISME AKAD PEMBIAYAAN MUD{ARABAH MUQAYYADAH DAN AKIBAT HUKUMNYA

BAB V PEMBAHASAN. penelitian, maka dalam bab ini akan membahas satu persatu fokus penelitian yang

BAB III AKIBAT HUKUM TERHADAP STATUS ANAK DAN HARTA BENDA PERKAWINAN DALAM PERKAWINAN YANG DIBATALKAN

BAB I PENDAHULUAN. mengadili, memutuskan dan menyelesaikan perkara untuk menegakkan hukum

BAB IV ANALISIS PUTUSAN PENGADILAN AGAMA SEMARANG NOMOR 2055/ PDT. G/ 2012/ PA. SMG. TENTANG TALAK RAJ`I KEPADA ISTERI YANG MURTAD

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Menurut Pasal 1 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang

BAB I PENDAHULUAN. mengadili, memutuskan dan menyelesaikan perkara untuk menegakkan hukum

BAB IV. PERTIMBANGAN HAKIM DALAM PUTUSAN NOMOR 732/Pdt.G/2008/PA.Mks DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

BAB I PENDAHULUAN. Sebuah perkawinan yang dimulai dengan adanya rasa saling cinta dan kasih sayang

BAHAN AJAR PERADILAN AGAMA BAB I PENGANTAR

BAB I PENDAHULUAN. khususnya dalam perannya pada aspek sosial-ekonomi yang sangat besar.

BAB I PENDAHULUAN. selanjutnya disebut dengan Undang-undang Perkawinan), sebagai berikut:

BAB IV. ANALISIS YURIDIS TERHADAP PUTUSAN MAJELIS HAKIM MENOLAK PERMOHONAN IWA<D} PERKARA KHULU DALAM GUGATAN REKONVENSI (No. 1274/Pdt.G/2010/PA.

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan. Berdasarkan uraian sebelumnya, maka rumusan kesimpulan yang

Waris Tanpa Anak. WARISAN ORANG YANG TIDAK MEMPUNYAI ANAK Penanya: Abdul Salam, Grabag, Purworejo. (disidangkan pada hari Jum'at, 10 Februari 2006)

BAB I PENDAHULUAN. bermasyarakat, yang diwujudkan dalam bentuk hubungan hukum yang mengandung hak-hak dan

BAB I PENDAHULUAN. Agama harus dikukuhkan oleh Peradilan Umum. Ketentuan ini membuat

Dr. Aset Ijarah 1,000,000,000

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kamus bahasa arab, diistilahkan dalam Qadha yang berarti

A. Latar Belakang B. Rumusan Masalah C. Tujuan Penelitian D. Definisi Oprasional

Hibah di Bawah Tangan tanpa Sepengetahuan Pemilik Harta Hibah Ditinjau Berdasarkan Hukum Islam (Studi Kasus Putusan Nomor: 1000/Pdt.G/2011/PA.

BAB IV ANALISIS TERHADAP PENETAPAN PENGAADILAN AGAMA TUBAN NOMOR 0182/PDT.P/2012/PA.TBN TENTANG PENOLAKAN PERMOHONAN PENGANGKATAN ANAK

BAB I PENDAHULUAN. (selanjutnya ditulis dengan UUP) menjelaskan, Perkawinan ialah ikatan lahir bathin

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 1989, dan telah diubah dengan Undang-undang No. 3 Tahun 2006,

BAB I PENDAHULUAN. badan hukum dengan menyerahkan sebagian dari harta bendanya untuk

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB II. PERCERAIAN PASANGAN YANG MENIKAH di KUA dan KANTOR CATATAN SIPIL. Perceraian dalam istilah fiqih disebut t}ala>q atau furqah.

BAB IV ANALISIS PUTUSAN PA PURWODADI TENTANG KUMULASI GUGATAN. A. Analisis terhadap Putusan PA Purwodadi tentang Kumulasi Gugatan

BAB III. PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG RI No. 368 K/AG/1995. A. Ruang Lingkup Kekuasaan Mahkamah Agung

BAB I PENDAHULUAN. menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 2 Undang-Undang

ALASAN PERCERAIAN DAN PENERAPAN PASAL 76 UU NO.7 TAHUN 1989 YANG DIUBAH OLEH UU NO.3 TAHUN 2006 DAN PERUBAHAN KEDUA OLEH UU NOMOR 50 TAHUN 2009

Kuliah PLKH Oleh Fauzul A. Fakultas Hukum UPN Jatim 7 Maret /04/2013 1

BAB VI ANALISIS DATA. PELAKSANAAN EKSEKUSI HARTA BERSAMA DALAM PERKARA PERDATA NO 0444/Pdt.G/2012/PA.Tnk

BAB IV WASIAT KEPADA NON MUSLIM PERSPEKTIF HUKUM POSITIF. dan ditegakkan oleh atau melalui pemerintah atau pengadilan dalam negara

BAB I PENDAHULUAN. keluarga, perkawinan tidak hanya mengandung unsur hubungan manusia. harus memenuhi syarat maupun rukun perkawinan, bahwa perkawinan

BAB III ALASAN-ALASAN POLIGAMI DI PENGADILAN AGAMA PASURUAN TAHUN 2007

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PERTIMBANGAN HAKIM MENGABULKAN CERAI GUGAT DENGAN SEBAB PENGURANGAN NAFKAH TERHADAP ISTERI

PELEMBAGAAN HUKUM ISLAM DI INDONESIA. Oleh: Dr. Marzuki, M.Ag. sendiri. Jadi, hukum Islam mulai ada sejak Islam ada. Keberadaan hukum Islam di

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2004 TENTANG WAKAF DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. Hukum acara di peradilan agama diatur oleh UU. No. 7 Tahun yang diubah oleh UU. No. 3 tahun 2006, sebagai pelaku kekuasaan

BAB IV ANALISIS. A. Tinjauan Yuridis terhadap Formulasi Putusan Perkara Verzet atas Putusan

JENIS SITA. Sita Jaminan thdp barang milik Debitur/Tergugat (Conservatoir Beslag) Sita Jaminan thdp barang bergerak milik Penggugat :

Wawancara dengan Hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan. (Dra. Muhayah, SH) : Apakah pewarisan terhadap anak angkat berdasarkan penetapan

BAB I PENDAHULUAN. Qur anul Karim dan Sunnah Rosullulloh saw. Dalam kehidupan didunia ini, Firman Allah dalam Q.S. Adz-Dzaariyat : 49, yang artinya :

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB V PENUTUP. akhirnya pada bab ini penulis dapat suatu kesimpulan. Adapun benang merah. 1. Pendapat Ulma Tentang Zakat Atas Tambak Garam.

BAB IV. dalam perkara nomor : 1517/Pdt.G/2007/PA.Sda mengenai penolakan gugatan

P E N E T A P A N Nomor 0220/Pdt.P/2015/PA.Sit BISMILLAHIRROHMANIRROHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB V PERSAMAAN DAN PERBEDAAN WASIAT KEPADA NON MUSLIM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF

BAB I PENDAHULUAN. Islam bukan keluarga besar (extended family, marga) bukan pula keluarga inti

Qad}a> yang mempunyai beberapa pengertian, yakni al-fara>g yang berarti putus

DERDEN VERZET (Oleh : Drs. H. M. Yamin Awie, SH. MH. 1 )

BAB I PENDAHULUAN. kewenangan dimaksud adalah tersebut dalam Pasal 25 ayat (3) Undang -Undang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB II KEWENANGAN MENGADILI PENGADILAN AGAMA DALAM SENGKETA WARIS ISLAM. A. Jangkauan Kewenangan Mengadili Perkara Warisan.

PEDOMAN PIMPINAN PUSAT MUHAMMADIYAH TENTANG LAZISMU

BAB I PENDAHULUAN. sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia

KEDUDUKAN SAKSI NON MUSLIM DALAM PERADILAN AGAMA YOGYAKARTA SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN. zakat dan Infaq merupakan ibadah yang tidak hanya bersifat vertikal (hablun min

BAB I PENDAHULUAN. menjadi khalifah Allah di bumi, sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur an surat

isempurnakan) PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUNINGAN NOMOR 4 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN ZAKAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KUNINGAN,

Mengenal Sistem Peradilan di Indonesia

BAB IV ANALISIS TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN AGAMA MALANG NOMOR: 786/PDT.G/2010/PA.MLG PERIHAL KUMULASI PERMOHONAN IZIN POLIGAMI DAN IS BAT NIKAH

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2004 TENTANG WAKAF DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II LANDASAN TEORI. Secara etimologi, al mal berasal dari kata mala yang berarti condong atau

P E N E T A P A N Nomor : 0015/Pdt.P/2010/PA.Bn. BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

BAB IV ANALISIS. Setelah mempelajari duduk perkara No 709/Pdt.G/2006/PA.Bgl dan

BAB IV MUTAH DALAM PERKARA CERAI TALAK DI PENGADILAN AGAMA SURABAYA. A. Analisis Dasar Pertimbangan Hakim Menggunakan atau Tidak

BAB IV ANALISIS YURIDIS TERHADAP DISSENTING OPINION DALAM PUTUSAN PERKARA CERAI GUGAT (Studi Putusan Nomor 0164/Pdt.G/2014/PA.Mlg)

PERATURAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT NOMOR... TAHUN 2015 TENTANG PENYELENGGARAAN DAN PENGELOLAAN ZAKAT, INFAK DAN SHADAQAH

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang Penelitian. Zakat merupakan rukun Islam ke tiga dan merupakan salah satu unsur

BAB IV ANALISIS PERTIMBANGAN HAKIM TERHADAP SITA MARITAL ATAS MAS KAWIN PASCA PERCERAIAN. (Studi Penetapan Perkara Nomor 626/Pdt.G/2008/PA.

BAB I PENDAHULUAN. mengenai anak sah diatur dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2004 TENTANG WAKAF DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PENYALURAN ZAKAT, INFAQ DAN SHADAQAH KEPADA PARA MU ALAF DI (BAZ) BADAN AMAL ZAKAT SUMSEL

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KUMULASI GUGATAN. Secara istilah, kumulasi adalah penyatuan; timbunan; dan akumulasi

BAB IV ANALISIS PENDAYAGUNAAN DANA WAKAF MASJID DAN WAKAF QUR AN DI YAYASAN DANA SOSIAL AL FALAH SURABAYA

Transkripsi:

HUKUM SEDEKAH DALAM KONTEKS KEWENANGAN PERADILAN AGAMA OLEH: DONI ADI SUPRIYO Dosen Fakultas Hukum Universitas Wijayakusuma Purwokerto ABSTRAK: Kompetensi Peradilan Agama meliputi bidang-bidang perkawinan, kewarisan, wasiat dan hibah, wakaf dan sedekah. Bidang hukum perkawinan, uraian hukum terapannya telah di unifikasi dan dikodifikasi secara tuntas dalam Undang-undang Nomor 1 tahun 1974, Peraturan pemerintah Nomor 9 tahun 1975, Bab I Kompilasi Hukum Islam. Bidang hukum kewarisan, Wasiat dan hibah telah diatur dalam Buku TI KHI, dan bidang perwakafan juga telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 1977 jo Undang-undang Nomor 41 tahun 2004, KHI Buku III dan peraturan lain, tetapi bidang hukum sedekah yang telah dipatok sebagai bidang garapan Peradilan Agama itu belum disiapkan dan belum dilengkapi dengan buku-buku terapan sebagai acuan yuridis yang dapat memberikan kepastian hukum bagi para pencari keadilan. Di sisi lain Undang-undang Peradilan Agama memperingatkan agar Peradilan Agama tidak menolak untuk memeriksa dan memutuskan perkara sedekar yang diajukan kepadanya dengan dalil bahwa hukum tidak atau kurang jelas, melainkan wajib memeriksa dan memutuskannya dengan cara menggali nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat (Pasal 229 KHI). Dalam tulisan ini pembahasan akan difokuskan pada ruang lingkup sedekah yang merupakan kewenangan absolut Peradilan Agama dan bagaimana penyelesaian konfliknya. Kesimpulan: bahwa ruang lingkup sedekah menjangkau segala bentuk ibadah maliyah wajibah dan sunnah, minus bentuk-bentuk sedekah yang telah terlegalisasi dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Penyelesaian sengketa sedekah diajukan ke pengadilan Agama menurut ketentuan hukum acara perdata yang berlaku. Yang berkualitas sebagai penggugat/para penggugat dalam gugatan sedekah ialah: 8 asnaf yang ada, mutashaddaq atau ahli warisnya, pejabat yang berwenang dan pihak-pihak yang berkepentingan. Keywords : Hukum sedekah, Peradilan Agama A. Pendahuluan Salah satu misi yang ingin disampaikan Undang-undang Nomor 7 tahun 1989 yang di rubah dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 jo Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama adalah untuk mempertegas batas-batas wilayah kompetensi absolut Peradilan Agama sebagai bagian intergral lembaga pelaksana kekuasaan kehakiman dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia secara konstitusional. Apabila substansi Undang-undang Nomor 7 tahun 1989 yang di rubah dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 jo Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama diklasifikasikan, dapat ditemukan empat besaran substansi, yaitu tentang Kedudukan Peradilan Agama yang diatur pada Bab I (Pasal 1-5), organisasi diatur pada Bab IT (Pasal 6-48), Kompetensi Absolut diatur pada Bab TIT (Pasal 49-53), Hukum Acara diatur

pada Bab IV (Pasal 54-91), dan selebihnya mengatur lain-lain. Kompetensi Peradilan Agama meliputi bidang-bidang perkawinan, kewarisan, wasiat dan hibah, wakaf dan sedekah. Bidang hukum perkawinan, uraian hukum terapannya telah di unifikasi dan dikodifikasi secara tuntas dalam Undang-undang Nomor 1 tahun 1974, Peraturan pemerintah Nomor 9 tahun 1975, Bab I Kompilasi Hukum Islam. Bidang hukum kewarisan, Wasiat dan hibah telah diatur dalam Buku II KHI, dan bidang perwakafan juga telah diatur dalam Peraturan pemerintah Nomor 28 tahun 1977 jo Undang-undang Nomor 41 tahun 2004, KHI Buku III dan peraturan lain, tetapi bidang hukum sedekah yang telah dipatok sebagai bidang garapan Peradilan Agama itu belum disiapkan dan belum dilengkapi dengan buku-buku terapan sebagai acuan yuridis yang dapat memberikan kepastian hukum bagi para pencari keadilan. Di sisi lain Undang-undang Peradilan agama memperingatkan agar Peradilan Agama tidak menolak untuk memeriksa dan memutuskan perkara sedekar yang diajukan kepadanya dengan dalil bahwa hukum tidak atau kurang jelas, melainkan wajib memeriksa dan memutuskannya dengan cara menggali nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat (Pasal 229 KHT). Dengan demikian para Hakim di lingkungan Peradilan Agama wajib memahami konsepkonsep shadaqah dalam Al-Quran, Al Hadist, literatur-literatur fikih, dan praktek-praktek dalam konteks sedekah yang telah tersosialisasi di tengah-tengah masyarakat muslim sebagai acuan kontekstual nilai-nilai hukum yang hidup. Setiap perbuatan yang baik yang menurut Rasulullah SAW adalah shadakqah (Imam Muslim, tanpa tahun : 403). Bertitik tolak dari pandangan tersebut, Sayyid Sabiq (1983: 422) melihat ruang lingkup sedekah itu tidak terbatas pada satu macam bentuk perbuatan tertentu saja, melainkan suatu ibadah hukum bahwa setiap yang ma'ruf adalah sedekah. Sedekah dalam konteks kullu ma rufin shadhaqatun mencakup sikap dan tindak tanduk setiap muslim dalam hubungannya dengan Tuhan, manusia dan lingkungan alam semesta. Sumber energinya dapat berubah benda dan jasa yang diubah dan menjelma dalam bermacammacam bentuk sedekah antara lain tsbih, takbir, tahmid, tahlil, amar maruf nahi munkar, zakat, hibah, wakaf.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka masalahnya adalah bagaimana ruang lingkup sedekah yang merupakan kewenangan absolut Peradilan Agama dan bagaimana penyelesaian konfliknya? B. Pembahasan Kata shadaqah baik dalam bentuk tunggal maupun jamak ataupun dalam kata benda dan kata kerja dapat ditemukan dalam Al-Qur an dan Al Hadits. Dilihat dari segi etimologis, kata shadaqah berarti sedekah atau derma. Shadaqah juga dapat berarti zakat (QS. at Taubah 60). Dalam Kamus Bahasa Indonesia, kata shadaqah berasal dari Bahasa Arab telah diresepsi ke dalam bahasa Indonesia menjadi kata sedekah yang berarti derma kepada orang miskin dan sebagainya berdasarkan cinta kasih kepada sesama manusia (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1990: 792). Sayyid Sabiq (1983: 525) bahwa sedekah ialah pemberian atas suatu benda dengan mengharap pahala di akhirat. Penjelasan Pasal 49 ayat 1 huruf h Undang-undang Nomor 3 tahun 2006, yang disebut shadaqah ialah perbuatan seseorang memberikan sesuatu kepada orang lain atau lembaga/badan hukum secara spontasn dan sukarela tanpa dibatasi oleh waktu dan jumlah tertentu dengan mengharap ridho Allah Subhanahu Wata'ala dan pahala semata. Berdasarkan formulasi tersebut Al Mawardi (1973: 113), berpendapat bahwa berbicara masalah sedekah, berarti berbicara masalah zakat, dan berbicara masalah zakat berarti pula harus berbicara masalah sedekah, istilahnya boleh beda tetapi maksud tujuannya sama. Kemudian Sayyid Sabiq (1983: 422), berpendapat bahwa sedekah itu tidak terbatas pada satu macam bentuk perbuatan baik tertentu saja, melainkan telah menjadi kaidah umum bahwa setiap perbuatan mulai adalah sedekah. Para ulama membagi ruang lingkup sedekah kepada dua besaran substansi, yaitu sedekah wajib dan sedekah tathawwu. Sedekah wajib misalnya zakat, dan sedekah tathawwu misalnya infak, sedekah jariyah, hibah, umra, ibra, dan lain-lain (Wahhab az Zuhaili, 1989: 900-922).

Berdasarkan uraian tersebut di atas, terlihat jelas bahwa substansi sedekah itu harus menampung persoalan zakat atau ibadah maliyah wajib lainnya, dan pula menampung persoalan ibadah maliyah yang sepatutnya atau yang dianjurkan seperti infak dan sedekah jariyah. Oleh karena itu ruang lingkup sedekah yang merupakan kewenangan absolut Peradilan Agama menjangkau segala bentuk ibadah maliyah wajibah dan sunnah, minus bentuk-bentuk sedekah yang telah terlegislasi dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, seperti wakaf, hibah, hadlanah, nafkah isteri dan Iain-lain. Patokan untuk menetapkan bahwa ibadah maliyah wajibah dan sunnah tersebut termasuk bidang hukum sedekah, adalah dengan cara memastikan hubungan hukum yang terjadi itu dilakukan hukum Islam, dan pihak-pihak yang terlibat sama-sama beragama Islam (Harahap: 1975: 75). Berdasarkan formula sedekah yang telah diuraikan di atas, terlihat unsur-unsur terjadinya sedekah terdiri dari: 1. Orang-orang atau Lembaga Sosial Islam yang bersedekah (mutashaddiq) 2. Benda sedekah (mutashaddaq bihi) 3. Orang-orang atau Lembaga Sosial sebagai sasaran pendistribusian benda sedekah (mutashaddaq 'alaih). 4. Akad sedekah. Orang-orang yang bersedekah harus memenuhi syarat, yaitu beragama Islam, telah dewasa, sehat akalnya serta oleh hukum tidak terhalang untuk melakukan perbuatan hukum, atas kehendak sendiri tanpa adanya paksaan, dan pemilik benda yang disedekahkan. Benda sedekah bisa berupa benda bergerak maupun tidak bergerak, benda materiil maupun immateriil, disyaratkan harus merupakan benda milik yang terbebas dari segala bentuk pembebasan, ikatan, sitaan dan sengketa, di samping itu benda sedekah bukan benda haram atau yang diperoleh secara ilegal. Orang-orang atau Lembaga Sosial atau sasaran yang berhak untuk memperoleh benda sedekah disyaratkan: harus ahlul khair wal muruat, dan sangat membutuhkan bantuan.

Orang-orang atau pengurus Lembaga Sosial Islam yang berhak sedekah, harus mengikrarkan akad sedekahnya kepada mutashaddaq 'alaihi, baik secara lisan maupun tertulis. Apabila unsur-unsur sedekah tersebut kurang, maka harus dinyatakan batal demi hukum dan dianggap tidak pernah terjadi sedekah. Sebaliknya jika terdapat cacat hukum pada syarat-syarat yang melekat pada sedekah tersebut, maka sedekah harus dinyatakan tidak sah secara hukum. Pengelolaan bentuk-bentuk sedekah seperti zakat, infak/ sedekah, sedekah jariyah untuk pembangunan rumah sakit, tempat-tempat ibadah, pondok pesantren dan lembaga-lembaga pendidikan Islam lainnya sangat potensial dan rawan dengan konflik. Embrional sumber konfliknya dapat berasal dari internal amilin/pengurus sedekah yang dipicu oleh daya kritis umat Islam yang menghendaki transparansi sebagai bagian dari arus reformasi. Beberapa kemungkinan akan terjadinya konflik-konflik sedekah yang akan menjelma menjadi perkara di Pengadilan Agama: a. Badan Amil Zakat, Infak/Sedekah (BAZIS) yang diberi amanah oleh umat (mutashaddiq) untuk menerima, mengelola dan menyalurkan benda-benda zakat, infak/sedekah, tetapi ternyata menyalahgunakannya untuk kepentingan pribadi dengan cara korupsi, manipulasi dan lain-lain. b. Penyaluran ZTS yang tidak merata dan tidak adil, umpamanya 'amilin atau pengurus ZIS yang dalam penyalurannya hanya kepada orang-orang tertentu yang ada hubungan keluarga dengan amilin, karena nepotisme, atau hanya tersalur kepada pihak-pihak tertentu saja karena kolusi. c. Panitia atau pengurus yayasan yang menyalahgunakan dana sedekah tersebut untuk kepentingan pribadinya dan lain-lain. Berdasarkan kemungkinan tersebut, aspek pidananya menjadi wewenang Peradilan Umum, sedangkan aspek perdatanya menjadi wewenang Peradilan khusus (Peradilan Agama), dan sengketa sedekah adalah institusi hukum keperdataan khusus yang hanya terdapat dalam sistem hukum Tslam, tidak ditemukan pada sistem hukum lain. Dalam konteks penyelesaian sengketa sedekah

tersebut, persoalan mendasar yang perlu dipecahkan antara lain ke Pengadilan Agama mana gugatan sedekah harus diajukan, hal ini harus dilihat dalam Pasal 142 RBG/ 118 HIR, dan siapa pihak-pihak yang berkualitas sebagai penggugat/para penggugat, adalah kepentingan hukum atau hubungan hukum. Sebagai perbandingan berpikir dalam mengaplikasikan patokan kepentingan dan hubungan hukum dalam menentukan berkualitas atau tidaknya pihak penggugat/para penggugat dalam perkara sedekah adalah pasal 73 Kompilasi Hukum Islam yang menentukan bahwa yang berkualitas sebagai pihak dalam perkara gugatan pembatalan perkawinan, bukan hanya pihak-pihak yang ada hubungan hukum seperti suami isteri saja, tetapi termasuk pihak-pihak yang berkepentingan hukum. Dilihat dari sudut kegunaan benda-benda sedekah, yaitu untuk kepentingan publik, maka yang termasuk dalam pengertian kepentingan hukum adalah publik/masyarakat muslim pada umumnya.di1ihat dari sudut hak siapa benda-benda sedekah itu, adalah 8 asnaf. Berdasarkan uraian tersebut, maka dapat dirumuskan bahwa yang dapat mengajukan gugatan sedekah ialah 1. Delapan asnaf, yaitu fuqaha, masahi dst 2. Mutashaddiq atau orang-orang yang bersedekah atau ahli warisnya 3. Pejabat yang berwenang mengawasi pelaksanaan zakat, infak/sedekah menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. 4. Pihak-pihak yang berkepentingan yang mengetahui adanya penyalahgunaan benda-benda sedekah. C. Kesimpulan: - Ruang lingkup sedekah menjangkau segala bentuk ibadah maliyah wajibah dan sunnah, minus bentuk-bentuk sedekah yang telah terlegalisasi dalam peraturan perundangundangan yang berlaku.

- Penyelesaian sengketa sedekah diajukan ke pengadilan Agama menurut ketentuan hukum acara perdata yang berlaku. Yang berkualitas sebagai penggugat/para penggugat dalam gugatan sedekah ialah: 8 asnaf yang ada, mutashaddaq atau ahli warisnya, pejabat yang berwenang dan pihak-pihak yang berkepentingan. DAFTAR PUSTAKA Harahap, Yahya. 1975. Hukum Perkawinan Nasional Berdasarkan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Peraturan pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. Medan. CV Zahir Trading Co Muslim Imam. Shohim Muslim Juz /.Bandung. PT Al Maarif Sabbiq, Sayyid. 1983. Fiqhus Sunnah. Bandung. PT Al Maarif. Depdikbud. 1990. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta. Balai Pustaka Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 jo Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 jis Undangundang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama. Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam